Semoga suka đđ
Devinka berjalan dengan sangat hati-hati, takut anak di dalam gendongannya terjatuh. Ini hal baru baginya, dia begitu antusias. "Apa anak-anak selalu seperti ini, emm ⌠Nonaâ" Devinka menghentikan pertanyaannya karena tidak tahu nama ibu dari anak yang sedang digendong. "Rasty, panggil saya Rasty. Sepertinya usia kita tidak jauh berbeda," jelas Rasti yang tahu mengapa wanita ini menghentikan ucapannya. "Tidak semua anak-anak, Rino memang sangat spesial. Banyak perjuangan untuk mendapatkannya," jawab Rasty tersenyum tipis. Davinka melihat keengganan Rasty saat mengenang kelahiran putranya. Devinka duduk dengan sangat hati-hati dibantu oleh Rasty dan Sanjaya. Kemudian pria itu duduk di seberang kursi yang lainnya. Menatap Reno dan wanitanya yang begitu intim, seperti melihat ibu dan putranya. "Sandy, pergilah istirahat, besok pagi kita mengunjungi pabrik," pinta Sanjaya. Ini sudah diluar jam kerja sekretarisnya. Sandy sedikit membungkuk, "Baik, Tuan. Panggil saya jika butuh sesu
Sanjaya kembali bangun dari duduknya dan mengangkat Reno dalam gendongan Davinka, dengan hati-hati dia memberikannya pada Rasty. "Tidak sekarang Reno kecil bersama Davinka," ucap pria itu dengan suara yang sangat pelan. "Tapâ" perkataan dua wanita cantik itu langsung terputus saat Sanjaya memberi instruksi agar diam, dan tidak membangunkan Reno. "Rasty, jaga anakmu, dia wanitaku!" tegas Sanjaya dingin. Dia tidak suka jika Davinka dekat dengan Reno. Walaupun Reno anak kecil, sepertinya dia memiliki insting yang sangat bagus. Udara disana untuk sesaat membeku, secara tidak langsung Sanjaya telah mengumumkan pada publik Davinka adalah miliknya yang tidak ingin dibagi dengan siapapun. Rasty ternganga. 'Apa kebiasaan buruk kakakku sudah sembuh?' dalam hatinya dia bersorak. Setelah memastikan Reno masih tidur pulas, Sanjaya menarik lengan Davinka dan memintanya bangun. "Kita masih ada urusan yang mau dikerjakan. Malam ini kamu lembur!" bisiknya di telinga wanita itu yang mampu membu
'Eh! Kenapa jadi gue yang goda dia?' tanyanya pada dirinya sendiri. Wanita itu terlihat frustasi dengan wajah yang merah padam. Jelas ini bukan maunya Davinka. Memakai handuk kecil yang pas membalut tubuhnya adalah ketidakberdayaannya. Daripada menjadi tersangka, Davinka memilih menjadi pelaku kejadian. Dia mengangkat wajahnya tinggi, menggenggam simpul handuknya seolah takut jatuh, mulai berjalan dengan lengokan bak peragawati dengan gerakan slow motion. Sanjaya yang melihatnya sampai terperangah, pria itu sampai sulit menelan ludahnya sendiri, 'Apa dia benar-benar menggodaku? Sial, jika begini mana bisa aku menahannya!' Sanjaya sudah terjebak dengan godaannya sendiri. Kini wajah Sanjaya terlihat lebih menderita dari Davinka. Sanjaya benar-benar terjebak antara gairah dan perkataan dokter. Dia tidak sekejam itu untuk menghancurkan rahim seseorang. Menolaknya sama saja dengan menghianati juniornya. Ahhh, bagaimana i
