Baru saja ingin merebahkan diri di tempat tidur, pintu kamar terketuk pelan. Sonia terpaksa bangun lagi begitu mendengar suara suaminya dari luar.Daun pintu terbuka lebar menampilkan sosok lelaki bertubuh tinggi tegap itu. Dia tersenyum lalu melangkah masuk sebelum berbicara sepatah kata pun. Sonia mengikuti dari belakang, tentu setelah mengunci pintu."Mas, malem ini nggak mau sama Kak Jes?""Kenapa? Kamu nggak suka aku ada di sini?""Bukan gitu, tapi aku rasa Kak Jes pasti ngerasa sedih. Aku gak masalah kalau misal Mas Al lebih banyak menghabiskan waktu sama Kak Jes karena aku ini cuman istri kedua yang—""Yang apa?"Sonia menghela napas berat. Sesuai saran dari Megan, dia harus tahu bagaimana perasaan lelaki itu yang sebenarnya. Jika masih ragu, mereka tentu sulit bertindak lebih jauh karena khawatir cinta menutup mata Albian dan membiarkan kejahatan Jessica begitu saja."Mas.""Sonia, mungkin kamu harus tahu perasaan aku yang sebenarnya sama kamu," kata Albian dengan suara pelan,
Malam itu, suasana di rumah besar Albian terasa lebih dingin dari biasanya. Jessica duduk di ruang kerjanya yang megah, menghadap jendela besar yang menampilkan pemandangan kota yang gemerlap. Matanya bersinar dengan rencana yang baru saja dia susun. Kali ini, dia berniat menggoyahkan kepercayaan Albian terhadap Sonia.Jessica tahu bahwa Albian mulai menaruh perhatian khusus pada wanita muda itu. Meskipun lelaki itu tidak pernah secara terang-terangan menunjukkan rasa cinta, Jessica merasakan adanya perubahan. Itu cukup untuk membuat api cemburunya semakin menyala.Albian baru saja kembali dari kantor ketika Jessica menghampirinya di ruang baca. Lelaki itu tengah memeriksa dokumen-dokumen penting di tangannya, tetapi tatapannya beralih begitu mendengar langkah-langkah Jessica mendekat.“Mas Albian,” sapa Jessica dengan nada lembut, terlalu lembut untuk wanita yang biasanya dingin.Albian mengangkat alis. “Ada apa, Sayang?”Jessica tersenyum kecil, seolah-olah enggan menyampaikan apa y
Pagi itu, Megan sedang merapikan beberapa barang di kamar Sonia. Udara masih dingin dan matahari belum sepenuhnya naik. Sonia baru saja keluar untuk sarapan di ruang makan bersama Albian, meninggalkan Megan sendirian di kamar.Megan, yang memiliki kebiasaan memeriksa setiap sudut untuk memastikan tidak ada sesuatu yang mencurigakan, menemukan sebuah amplop kecil tersembunyi di bawah bantal Sonia. Amplop itu berwarna putih gading dengan tulisan tangan yang rapi di bagian depan: Untuk Sonia.Megan mengernyitkan alisnya. Amplop itu terlihat baru. Ia mengambilnya dengan hati-hati dan membukanya. Di dalamnya terdapat selembar surat yang penuh dengan kata-kata manis, seolah ditulis oleh seseorang yang sedang jatuh cinta.Megan mulai membaca isi surat itu:*"Sonia,Aku tidak bisa berhenti memikirkanmu. Setiap kali aku melihatmu, hatiku berdebar tak karuan. Aku tahu ini salah, tapi perasaanku terlalu kuat untuk diabaikan. Suatu hari, aku berharap kita bisa bersama, tanpa ada yang menghalangi.
