Hasil dari investigasi di stasiun adalah, memang benar, Pranata Yuwana melakukan perjalanan ke Trowulan pada tanggal 23 Januari dengan menggunakan kereta Puma Express. Hal itu tentu saja membuat pria itu gugur sebagai calon tersangka.Tentu saja Aidan kecewa. Wajahnya bertambah muram. Nara tidak berani berpendapat karena takut akan menambah suasana hati pria itu menjadi semakin buruk. Bisa-bisa dirinya menjadi sasaran kekesalan Aidan."Lapar, nggak?" tanya Aidan membuat Nara terkesiap. Pria itu menepikan mobil di depan sebuah restauran."Lumayan," jawab Nara. Sementara Aidan keluar begitu saja dari dalam mobil tanpa mengajaknya. Gadis itu pun menyusul keluar, masuk ke dalam restauran yang tampak sepi. Hanya ada beberapa meja yang terisi pengunjung.Aidan memilih tempat di dekat jendela kaca menghadap ke jalan raya. Seorang pelayan datang menghampiri untuk menuliskan pesanan."Sama kaya yang Mas pesan aja," ucap Nara saat Aidan memintanya memesan makanan. Si pelayan mengambil buku menu
Tiga puluh menit perjalanan, mobil Aidan sampai di dekat sungai. Keduanya harus menyeberangi bebatuan yang untungnya cukup besar untuk kaki mereka berpijak. Air sungai pun sedang tidak terlalu deras. Keduanya menginjakkan kaki di padang rumput luas dan harus membelahnya agar sampai ke bibir hutan."Yakin mau masuk ke sana?" tanya Aidan seraya mengedarkan pandangnya ke sekeliling. Hening. Hanya terdengar kicauan burung-burung liar dan suara air mengalir dari kejauhan."Iya, Mas." Tanpa pikir panjang, Nara masuk ke dalam hutan melalui jalanan setapak yang kanan kirinya ditumbuhi semak-semak. Cahaya matahari terhalang rimbunnya dedaunan dari pohon-pohon besar tinggi menjulang. Hanya sebagian kecil saja yang berhasil menerobos sela-sela dedaunan.Aidan berjalan di belakang Nara, memperhatikan gerak-gerik gadis itu yang membuatnya mendesis pelan dan menggeleng. Sesekali sepasang matanya mengawasi sekitar."Hei, kamu tahu tempat yang akan kamu tuju?" Aidan mulai meragukan perjalanan mereka
"Nara? Nara?" Suara Aidan sayup-sayup terdengar menelusup ke dalam indra pendengaran Nara. Gadis itu seperti tertarik dari kegelapan, dan pelan membuka mata. Dia terkejut saat menyadari, kepalanya tengah bersandar di dada kokoh Aidan. "M-maaf, Mas," ucap gadis itu gugup. Dia buru-buru menarik diri dan kini berusaha berdiri dengan tegak, meski kepalanya masih terasa pening. "Kamu nggak papa?" Aidan mengerutkan kening, menatap gadis di hadapannya dengan tatapan penuh selidik. Dia masih menganggap Nara hanya berpura-pura pingsan. Lalu, gadis itu akan membeberkan apa yang telah dilihatnya selama dia tidak sadarkan diri. Aidan bersiap-siap untuk mendengarkan lelucon itu. "Mas, aku lihat ada bangunan misterius yang dipagari besi." Aidan menghela napas berat. "Oh ya? Bangunan apa? Dan di mana?" "Tidak begitu jelas, Mas ... mungkin ada di dalam hutan ini." "Terus apa hubungannya bangunan itu dengan pembunuh Arina? Bisa kau jelaskan?" tantang Aidan. Pria tampan itu terlihat cukup