Sandy menatap Rasty iba, dia pun sempat berpikir hal yang sama, Tuannya sudah pulih dari depresi. Buktinya, Tuanya hanya menginginkan tubuh Davinka, bukan wanita lain. "Pasti ada yang memicu amarahnya, Nona. Saya akan melihatnya," ujar Sandy menangkan. Sandy tidak ingin Rasty masuk dan membuat Tuannya semakin marah, yang mungkin akan melukai wanita itu. Pria itu mulai melangkah masuk saat suara benda jatuh kembali terdengar. "Tunggu Kak Sandy," Rasty menghentikan pergerakan Sandy. Saat pria itu menoleh, Rasty melanjutkan kata-katanya, "Biarkan Reno yang masuk, Kakak pasti luluh oleh Reno." Setelah mengatakan itu, Rasty langsung berbalik dan bergeser ke kamarnya. Sandy panik. Bagaimana bisa Reno masuk di saat seperti ini. Sanjaya pasti akan terlihat buruk di depan anak itu. Bagaimana jika Reno yang ketakutan. "Nona, tunggu!" teriaknya menghentikan Rasty. "Ada apa, Kak. Kita harus cepat, mungkin saja Kak Jay terluka!" Rasty semakin panik. Wanita itu kembali berbalik, tapi ucapan S
Sanjaya melepaskan dekapannya, merangkum wajah Davinka dengan kedua telapak tangan. "Berjanjilah, kamu tidak akan pergi dariku, Ra," pintanya penuh permohonan. Davinka menatap Sanjaya bingung. Walaupun dirinya sedang berperan menjadi Diandra, tapi pertanyaannya itu dilontarkan padanya. Davinka tidak bisa menjawab pertanyaan penuh permohonan itu. Dia bukan Diandra-nya Sanjaya, bukan? Dia Davinka-nya Yudha, pria yang terbaring koma di sebuah rumah sakit. Davinka hanya diam membatu dengan derai air mata. Baginya, janji adalah hutang. Sanjaya kini mencengkram rahang Davinka kuat. "Apa kamu tidak mencintaiku lagi, Ra? Apa tidak ada lagi cinta untukku? Katakan?!" Kebungkaman Davinka kembali membuat Sanjaya marah. "A-aku âŚ." Davinka tidak bisa melanjutkan kata-katanya. Apa yang harus dirinya jawab. Davinka dalam kebingungan. "AagrhhhhâŚ!" Dengan kuat, Sanjaya mendorong bahu Davinka. Istrinya ternyata sangat keras kepala. Jadi, ternyata benar Istrinya mencintai orang lain! "Ahh âŚ,"
Sanjaya butuh jawaban wanita ini. "Ya, Tuan, tadi malam saya tidak sengajaâahh!" Lagi-lagi Davinka tidak bisa melanjutkan ucapannya, pria itu langsung membopong tubuhnya dan kembali membaringkannya di atas ranjang. Sanjaya mengambil kotak P3K di atas nakas bekas Davinka mengobati lukanya. "Dasar bodoh, seharusnya obati dulu lukamu, baru mengobati luka orang lain!" Tegur Sanjaya sambil menuang alkohol di atas kapas. Pria itu benar-benar tidak tahu atau tidak sadar yang jika bergerak, kejantanannya yang terkulai akan selalu melambai kesana kemari. "Baik, saya akan mengingatnya," jawab Davinka acuh. Wanita itu masih menatap ke langit-langit tidak berani menunduk ke arah Sanjaya. "Aku sedang bicara denganmu, Davinka. Bukan pada orang lain!" Sanjaya menarik kaki Davinka yang terluka. Sanjaya sangat jengkel karena tidak dianggap oleh wanita itu! Davinka berusaha menariknya kembali saat tanpa sengaja ujung jempolnya menyentuh kulit yang terasa hangat. Kulit siapa lagi kalau bukan
"Kamu boleh membenciku, Davinka, karena telah memperlakukan tubuhmu dengan buruk," ucap pria itu tulus. Dia memang tidak seharusnya melakukan hal ini kepada Davinka. "Tidak apa-apa Tuan, Seperti yang Anda katakan, tubuh ini milik Anda. Saya hanya ngontrak di dalam sana," Davinka cemberut saat mengatakan itu, hingga membuat Sanjaya ingin tertawa terbahak-bahak melihat wajahnya yang lucu. Sanjaya memagut bibir Davinka dan menyesapnya sebentar karena gemas dan membuat mata wanita itu terbelalak lebar karena tidak percaya dengan aksi dadakkannya. "Tuan âŚ," Protes Davinka. "Kamu harus membayar sewanya, Davinka!" tegas pria itu tanpa tahu malu. Davinka merengut, haruskah jiwanya ini terbebas dari raganya agar tidak membayar sewa. Akhirnya, dia mencoba negosiasi. "Tapi saya sudah tidak punya uang, Tuan. Saya belum gajian," Davinka menunduk karena frustasi, "bulan ini saya gak dapet bonus," ujarnya lagi terdengar sangat lirih. Semakin gemas, Sanjaya kembali mengangkat dagu Davinka, da