Hari itu, Jessica memutuskan untuk menjalankan rencananya yang lebih licik. Setelah gagal menjebak Sonia dengan surat cinta palsu, dia tahu perlu langkah yang lebih besar untuk membuat Albian benar-benar membenci Sonia. Kali ini, dia akan memanfaatkan emosi Sonia, mengadunya dengan Albian, dan menciptakan situasi di mana Sonia terlihat bersalah.Sementara itu, Sonia berada di ruang pribadinya yang penuh dengan buku-buku di rumah, mencoba mengalihkan pikiran dari kejadian sebelumnya. Megan, yang terus mengawasi Sonia seperti bayangan, tetap berjaga-jaga. Meski surat cinta palsu itu telah dibuktikan sebagai jebakan, Sonia tahu Jessica tidak akan berhenti sampai di situ.“Semakin hari, Kak Jes makin berbahaya,” gumam Sonia.Megan, yang sedang berdiri di dekat pintu, menyahut, “Benar. Tapi kita juga nggak akan tinggal diam. Dia mungkin licik, tapi kita bisa lebih pintar.”Belum sempat Sonia menanggapi, seorang pelayan bernama Erna masuk dengan wajah penuh kepanikan. “Non Sonia, Bu Jessica
Langit mendung seperti memberi isyarat bahwa sesuatu yang besar akan terjadi. Di dalam rumah mewah keluarga Albian, atmosfer tegang terasa di setiap sudut. Sonia duduk di ruang pribadinya, menatap amplop cokelat besar yang berhasil dia temukan di ruang kerja Jessica beberapa malam sebelumnya. Pikirannya berputar cepat, mencoba merumuskan langkah berikutnya."Kalau aku langsung memberikan ini ke Mas Al, dia mungkin saja tidak percaya," kata Sonia, berbicara lebih kepada dirinya sendiri daripada kepada Megan, yang sedang sibuk mencatat sesuatu di meja dekat jendela."Betul," sahut Megan tanpa menoleh, "Jessica selalu punya cara untuk memutar balikkan fakta. Dia ahli dalam memanipulasi orang."Sonia memejamkan mata, mencoba menenangkan debaran jantungnya. "Tapi kalau kita tidak bertindak, dia akan melangkah lebih jauh."Megan mengangkat wajahnya, menatap Sonia dengan penuh keyakinan. "Kita tidak akan tinggal diam, Sonia. Aku sudah punya rencana untuk memastikan kebenaran ini sampai ke Pa
Jessica berdiri di ruang kerjanya dengan tatapan penuh perhitungan. Langit yang cerah di luar jendela sama sekali tidak mencerminkan rencana busuk yang sedang berputar di benaknya. dia tahu posisinya di hadapan Albian mulai goyah sejak bukti pertama rencana jahatnya terungkap. Namun, Jessica belum selesai. Kali ini, dia memutuskan untuk menggunakan Rey, bodyguard yang selama ini menjadi pion dalam permainannya.Jessica memanggil Rey ke ruang kerjanya dengan nada tegas. Lelaki itu masuk dengan ekspresi enggan, menyadari bahwa setiap kali Jessica memanggilnya, ada rencana baru yang berbahaya."Rey, aku butuh bantuanmu," kata Jessica tanpa basa-basi.Rey menghela napas. "Apa lagi kali ini, Bu?"Jessica tersenyum tipis, pandangannya tajam. "Aku ingin kamu berpura-pura menjadi kekasih Sonia di masa lalu. Lebih baik lagi kalau kamu bisa meyakinkan Mas Albian kalau hubungan itu masih berlanjut."Rey terkejut, menatap Jessica dengan mata melebar. "Itu ide gila. Pak Al tidak akan percaya begit
