Di dalam ruangan Sanjaya, pria itu membuang apapun yang ada disekitarnya dengan marah. Dia yakin tidak salah mengenali orang. Wanita itu memang yang menemaninya kemarin malam. Semua bercak kemerahan itu adalah mahakaryanya. Walau kamar hotel dalam keadaan temaram, Sanjaya tahu setiap inci tubuh wanita yang dia sentuh.
"Aagrhhhh!"
Shandy berlari kencang ketika mendengar suara barang pecah yang begitu nyaring.
Beberapa saat yang lalu Sanjaya meminta dirinya untuk mengosongkan lantai dua yang berdekatan dengan ruangannya setelah Davinka masuk kedalam.
Kini, saat melihat tanda di pergelangan tangannya berkedip, Sandy langsung bergegas menuju lantai dua dan menunda rapat dadakan dengan para staf lainnya.
"Tuan! Apa yang terjadi?"
Sandy begitu panik saat melihat keadaan Sanjaya dengan telapak tangan pria itu yang mengeluarkan banyak darah.
Sudah cukup, Tuannya ini sudah begitu menderita selama tiga tahun ini setelah kepergian mendiang istrinya. Sandy sudah tidak tahan melihat pria itu menderita lagi!
"Wanita itu, cari wanita itu dan ikat dia dengan berbagai tuntutan!" teriak Sanjaya marah.
Pria itu terlihat begitu menderita dengan kekacauan yang dia buat sendiri.
Shandy membantu Sanjaya berjalan ke arah sofa dan memberikan pria itu beberapa tablet yang dia ambil dalam sakunya.
"Dimana dia, Tuan? Di mana wanita itu? Biar saya mencarinya!" desak Shandy.
Ini adalah kali pertama Sanjaya mengilai seorang wanita malam yang dia temui. Biasanya Sanjaya selalu meminta wanita baru saat dirinya minta dilayani. Tapi kali ini sepertinya berada, Tuanya terlihat begitu terobsesi pada Davinka. Wanita cantik yang baru dia temui.
"Saya tidak tahu, San. Dia bilang mau mengundurkan diri! Saya terlalu gegabah dalam bertindak. Tapi jelas wanita itu wanita yang sama di club Madam Gesya!"
Darah semakin banyak menetes dari ujung jari Sanjaya, tapi sepertinya pria itu sama sekali tidak merasakan sakit. Di dalam pikirannya hanya ada Davinka dan bagaimana caranya wanita itu bisa dia miliki.
"Tuan tunggu sebentar, saya akan meminta security untuk menahan kepergian nona Davinka."
Sementara, tubuh Davinka semakin gemetar di dalam kamar mandi. Namun, dia sadar tidak bisa berlama-lama di dalam sana dan mulai merapikan dirinya sambil memikirkan kata-kata yang cocok untuk alasan dibalik kepergiannya.
Saat Davinka masuk kedalam ruangan tim marketing, ruangan itu begitu sepi, tidak ada siapapun. Sepertinya semua orang sudah pergi kelapangan untuk mencapai target hari ini.
Davinka merapikan beberapa barang pentingnya dan memasukkannya dalam kardus. Tekadnya sudah bulat, bertahan disini dengan bos gila seperti itu rasanya tidak mungkin. Lebih baik mengundurkan diri sekarang, sebelum semuanya terlambat.
Saat semuanya sudah rapih Davinka langsung meninggalkan ruangannya. Namun, langkahnya terhenti saat melihat pria yang bernama Sandy.
Sandy terlihat begitu tenang dengan tangan yang diletakkan di atas perut lalu melakukan bow.
"Maaf, Nona Davinka, bisa kita bicara sebentar?" tanya Sandy.
Davinka mendelik tajam dengan bibir melengkung, mengejek pria dihadapannya. "Cih, jika Kamu disuruh oleh Pak Bosmu, bilang sama dia, silahkan layangkan gugatan, saya gak takut!"
Davinka tidak ingin negosiasi, dia ingin segera pergi dari sana. Tapi sepertinya pria yang bernama Sandy lebih keras kepala dari bosnya.
