Shelly hanya mencebikan bibir melihat wajah merah padam Davinka yang menatapnya penuh amarah. Wanita itu sama sekali tidak merasa berdosa telah melukai hati wanita yang sempat dekat dengannya sebelum Davinka dipindah tugaskan jadi sekretaris pribadi Sanjaya.
"Untuk apa malu!" Davinka mengakui, "Kalaupun aku dan pak Sanjaya dekat, itu sah saja. Status kami tercatat jelas di pengadilan agama bahwa kami sama-sama single, janda dan duda! Ada hubungan atau tidaknya itu urusan kami!" ujar Davinka ketus. Sama sekali tidak terlihat gentar atau pun gugup walau hatinya sudah menjerit.
Davinka menegaskan bahwa setelah ini pria itu harus segera menikahi atau mengijinkan dirinya untuk resign dari perusahaan ini. Jelas ia tidak ingin lagi dipermainkan dan direndahkan seperti sekarang.
"Jadi kamu mengakuinya?" tanya Sahru
"Aku gak mau!" tolak Davinka. Sekarang ia sudah tidak tahan lagi.Wanita itu menunjukkan wajah merengut, pura-pura melihat chat kukumnya tanpa minat.Davinka yakin Sanjaya pasti akan meminta dirinya untuk melakukan yel-yel di depan semua orang. Sebenarnya ia akan melakukannya dengan senang hati, tapi tidak dalam keadaan seperti ini. Ditatap rendah dan penuh kebencian dari para sahabat dan seniornya."Apa aku meminta jawaban, Davinka? Jadi buat yel-yel! Waktumu hanya sisa lima belas menit!" Tegas pria itu lagi masih tidak melirik Davinka.Sebenarnya Sanjaya hanya ingin Davinka sibuk dan tidak memikirkan omongan semua karyawannya yang pasti sudah sampai pada telinganya. Tapi, sepertinya wanita di hadapannya ini sedang melakukan aksi pemberontakan, menolak permintaann
"Dasar penggoda, tak tahu malu!" Bentak Venti. kata-kata kasar dan suara melengking tinggi membuat semua orang yang ada di lantai tiga berkerumun dan mengelilingi mereka. Davinka menegakkan tubuhnya, menahan rasa nyeri dan menatap Venti dengan tajam, memberi tahu kalau dirinya sama sekali tidak takut pada ibu dari bosnya ini. "Saya gak tau kalo yang Nyonya panggil itu saya! Jadi, buat apa saya jawab semua pertanyaan Nyonya, gak penting!" sangkal Davinka. Karena memang Venti tidak menyebut namanya walaupun di depan lift tidak ada siapapun. Napas Venti kembang kempis, terlihat seperti menghembuskan nafasnya dengan sangat kasar. "Berani kamu, yaa? Saya pecat kamu sekarang! Lebih baik kamu pergi dari perusahaan ini dan tinggalkan anak saya!" "Cek! Gak semudah itu, Nyonya
Dengan mata terpejam, Davinka masih dapat merasakan tatapan semua orang di punggungnya. Entah itu tatapan kebencian, jijik, bahkan rasa iba. Yang Davinka tahu, tatapan mereka seolah menghakimi, merendahkannya, bahkan mungkin menuntut dirinya untuk segera meninggalkan kantor ini. Tapi, pria yang tengah mendekapnya masih bersikap tidak peduli. Sanjaya masih menginginkan Davinka selalu berada disisinya, di ruangannya, dimanapun pria itu berada. "Kamu tidak apa-apa?" tanya Sandy. Ia melihat Rani berdiri sambil meringis. Sepertinya ada luka atau memar akibat jatuh tadi. "Gak papa, Pak, cuma Davinka—" "Bubar, saya tunda briefing sore ini jam tiga," pinta Sanjaya pada semua karyawan yang masih berdiri disana. Membuat semu
