Dengan sekali tendang, Sanjaya membuat meja terguling dan semua barang di atasnya hancur.
Beberapa orang sudah menyingkir, menjauh, musik sudah dimatikan. Mereka tahu sedang terjadi sesuatu yang tidak baik, tapi tidak ingin ikut campur, Sanjaya sepertinya salah satu orang berpengaruh dan mereka tidak ingin mengambil resiko.
"Cari wanita itu, atau aku leburkan tempat ini menjadi abu!" Setelah mengatakan itu Sanjaya langsung pergi meninggalkan Madam yang menggigil ketakutan.
Tapi pendiriannya tetap teguh, rumah bordirnya adalah yang terbaik, tidak mudah membangun reputasi ini. Jika dia memberikan informasi tentang wanita yang memang minta kerahasiaan identitasnya, maka di masa depan mungkin tidak akan ada yang mempercayakan diri mereka di tempatnya lagi. Itu sama saja menghancurkan bisnisnya.
*
Sebuah mobil sport berwarna merah darah dengan dengan logo kuda loncat berhenti tepat di depan pintu masuk Bank swasta, anak cabang dari Bank BRC dimana Sanjaya akan bekerja.
"Selamat datang Tu—" ucapan pria berkulit sawo matang langsung terhenti saat Sanjaya mengangkat tangannya.
"Aku tidak ingin mendengar panggilan itu, Kamu tahukan alasannya, Sandy!"
Sandy menunduk dan sedikit mengangguk, "Baik Pak, saya paham!"
Sanjaya melangkah masuk diikuti oleh Sandy pengawal sekaligus sekretaris Sanjaya.
Saat pria itu masuk semua orang memberi hormat dengan sedikit menundukkan tubuh mereka. Bersiap melakukan briefing di pagi awal kepemimpinannya.
"Tidak usah formal, biasa saja!" tegas Sanjaya.
Sanjaya tidak haus hormat, dia hanya ingin ketenangan dan melakukan tugasnya dengan baik. Karena itulah dia ada disini, disalah satu anak cabang Bank BRC dan menolak kepemimpinan di kantor pusat.
"Siapa saja tim marketing disini?" tanya Sanjaya dengan memandang satu persatu wajah karyawannya.
Tujuh orang melakukan hand up. Sanjaya kemudian mengalihkan pandangannya pada Sandy. "Shandy, saya ingin data tim marketing lengkap ada di ruangan saya."
"Baik Pak," jawab Sandy sambil melirik Tuannya.
Namun, padangan Sanjaya terpaku pada seorang wanita yang baru saja masuk kedalam dengan rambutnya yang sanggul rapi, terlihat sedikit kemerahan jika berdiri tepat di bawah sinar matahari.
Wanita itu tengah melakukan fingerprint dan mulai berjalan dengan begitu gemulai, itulah yang ada didalam benak Sanjaya yang melihat wanita itu seperti seorang bidadari yang turun dari kahyangan
Wanita itu memakai rok span diatas lutut dengan blazer berwarna biru tua. Namun, sepertinya Sanjaya tidak memperdulikan penampilan wanita itu, fokusnya hanya tertuju pada satu titik. Bibir penuh wanita itu yang di dilapisi oleh gincu berwarna nude.
"Apa kamu tahu ini jam berapa?" tanya Sanjaya menahan gejolak dalam tubuhnya yang mulai berdesir hebat.
Wanita itu mematung dengan bola matanya yang terbuka lebar, menatap lurus ke arah Sanjaya sampai netra mereka bertemu, tapi dengan cepat wanita itu menunduk, memutus kontak di antara mereka, dan Sanjaya tahu wanita itu menghindarinya.
"7:30 Pak."
Tubuh Sanjaya membatu dengan detak jantung yang sangat kuat. Suara itu, suara itu terdengar begitu familiar di telinganya.
Tapi, apakah dia pemilik suara yang sama, yang telah membuatnya mengerang dan mendesah dalam waktu yang bersamaan? Tapi, sepertinya tidak mungkin, tidak mungkin pegawainya melakukan hal serendah itu jika melihat dimana dia bekerja. Bisa saja wanita ini meminjam uang perusahaan, bukan malah melelang tubuhnya.