Suasana di kediaman Albian terasa lebih tegang daripada biasanya. Jessica dengan senyum penuh kemenangan berdiri di dekat pintu ruang makan, mengawasi Albian yang menatap kosong ke arah cangkir kopinya. Suasana dingin ini tidak luput dari perhatian semua pelayan. Mereka tahu, ada badai besar yang akan segera pecah.Sonia berada di kamar, mengelus perutnya yang membesar. Dia mencoba menenangkan dirinya setelah percakapan terakhir dengan Megan. "Semua ini pasti akan selesai," bisiknya pada dirinya sendiri. Namun, hatinya tidak bisa tenang. Sejak tuduhan Han muncul, hubungan dengan Albian semakin memburuk.Tiba-tiba, pintu kamar terbuka dengan keras. Albian berdiri di ambang pintu, matanya penuh amarah.“Sonia, aku butuh penjelasan sekarang juga!” Suara Albian menggema, membuat Sonia tersentak.Sonia berdiri dengan hati-hati, mengingat kondisinya yang sedang hamil. “Mas, ada apa?” tanyanya lembut meskipun ia sudah tahu jawabannya.“Kamu masih berani bertanya?” Albian melangkah mendekat,
Esok hari, semua masih sama, bahkan udara di rumah Albian terasa berat, seolah menyimpan rahasia yang tak terkatakan. Sonia duduk di ruang baca, matanya tertuju pada halaman buku, tetapi pikirannya melayang. Tuduhan Rey tentang hubungan gelap dengannya masih menjadi beban, sementara hubungan dengan Albian semakin renggang. Megan, yang setia mengawasi Sonia, tahu bahwa ini adalah saatnya untuk bertindak.Megan sudah lama merasa bahwa Jessica ada di balik semua kekacauan ini. Dengan tekad yang semakin bulat, dia memutuskan untuk mencari bukti bahwa surat cinta yang digunakan Rey sebagai dalih adalah palsu. Dia tahu, tanpa bukti, tidak ada yang akan mempercayai mereka, terutama Albian. Selain itu, pengakuan Rey yang dikenalnya sebagai Han harus terungkap.***Megan mulai dengan menyelidiki ruang kerja Albian. Dia tahu bahwa Jessica sering memasuki ruangan itu untuk "membantu" Albian meskipun semua orang tahu niatnya selalu terselubung.Sore hari, saat rumah mulai sepi, wanita bermata taj
Lima tahun berlalu sejak malam yang penuh tantangan di ballroom mewah itu. Hidup Sonia dan Albian kini terasa lebih stabil meski tetap penuh dinamika. Mereka telah melalui banyak hal bersama dan keluarga mereka tumbuh dengan cinta dan kebahagiaan.Di sebuah pagi musim semi yang cerah, suara tawa anak kecil terdengar di halaman rumah besar milik keluarga Albian. Farhan Damian Adikusumo, putra pertama mereka yang kini berusia lima tahun, sedang berlari-lari mengejar bola di bawah pengawasan pelayan. Sementara itu, Sonia berbaring di tempat tidur di kamar utama, tangannya menggenggam tangan Albian.“Bagaimana perasaanmu, Sayang?” tanya Albian dengan nada cemas, duduk di tepi ranjang. Wajahnya menunjukkan kecemasan bercampur antusiasme.“Sedikit tegang, tapi aku siap, Mas,” jawab Sonia dengan senyum kecil meski wajahnya terlihat lelah. Perut besarnya menunjukkan bahwa dia akan melahirkan kapan saja.Tiba-tiba, Sonia merasakan kontraksi yang tajam. Dia pun menggigit bibir bawahnya, mencoba
Pada malam yang lain sesuai permintaan Pak Adikusumo, acara berlangsung meriah di salah satu ballroom hotel mewah milik keluarga Albian. Lampu kristal menggantung megah di langit-langit, sementara para tamu dari kalangan pebisnis ternama dan tokoh masyarakat berdatangan dengan senyum ramah yang penuh formalitas.Sonia berdiri di samping Albian, mengenakan gaun malam berwarna biru safir yang anggun. Rambutnya disanggul sederhana dan senyum lembutnya mencerminkan rasa percaya diri yang baru dia temukan. Di tengah percakapan hangat dengan beberapa tamu, Sonia merasakan tatapan dingin sang mertua yang terus mengawasinya dari kejauhan.“Ibu pasti sedang merencanakan sesuatu,” pikir Sonia, tetapi dia tetap menjaga sikapnya.Di sudut ruangan, Bu Laura memandang Sonia dengan sorot mata sulit ditebak. Keberhasilan Sonia membantu perusahaan selamat dari krisis besar baru-baru ini membuatnya terkesan, meski dia enggan mengakui hal itu secara terbuka.Namun, ada sesuatu dalam diri wanita tua itu