Setelah semua yang terpendam dalam hati dan pikirannya keluar, Rani mendudukan dirinya di balik meja yang sepertinya milik Davinka. Sandy tidak bisa berkata apa-apa lagi, yang dikatakan Rani semuanya memang benar, kami memang buta. Dirinya tidak begitu mengenal kata cinta yang sesungguhnya. Dirinya memang pernah mencintai tapi tidak pernah memiliki. Keheningan terjadi, keduanya menunggu dengan sabar instruksi dari Sanjaya untuk masuk ke dalam kamar. Sementara di dalam sana, dengan lembut Sanjaya menghapus jejak darah dari sudut bibir Davinka. "Jangan pernah pergi kemanapun tanpaku," pinta Sanjaya lembut. Suaranya sedikit bergetar melihat darah yang ia usap terus mengalir. "Rani—" "Sandy yang obati, biar kamu aku yang urus!" pangkas Sanjaya. Ia berusaha menenangkan Davinka. Tapi bukannya tenang, Davinka malah meminta hal yang Sanjaya tidak inginkan. "Apa Anda akan menandatangani surat resign 'ku?" tanya Davinka penuh harap. Sanjaya menggeleng denga
Siang itu Mobil yang dikendarai oleh Sanjaya berlalu kencang membelah kemacetan kota Jakarta. Dalam benak Sanjaya kemiripan antara Diandra dan Davinka tidak bisa ia elakan lagi. Ia harus menyelidikinya sedetail mungkin, kebencian ibunya pasti ada alasannya. "Apa yang kamu dapatkan, Aziz?" tanyanya begitu sampai di sebuah restoran ternama dimana Sanjaya sudah mengatur janji dengan Aziz Ali Khan, detektif swasta asal timur tengah. "Saya butuh data terbaru Nyonya Davinka dan riwayat kesehatan Nyonya Diantara, Tuan Sanjaya!" pinta Aziz. "Untuk mendapatkan data menyeluruh Davinka harus melakukan general check up!" tukasnya memberi usul. Davinka memiliki data kesehatan, tetapi tidak menyeluruh. Haya riwayat kesehatan biasa saat Davinka sakit kemarin. "Bisa hari ini, Tuan?" pinta Aziz, "Kita harus mendapatkan datanya segera mungkin! Dan soal kematian mendiang istri Anda—itu murni kecelakaan, Tuan!" jelas Aziz. Ia sudah menyelidiki keadaan mobil yang dikenakan
"Mah! Untuk apa uang sebanyak ini Mama transfer pada Muhammad supir kita? Dan apa maksud dari ucapan Sanjaya?" Cecar Brata saat melihat istrinya hanya diam membisu. Venti terhuyung. Kaki yang menopang tubuhnya seakan tak bertulang, jelas ia butuh sandaran agar tidak terjatuh dan semakin memburuk keadaan. Venti mendudukkan tubuhnya di sofa agar ia bisa mengendalikan dirinya sendiri dari rasa panik yang tiba-tiba menyerangnya begitu saja. "A-apa Papah lupa? Mamah sudah minta ijin sama Papah, kan?" tanya Venti dengan suara tersengal-sengal. Ia berusaha mengingatkan suaminya akan kejadian tiga tahun lalu. "Apa? Papa tidak pernah mengirim uang sebanyak itu pada Muhammad. Dan untuk apa?" Brata berusaha mengingat uang dengan nominal yang sama yang ia kirimkan pada Muhammad.