"Kenapa baru datang? Kamu tahukan, Bank buka jam delapan tepat?!"
Sanjaya tahu wanita ini sama sekali tidak terlambat, tapi ada sesuatu dalam diri wanita itu yang membuatnya sedikit tertarik, terutama bibir penuhnya yang penuh misteri ditambah dengan suaranya yang tidak asing. Anggap saja Sanjaya gila karena berpikiran mesum terhadap pegawainya, tapi peduli setan, dia ingin segera membuktikannya dan kembali menikmati tubuh wanita itu.
Dengan sedikit tergagap, wanita itu menjawab ucapan Sanjaya, "Ma-maaf Pak, tadi sedikit ma—"
"Jangan bilang karena macet, itu jawaban klise yang paling tidak ingin saya dengar!"
"Maaf, Pak. Tapi, memang macet," tukas wanita itu dengan sungguh-sungguh.
Sanjaya tidak benar-benar mengacuhkannya, dia hanya ingin tahu lebih dalam tentang wanita ini dan membuktikan apa yang ada dalam pikirannya. Tidak mungkin ada suara yang begitu mirip, bahkan sama persis. Bukan hanya satu, tapi tiga jika dihitung dengan mendiang istrinya.
"Tim marketing, ikut saya, kita meeting pagi ini!" Setelah mengatakan itu Sanjaya langsung melangkah pergi, meninggalkan wajah-wajah tegang yang menatapnya tidak percaya.
Acara briefing berhenti dengan tiba-tiba.
Setelah Sanjaya menjauh, Rena salah satu marketing menarik tangan wanita yang baru saja datang, "Lo kok, telat? Gak baca wa gue, yah?"
Wanita itu menggeleng dengan lemah, terlihat begitu frustasi.
"Udah, ngerumpinya nanti aja. Bos baru kita ini calon pewaris Bank BRC. Jadi mending cari aman aja, lah. Ayo!" ujar Andika memperingati.
"
Di ruangan rapat, tepatnya di lantai dua dimana Sanjaya memulainya dengan menatap satu persatu wajah yang ada disana, yang totalnya ada delapan orang dan berhenti cukup lama pada wanita incarannya.
"Siapa saja tim funding dan tim lending?" tanya Sanjaya sedikit bersemangat mencari tahu di tim mana wanita itu berada.
"Kami tim funding." ujar salah satu pegawai dengan mengangkat tangannya.
Sanjaya menahan senyum saat melihat wanita itu ikut mengangkat tangannya diantara empat orang lainnya.
"Okey, good. Empat founding dan empat lending. Bulan ini kita harus melebihi target, paling tidak 50 persen dari bulan kemarin. Berapa target kita bulan lalu?"
"26 miliar, Pak," jawab Sahrul sedikit ragu.
"Good, bisa lebih terperinci? Kamu, jelaskan rinciannya!" tunjuk Sanjaya pada salah satu tim lending.
"Deposit hampir 20 miliar, bancassurance 800 juta, 50 aplikasi kartu kredit dan tabungan lima miliar," jawab Salma mantap.
"Bagus." Sanjaya bangun dari duduknya dan berjalan ke arah whiteboard, mulai menuliskan sesuatu di sana.
"Saya ingin bulan ini kita mendapatkan 50% dari target bulan lalu, dan mendapat nilai yang lebih tinggi. Cek target kalian sebelumnya dan dikalikan dua!"
Sanjaya tahu ini tidak mungkin, dan sangat mustahil. Tapi sesuatu jika tidak ditekan jelas tidak akan maksimal hasilnya.
"Kamu." tunjuk Sanjaya pada wanita yang diincarnya, "ke ruangan saya dan ikut prospek hari ini!" Setelah mengatakan itu dia langsung meninggalkan ruang rapat, meninggalkan semua orang yang langsung gaduh setelah kepergiannya
"Gila, 50 m, dalam satu bulan?!" tanya Rani pada semua orang dan sentak semua orang mengangguk
"Ini pemerasan otak namanya!" pekik Andika dari tim funding sambil mondar-mandir di ruangan itu.
