Semoga suka đđ
Davinka menunduk mendengar penolakan Sanjaya. Sebenarnya itu hanya satu dari tiga alasan dirinya ingin mendapatkan ponsel itu kembali.Selain untuk menghubungi kakaknya Noel, juga agar dirinya mudah mendapatkan kabar mengenai ibu dan mantan suaminya."Baik, Tuan. Tapi kenapa Anda sangat melarang saya berhubungan dengan Ren—""Mommy Tente!" Suara Reno yang nyaring membuat Davinka menghentikan ucapannya."Reno!" Seru Sanjaya dan Davinka bersamaan. Wajah mereka sangat berbeda, yang satu seputih kapas dan yang satu lagi sangat bercahaya.'Kenapa Reno malah kesini?' erang Sanjaya dalam hatinya. Pria itu menatap Davinka yang seolah mengatakan 'jaga jarakmu!''Reno, apa kamu juga rindu Tante, Nak?' Sangking bahagianya Davinka tidak tahu Sanjaya memberi peringatan melalui tatapannya. Pandangannya hanya tertuju pada Reno. Baru sehari tidak bertemu, rindu ini sudah menguasai jiwa.Sanjaya bangun, menghampiri Rasty dan menggendong Re
Sanjaya sama sekali tidak melirik pada wanita yang duduk di sebelahnya tangannya hanya fokus mengelus punggung Reno. "Terima kasih, kami akan membiayai seluruh pengobatanmu dan kompetensi," ujar Sanjaya acuh. Pria itu hanya terus mengelus Reno. "Jay, jadikan Laura sekretaris di cabang tempat kamu memimpin," pinta Venti sedikit memaksa. Venti terlihat begitu menyayangi Laura dengan sentuhan kecil yang terus dilakukan olehnya. Rasty bahkan tidak sanggup berkedip melihat keanehan ibunya. Venti selalu merapikan anak rambut yang mencuat dari balik telinga wanita yang dipanggil Laura. 'Seharusnya Mama menyambut Reno, bukan mengabaikannya seperti ini! Reno bukan musuh Mama!' jerit Rasty dalam hatinya. Venti memang tidak pernah menunjukkan kasih sayang kepada Reno. Sejak masih bayi ibunya tidak pernah menggendong atau menciumi Reno barang sebentar pun. Ibunya seperti menjaga jarak. Tapi pada wanita asing ini, ibunya terlihat sangat berbeda! "Kenapa harus di tempat Jay, Mah. Di kantor pu
Wanita itu melotot ke arah Davinka dengan wajahnya yang merah karena marah. Tidak disangka, menantu yang dikenal baik ternyata tengah melakukan hal yang tidak senonoh di depan umum bersama dengan pria lain yang bukan suaminya. "Mama," ulang Sanjaya. Sandy tidak bisa berkata apa-apa. Dia tahu siapa wanita ini bagi Davinka. Secara menyeluruh Sandy sudah menyelidiki silsilah dalam keluarga Davinka sampai ke akarnya. "Apa kamu juga melakukan hal ini pada putraku dan membuat pertengkaran diantara kalian hingga berujung kematiannya!" Hardik wanita itu dengan telunjuk mengacungkan tepat di hidung Devinka. Devinka hanya menggeleng, dia sendiri tidak tahu potongan puzzle yang hilang dari ingatannya. Di dalam ingatannya dia memang bertengkar dengan seorang pria dan berusaha menghentikan mobil, selebihnya Davinka sama sekali tidak tahu, dan kini kepalanya mulai pusing. "Lantas apa yang kamu lakukan disini? Suamimu masih dirumah sakit, kan?! Kamu wanita baik-baik Davinka, tidak seharusnya kam