Sanjaya mendekatkan telinganya kepintu yang sengaja ia buka sedikit agar bisa mendengar pembicaraan di dalam. Jantung pria itu berdegup kencang menanti dengan tidak sambar apa yang akan disampaikan oleh ibunya. Dalam lubuk hatinya, Sanjaya masih berharap putranya masih hidup walau entah berada dimana, karena hanya putranya itu peninggalan Diandra, bukti cintanya yang begitu besar terhadap wanita itu. Wanita yang sudah mengisi relung hatinya. "Dimana cucu kita yang lain, Mah!" ulang Brata penuh permohonan. Ingin rasanya ia bergerak dan memakai istrinya sekarang. Tapi ia begitu mencintainya lebih dari apapun. "Di mana putra Sanjaya?" tanya lagi. Kali ini nadanya sedikit lebih tinggi, tapi tidak sampai membentaknya. Venti masih tersenyum penuh kepuasan saat menjawab pertanyaan suaminya. "Dia sudah hidup damai dan bahagia dengan ibunya, Pah! Dia tidak ada di sini!" sahutnya tanpa belas kasih. Setelah mengatakan itu Venti langsung bergegas pergi meninggalkan Brata
"Mommy … mommy …." Sebuah suara terus memanggil ibunya berulang kali.Suara itu jelas suara balita yang tengah kehilangan ibunya. Suara itu terdengar sangat jauh, tapi begitu mengusik mimpinya. Terdengar lirih dan sangat sedih hingga membuatnya tidak nyaman."Mommy …."Davinka membuka matanya dengan susah payah, ia sangat mengantuk setelah ikut menangis dengan Sanjaya. Suasana yang sejuk dengan semilir angin serta bau dari hutan Pinus membuat Davinka semakin terlena untuk kembali tidur.Tapi, suara anak laki-laki terus berteriak memanggil ibunya."Mommy … bangun, Mommy …." Entah dimana ibu anak itu? Pikir Davinka.Davinka membuka mata
Davinka kembali menoleh pada Wulan dan menggenggam tangannya, menatap wanita itu penuh hormat, berkata dengan suara yang lembut dan penuh permohonan, "Mah, aku tidak dibesarkan oleh seorang ibu dan tidak banyak orang yang aku kenal. Sekarang aku memanggilmu Mama. Emm, Mama mau, kan, menjadi ibuku dan merestui pernikahanku!"Pupil matanya melebar, terus menatap Wulan penuh harap. Akankah Wulan memenuhi keinginannya?Wulan sendiri kehilangan kata-katanya. Air mata kembali mengalir deras dengan isakkan tertahan. Wanita itu hanya mengangguk sebagai jawaban.Bodoh! Anak sebaik ini, bagaimana ia bisa menyakitinya dan menolaknya berulang kali!Davinka mengangguk dengan senyum lebarnya, lalu memeluk tubuh gemetar itu dengan penuh kehangatan."Terima kasih, mulai sekarang aku punya Mama." Bisik Davinka dengan elusan lembut di punggung Wulan.Davinka mengurai pelukan, menarik tangan Sanjaya agar menjabat tangan Wulan, "Sekarang Mama Wulan adalah ibu mertuamu, cepat sungkem!"Sanjaya tercengang.
Mendengar ibunya berkata seperti itu membuat Yudha bangun dari duduknya dan meraih tangannya."Ini semua karena Yudha. Mama hanya korban dari obsesi Yudha! Sudah, semua sudah selesai. Biar Yudha yang menanggung semua ini!" Tegas pria itu. Kini aura kehidupan sudah terlihat di wajahnya. Davinka yang asli sering menolaknya dengan kata-kata kasar karena ke keraskepalaannya.Penyesalan, kekecewaan, dan amarah terpancar jelas. Akan tetapi, semua ditujukan kepada dirinya sendiri."Tidak ada yang akan masuk penjara. Semua hanya karena kesalahpahaman!" tanam Sandy, "Tuan Sanjaya mengembalikan semua yang sudah diambilnya," ujarnya lagi yang membuat mereka semua tercengang."Mak-maksudnya?"Kebingungan jelas terlihat dari bagaimana cara mereka bereaksi. Entah apa yang diambil dan harus dikembalikan."Toko elektronik suami Anda beserta isinya dan beberapa calon investor sudah ada di dalam dokumen ini. Kalian tidak bisa menolak! Ja