Pertama kali bertemu dengan Aidan, saat pria itu datang ke tokonya, Nara sudah bisa membaca masa lalu Aidan yang buruk. Kemungkinan, sikap angkuhnya itu terpengaruh dari peristiwa yang telah ia alami. Ditinggalkan oleh wanita yang ia cintai. Yang jelas, Nara masih bisa melihat sorot luka dalam tatapan mata Aidan. Pagi itu, Nara sedikit terlambat datang ke kantor, sebab ada client datang dan mendesaknya untuk melakukan konsultasi. Saat ia menemui Aidan, wajah pria itu terlihat masam. "Maaf, Mas. Tadi ada client yang konsultasi pagi-pagi banget. Aku nggak bisa nolak." Nara beralasan. "Lain kali jangan lupa pasang tanda "close" di depan toko." Aidan menyambar tas di atas meja dan berjalan mendahului Nara keluar dari ruangannya. Gadis itu mengikuti dengan langkah tergesa. "Rencana hari ini apa, Mas?" tanya Nara sesaat setelah berada di dalam mobil Aidan. "Hasil team forensik sudah keluar." Aidan melajukan mobil meninggalkan area kantor BIN. "Oh ya? Terus?" tanya Nara berlagak
Aidan dan Nara saling melempar pandang saat pertanyaan penuh harap dari wanita bernama Ningrum itu terucap. Kalau saja harus menuruti kata hati, ia tidak tega memberitahukan kabar duka itu padanya. Tetapi, sebagai seorang abdi negara, ia tidak boleh melankolis. "Suami Mbak ada di RSKPN (Rumah Sakit Kesehatan Pusat Negara)." Ningrum mengelus dada seraya menghembuskan napas lega. Tetapi, kelegaannya tidak berlangsung lama, tepat setelah Aidan memberitahukan keadaan sang suami, Joseph. Wanita itu pun seketika meraung dengan cucuran air mata yang membanjiri pipi. Ia terduduk lemas seraya menutup wajahnya. Ratapannya terdengar begitu pilu. "Nggak benar, kan, Mas? Mbak?" sangkal Ningrum setelah ia berhenti menangis. Ia berharap dua orang pegawai pemerintahan ini hanya sedang mencandainya. Ia belum bisa menerima jika penantiannya selama tiga tahun ini berakhir dengan kabar paling buruk yang selalu ia singkirkan jauh-jauh dari pikirannya. Suaminya---Joseph---hanya tersesat dan tidak tahu j
Wanita itu berlari kencang dengan napas memburu. Tergambar jelas ketakutan di wajahnya. Ia tidak ingin mati malam ini. Tidak dengan cara yang brutal. Sementara langkah kaki cepat dan berat mengikutinya masuk ke dalam hutan."Aaah!" Kakinya tersandung sesuatu di tanah. Entah ranting pohon yang teronggok atau batu yang menghalangi langkahnya, ia tidak tahu. Sepasang matanya tidak mampu melihat jelas. Cahaya bulan malam itu tidak terlalu membantu.Wanita itu tersungkur. Cepat ia berusaha bangkit dan kembali berlari, tetapi, tanah becek sisa hujan tadi sore membuat kakinya terpeleset dan membuatnya cidera. Ia meringis kesakitan. Air mata telah membanjiri wajahnya. Bukan karena rasa sakit di pergelangan kaki, namun karena begitu dekatnya ia dengan kematian."Aku mohon, jangan bunuh aku," rengeknya putus asa. Ia bergerak mundur, berusaha menjauh semampunya dari kematian yang siap menyongsong.Ia menggeleng, meratap, memohon agar nayawanya diampuni. Ia masih ingin menghirup udara esok hari,
"Hmmm," gumam Aidan. Ia menggeleng pelan."Hasil penyelidikan tim forensik nanti akan sangat membantu."Aidan menghela napas pelan. Hasil tim forensik akan memakan waktu berhari-hari. Dan ia tidak suka menunggu. Sesuatu yang membuatnya penasaran harus segera ia pecahkan."Mas Aidan, kopi dulu!" seru seorang petugas dari balik garis vektor bertuliskan crime scene do not cross.Aidan melambai pada si petugas dan tersenyum. "Kopi dulu, Pak Musa," ajaknya pada si pria berkumis tipis.Dua minggu kemudian, Aidan belum menemukan titik terang tentang kasus yang telah ditetapkan menjadi kasus pembunuhan itu, meskipun telah mengantongi identitas si wanita. Arina Wijanarko namanya. Lahir dan besar di Nusantara City, yatim piatu dan pernah tinggal di sebuah panti asuhan. Namun, Aidan tidak mendapatkan informasi apapun yang berarti saat mendatangi panti asuhan itu. Kepala panti mengatakan Arina sudah tidak tinggal di sana sejak lima tahun lalu dan tidak ada kabarnya lagi.Sialnya, di tempat kejadi