Air mata Davinka terus mengalir hingga mengenai punggung tangan Sanjaya yang sedang membekap mulut Davinka. 'Apa menjadi wanitaku membuatmu menderita?' Batinnya bergumam lirih. Sanjaya mendekatkan bibirnya ke telinga Davinka dan berbicara dengan nada penuh penekanan hingga membuat tubuh yang sedang dia dekap gemetar karena takut. "Kamu sudah berjanji akan menjadi wanitaku yang penurut, Davinka. Maka lakukanlah dengan baik. Ingat, nyawa mantan suamimu masih ada dalam kendaliku. Dia masih membutuhkan banyak uang di setiap satu tarikan napasnya!" 'Apa pria kembali menekanku dengan hal yang sama? Bedebah!' Mata merah Davinka semakin membesar di setiap kata yang diucapkan oleh Sanjaya dengan napasnya yang bergemuruh hebat. Sanjaya tahu, Davinka tidak terima dengan apa yang dia katakan, dan itu yang semakin membuat jari tangan pria itu menekan kuat rahang Davinka hingga meninggalkan bekas kukunya. "Apa kamu tidak suka, hah! Tapi itulah yang akan saya lakukan untuk membuatmu dan Yudha me
'Wanita aneh, apa dia suka sama saya? Konyol! Lihat mukanya, mesum,' pikir Sanjaya seolah tahu apa yang tengah dirasakan oleh Davinka. Sanjaya semakin menekuk alisnya dengan sorot mata yang tajam, berkata dengan sinis, "Minggir, kamu tahukan dimana letak meja makannya?" Merasa cintanya bertepuk sebelah tangan, Davinka mengeritingkan bibirnya dengan satu alis terangkat. 'Dasar nyebelin!' Wanita itu benar-benar kesal. Tidak ingin semakin merasa kesal, Davinka bangun dan meninggalkan Sanjaya beserta Reno di sofa. Padahal jelas, Sanjaya menyuruh Davinka untuk pergi ke meja makan. Tapi, wanita itu malah naik ke lantai dua dimana kamarnya berada, dan itu semakin membuat Sanjaya kesal. Sepanjang jalan menuju kamar Davinka selalu mengeram tanpa henti dengan sisa kekesalannya. "Dasar cowok aneh, kadang bilang sayang, kadang bilang Davinku, kadang tubuh ini milikku! Sekarang aja, 'minggir!' Cek, dasar aneh!" Davinka bahkan memb
Sanjaya menarik selimut dan menutupi tubuh yang hanya mengenakan bra dan celana dalam merah. Wanita ini benar-benar sangat tidak tahu malu, dia tidur hanya mengenakan pakaian dalam. Padahal, wanita ini tahu Reno sangat ingin tidur dengannya. Davinka sebenarnya mendengar teriakkan Sanjaya, akan tetapi dirinya terlalu malas untuk meladeni pria itu yang sudah membuatnya marah karena tidak diizinkan menyentuh Reno. Bahkan dengan sengaja memberikan tatapan membunuhnya. Setelah memastikan tubuh Davinka tertutup selimut, Sanjaya beru berani menurunkan Reno dan mendudukkannya di ranjang yang sama dengan Davinka. "Tunggu di sini, Om akan tutup jendela dulu," pinta pria itu seraya bergegas menuju balkon dan menutupnya rapat. Reno yang sudah tidak sabar ingin memeluk Davinka langsung merangkak mendekati tubuh yang sangat ingin dia dekap dan masuk kedalam balik selimut dengan senyum yang sangat lebar. Setelah menutup tubuhnya dan Mommy Tantenya, Reno menghujami seluruh wajah Davinka dengan bib
Davinka mengerang dalam ketidakberdayaannya, menatap Sanjaya dengan marah. Pria ini semakin aneh dengan semua tuduhannya. 'Dasar gila!' "Saya berharap begitu, Tuan. Mungkin saya tidak perlu ada di sana dan bertemu dengan Anda," ujar Davinka dengan wajah datar. Jawaban Davinka sama sekali tidak membuatnya merasa puas. Pria itu lalu bersandar pada kepala ranjang dan membuatnya senyaman mungkin. Dari ujung matanya, Sanjaya melihat tubuh Davinka sedikit berayun dan menggoyang tubuh kecil Reno dalam dekapan wanita itu. 'Davinka sangat lembut, naluri keibuannya sangat terlihat nyata.' Dalam diam Sanjaya memperhatikan semua tingkah Davinka. "Kenapa?" tanya Sanjaya memecah kesunyian. Dia tidak suka merasakan kesunyian tanpa nikotinnya. Tapi mau bagaimana lagi, di sini ada Reno, dan anak itu sangat ketakutan. "Apa Anda yakin mau mendengarnya? Davinka bertanya balik. Ia hanya tidak ingin pria itu kembali marah-marah dan membuat Reno ketakutan. Dan benar saja, belum apa-apa pria itu berdec