'Eh, kayaknya si Sanja ketinggalan di kamar atas. Sekarang yang ada di depan gue Tuan sanjaya yang sombong!' "Baik, Tuan," jawab Davinka akhirnya tanpa berani menatap wajah Sanjaya.Sanjaya merapihkan kursi roda agar Davinka dapat menikmati sarapannya dengan mudah."Habiskan sarap—"Ucapan Sanjaya terhenti saat suara Reno yang lucu memanggil Davinka dengan penuh antusias."Mommy Tante!" Seru anak itu sambil berlari ke arah Davinka, sedikit menjinjit agar dapat mencapai pipi Tante barunya saat sudah dekat.Davinka paham akan mau bocah itu, sedikit membungkuk agar Reno dapat meraih pipinya dan mendaratkan bibirnya yang basah."Celamat pagi Mommy Tante!" seru anak kecil itu. Senyum cerah terlihat di wajahnya yang cabi."Selamat pagi, Sayang …." Balas Davinka sambil mengelus rambut hitam legam Reno.Sanjaya melongo, sekarang dirinya sudah benar-benar tergantikan posisinya oleh Davinka di hati keponakannya yang tampan i
Davinka kembali menoleh pada Wulan dan menggenggam tangannya, menatap wanita itu penuh hormat, berkata dengan suara yang lembut dan penuh permohonan, "Mah, aku tidak dibesarkan oleh seorang ibu dan tidak banyak orang yang aku kenal. Sekarang aku memanggilmu Mama. Emm, Mama mau, kan, menjadi ibuku dan merestui pernikahanku!"Pupil matanya melebar, terus menatap Wulan penuh harap. Akankah Wulan memenuhi keinginannya?Wulan sendiri kehilangan kata-katanya. Air mata kembali mengalir deras dengan isakkan tertahan. Wanita itu hanya mengangguk sebagai jawaban.Bodoh! Anak sebaik ini, bagaimana ia bisa menyakitinya dan menolaknya berulang kali!Davinka mengangguk dengan senyum lebarnya, lalu memeluk tubuh gemetar itu dengan penuh kehangatan."Terima kasih, mulai sekarang aku punya Mama." Bisik Davinka dengan elusan lembut di punggung Wulan.Davinka mengurai pelukan, menarik tangan Sanjaya agar menjabat tangan Wulan, "Sekarang Mama Wulan adalah ibu mertuamu, cepat sungkem!"Sanjaya tercengang.
Mendengar ibunya berkata seperti itu membuat Yudha bangun dari duduknya dan meraih tangannya."Ini semua karena Yudha. Mama hanya korban dari obsesi Yudha! Sudah, semua sudah selesai. Biar Yudha yang menanggung semua ini!" Tegas pria itu. Kini aura kehidupan sudah terlihat di wajahnya. Davinka yang asli sering menolaknya dengan kata-kata kasar karena ke keraskepalaannya.Penyesalan, kekecewaan, dan amarah terpancar jelas. Akan tetapi, semua ditujukan kepada dirinya sendiri."Tidak ada yang akan masuk penjara. Semua hanya karena kesalahpahaman!" tanam Sandy, "Tuan Sanjaya mengembalikan semua yang sudah diambilnya," ujarnya lagi yang membuat mereka semua tercengang."Mak-maksudnya?"Kebingungan jelas terlihat dari bagaimana cara mereka bereaksi. Entah apa yang diambil dan harus dikembalikan."Toko elektronik suami Anda beserta isinya dan beberapa calon investor sudah ada di dalam dokumen ini. Kalian tidak bisa menolak! Ja