"Udah malem! bye, Rani …." Davinka langsung menutup pintunya rapat.Rani membalikkan tubuhnya, kamar itu sudah temaram. Yang membuat ia menggigit bibir bawahnya adalah, Sandy berada di tengah ranjang dengan memeluk Inggi. Putrinya malah ada di sisi lainnya ranjang itu.'Ais … jadi gue harus tidur disamping dia?' jerit Rani dalam hatinya.Bersentuhan dengan kulitnya saja sudah hampir membuatnya seperti terbakar. Tapi ini ….Pikirannya terhenti."Mau sampai kapan kamu di sana!" Suara bariton itu menggema dalam remangnya kamar hingga mampu membuat bulu kuduk Rani meremang sempurna.Suara serak Sandy menandakan bahwa pria itu sudah sempat tertidur, terdengar sangat menggoda di telinganya hingga jantungnya mulai berdetak lebih hebat. Rani mulai melangkah dengan kaki beratnya. Ia tahu malam ini harus tidur di ranjang yang sama dengan Sandy. Mampukah?Ini memang bukan malam pertama mereka. Tapi, tidur tepat di sisi pria itu hampir tidak pernah terjadi selama tiga Minggu mereka menikah."Di-d
'Aku tahu, aku sedang dihukum atas semua kejahatan-kejahatanku. Tapi kenapa tidak ambil saja nyawaku daripada membuat semua orang menderita bersamaku!'Venti mulai merasa depresi dengan keadaannya. Kata-kata berikutnya semakin membuatnya tenggelam."Itu jauh lebih bagus. Di kantor Papa bisa fokus bekerja. Tadinya Papa hanya akan pergi saat mendesak saja. Tapi melihat cinta kalian, Papa merasa sangat lega!"Davinka melihat suster membawa sesuatu di tangannya. "Apa itu, Sus? Apa makan siang mama?""Ya, Nyon—""Panggil ibu saja. Saya lebih nyaman dengan itu!" pangkas Davinka cepat. Dia sudah sangat risih dengan sebutan nyonya-nonyaan.Suster itu mengangguk dan berjalan mendekati Davinka, memperlihatkan apa yang ia bawa."Ini bubur cair. Nyonya Venti hanya dapat makan ini sementara waktu sampai bisa mengunyah kembali," jelas suster itu.Dengan wajah murung dan dan air mata yang hampir jatuh, Davinka terus menatap ib
"Keadaannya tidak akan membaik hanya karena kamu membatalkan resepsi kita, Ra!" Dan ini akan selalu menjadi panggilan untuk Diandra walaupun kini sudah mengganti nama Davinka dan melupakan panggilan Davin-nya."Baiklah, aku kalah dari kalian!" desahnya sambil menatap kelima pria ini yang sekarang berada dikamar perawatan Venti."Ayo! Rasty dan yang lainnya sudah menunggu di rumah," ujar Noel mengingatkan.Mereka akan pulang ke apartemen mewah Sanjaya. Noel sendiri setelah resepsi akan kembali ke Singapura dan menetap disana. Insiden berdarah di rumahnya sama sekali tidak pernah terpublikasikan. Ada keinginan untuk menjual rumah itu, tapi Davinka menolaknya. Bagaimanapun, rumah itu memiliki kenangan untuk Davinka ataupun Diandra.Brata menyewa satu jasa suster untuk merawat istrinya. Sebenarnya ia ingin dua orang agar mereka bisa bergantian menjaga. Tapi, menantunya ini menolak dengan alasan Venti sekarang memiliki empat orang anak. Satu suster sudah cukup."Kenapa tidak pulang kerumah
Ketika semua tidak seperti apa yang kita rencanakan maka, pasrahkan, serahkan, ikhlaskan …. Biarkan tangan Tuhan yang melanjutkan karena, seberapa gigih pun kita mencoba, tanpa jamahan tangannya semua akan sia-sia.Venti sudah mengerahkan seluruh kemampuannya untuk menyingkirkan Diandra agar menjauh dari putranya. Tapi apa? Semakin ia berusaha, semakin mendekatkan mereka hingga akhirnya membuat dirinya seperti ini sekarang. Bahkan, kematian lebih baik daripada kehidupan yang menyiksa ini.Dari tempatnya berbaring, Venti terus menatap wajah Davinka. Wajah cantik itu memang sangat berbeda dengan milik Diandra kecuali, mata, bibir, siluet dan suaranya yang sangat ia kenal.Seharusnya dia tahu akan hal ini karena Noel adalah bedah plastik terbaik di negaranya hingga mendapatkan pekerjaan di Singapura."Kita harus mencari dokter terapis terbaik, mama tidak bisa terus seperti ini!" bujuk Davinka disela isak tangisnya.'Apa dia menangis untukku? Menangisi aku yang jahat ini?' bagaimana mana