Rani menghampiri wanita incaran Sanjaya dan menepuk pundaknya, "Lo gak papa, kan, Vie?" "Yeah, gue gak papa Ran. Kaget aja pas dateng langsung briefing." tukas Davinka yang langsung berdiri. "Yaudah, gue siapin data calon nasabah dulu sebelum ke ruangan Bos baru kita." "Ganteng ya, Vie. Coba kalau kita belum punya suami, udah pasti paling depan godain Pak bos," ujarnya sedikit terkekeh. "Yah, ganteng buat yang single," sahut Davinka dengan senyum simpul. Tapi, detik berikutnya senyum itu langsung hilang dan tergantikan dengan wajah sendunya, "tapi buat istri kayak kita, tetep suami yang paling tampan, kan? Bagaimanapun keadaannya," sambungnya terdengar lirih. Rani melirik sekitar yang terlihat sepi, sepertinya semua orang sudah kembali pada kesibukan masing-masing. "Suami Lo udah lebih baik, kan, Vie?" Davinka membalas tatapan Rani dan tersenyum simpul, "Baik, makasih ya. Gue harap pengorbanan gue gak sia-sia." Rani langsung me
Di dalam ruangan Sanjaya, pria itu membuang apapun yang ada disekitarnya dengan marah. Dia yakin tidak salah mengenali orang. Wanita itu memang yang menemaninya kemarin malam. Semua bercak kemerahan itu adalah mahakaryanya. Walau kamar hotel dalam keadaan temaram, Sanjaya tahu setiap inci tubuh wanita yang dia sentuh. "Aagrhhhh!" Shandy berlari kencang ketika mendengar suara barang pecah yang begitu nyaring. Beberapa saat yang lalu Sanjaya meminta dirinya untuk mengosongkan lantai dua yang berdekatan dengan ruangannya setelah Davinka masuk kedalam. Kini, saat melihat tanda di pergelangan tangannya berkedip, Sandy langsung bergegas menuju lantai dua dan menunda rapat dadakan dengan para staf lainnya. "Tuan! Apa yang terjadi?" Sandy begitu panik saat melihat keadaan Sanjaya dengan telapak tangan pria itu yang mengeluarkan banyak darah. Sudah cukup, Tuannya ini sudah begitu menderita selama tiga tahun ini setelah kepergian mendiang istrinya. Sandy sudah tidak tahan melihat pria i
Suara dari seberang sana membuat tubuh Davinka seketika membatu, dia langsung berdiri dan menjatuhkan semua barang dalam kardus hingga berceceran. Pikirannya kalut, hingga tidak memperdulikan apapun lagi. Davinka berlari sangat kencang dengan rok span dan heels lima sentinya. Davinka berlari dan terus berlari di tengah hiruk pikuk kota Jakarta yang padat. Tujuannya hanya satu, rumah sakit diman suaminya terbaring lemah. Saat tiba rumah sakit tubuh Davinka langsung ambruk di depan ruang ICU. Bersimpuh tepat didepan pintu, berharap segera mendapat kabar baik dari dalam sana. "Davinka, Yudha membutuhkan banyak biaya, lebih baik segera jual rumahmu! Yudha membutuhkan uang itu segera!" desak Wulan, ibu mertua Davinka. Davinka bangun, dan menatap wajah Wulan dengan iba, bagaimana bisa dia menjelaskan bahwa rumahnya sudah digadai di malam Yuda kecelakaan, bahkan masih kurang hingga dirinya melakukan hal di luar nalar. "Maaf, Bu. Rumah i