"Pak Sanjaya mengakui telah melakukan kesalahan yang fatal, dia benar-benar tidak bisa menguasai dirinya dan mungkin telah melecehkan Anda. Saya harap Anda tidak melakukan apa yang Anda katakan, untuk mengundurkan diri dari perusahaan ini, " cegah Sandy.
Davinka melebarkan matanya dengan tatapan menantang, "Kenapa? Apa kalian pikir saya tidak akan berani?! Ini sudah menyangkut harga diri. Jadi, saya harap Anda tidak menghalangi saya dan membela Bos berensekmu itu!"
"Anda benar, Nona. Beliau memang brengsek, tapi ini sepenuhnya bukan salah Pak Sanjaya." Sandy mencoba membujuk Davinka dengan cara halus dan membuat wanita itu luluh.
"Lalu salah siapa? Salah saya?!"
"Salah nasibnya, Pak Sanjaya terlalu mencintai mendiang istrinya sehingga menganggap Nona adalah orang yang sama." Sandy berharap alasan ini dapat membuat wanita ini mengerti.
"Dengan melecehkan saya?" tanya Davinka ketus.
Sandy hanya diam seolah sedang mencari kata-kata, akhirnya Davinka kembali berkata, "Sudah lahh … saya memang tetap mau berhenti kerja!"
Sandy tidak bisa berkata apa-apa lagi, melihat kepergian Davinka dengan kardus dalam dekapannya, Sandy hanya berharap orang HRD dapat mencegah pengunduran diri Davinka.
Davinka berjalan dengan langkah cepat, dia tidak ingin Sandy mengejar dan menahannya lagi. Dia tahu belum membuat surat resign untuk diserahkan pada HRD. Namun, Davinka tidak ingin berurusan dengan Sanjaya. Saat keluar Davinka berpapasan dengan Atik, dari tim lending.
"Vie, Lo gak jadi prospek sama Bos?" tanya Atik bingung.
Davinka adalah salah satu karyawan terbaik, setiap bulanya selalu memenuhi target, bahkan lebih. Wajar jika Sanjaya menginginkan pergi dengan Davinka, daripada dengan yang lain.
"Gak jadi, Bos tiba-tiba kurang enak badan, gue nemuin nasabah sendiri," sahut Davinka dengan cepat.
"Ta—"
"Gue pergi ya, Ka. Bye!" Davinka langsung ngacir. Tidak ingin ada lagi pertanyaan yang akan menahannya.
Di tangga, Sandy tersenyum mendengar alasan Davinka. Ternyata dia wanita yang cerdas. Memberitahu apa yang terjadi sama saja mematahkan kakinya.
**
Ruangan itu sudah lebih rapi dari sebelumnya. Sanjaya tertidur setelah diberi pil penenang.
"Di, Diandra … Di, kenapa kamu pergi Diandra? Di."
Sura igauan Sanjaya terdengar begitu pilu. Pria ini terlihat sangat rapuh jika sudah menyangkut mendiang istrinya.
Sandy ingin membangunkan Tuanya, tapi dia takut Sanjaya akan bertanya mengenai Davinka yang saat ini sedang berada disebuah taman tak jauh dari bank tempat mereka bekerja, duduk termenung seorang diri di tengah taman kota.
Sandy sudah mendapatkan informasi tentang Davinka dengan lengkap, wanita itu baru menikah seminggu yang lalu. Seharusnya minggu ini dia mengambil cuti untuk pergi berbulan madu. Tapi, entah mengapa mengurungkan niatnya, dan alasan Ini yang belum diketahui oleh Sandy.
Sanjaya membuka matanya, dan mencari keberadaan Davinka, berharap Sandy mendapatkan wanita itu.
"Dimana dia, Sandy? Dimana wanita itu?!" Sanjaya tidak bisa menunggu, dia menginginkan wanita itu segera.
"Ada di taman, Tuan … dan Nona Davinka belum menyerahkan berkas pengunduran dirinya," terang Sandy, berharap Tuannya sedikit tenang.
Mendengar penjelasan Sandy, Sanjaya sedikit merasa tenang. "Ikuti dia terus, cari tahu info sedetail mungkin. Cari celah agar wanita itu berada dalam genggamanku."
"Baik Tuan, Anda segera mendapatkan informasinya."
**
Di taman. Davinka masih duduk diam termenung, memikirkan langkah selanjutnya menghadapi Bos gilanya.