"Ini lebih buruk dari yang kita kira," kata Albian dengan suara berat, meletakkan dokumen tebal di meja ruang rapatnya. Para eksekutif perusahaan duduk dengan wajah tegang, sementara layar proyektor di depannya menampilkan grafik penurunan tajam.Pesaing besar, Fortuna Corporation, telah meluncurkan produk baru yang hampir identik dengan salah satu produk unggulan perusahaan Albian. Tidak hanya itu, mereka berhasil menekan harga hingga jauh di bawah rata-rata pasar, membuat pelanggan utama perusahaan Albian mulai berpaling."Jika kita tidak segera menemukan solusi, kerugian ini bisa membuat kita kehilangan kontrak-kontrak utama," tambah salah satu direktur pemasaran.Albian menghela napas panjang. Matanya menyapu seluruh ruangan, mencoba mencari semangat dalam timnya yang tampak mulai kehilangan harapan.Ujian datang bertubi-tubi membuat kepalanya terasa berdenyut.***Di rumah, Sonia melihat Albian pulang lebih larut dari biasanya. Wajahnya terlihat kusut, dengan garis-garis kelelaha
“Ibu, ini sudah terlalu jauh!” Albian mendobrak masuk ke ruang kerja ibunya. Suaranya tajam, hampir seperti geram. Di tangannya ada dokumen yang baru saja dia ambil dari meja sang ibu. “Apa maksudmu menyelidiki masa lalu Sonia? Apa Ibu sudah tidak percaya sama anak sendiri?”Wanita tua itu menatap putranya dengan tenang meskipun ekspresinya dingin. “Ibu hanya memastikan, Albian. Sebagai ibu, tentu Ibu punya hak untuk melindungi keluarga. Apa kamu masih tidak mengerti itu?”“Keluarga? Itu termasuk Sonia sekarang! Dia adalah istriku, ibu dari anakku, dan bagian dari hidupku. Ibu tidak punya hak untuk merusak hubungan kami!”Bu Laura segera berdiri, menghadapi Albian dengan tatapan tajam. “Kamu terlalu percaya pada Sonia, seperti dulu kamu percaya pada Jessica. Kamu lupa bagaimana itu menghancurkanmu? Ibu tidak akan membiarkan kesalahan itu terulang!”"Jadi, Ibu menganggap mereka sama karena berasal dari latar belakang yang sama?" Suara Albian mulai pelan, tetapi tentu masih penuh peneka
“Sayang, kamu mau jalan-jalan sama aku nggak?” tanya Albian pagi itu, memecah keheningan di ruang makan. Mereka sedang menikmati sarapan sederhana bersama ibu Sonia.Sonia mengangkat alis, sedikit terkejut. “Ke mana, Mas?”Albian tersenyum kecil, seakan menyimpan rahasia. “Ada sesuatu yang ingin aku tunjukkan. Ini akan menjadi awal dari sesuatu yang baru untuk kita.”Mendengar itu, Bu Siti mengukir senyum dan beralih menatap putrinya. "Pergilah, Nak. Farhan biar sama Ibu.""Apa nggak merepotkan, Bu?" tanya Sonia sedikit ragu. Sungguh, dia tidak lagi ingin merepotkan ibunya karena di masa kecil pun selalu direpotkan meskipun memang sudah menjadi tugas Ibu untuk merawat anak-anaknya.Farhan memang memiliki baby sitter, tetapi tetap saja harus selalu dalam pengawasan. Sudah banyak kasus yang membuat bulu kuduk Sonia meremang. Ya, meskipun baby sitter itu berperilaku baik selama ini, entah dengan nanti."Nggak apa-apa. Farhan cucu Ibu, kan? Lagi pula anakmu itu pinter, lho. Nggak akan nge