"Apa maksud, Ibu …? Apa Ibu menyetujui permintaan pria itu?" tuduh Davinka tidak percaya. Tidak mungkin Wulan tidak melakukan hal itu, dari mana wanita itu mendapatkan uang secepat ini jika bukan menjual dirinya. "Ibu terpaksa melakukan hal ini Vie! Yudha membutuhkan uangnya cepat!" dalih Wulan, dia memang benar-benar tidak berdaya. Wanita itu benar-benar tidak tahu harus melakukan apa, pikirannya begitu buntu. Dia tidak ingin kehilangan Putra satu-satunya yang didapatkan dengan susah payah. Wulan memang begitu mendambakan kehadiran Yudha. Sepuluh tahun awal pernikahannya wulan belum juga diberikan kepercayaan, hingga akhirnya dia melakukan pengobatan herbal. Jika kini Wulan harus kehilangan putranya, jelas wanita itu tidak akan rela. Setiap Ibu pasti melakukan apapun untuk menyelamatkan nyawa putra mereka, termasuk apa yang dia lakukan, dan dia yakin, banyak ibu lainnya yang akan melakukan hal yang sama. Anggaplah Wulan kejam, tapi dia tidak punya pi
Davinka memajukan bibirnya, apa yang dikatakan oleh Rani memang benar, artis biasa aja paling mahal 30 sampai 50 juta, bagaimana dengan dirinya? Yang pasti tidak bisa menyamai mereka.Rani berbinar dan langsung berdiri. "Lo memang bukan perawan, tapi Lo udah tiga tahun semenjak suami Lo meninggal, 'kan, gak pernah ngelakuin hubungan badan, otomatis Lo beda tipis ama perawan. Ayo! Daripada Lo nemuin orang yang gak jelas, mending gue kenalin sama Madam Gaysa."Davinka sudah tidak punya pilihan lain lagi untuk mendapatkan uang, selain apa yang dia lakukan sekarang, berdiri di hadapan pria hidung belang yang memiliki tingkat sosial tinggi.Setelah di make over dari ujung kaki sampai ujung rambut, Davinka bersiap untuk tampil memperkenalkan dirinya.Dalam diam dia berusaha meyakinkan dirinya sendiri bahwa langkah yang diambil sudah sangat benar.Dari balik tirai Davinka mengamati apa yang dilakukan oleh lima orang peserta yang sudah tampil lebih d
Suara petir menggelegar, bagaimana pria dihadapannya ini sekejam itu. Di dalam sana suaminya bertarung nyawa hidup dan mati. Tapi pria ini benar-benar tidak memiliki hati nurani, dengan tega memintanya menandatangani berkas perceraian! "Bagaimana Anda sekejam ini Tuan Sanjaya? Bahkan suami saya masih bertarung nyawa disana!" tuduh Davinka dengan tubuh gemetar, tangannya menunjuk pintu ruang operasi. Wajah Davinka sudah sepenuhnya merah, air matanya tanpa henti membanjiri pipi dengan bola mata yang terus bergerak karena panik. "Aku hanya ingin semua berjalan sesuai dengan kemauanku. Kamu bisa tinggal di sini sampai suamimu stabil. Tapi sebelum itu, tandatangani dulu berkas perceraiannya!" Pengacara Sanjaya menyerahkan berkas pada Davinka dan entah bagaimana disana sudah ada cap jari suaminya. Bukan hanya itu, tanda tangan Yudha sudah ada disana. Davinka semakin bergidik ngeri melihat kuasa pria dihadapannya ini yang sepertinya lebih mengerikan dari malaikat pencabut nyawa. Melihat
Dokter menatap iba dua wanita dihadapannya. Kabar duka ini pasti akan membuat mereka terpuruk. "Pak Yudha koma—" dokter itu menjeda ucapnya dan menarik napas dengan susah payah sebelum kembali melanjutkan ucapannya dengan suara yang lebih tenang, "beliau menyerah untuk kembali pulih. Kami sudah melakukan yang terbaik, maaf …." Dokter itu terlihat begitu bersalah. Dalam kurun waktu tidak lebih dari tiga hari, dia sudah memberikan kabar duka yang bertubi-tubi. Davinka kembali menghempaskan tubuhnya ke lantai, menatap semuanya dengan nanar. Wulan bahkan kembali pingsan dalam rangkulan suster dengan tubuh sedingin es. Linangan air mata kembali membasahi pipi Davinka, tatapannya terus menatap lantai seolah disana dia akan mendapatkan keajaiban. "Nyonya!" Teriakan suster membuat Davinka menoleh ke arah sumber suara. Matanya membesar dengan kelopak bibir sedikit terbuka. "Ibu …." Suara Davinka terdengar begitu lirih deng