"Aku tidak bisa mengundurkan diri, dimana bisa mencari pekerjaan? Sedangkan Mas Yudah, Mas Yudah membutuhkan banyak biaya." Davinka menghapus jejak air matanya.
Dia merasa dilema, mundur salah maju apalagi. Dia sangat bingung, sementara bos gilanya sangat menakutkan, hampir saja dia jadi korban pemerkosaan.
Di tengah lamunannya, ponsel Davinka berbunyi dan suara ibu mertuanya mengapa begitu keras di gendang telinganya saat tombol hijau sudah digeser.
"Davinka! Cepat pulang, Yudha kritis!"
Suara dari seberang sana membuat tubuh Davinka seketika membatu, dia langsung berdiri dan menjatuhkan semua barang dalam kardus hingga berceceran. Pikirannya kalut, hingga tidak memperdulikan apapun lagi. Davinka berlari sangat kencang dengan rok span dan heels lima sentinya. Davinka berlari dan terus berlari di tengah hiruk pikuk kota Jakarta yang padat. Tujuannya hanya satu, rumah sakit diman suaminya terbaring lemah. Saat tiba rumah sakit tubuh Davinka langsung ambruk di depan ruang ICU. Bersimpuh tepat didepan pintu, berharap segera mendapat kabar baik dari dalam sana. "Davinka, Yudha membutuhkan banyak biaya, lebih baik segera jual rumahmu! Yudha membutuhkan uang itu segera!" desak Wulan, ibu mertua Davinka. Davinka bangun, dan menatap wajah Wulan dengan iba, bagaimana bisa dia menjelaskan bahwa rumahnya sudah digadai di malam Yuda kecelakaan, bahkan masih kurang hingga dirinya melakukan hal di luar nalar. "Maaf, Bu. Rumah i
"Apa maksud, Ibu …? Apa Ibu menyetujui permintaan pria itu?" tuduh Davinka tidak percaya. Tidak mungkin Wulan tidak melakukan hal itu, dari mana wanita itu mendapatkan uang secepat ini jika bukan menjual dirinya. "Ibu terpaksa melakukan hal ini Vie! Yudha membutuhkan uangnya cepat!" dalih Wulan, dia memang benar-benar tidak berdaya. Wanita itu benar-benar tidak tahu harus melakukan apa, pikirannya begitu buntu. Dia tidak ingin kehilangan Putra satu-satunya yang didapatkan dengan susah payah. Wulan memang begitu mendambakan kehadiran Yudha. Sepuluh tahun awal pernikahannya wulan belum juga diberikan kepercayaan, hingga akhirnya dia melakukan pengobatan herbal. Jika kini Wulan harus kehilangan putranya, jelas wanita itu tidak akan rela. Setiap Ibu pasti melakukan apapun untuk menyelamatkan nyawa putra mereka, termasuk apa yang dia lakukan, dan dia yakin, banyak ibu lainnya yang akan melakukan hal yang sama. Anggaplah Wulan kejam, tapi dia tidak punya pi
Davinka memajukan bibirnya, apa yang dikatakan oleh Rani memang benar, artis biasa aja paling mahal 30 sampai 50 juta, bagaimana dengan dirinya? Yang pasti tidak bisa menyamai mereka.Rani berbinar dan langsung berdiri. "Lo memang bukan perawan, tapi Lo udah tiga tahun semenjak suami Lo meninggal, 'kan, gak pernah ngelakuin hubungan badan, otomatis Lo beda tipis ama perawan. Ayo! Daripada Lo nemuin orang yang gak jelas, mending gue kenalin sama Madam Gaysa."Davinka sudah tidak punya pilihan lain lagi untuk mendapatkan uang, selain apa yang dia lakukan sekarang, berdiri di hadapan pria hidung belang yang memiliki tingkat sosial tinggi.Setelah di make over dari ujung kaki sampai ujung rambut, Davinka bersiap untuk tampil memperkenalkan dirinya.Dalam diam dia berusaha meyakinkan dirinya sendiri bahwa langkah yang diambil sudah sangat benar.Dari balik tirai Davinka mengamati apa yang dilakukan oleh lima orang peserta yang sudah tampil lebih d