Para polisi langsung mengamankan Laura. Peluru mengenai dadanya dan langsung tembus ke jantung. Bukan hanya satu, tapi dua sekaligus hingga menewaskan wanita itu.Ambulance dan beberapa polisi sudah datang, mereka ditelpon oleh Noel dan Brata."Sanja!" panggil Davinka saat melihat suaminya terbaring lemas. Noel dan Sandy sudah ada disana memberikan pertolongan pertama."Aku gak papa," sahutnya menenangkan.Dengan kaki gemetar, Davinka membawa Renhart mendekat pada Sanjaya dan bersimpuh di hadapannya. Sanjay menyentuh wajah putranya dan bertanya dengan suara yang parau. Berusaha untuk tetap tersadar, "Kamu gak papa, kan? Apa ada yang sakit?"Pria itu melihat bagaimana Renhart di bekap oleh Laura.Renhart menggeleng, "Papa pasti kesakitan. Itu pasti sakit."Anak itu bicara di sela isak tangisnya. Merasa sangat khawatir. Renhart tahu Papanya sengaja melakukan itu agar peluru tidak mengenai tubuhnya. Ia melihat sendiri Papanya langsung melompat saat wanita jahat itu berteriak memintanya u
Suhu di ruangan itu mendadak berubah dibawah nol derajat. Suasananya lebih dingin dari kutub Utara. Siapapun tidak berani mengambil napas dengan semaunya. Mereka hanya tidak ingin mengeluarkan suara dan mengganggu konsentrasi.Laura masih menatap puas apa yang ada di hadapannya, bagaimana musuh terbesar ibunya kini sudah tidak terselamatkan lagi. Wajah Venti sudah terlihat bengkok dan kaku, napasnya sedikit terengah-engah, terlihat sangat kesakitan.Venti masih belum bisa memalingkan wajahnya dari tempat Davinka berdiri. Hanya suara geraman yang lolos dari bibir wanita itu yang sedikit membiru."Ini lebih bagus dari kematian. Kamu tersiksa sebelum ajal menjemput! Hahah!" Sandy melangkah maju. Tapi sial, ternyata telinga Laura sangat peka. Wanita itu kembali fokus pada Renhart dalam dekapan lengangnya."Apa kalian gila!" teriak wanita itu. Laura memutar tubuhnya dengan Renhart dalam lengannya, pistol terus menempel pada kepala anak itu dan siapa di tekan kapanpun. Ia menatap semua y
Suara benda jatuh dan teriakan menggema dari arah pintu dapur. Suara langkah kaki mulai terdengar semakin dekat. Venti yang masih menggenggam tangan Davinka merasa sangat bingung dengan nama ayah Davinka yang sama persis seperti nama ayah Diandra. Wanita itu masih berpikir keras dan berusaha mengenyahkan semua ketakutannya.'Ini pasti hanya kebetulan, kan?' tanyanya dalam hati, 'apa mereka saudara, satu ayah, atau—' Suaranya terhenti. Venti melihat genggaman tangannya yang masih menggenggam tangan Davinka yang kini dipaksa lepas oleh suaminya sudah terbuka dan tangan Davinka hilang dalam genggaman tangannya."Apa yang kamu pikirkan? Sekarang putra kita sudah sah menjadi suami Davinka," tukas pria berusia mengingat istrinya yang masih diam membisu. Pikirannya bahkan terlihat kosong.Brata membantu Davinka agar duduk disisi Sanjaya. Mereka mulai menandatangani berkas pernikahan. Namun, saat penghulu menyerahkan dua buku merah dan hijau, teriakan seseorang menghentikan pergerakannya.