"Udah malem! bye, Rani âŚ." Davinka langsung menutup pintunya rapat.Rani membalikkan tubuhnya, kamar itu sudah temaram. Yang membuat ia menggigit bibir bawahnya adalah, Sandy berada di tengah ranjang dengan memeluk Inggi. Putrinya malah ada di sisi lainnya ranjang itu.'Ais ⌠jadi gue harus tidur disamping dia?' jerit Rani dalam hatinya.Bersentuhan dengan kulitnya saja sudah hampir membuatnya seperti terbakar. Tapi ini âŚ.Pikirannya terhenti."Mau sampai kapan kamu di sana!" Suara bariton itu menggema dalam remangnya kamar hingga mampu membuat bulu kuduk Rani meremang sempurna.Suara serak Sandy menandakan bahwa pria itu sudah sempat tertidur, terdengar sangat menggoda di telinganya hingga jantungnya mulai berdetak lebih hebat. Rani mulai melangkah dengan kaki beratnya. Ia tahu malam ini harus tidur di ranjang yang sama dengan Sandy. Mampukah?Ini memang bukan malam pertama mereka. Tapi, tidur tepat di sisi pria itu hampir tidak pernah terjadi selama tiga Minggu mereka menikah."Di-d
'Aku tahu, aku sedang dihukum atas semua kejahatan-kejahatanku. Tapi kenapa tidak ambil saja nyawaku daripada membuat semua orang menderita bersamaku!'Venti mulai merasa depresi dengan keadaannya. Kata-kata berikutnya semakin membuatnya tenggelam."Itu jauh lebih bagus. Di kantor Papa bisa fokus bekerja. Tadinya Papa hanya akan pergi saat mendesak saja. Tapi melihat cinta kalian, Papa merasa sangat lega!"Davinka melihat suster membawa sesuatu di tangannya. "Apa itu, Sus? Apa makan siang mama?""Ya, Nyonâ""Panggil ibu saja. Saya lebih nyaman dengan itu!" pangkas Davinka cepat. Dia sudah sangat risih dengan sebutan nyonya-nonyaan.Suster itu mengangguk dan berjalan mendekati Davinka, memperlihatkan apa yang ia bawa."Ini bubur cair. Nyonya Venti hanya dapat makan ini sementara waktu sampai bisa mengunyah kembali," jelas suster itu.Dengan wajah murung dan dan air mata yang hampir jatuh, Davinka terus menatap ib
"Keadaannya tidak akan membaik hanya karena kamu membatalkan resepsi kita, Ra!" Dan ini akan selalu menjadi panggilan untuk Diandra walaupun kini sudah mengganti nama Davinka dan melupakan panggilan Davin-nya."Baiklah, aku kalah dari kalian!" desahnya sambil menatap kelima pria ini yang sekarang berada dikamar perawatan Venti."Ayo! Rasty dan yang lainnya sudah menunggu di rumah," ujar Noel mengingatkan.Mereka akan pulang ke apartemen mewah Sanjaya. Noel sendiri setelah resepsi akan kembali ke Singapura dan menetap disana. Insiden berdarah di rumahnya sama sekali tidak pernah terpublikasikan. Ada keinginan untuk menjual rumah itu, tapi Davinka menolaknya. Bagaimanapun, rumah itu memiliki kenangan untuk Davinka ataupun Diandra.Brata menyewa satu jasa suster untuk merawat istrinya. Sebenarnya ia ingin dua orang agar mereka bisa bergantian menjaga. Tapi, menantunya ini menolak dengan alasan Venti sekarang memiliki empat orang anak. Satu suster sudah cukup."Kenapa tidak pulang kerumah
Ketika semua tidak seperti apa yang kita rencanakan maka, pasrahkan, serahkan, ikhlaskan âŚ. Biarkan tangan Tuhan yang melanjutkan karena, seberapa gigih pun kita mencoba, tanpa jamahan tangannya semua akan sia-sia.Venti sudah mengerahkan seluruh kemampuannya untuk menyingkirkan Diandra agar menjauh dari putranya. Tapi apa? Semakin ia berusaha, semakin mendekatkan mereka hingga akhirnya membuat dirinya seperti ini sekarang. Bahkan, kematian lebih baik daripada kehidupan yang menyiksa ini.Dari tempatnya berbaring, Venti terus menatap wajah Davinka. Wajah cantik itu memang sangat berbeda dengan milik Diandra kecuali, mata, bibir, siluet dan suaranya yang sangat ia kenal.Seharusnya dia tahu akan hal ini karena Noel adalah bedah plastik terbaik di negaranya hingga mendapatkan pekerjaan di Singapura."Kita harus mencari dokter terapis terbaik, mama tidak bisa terus seperti ini!" bujuk Davinka disela isak tangisnya.'Apa dia menangis untukku? Menangisi aku yang jahat ini?' bagaimana mana