Suara petir menggelegar, bagaimana pria dihadapannya ini sekejam itu. Di dalam sana suaminya bertarung nyawa hidup dan mati. Tapi pria ini benar-benar tidak memiliki hati nurani, dengan tega memintanya menandatangani berkas perceraian! "Bagaimana Anda sekejam ini Tuan Sanjaya? Bahkan suami saya masih bertarung nyawa disana!" tuduh Davinka dengan tubuh gemetar, tangannya menunjuk pintu ruang operasi. Wajah Davinka sudah sepenuhnya merah, air matanya tanpa henti membanjiri pipi dengan bola mata yang terus bergerak karena panik. "Aku hanya ingin semua berjalan sesuai dengan kemauanku. Kamu bisa tinggal di sini sampai suamimu stabil. Tapi sebelum itu, tandatangani dulu berkas perceraiannya!" Pengacara Sanjaya menyerahkan berkas pada Davinka dan entah bagaimana disana sudah ada cap jari suaminya. Bukan hanya itu, tanda tangan Yudha sudah ada disana. Davinka semakin bergidik ngeri melihat kuasa pria dihadapannya ini yang sepertinya lebih mengerikan dari malaikat pencabut nyawa. Melihat
Dokter menatap iba dua wanita dihadapannya. Kabar duka ini pasti akan membuat mereka terpuruk. "Pak Yudha koma—" dokter itu menjeda ucapnya dan menarik napas dengan susah payah sebelum kembali melanjutkan ucapannya dengan suara yang lebih tenang, "beliau menyerah untuk kembali pulih. Kami sudah melakukan yang terbaik, maaf …." Dokter itu terlihat begitu bersalah. Dalam kurun waktu tidak lebih dari tiga hari, dia sudah memberikan kabar duka yang bertubi-tubi. Davinka kembali menghempaskan tubuhnya ke lantai, menatap semuanya dengan nanar. Wulan bahkan kembali pingsan dalam rangkulan suster dengan tubuh sedingin es. Linangan air mata kembali membasahi pipi Davinka, tatapannya terus menatap lantai seolah disana dia akan mendapatkan keajaiban. "Nyonya!" Teriakan suster membuat Davinka menoleh ke arah sumber suara. Matanya membesar dengan kelopak bibir sedikit terbuka. "Ibu …." Suara Davinka terdengar begitu lirih deng
Wajah yang sedang bersandar pada dinding ruangan pesakitan membuat Davinka berang. Wajah itu begitu mengejek dirinya dengan senyum tipis di sudut bibir. "Apa yang akan terjadi dimasa depan siapa yang tahu, Tuan Sanjaya! Mungkin saja aku akan melahirkan dua, bahkan tiga orang bayi yang sangat lucu," ujarnya sinis. Nadanya jelas menyiratkan ketidak sukaan. Seringai pria itu semakin melebar, menunjukkan gigi putihnya yang rapi, dia kini bahkan mengganti posisi kakinya. Pria ini sangat mendominasi ruangan. "Sayang, jelas kamu akan membuat bayi kecil yang lucu dan menggemaskan. Tapi, bukan dengan raga tanpa jiwa itu," tunjuk Sanjaya pada ranjang dimana Yudha terbaring lemah. Sorot mata Davinka semakin tajam, pria kejam ini memanggil suaminya raga tanpa jiwa. Tidak tahukah dia bawa suaminya hanya tertidur untuk waktu yang tidak bisa ditentukan! Davinka beringsut, pria itu melangkah gontai, gerakannya begitu indah. Setiap langkah seperti sudah diperhitungkan dengan baik. Sanjaya semaki