Seolah mendukung. Siang itu mendadak langit berubah mendung dengan butiran-butiran air hujan yang sangat tajam menghujani punggung Sanjaya yang tengah bersimpuh dengan kedua telapak tangan menutup wajahnya. "Diandra!!" Teriak Sanjaya berulang kali memanggil nama istrinya. Teriakan itu sama kencangnya dengan suara petir yang tengah mengamuk di langit sana. Awalnya dia pikir Diandra-nya hanya marah hingga setiap panggilan telepon yang dia lakukan tidak pernah tersambung sejak 3 hari yang lalu ketika dirinya mengabaikan puluhan panggilan yang dilakukan oleh Diandra ditengah meeting yang berlangsung. Para pelayat berhamburan pergi, mengabaikan Sanjaya yang masih meraung-raung menangisi istrinya. Siapapun tidak akan ada yang mampu menghapus duka pria itu. Seolah berkata, 'biarkan pria itu mengutarakan kemarahannya pada alam. Jika bukan saat ini, kapan lagi!' "Ahhhh⊠kamu tidak boleh pergi Ra, tidak boleh!" Sanjaya bangun dan merusak semua karangan bunga yang berjejer rapi hingga tak
Davinka kembali menoleh pada Wulan dan menggenggam tangannya, menatap wanita itu penuh hormat, berkata dengan suara yang lembut dan penuh permohonan, "Mah, aku tidak dibesarkan oleh seorang ibu dan tidak banyak orang yang aku kenal. Sekarang aku memanggilmu Mama. Emm, Mama mau, kan, menjadi ibuku dan merestui pernikahanku!"Pupil matanya melebar, terus menatap Wulan penuh harap. Akankah Wulan memenuhi keinginannya?Wulan sendiri kehilangan kata-katanya. Air mata kembali mengalir deras dengan isakkan tertahan. Wanita itu hanya mengangguk sebagai jawaban.Bodoh! Anak sebaik ini, bagaimana ia bisa menyakitinya dan menolaknya berulang kali!Davinka mengangguk dengan senyum lebarnya, lalu memeluk tubuh gemetar itu dengan penuh kehangatan."Terima kasih, mulai sekarang aku punya Mama." Bisik Davinka dengan elusan lembut di punggung Wulan.Davinka mengurai pelukan, menarik tangan Sanjaya agar menjabat tangan Wulan, "Sekarang Mama Wulan adalah ibu mertuamu, cepat sungkem!"Sanjaya tercengang.
Mendengar ibunya berkata seperti itu membuat Yudha bangun dari duduknya dan meraih tangannya."Ini semua karena Yudha. Mama hanya korban dari obsesi Yudha! Sudah, semua sudah selesai. Biar Yudha yang menanggung semua ini!" Tegas pria itu. Kini aura kehidupan sudah terlihat di wajahnya. Davinka yang asli sering menolaknya dengan kata-kata kasar karena ke keraskepalaannya.Penyesalan, kekecewaan, dan amarah terpancar jelas. Akan tetapi, semua ditujukan kepada dirinya sendiri."Tidak ada yang akan masuk penjara. Semua hanya karena kesalahpahaman!" tanam Sandy, "Tuan Sanjaya mengembalikan semua yang sudah diambilnya," ujarnya lagi yang membuat mereka semua tercengang."Mak-maksudnya?"Kebingungan jelas terlihat dari bagaimana cara mereka bereaksi. Entah apa yang diambil dan harus dikembalikan."Toko elektronik suami Anda beserta isinya dan beberapa calon investor sudah ada di dalam dokumen ini. Kalian tidak bisa menolak! Ja