Wajah yang sedang bersandar pada dinding ruangan pesakitan membuat Davinka berang. Wajah itu begitu mengejek dirinya dengan senyum tipis di sudut bibir. "Apa yang akan terjadi dimasa depan siapa yang tahu, Tuan Sanjaya! Mungkin saja aku akan melahirkan dua, bahkan tiga orang bayi yang sangat lucu," ujarnya sinis. Nadanya jelas menyiratkan ketidak sukaan. Seringai pria itu semakin melebar, menunjukkan gigi putihnya yang rapi, dia kini bahkan mengganti posisi kakinya. Pria ini sangat mendominasi ruangan. "Sayang, jelas kamu akan membuat bayi kecil yang lucu dan menggemaskan. Tapi, bukan dengan raga tanpa jiwa itu," tunjuk Sanjaya pada ranjang dimana Yudha terbaring lemah. Sorot mata Davinka semakin tajam, pria kejam ini memanggil suaminya raga tanpa jiwa. Tidak tahukah dia bawa suaminya hanya tertidur untuk waktu yang tidak bisa ditentukan! Davinka beringsut, pria itu melangkah gontai, gerakannya begitu indah. Setiap langkah seperti sudah diperhitungkan dengan baik. Sanjaya semaki
Davinka kembali menoleh pada Wulan dan menggenggam tangannya, menatap wanita itu penuh hormat, berkata dengan suara yang lembut dan penuh permohonan, "Mah, aku tidak dibesarkan oleh seorang ibu dan tidak banyak orang yang aku kenal. Sekarang aku memanggilmu Mama. Emm, Mama mau, kan, menjadi ibuku dan merestui pernikahanku!"Pupil matanya melebar, terus menatap Wulan penuh harap. Akankah Wulan memenuhi keinginannya?Wulan sendiri kehilangan kata-katanya. Air mata kembali mengalir deras dengan isakkan tertahan. Wanita itu hanya mengangguk sebagai jawaban.Bodoh! Anak sebaik ini, bagaimana ia bisa menyakitinya dan menolaknya berulang kali!Davinka mengangguk dengan senyum lebarnya, lalu memeluk tubuh gemetar itu dengan penuh kehangatan."Terima kasih, mulai sekarang aku punya Mama." Bisik Davinka dengan elusan lembut di punggung Wulan.Davinka mengurai pelukan, menarik tangan Sanjaya agar menjabat tangan Wulan, "Sekarang Mama Wulan adalah ibu mertuamu, cepat sungkem!"Sanjaya tercengang.
Mendengar ibunya berkata seperti itu membuat Yudha bangun dari duduknya dan meraih tangannya."Ini semua karena Yudha. Mama hanya korban dari obsesi Yudha! Sudah, semua sudah selesai. Biar Yudha yang menanggung semua ini!" Tegas pria itu. Kini aura kehidupan sudah terlihat di wajahnya. Davinka yang asli sering menolaknya dengan kata-kata kasar karena ke keraskepalaannya.Penyesalan, kekecewaan, dan amarah terpancar jelas. Akan tetapi, semua ditujukan kepada dirinya sendiri."Tidak ada yang akan masuk penjara. Semua hanya karena kesalahpahaman!" tanam Sandy, "Tuan Sanjaya mengembalikan semua yang sudah diambilnya," ujarnya lagi yang membuat mereka semua tercengang."Mak-maksudnya?"Kebingungan jelas terlihat dari bagaimana cara mereka bereaksi. Entah apa yang diambil dan harus dikembalikan."Toko elektronik suami Anda beserta isinya dan beberapa calon investor sudah ada di dalam dokumen ini. Kalian tidak bisa menolak! Ja