Sorot mata Wulan penuh akan kebencian, jika saja dulu putranya mendengarkan kata-katanya, tidak mungkin semua ini terjadi. "Kamu memang pembawa sial, Davinka! Siapapun yang berada di sisimu pasti akan menderita! Lihat saja putraku, kamu membuatnya tidak berdaya antar hidup dan mati!" Wulan mengeluarkan hampir semua racun yang bersarang di tubuhnya tanpa belas kasih. Dia sependapat dengan Davinka, ini semua memang karena wanita itu. Andai saja Yudha tidak tergila-gila terhadap Davinka semenjak mereka masih di sekolah menengah atas, Wulan jelas tidak akan setuju Yudha menikahi seorang janda kembang dan sekarang, wanita ini membawa malapetaka bagi putranya. "A-aku akan pergi setelah Mas Yudha sembuh, Bu. Aku mohon …," pinta Davinka semakin lirih. Dia tidak ingin meninggalkan suaminya sekarang, dia ingin mendampingi Yudha dan melihatnya pulih. "Tidak!" tolak Wulan cepet. Entah apa yang akan terjadi jika Davinka masih disini. Dia sendiri tahu
Davinka tidak berani mengangkat wajahnya. Dia tau betul suara siapa itu, pria yang sudah membelinya dan menukar dengan nyawa Yudha. Davinka sangat membenci pria ini sampai ke sumsum tulang. Melihat tawanan yang ketakutan, Sanjaya merasa senang. Wanitanya terlihat begitu jinak dengan tertunduk malu, sangat berbeda dengan beberapa jam lalu yang begitu arogan. Sanjaya langsung naik ke atas ranjang, membaringkan kepalanya di atas pangkuan, mengambil sejumput rambut dan mengendusnya dalam. Merasa kesal, Davinka memalingkan wajah. Tidak ingin melihat wajah pria itu yang tanpa tau malu berbaring di pangkuannya. Sangat menyebalkan! Mata Sanjayat terpejam, tapi lidahnya begitu tajam. "Puaskan aku seperti malam itu! Jika tidak, kamu tahu akibatnya!" Deg! Hatinya bak ditikam belati. Bagaimana Davinka bisa melayani Sanjaya dengan wajah yang terpampang nyata. Malam itu, dia begitu liar karena wajahnya tertutup topeng. Tapi sekarang, Davinka menatap wajahnya pun tidak berani. Apalagi melakuk
Davinka kembali menoleh pada Wulan dan menggenggam tangannya, menatap wanita itu penuh hormat, berkata dengan suara yang lembut dan penuh permohonan, "Mah, aku tidak dibesarkan oleh seorang ibu dan tidak banyak orang yang aku kenal. Sekarang aku memanggilmu Mama. Emm, Mama mau, kan, menjadi ibuku dan merestui pernikahanku!"Pupil matanya melebar, terus menatap Wulan penuh harap. Akankah Wulan memenuhi keinginannya?Wulan sendiri kehilangan kata-katanya. Air mata kembali mengalir deras dengan isakkan tertahan. Wanita itu hanya mengangguk sebagai jawaban.Bodoh! Anak sebaik ini, bagaimana ia bisa menyakitinya dan menolaknya berulang kali!Davinka mengangguk dengan senyum lebarnya, lalu memeluk tubuh gemetar itu dengan penuh kehangatan."Terima kasih, mulai sekarang aku punya Mama." Bisik Davinka dengan elusan lembut di punggung Wulan.Davinka mengurai pelukan, menarik tangan Sanjaya agar menjabat tangan Wulan, "Sekarang Mama Wulan adalah ibu mertuamu, cepat sungkem!"Sanjaya tercengang.