"Udah malem! bye, Rani âŠ." Davinka langsung menutup pintunya rapat.Rani membalikkan tubuhnya, kamar itu sudah temaram. Yang membuat ia menggigit bibir bawahnya adalah, Sandy berada di tengah ranjang dengan memeluk Inggi. Putrinya malah ada di sisi lainnya ranjang itu.'Ais ⊠jadi gue harus tidur disamping dia?' jerit Rani dalam hatinya.Bersentuhan dengan kulitnya saja sudah hampir membuatnya seperti terbakar. Tapi ini âŠ.Pikirannya terhenti."Mau sampai kapan kamu di sana!" Suara bariton itu menggema dalam remangnya kamar hingga mampu membuat bulu kuduk Rani meremang sempurna.Suara serak Sandy menandakan bahwa pria itu sudah sempat tertidur, terdengar sangat menggoda di telinganya hingga jantungnya mulai berdetak lebih hebat. Rani mulai melangkah dengan kaki beratnya. Ia tahu malam ini harus tidur di ranjang yang sama dengan Sandy. Mampukah?Ini memang bukan malam pertama mereka. Tapi, tidur tepat di sisi pria itu hampir tidak pernah terjadi selama tiga Minggu mereka menikah."Di-d
'Aku tahu, aku sedang dihukum atas semua kejahatan-kejahatanku. Tapi kenapa tidak ambil saja nyawaku daripada membuat semua orang menderita bersamaku!'Venti mulai merasa depresi dengan keadaannya. Kata-kata berikutnya semakin membuatnya tenggelam."Itu jauh lebih bagus. Di kantor Papa bisa fokus bekerja. Tadinya Papa hanya akan pergi saat mendesak saja. Tapi melihat cinta kalian, Papa merasa sangat lega!"Davinka melihat suster membawa sesuatu di tangannya. "Apa itu, Sus? Apa makan siang mama?""Ya, Nyonâ""Panggil ibu saja. Saya lebih nyaman dengan itu!" pangkas Davinka cepat. Dia sudah sangat risih dengan sebutan nyonya-nonyaan.Suster itu mengangguk dan berjalan mendekati Davinka, memperlihatkan apa yang ia bawa."Ini bubur cair. Nyonya Venti hanya dapat makan ini sementara waktu sampai bisa mengunyah kembali," jelas suster itu.Dengan wajah murung dan dan air mata yang hampir jatuh, Davinka terus menatap ib
"Keadaannya tidak akan membaik hanya karena kamu membatalkan resepsi kita, Ra!" Dan ini akan selalu menjadi panggilan untuk Diandra walaupun kini sudah mengganti nama Davinka dan melupakan panggilan Davin-nya."Baiklah, aku kalah dari kalian!" desahnya sambil menatap kelima pria ini yang sekarang berada dikamar perawatan Venti."Ayo! Rasty dan yang lainnya sudah menunggu di rumah," ujar Noel mengingatkan.Mereka akan pulang ke apartemen mewah Sanjaya. Noel sendiri setelah resepsi akan kembali ke Singapura dan menetap disana. Insiden berdarah di rumahnya sama sekali tidak pernah terpublikasikan. Ada keinginan untuk menjual rumah itu, tapi Davinka menolaknya. Bagaimanapun, rumah itu memiliki kenangan untuk Davinka ataupun Diandra.Brata menyewa satu jasa suster untuk merawat istrinya. Sebenarnya ia ingin dua orang agar mereka bisa bergantian menjaga. Tapi, menantunya ini menolak dengan alasan Venti sekarang memiliki empat orang anak. Satu suster sudah cukup."Kenapa tidak pulang kerumah
Ketika semua tidak seperti apa yang kita rencanakan maka, pasrahkan, serahkan, ikhlaskan âŠ. Biarkan tangan Tuhan yang melanjutkan karena, seberapa gigih pun kita mencoba, tanpa jamahan tangannya semua akan sia-sia.Venti sudah mengerahkan seluruh kemampuannya untuk menyingkirkan Diandra agar menjauh dari putranya. Tapi apa? Semakin ia berusaha, semakin mendekatkan mereka hingga akhirnya membuat dirinya seperti ini sekarang. Bahkan, kematian lebih baik daripada kehidupan yang menyiksa ini.Dari tempatnya berbaring, Venti terus menatap wajah Davinka. Wajah cantik itu memang sangat berbeda dengan milik Diandra kecuali, mata, bibir, siluet dan suaranya yang sangat ia kenal.Seharusnya dia tahu akan hal ini karena Noel adalah bedah plastik terbaik di negaranya hingga mendapatkan pekerjaan di Singapura."Kita harus mencari dokter terapis terbaik, mama tidak bisa terus seperti ini!" bujuk Davinka disela isak tangisnya.'Apa dia menangis untukku? Menangisi aku yang jahat ini?' bagaimana mana