Para polisi langsung mengamankan Laura. Peluru mengenai dadanya dan langsung tembus ke jantung. Bukan hanya satu, tapi dua sekaligus hingga menewaskan wanita itu.Ambulance dan beberapa polisi sudah datang, mereka ditelpon oleh Noel dan Brata."Sanja!" panggil Davinka saat melihat suaminya terbaring lemas. Noel dan Sandy sudah ada disana memberikan pertolongan pertama."Aku gak papa," sahutnya menenangkan.Dengan kaki gemetar, Davinka membawa Renhart mendekat pada Sanjaya dan bersimpuh di hadapannya. Sanjay menyentuh wajah putranya dan bertanya dengan suara yang parau. Berusaha untuk tetap tersadar, "Kamu gak papa, kan? Apa ada yang sakit?"Pria itu melihat bagaimana Renhart di bekap oleh Laura.Renhart menggeleng, "Papa pasti kesakitan. Itu pasti sakit."Anak itu bicara di sela isak tangisnya. Merasa sangat khawatir. Renhart tahu Papanya sengaja melakukan itu agar peluru tidak mengenai tubuhnya. Ia melihat sendiri Papanya langsung melompat saat wanita jahat itu berteriak memintanya u
Suhu di ruangan itu mendadak berubah dibawah nol derajat. Suasananya lebih dingin dari kutub Utara. Siapapun tidak berani mengambil napas dengan semaunya. Mereka hanya tidak ingin mengeluarkan suara dan mengganggu konsentrasi.Laura masih menatap puas apa yang ada di hadapannya, bagaimana musuh terbesar ibunya kini sudah tidak terselamatkan lagi. Wajah Venti sudah terlihat bengkok dan kaku, napasnya sedikit terengah-engah, terlihat sangat kesakitan.Venti masih belum bisa memalingkan wajahnya dari tempat Davinka berdiri. Hanya suara geraman yang lolos dari bibir wanita itu yang sedikit membiru."Ini lebih bagus dari kematian. Kamu tersiksa sebelum ajal menjemput! Hahah!" Sandy melangkah maju. Tapi sial, ternyata telinga Laura sangat peka. Wanita itu kembali fokus pada Renhart dalam dekapan lengangnya."Apa kalian gila!" teriak wanita itu. Laura memutar tubuhnya dengan Renhart dalam lengannya, pistol terus menempel pada kepala anak itu dan siapa di tekan kapanpun. Ia menatap semua y
Suara benda jatuh dan teriakan menggema dari arah pintu dapur. Suara langkah kaki mulai terdengar semakin dekat. Venti yang masih menggenggam tangan Davinka merasa sangat bingung dengan nama ayah Davinka yang sama persis seperti nama ayah Diandra. Wanita itu masih berpikir keras dan berusaha mengenyahkan semua ketakutannya.'Ini pasti hanya kebetulan, kan?' tanyanya dalam hati, 'apa mereka saudara, satu ayah, atauâ' Suaranya terhenti. Venti melihat genggaman tangannya yang masih menggenggam tangan Davinka yang kini dipaksa lepas oleh suaminya sudah terbuka dan tangan Davinka hilang dalam genggaman tangannya."Apa yang kamu pikirkan? Sekarang putra kita sudah sah menjadi suami Davinka," tukas pria berusia mengingat istrinya yang masih diam membisu. Pikirannya bahkan terlihat kosong.Brata membantu Davinka agar duduk disisi Sanjaya. Mereka mulai menandatangani berkas pernikahan. Namun, saat penghulu menyerahkan dua buku merah dan hijau, teriakan seseorang menghentikan pergerakannya.