"Udah malem! bye, Rani …." Davinka langsung menutup pintunya rapat.Rani membalikkan tubuhnya, kamar itu sudah temaram. Yang membuat ia menggigit bibir bawahnya adalah, Sandy berada di tengah ranjang dengan memeluk Inggi. Putrinya malah ada di sisi lainnya ranjang itu.'Ais … jadi gue harus tidur disamping dia?' jerit Rani dalam hatinya.Bersentuhan dengan kulitnya saja sudah hampir membuatnya seperti terbakar. Tapi ini ….Pikirannya terhenti."Mau sampai kapan kamu di sana!" Suara bariton itu menggema dalam remangnya kamar hingga mampu membuat bulu kuduk Rani meremang sempurna.Suara serak Sandy menandakan bahwa pria itu sudah sempat tertidur, terdengar sangat menggoda di telinganya hingga jantungnya mulai berdetak lebih hebat. Rani mulai melangkah dengan kaki beratnya. Ia tahu malam ini harus tidur di ranjang yang sama dengan Sandy. Mampukah?Ini memang bukan malam pertama mereka. Tapi, tidur tepat di sisi pria itu hampir tidak pernah terjadi selama tiga Minggu mereka menikah."Di-d
'Aku tahu, aku sedang dihukum atas semua kejahatan-kejahatanku. Tapi kenapa tidak ambil saja nyawaku daripada membuat semua orang menderita bersamaku!'Venti mulai merasa depresi dengan keadaannya. Kata-kata berikutnya semakin membuatnya tenggelam."Itu jauh lebih bagus. Di kantor Papa bisa fokus bekerja. Tadinya Papa hanya akan pergi saat mendesak saja. Tapi melihat cinta kalian, Papa merasa sangat lega!"Davinka melihat suster membawa sesuatu di tangannya. "Apa itu, Sus? Apa makan siang mama?""Ya, Nyon—""Panggil ibu saja. Saya lebih nyaman dengan itu!" pangkas Davinka cepat. Dia sudah sangat risih dengan sebutan nyonya-nonyaan.Suster itu mengangguk dan berjalan mendekati Davinka, memperlihatkan apa yang ia bawa."Ini bubur cair. Nyonya Venti hanya dapat makan ini sementara waktu sampai bisa mengunyah kembali," jelas suster itu.Dengan wajah murung dan dan air mata yang hampir jatuh, Davinka terus menatap ib
"Keadaannya tidak akan membaik hanya karena kamu membatalkan resepsi kita, Ra!" Dan ini akan selalu menjadi panggilan untuk Diandra walaupun kini sudah mengganti nama Davinka dan melupakan panggilan Davin-nya."Baiklah, aku kalah dari kalian!" desahnya sambil menatap kelima pria ini yang sekarang berada dikamar perawatan Venti."Ayo! Rasty dan yang lainnya sudah menunggu di rumah," ujar Noel mengingatkan.Mereka akan pulang ke apartemen mewah Sanjaya. Noel sendiri setelah resepsi akan kembali ke Singapura dan menetap disana. Insiden berdarah di rumahnya sama sekali tidak pernah terpublikasikan. Ada keinginan untuk menjual rumah itu, tapi Davinka menolaknya. Bagaimanapun, rumah itu memiliki kenangan untuk Davinka ataupun Diandra.Brata menyewa satu jasa suster untuk merawat istrinya. Sebenarnya ia ingin dua orang agar mereka bisa bergantian menjaga. Tapi, menantunya ini menolak dengan alasan Venti sekarang memiliki empat orang anak. Satu suster sudah cukup."Kenapa tidak pulang kerumah
Ketika semua tidak seperti apa yang kita rencanakan maka, pasrahkan, serahkan, ikhlaskan …. Biarkan tangan Tuhan yang melanjutkan karena, seberapa gigih pun kita mencoba, tanpa jamahan tangannya semua akan sia-sia.Venti sudah mengerahkan seluruh kemampuannya untuk menyingkirkan Diandra agar menjauh dari putranya. Tapi apa? Semakin ia berusaha, semakin mendekatkan mereka hingga akhirnya membuat dirinya seperti ini sekarang. Bahkan, kematian lebih baik daripada kehidupan yang menyiksa ini.Dari tempatnya berbaring, Venti terus menatap wajah Davinka. Wajah cantik itu memang sangat berbeda dengan milik Diandra kecuali, mata, bibir, siluet dan suaranya yang sangat ia kenal.Seharusnya dia tahu akan hal ini karena Noel adalah bedah plastik terbaik di negaranya hingga mendapatkan pekerjaan di Singapura."Kita harus mencari dokter terapis terbaik, mama tidak bisa terus seperti ini!" bujuk Davinka disela isak tangisnya.'Apa dia menangis untukku? Menangisi aku yang jahat ini?' bagaimana mana