"Kenapa kartu saya buruk semua, Mbak Nara?" Wanita berusia lima puluhan dengan sanggul tinggi dan riasan wajah cukup tebal itu tampak frustrasi. Sudah satu jam lebih ia berkonsultasi tentang kondisi rumah tangganya, namun sepertinya, kartu-kartu yang ia pilih tidak ada satu pun yang membuatnya lega.Nara mengulas senyumnya. "Tidak semua buruk, Bu Siska. Seperti yang saya bilang tadi, ada beberapa kartu yang memiliki dua sudut pandang. Dari sisi positif dan negatif. Itu tergantung perspektif Bu Siska sendiri," terangnya. Wanita itu adalah klien terakhir Nara hari ini. Namun, sepertinya, ia akan menyita waktu gadis itu lebih lama. Ia cukup merasa lelah seharian memforsir kekuatannya membaca nasib para klien."Boleh, ya, saya ambil kartu satu lagi?" Wanita yang dipanggil Siska itu memohon. Meskipun sesi konsultasinya seharusnya sudah selesai."Silahkan, Bu." Nara mengurai tumpukan kartu ke atas meja. Ia prihatin dengan wanita itu. Begitu naif sehingga tidak mengetahui suaminya main di be
Aidan dan Nara saling melempar pandang saat pertanyaan penuh harap dari wanita bernama Ningrum itu terucap. Kalau saja harus menuruti kata hati, ia tidak tega memberitahukan kabar duka itu padanya. Tetapi, sebagai seorang abdi negara, ia tidak boleh melankolis. "Suami Mbak ada di RSKPN (Rumah Sakit Kesehatan Pusat Negara)." Ningrum mengelus dada seraya menghembuskan napas lega. Tetapi, kelegaannya tidak berlangsung lama, tepat setelah Aidan memberitahukan keadaan sang suami, Joseph. Wanita itu pun seketika meraung dengan cucuran air mata yang membanjiri pipi. Ia terduduk lemas seraya menutup wajahnya. Ratapannya terdengar begitu pilu. "Nggak benar, kan, Mas? Mbak?" sangkal Ningrum setelah ia berhenti menangis. Ia berharap dua orang pegawai pemerintahan ini hanya sedang mencandainya. Ia belum bisa menerima jika penantiannya selama tiga tahun ini berakhir dengan kabar paling buruk yang selalu ia singkirkan jauh-jauh dari pikirannya. Suaminya---Joseph---hanya tersesat dan tidak tahu j
Pertama kali bertemu dengan Aidan, saat pria itu datang ke tokonya, Nara sudah bisa membaca masa lalu Aidan yang buruk. Kemungkinan, sikap angkuhnya itu terpengaruh dari peristiwa yang telah ia alami. Ditinggalkan oleh wanita yang ia cintai. Yang jelas, Nara masih bisa melihat sorot luka dalam tatapan mata Aidan. Pagi itu, Nara sedikit terlambat datang ke kantor, sebab ada client datang dan mendesaknya untuk melakukan konsultasi. Saat ia menemui Aidan, wajah pria itu terlihat masam. "Maaf, Mas. Tadi ada client yang konsultasi pagi-pagi banget. Aku nggak bisa nolak." Nara beralasan. "Lain kali jangan lupa pasang tanda "close" di depan toko." Aidan menyambar tas di atas meja dan berjalan mendahului Nara keluar dari ruangannya. Gadis itu mengikuti dengan langkah tergesa. "Rencana hari ini apa, Mas?" tanya Nara sesaat setelah berada di dalam mobil Aidan. "Hasil team forensik sudah keluar." Aidan melajukan mobil meninggalkan area kantor BIN. "Oh ya? Terus?" tanya Nara berlagak