Mendengar ibunya berkata seperti itu membuat Yudha bangun dari duduknya dan meraih tangannya."Ini semua karena Yudha. Mama hanya korban dari obsesi Yudha! Sudah, semua sudah selesai. Biar Yudha yang menanggung semua ini!" Tegas pria itu. Kini aura kehidupan sudah terlihat di wajahnya. Davinka yang asli sering menolaknya dengan kata-kata kasar karena ke keraskepalaannya.Penyesalan, kekecewaan, dan amarah terpancar jelas. Akan tetapi, semua ditujukan kepada dirinya sendiri."Tidak ada yang akan masuk penjara. Semua hanya karena kesalahpahaman!" tanam Sandy, "Tuan Sanjaya mengembalikan semua yang sudah diambilnya," ujarnya lagi yang membuat mereka semua tercengang."Mak-maksudnya?"Kebingungan jelas terlihat dari bagaimana cara mereka bereaksi. Entah apa yang diambil dan harus dikembalikan."Toko elektronik suami Anda beserta isinya dan beberapa calon investor sudah ada di dalam dokumen ini. Kalian tidak bisa menolak! Ja
"Udah malem! bye, Rani …." Davinka langsung menutup pintunya rapat.Rani membalikkan tubuhnya, kamar itu sudah temaram. Yang membuat ia menggigit bibir bawahnya adalah, Sandy berada di tengah ranjang dengan memeluk Inggi. Putrinya malah ada di sisi lainnya ranjang itu.'Ais … jadi gue harus tidur disamping dia?' jerit Rani dalam hatinya.Bersentuhan dengan kulitnya saja sudah hampir membuatnya seperti terbakar. Tapi ini ….Pikirannya terhenti."Mau sampai kapan kamu di sana!" Suara bariton itu menggema dalam remangnya kamar hingga mampu membuat bulu kuduk Rani meremang sempurna.Suara serak Sandy menandakan bahwa pria itu sudah sempat tertidur, terdengar sangat menggoda di telinganya hingga jantungnya mulai berdetak lebih hebat. Rani mulai melangkah dengan kaki beratnya. Ia tahu malam ini harus tidur di ranjang yang sama dengan Sandy. Mampukah?Ini memang bukan malam pertama mereka. Tapi, tidur tepat di sisi pria itu hampir tidak pernah terjadi selama tiga Minggu mereka menikah."Di-d
'Aku tahu, aku sedang dihukum atas semua kejahatan-kejahatanku. Tapi kenapa tidak ambil saja nyawaku daripada membuat semua orang menderita bersamaku!'Venti mulai merasa depresi dengan keadaannya. Kata-kata berikutnya semakin membuatnya tenggelam."Itu jauh lebih bagus. Di kantor Papa bisa fokus bekerja. Tadinya Papa hanya akan pergi saat mendesak saja. Tapi melihat cinta kalian, Papa merasa sangat lega!"Davinka melihat suster membawa sesuatu di tangannya. "Apa itu, Sus? Apa makan siang mama?""Ya, Nyon—""Panggil ibu saja. Saya lebih nyaman dengan itu!" pangkas Davinka cepat. Dia sudah sangat risih dengan sebutan nyonya-nonyaan.Suster itu mengangguk dan berjalan mendekati Davinka, memperlihatkan apa yang ia bawa."Ini bubur cair. Nyonya Venti hanya dapat makan ini sementara waktu sampai bisa mengunyah kembali," jelas suster itu.Dengan wajah murung dan dan air mata yang hampir jatuh, Davinka terus menatap ib
"Keadaannya tidak akan membaik hanya karena kamu membatalkan resepsi kita, Ra!" Dan ini akan selalu menjadi panggilan untuk Diandra walaupun kini sudah mengganti nama Davinka dan melupakan panggilan Davin-nya."Baiklah, aku kalah dari kalian!" desahnya sambil menatap kelima pria ini yang sekarang berada dikamar perawatan Venti."Ayo! Rasty dan yang lainnya sudah menunggu di rumah," ujar Noel mengingatkan.Mereka akan pulang ke apartemen mewah Sanjaya. Noel sendiri setelah resepsi akan kembali ke Singapura dan menetap disana. Insiden berdarah di rumahnya sama sekali tidak pernah terpublikasikan. Ada keinginan untuk menjual rumah itu, tapi Davinka menolaknya. Bagaimanapun, rumah itu memiliki kenangan untuk Davinka ataupun Diandra.Brata menyewa satu jasa suster untuk merawat istrinya. Sebenarnya ia ingin dua orang agar mereka bisa bergantian menjaga. Tapi, menantunya ini menolak dengan alasan Venti sekarang memiliki empat orang anak. Satu suster sudah cukup."Kenapa tidak pulang kerumah