Para polisi langsung mengamankan Laura. Peluru mengenai dadanya dan langsung tembus ke jantung. Bukan hanya satu, tapi dua sekaligus hingga menewaskan wanita itu.Ambulance dan beberapa polisi sudah datang, mereka ditelpon oleh Noel dan Brata."Sanja!" panggil Davinka saat melihat suaminya terbaring lemas. Noel dan Sandy sudah ada disana memberikan pertolongan pertama."Aku gak papa," sahutnya menenangkan.Dengan kaki gemetar, Davinka membawa Renhart mendekat pada Sanjaya dan bersimpuh di hadapannya. Sanjay menyentuh wajah putranya dan bertanya dengan suara yang parau. Berusaha untuk tetap tersadar, "Kamu gak papa, kan? Apa ada yang sakit?"Pria itu melihat bagaimana Renhart di bekap oleh Laura.Renhart menggeleng, "Papa pasti kesakitan. Itu pasti sakit."Anak itu bicara di sela isak tangisnya. Merasa sangat khawatir. Renhart tahu Papanya sengaja melakukan itu agar peluru tidak mengenai tubuhnya. Ia melihat sendiri Papanya langsung melompat saat wanita jahat itu berteriak memintanya u
Suhu di ruangan itu mendadak berubah dibawah nol derajat. Suasananya lebih dingin dari kutub Utara. Siapapun tidak berani mengambil napas dengan semaunya. Mereka hanya tidak ingin mengeluarkan suara dan mengganggu konsentrasi.Laura masih menatap puas apa yang ada di hadapannya, bagaimana musuh terbesar ibunya kini sudah tidak terselamatkan lagi. Wajah Venti sudah terlihat bengkok dan kaku, napasnya sedikit terengah-engah, terlihat sangat kesakitan.Venti masih belum bisa memalingkan wajahnya dari tempat Davinka berdiri. Hanya suara geraman yang lolos dari bibir wanita itu yang sedikit membiru."Ini lebih bagus dari kematian. Kamu tersiksa sebelum ajal menjemput! Hahah!" Sandy melangkah maju. Tapi sial, ternyata telinga Laura sangat peka. Wanita itu kembali fokus pada Renhart dalam dekapan lengangnya."Apa kalian gila!" teriak wanita itu. Laura memutar tubuhnya dengan Renhart dalam lengannya, pistol terus menempel pada kepala anak itu dan siapa di tekan kapanpun. Ia menatap semua y
Suara benda jatuh dan teriakan menggema dari arah pintu dapur. Suara langkah kaki mulai terdengar semakin dekat. Venti yang masih menggenggam tangan Davinka merasa sangat bingung dengan nama ayah Davinka yang sama persis seperti nama ayah Diandra. Wanita itu masih berpikir keras dan berusaha mengenyahkan semua ketakutannya.'Ini pasti hanya kebetulan, kan?' tanyanya dalam hati, 'apa mereka saudara, satu ayah, atau—' Suaranya terhenti. Venti melihat genggaman tangannya yang masih menggenggam tangan Davinka yang kini dipaksa lepas oleh suaminya sudah terbuka dan tangan Davinka hilang dalam genggaman tangannya."Apa yang kamu pikirkan? Sekarang putra kita sudah sah menjadi suami Davinka," tukas pria berusia mengingat istrinya yang masih diam membisu. Pikirannya bahkan terlihat kosong.Brata membantu Davinka agar duduk disisi Sanjaya. Mereka mulai menandatangani berkas pernikahan. Namun, saat penghulu menyerahkan dua buku merah dan hijau, teriakan seseorang menghentikan pergerakannya.