"Nara? Nara?" Suara Aidan sayup-sayup terdengar menelusup ke dalam indra pendengaran Nara. Gadis itu seperti tertarik dari kegelapan, dan pelan membuka mata. Dia terkejut saat menyadari, kepalanya tengah bersandar di dada kokoh Aidan. "M-maaf, Mas," ucap gadis itu gugup. Dia buru-buru menarik diri dan kini berusaha berdiri dengan tegak, meski kepalanya masih terasa pening. "Kamu nggak papa?" Aidan mengerutkan kening, menatap gadis di hadapannya dengan tatapan penuh selidik. Dia masih menganggap Nara hanya berpura-pura pingsan. Lalu, gadis itu akan membeberkan apa yang telah dilihatnya selama dia tidak sadarkan diri. Aidan bersiap-siap untuk mendengarkan lelucon itu. "Mas, aku lihat ada bangunan misterius yang dipagari besi." Aidan menghela napas berat. "Oh ya? Bangunan apa? Dan di mana?" "Tidak begitu jelas, Mas ... mungkin ada di dalam hutan ini." "Terus apa hubungannya bangunan itu dengan pembunuh Arina? Bisa kau jelaskan?" tantang Aidan. Pria tampan itu terlihat cukup
Tiga puluh menit perjalanan, mobil Aidan sampai di dekat sungai. Keduanya harus menyeberangi bebatuan yang untungnya cukup besar untuk kaki mereka berpijak. Air sungai pun sedang tidak terlalu deras. Keduanya menginjakkan kaki di padang rumput luas dan harus membelahnya agar sampai ke bibir hutan."Yakin mau masuk ke sana?" tanya Aidan seraya mengedarkan pandangnya ke sekeliling. Hening. Hanya terdengar kicauan burung-burung liar dan suara air mengalir dari kejauhan."Iya, Mas." Tanpa pikir panjang, Nara masuk ke dalam hutan melalui jalanan setapak yang kanan kirinya ditumbuhi semak-semak. Cahaya matahari terhalang rimbunnya dedaunan dari pohon-pohon besar tinggi menjulang. Hanya sebagian kecil saja yang berhasil menerobos sela-sela dedaunan.Aidan berjalan di belakang Nara, memperhatikan gerak-gerik gadis itu yang membuatnya mendesis pelan dan menggeleng. Sesekali sepasang matanya mengawasi sekitar."Hei, kamu tahu tempat yang akan kamu tuju?" Aidan mulai meragukan perjalanan mereka
Hasil dari investigasi di stasiun adalah, memang benar, Pranata Yuwana melakukan perjalanan ke Trowulan pada tanggal 23 Januari dengan menggunakan kereta Puma Express. Hal itu tentu saja membuat pria itu gugur sebagai calon tersangka.Tentu saja Aidan kecewa. Wajahnya bertambah muram. Nara tidak berani berpendapat karena takut akan menambah suasana hati pria itu menjadi semakin buruk. Bisa-bisa dirinya menjadi sasaran kekesalan Aidan."Lapar, nggak?" tanya Aidan membuat Nara terkesiap. Pria itu menepikan mobil di depan sebuah restauran."Lumayan," jawab Nara. Sementara Aidan keluar begitu saja dari dalam mobil tanpa mengajaknya. Gadis itu pun menyusul keluar, masuk ke dalam restauran yang tampak sepi. Hanya ada beberapa meja yang terisi pengunjung.Aidan memilih tempat di dekat jendela kaca menghadap ke jalan raya. Seorang pelayan datang menghampiri untuk menuliskan pesanan."Sama kaya yang Mas pesan aja," ucap Nara saat Aidan memintanya memesan makanan. Si pelayan mengambil buku menu
Rumah bercat putih itu sepertinya dibangun tahun tujuh puluhan, terlihat dari design vintage klasiknya yang kental. Dua kursi dengan sandaran melebar bagian atas yang ada di teras semakin memperkuat dugaan Aidan.Aidan menepikan mobil di depan gerbang. Saat dia dan Nara turun, lalu memeriksa gerbang apakah terkunci atau tidak, mereka disambut gonggongan anjing yang terikat di batang sebuah pohon mangga berdaun lebat. Anjing jenis pitbull terus menggonggong ke arah mereka sehingga sang pemilik rumah---seorang pria berusia lima puluhan berjenggot tipis yang telah memutih---keluar dari pintu depan."Siapa?" tanyanya setengah berteriak mengimbangi suara anjingnya."BIN!" seru Aidan seraya menunjukkan ID Card miliknya pada pria itu. "Boleh kami masuk?""Diam, Roger, diam!" bentaknya membuat makhluk bergigi runcing itu mengakhiri gonggongannya dengan geraman. Pria berperut buncit itu melangkah membelah halaman rumah dan membuka pintu gerbang, mempersilahkan Aidan dan Nara masuk."Ada yang