Ketika semua tidak seperti apa yang kita rencanakan maka, pasrahkan, serahkan, ikhlaskan …. Biarkan tangan Tuhan yang melanjutkan karena, seberapa gigih pun kita mencoba, tanpa jamahan tangannya semua akan sia-sia.Venti sudah mengerahkan seluruh kemampuannya untuk menyingkirkan Diandra agar menjauh dari putranya. Tapi apa? Semakin ia berusaha, semakin mendekatkan mereka hingga akhirnya membuat dirinya seperti ini sekarang. Bahkan, kematian lebih baik daripada kehidupan yang menyiksa ini.Dari tempatnya berbaring, Venti terus menatap wajah Davinka. Wajah cantik itu memang sangat berbeda dengan milik Diandra kecuali, mata, bibir, siluet dan suaranya yang sangat ia kenal.Seharusnya dia tahu akan hal ini karena Noel adalah bedah plastik terbaik di negaranya hingga mendapatkan pekerjaan di Singapura."Kita harus mencari dokter terapis terbaik, mama tidak bisa terus seperti ini!" bujuk Davinka disela isak tangisnya.'Apa dia menangis untukku? Menangisi aku yang jahat ini?' bagaimana mana
Para polisi langsung mengamankan Laura. Peluru mengenai dadanya dan langsung tembus ke jantung. Bukan hanya satu, tapi dua sekaligus hingga menewaskan wanita itu.Ambulance dan beberapa polisi sudah datang, mereka ditelpon oleh Noel dan Brata."Sanja!" panggil Davinka saat melihat suaminya terbaring lemas. Noel dan Sandy sudah ada disana memberikan pertolongan pertama."Aku gak papa," sahutnya menenangkan.Dengan kaki gemetar, Davinka membawa Renhart mendekat pada Sanjaya dan bersimpuh di hadapannya. Sanjay menyentuh wajah putranya dan bertanya dengan suara yang parau. Berusaha untuk tetap tersadar, "Kamu gak papa, kan? Apa ada yang sakit?"Pria itu melihat bagaimana Renhart di bekap oleh Laura.Renhart menggeleng, "Papa pasti kesakitan. Itu pasti sakit."Anak itu bicara di sela isak tangisnya. Merasa sangat khawatir. Renhart tahu Papanya sengaja melakukan itu agar peluru tidak mengenai tubuhnya. Ia melihat sendiri Papanya langsung melompat saat wanita jahat itu berteriak memintanya u
Suhu di ruangan itu mendadak berubah dibawah nol derajat. Suasananya lebih dingin dari kutub Utara. Siapapun tidak berani mengambil napas dengan semaunya. Mereka hanya tidak ingin mengeluarkan suara dan mengganggu konsentrasi.Laura masih menatap puas apa yang ada di hadapannya, bagaimana musuh terbesar ibunya kini sudah tidak terselamatkan lagi. Wajah Venti sudah terlihat bengkok dan kaku, napasnya sedikit terengah-engah, terlihat sangat kesakitan.Venti masih belum bisa memalingkan wajahnya dari tempat Davinka berdiri. Hanya suara geraman yang lolos dari bibir wanita itu yang sedikit membiru."Ini lebih bagus dari kematian. Kamu tersiksa sebelum ajal menjemput! Hahah!" Sandy melangkah maju. Tapi sial, ternyata telinga Laura sangat peka. Wanita itu kembali fokus pada Renhart dalam dekapan lengangnya."Apa kalian gila!" teriak wanita itu. Laura memutar tubuhnya dengan Renhart dalam lengannya, pistol terus menempel pada kepala anak itu dan siapa di tekan kapanpun. Ia menatap semua y
Suara benda jatuh dan teriakan menggema dari arah pintu dapur. Suara langkah kaki mulai terdengar semakin dekat. Venti yang masih menggenggam tangan Davinka merasa sangat bingung dengan nama ayah Davinka yang sama persis seperti nama ayah Diandra. Wanita itu masih berpikir keras dan berusaha mengenyahkan semua ketakutannya.'Ini pasti hanya kebetulan, kan?' tanyanya dalam hati, 'apa mereka saudara, satu ayah, atau—' Suaranya terhenti. Venti melihat genggaman tangannya yang masih menggenggam tangan Davinka yang kini dipaksa lepas oleh suaminya sudah terbuka dan tangan Davinka hilang dalam genggaman tangannya."Apa yang kamu pikirkan? Sekarang putra kita sudah sah menjadi suami Davinka," tukas pria berusia mengingat istrinya yang masih diam membisu. Pikirannya bahkan terlihat kosong.Brata membantu Davinka agar duduk disisi Sanjaya. Mereka mulai menandatangani berkas pernikahan. Namun, saat penghulu menyerahkan dua buku merah dan hijau, teriakan seseorang menghentikan pergerakannya.