“Ini akan menjadi hari yang istimewa, Sayang,” ujar Albian sambil menggenggam tangan istrinya erat. Matanya berbinar penuh cinta saat memandang wanita yang telah melalui banyak rintangan bersamanya.Sonia tersenyum kecil. “Aku masih nggak percaya semua ini akhirnya terjadi, Mas. Aku merasa seperti baru saja melewati badai yang panjang.”Lelaki berwajah tegas itu mengusap punggung tangan Sonia dengan lembut. “Dan kini, kita berdiri di bawah langit yang cerah. Kamu layak mendapatkan semua kebahagiaan ini.”Hari itu, Sonia dan Albian memutuskan untuk mengadakan pesta kecil di rumah mereka. Tidak ada kemewahan berlebihan seperti acara keluarga besar sebelumnya, hanya kehangatan orang-orang terdekat yang setia mendampingi mereka selama ini.Pelayan-pelayan yang tersisa di rumah itu, yang sebagian besar telah menjadi seperti keluarga bagi Sonia, membantu menyiapkan makanan dan dekorasi. Mereka semua tampak bersemangat, seperti merayakan keberhasilan Sonia yang kini benar-benar diterima seba
“Semuanya sudah siap.” Sonia mengumumkan dengan percaya diri di hadapan tim proyeknya. Mata mereka bersinar penuh harapan meskipun minggu-minggu sebelumnya mereka diliputi keraguan. Strategi baru yang dirancang Sonia berhasil menarik perhatian beberapa perusahaan besar yang bersedia mendanai proyek pembangunan sekolah tersebut. Tantangan terakhir adalah menyampaikan presentasi kepada dewan direksi dan para mitra. Jika Sonia gagal di tahap ini, seluruh proyek bisa runtuh. Hari presentasi tiba. Sonia bangun lebih awal, mengenakan setelan sederhana nan elegan yang mencerminkan profesionalisme. Di depan cermin, dia menarik napas panjang. “Kamu bisa melakukannya,” bisiknya pada dirinya sendiri. Albian menghampiri dari belakang, meletakkan tangannya di pundaknya. “Aku percaya padamu,” katanya dengan suara lembut. “Ingat, ini bukan hanya tentang membuktikan diri kepada keluargaku. Ini tentang memberikan dampak nyata pada hidup orang lain.” Wanita itu tersenyum kecil, merasakan duku
Malam itu, Bu Laura duduk di ruang kerjanya, tangannya menopang dagu sambil memikirkan rencana baru. Sejak Tania pergi, Sonia terlihat lebih tegar. Hubungannya dengan Albian semakin kuat dan keluarga besar mulai memberikan dukungan kepada Sonia. Bu Laura tidak bisa membiarkan hal itu terus terjadi."Jika aku tidak melakukan sesuatu, wanita itu akan benar-benar menguasai keluarga ini," gumamnya. Dia membuka map di depannya yang penuh dokumen proyek amal keluarga mereka—sebuah proyek besar yang diinisiasi oleh keluarga besar Adikusumo sejak dulu.Matanya menyipit saat ide mulai terbentuk. Dia memutuskan untuk memberikan Sonia tanggung jawab besar—sebuah ujian yang, menurutnya, akan membuktikan apakah Sonia benar-benar layak menjadi bagian dari keluarga mereka.Setelah beberapa harinya, Bu Laura memanggil Sonia untuk bertemu di ruang tamu. Sonia datang dengan sedikit canggung, tidak terbiasa diajak berbicara langsung oleh mertuanya.“Ibu mau ketemu aku?” tanya Sonia dengan sopan begitu d
Pagi itu, Sonia sedang menyiapkan sarapan ketika Tania masuk ke dapur dengan raut wajah yang tak biasa. Matanya bersinar dan senyumnya tidak dapat disembunyikan.“Kak Sonia, aku punya kabar baik!” seru Tania, suaranya penuh semangat.Sonia menoleh, meletakkan panci di atas meja. “Apa itu? Cepat ceritain!”Tania mengeluarkan amplop dari tasnya dan menyerahkannya kepada Sonia. “Ini ... aku diterima di program beasiswa untuk melanjutkan studi ke luar negeri!”Sonia membuka amplop itu dengan tangan sedikit gemetar. Mata bulatnya membelalak ketika membaca isi surat tersebut. “Tania! Ini luar biasa!” serunya sambil memeluk adiknya erat.Beasiswa itu adalah impian Tania selama bertahun-tahun, tetapi selama ini tampak mustahil karena keterbatasan finansial. Namun, berkat dukungan Albian yang membantu memfasilitasi aplikasi dan memperkenalkan Tania ke orang-orang yang tepat, kesempatan ini akhirnya menjadi nyata.“Aku nggak percaya ini benar-benar terjadi,” kata Tania, duduk di meja makan deng