Aidan menepikan mobil di depan sebuah toko senjata dengan desain bagian depan yang terlihat unik. Kaca dan pintu dikelilingi frame ukiran suku kuno yang langka. Pasalnya, banyak bangunan di Nusantara City yang berkonsep futuristik."Cari apa, Mas?" Pria botak bermata sipit yang mengenakan singlet putih bertanya pada Aidan dari balik meja kasir. Kacamata yang dikenakannya terlihat melorot dari hidung kecilnya. Sehingga, rasanya kacamata itu tidak ada fungsinya sama sekali membantu penglihatannya.Aidan merogoh mantel untuk mengambil ponsel. Kemudian menunjukkan sebuah foto pada si pria botak. Sementara Nara masih berkeliling ruangan toko melihat-lihat senjata-senjata tajam yang semuanya terlihat antik. Desainnya kuno. Beberapa di antaranya bahkan sepertinya tidak diproduksi lagi."Belati tiga mata pisau. Hmmm ...." Si pria mengelus dagu. "Ini barang langka desain abad pertengahan. Aku cuma punya dua, tapi sudah laku semua. Tidak ada yang memproduksi lagi karena kurang diminati," terang
"Ini jalan satu-satunya ke tempat kejadian perkara. Kalau kita putar balik artinya kita nggak jadi ke sana," ujar Aidan geram."Iya, tapi ....""Nara, kamu sudah paham aturanku, kan?" Aidan menatap tajam pada Nara, membuat gadis itu menunduk lesu. Kemudian dia mengemudikan kembali mobilnya ke jalan raya. Hingga beberapa kilometer di depan, dia terpaksa menghentikan mobil karena ada dua mobil polisi yang melintang di tengah jalan. Terlihat dari kejauhan asap mengepul di udara."Tunggu, aku periksa dulu." Aidan melirik Nara. Wajah gadis itu tampak tegang menatap kepulan asap di udara. Namun, dia tidak peduli dengan reaksi Nara. Aidan keluar dari mobilnya dan menemui beberapa orang polisi yang sedang meminta mobil-mobil yang mulai berdatangan untuk berputar arah."Pak, ada apa, ya?" tanya Aidan pada salah seorang petugas polisi."Kecelakaan, Mas. Mohon putar balik, ya?" pinta pria berkumis tebal dengan ramah.Aidan mengeluarkan kartu pengenal dari balik mantel. Si petugas segera memberi
"Mas Aidan, ada cewek nyariin."Seto menyembul dari balik pintu ruangan Aidan. "Tapi, ceweknya aneh," lanjutnya."Suruh masuk, Set," perintah Aidan pada bawahannya, pemuda berumur dua puluh dua tahun yang baru lulus dari sekolah intelijen negara."Mas Aidan kenal?" tanya Seto. Pemuda berambut cepak itu masih melongokkan kepalanya."Kenal. Sudah, suruh dia masuk." Aidan masih berkutat di depan layar komputernya tanpa menoleh ke arah Seto.Seto meringis. "Siap, Komandan!" seru pemuda itu sambil berlalu."Silahkan masuk, Mbak."Aidan mendengar suara Seto mempersilahkan seseorang untuk masuk ke ruangannya. Dia memandang ke arah pintu. Tidak lama kemudian, seorang gadis berpakaian hitam, rambut hitam panjang dengan poni lurus menghiasi kening, muncul."Hello, Nara. Silahkan duduk.""Apa saya terlambat, Mas?" tanya Nara sambil menarik kursi di depan meja Aidan lalu mendudukinya."Tidak." Aidan menutup komputernya dan mengumpulkan sebungkus rokok, ponsel dan sebuah buku catatan kecil lalu ia