Para polisi langsung mengamankan Laura. Peluru mengenai dadanya dan langsung tembus ke jantung. Bukan hanya satu, tapi dua sekaligus hingga menewaskan wanita itu.Ambulance dan beberapa polisi sudah datang, mereka ditelpon oleh Noel dan Brata."Sanja!" panggil Davinka saat melihat suaminya terbaring lemas. Noel dan Sandy sudah ada disana memberikan pertolongan pertama."Aku gak papa," sahutnya menenangkan.Dengan kaki gemetar, Davinka membawa Renhart mendekat pada Sanjaya dan bersimpuh di hadapannya. Sanjay menyentuh wajah putranya dan bertanya dengan suara yang parau. Berusaha untuk tetap tersadar, "Kamu gak papa, kan? Apa ada yang sakit?"Pria itu melihat bagaimana Renhart di bekap oleh Laura.Renhart menggeleng, "Papa pasti kesakitan. Itu pasti sakit."Anak itu bicara di sela isak tangisnya. Merasa sangat khawatir. Renhart tahu Papanya sengaja melakukan itu agar peluru tidak mengenai tubuhnya. Ia melihat sendiri Papanya langsung melompat saat wanita jahat itu berteriak memintanya u
Suhu di ruangan itu mendadak berubah dibawah nol derajat. Suasananya lebih dingin dari kutub Utara. Siapapun tidak berani mengambil napas dengan semaunya. Mereka hanya tidak ingin mengeluarkan suara dan mengganggu konsentrasi.Laura masih menatap puas apa yang ada di hadapannya, bagaimana musuh terbesar ibunya kini sudah tidak terselamatkan lagi. Wajah Venti sudah terlihat bengkok dan kaku, napasnya sedikit terengah-engah, terlihat sangat kesakitan.Venti masih belum bisa memalingkan wajahnya dari tempat Davinka berdiri. Hanya suara geraman yang lolos dari bibir wanita itu yang sedikit membiru."Ini lebih bagus dari kematian. Kamu tersiksa sebelum ajal menjemput! Hahah!" Sandy melangkah maju. Tapi sial, ternyata telinga Laura sangat peka. Wanita itu kembali fokus pada Renhart dalam dekapan lengangnya."Apa kalian gila!" teriak wanita itu. Laura memutar tubuhnya dengan Renhart dalam lengannya, pistol terus menempel pada kepala anak itu dan siapa di tekan kapanpun. Ia menatap semua y
Suara benda jatuh dan teriakan menggema dari arah pintu dapur. Suara langkah kaki mulai terdengar semakin dekat. Venti yang masih menggenggam tangan Davinka merasa sangat bingung dengan nama ayah Davinka yang sama persis seperti nama ayah Diandra. Wanita itu masih berpikir keras dan berusaha mengenyahkan semua ketakutannya.'Ini pasti hanya kebetulan, kan?' tanyanya dalam hati, 'apa mereka saudara, satu ayah, atauâ' Suaranya terhenti. Venti melihat genggaman tangannya yang masih menggenggam tangan Davinka yang kini dipaksa lepas oleh suaminya sudah terbuka dan tangan Davinka hilang dalam genggaman tangannya."Apa yang kamu pikirkan? Sekarang putra kita sudah sah menjadi suami Davinka," tukas pria berusia mengingat istrinya yang masih diam membisu. Pikirannya bahkan terlihat kosong.Brata membantu Davinka agar duduk disisi Sanjaya. Mereka mulai menandatangani berkas pernikahan. Namun, saat penghulu menyerahkan dua buku merah dan hijau, teriakan seseorang menghentikan pergerakannya.