Hubungan antara Albian dan Sonia semakin dingin sejak tuduhan Rey mencuat. Albian, meskipun mulai merasa ada sesuatu yang tidak beres, tetap menjaga jarak dari Sonia. Diaa tidak bisa mengabaikan suara-suara kecil dalam pikirannya yang mengatakan bahwa ada kebenaran di balik semua ini. Namun, hatinya yang masih dipenuhi kemarahan membuatnya enggan untuk mendekati Sonia atau mencari penjelasan lebih lanjut.Di sisi lain, Sonia menjalani hari-harinya dengan beban berat di pundaknya. Meskipun Megan terus berusaha mendukungnya, dia tidak bisa menghilangkan rasa sakit karena Albian tidak mempercayainya. Setiap tatapan dingin dari suaminya adalah pengingat bahwa Jessica telah berhasil menyusup ke dalam kehidupan mereka dan menanamkan benih perpecahan.Di ruang kerjanya, Albian duduk sambil membaca laporan keuangan terbaru perusahaannya. Namun, pikirannya tidak sepenuhnya fokus. Dia teringat bagaimana Sonia menatapnya dengan air mata saat mencoba membela diri beberapa hari yang lalu. Tatapan
Megan tidak pernah berpikir bahwa perannya sebagai penjaga Sonia akan membawanya ke dalam intrik sebesar ini. Namun, setelah semua yang terjadi, dia tahu bahwa diam bukanlah pilihan. Jessica terlalu berbahaya, dan jika mereka tidak segera bertindak, bukan hanya Sonia, tetapi juga Albian yang akan menjadi korban.Malam itu, Megan memegang kunci kecil yang ia temukan di ruang kerja Jessica. Dia yakin kunci ini adalah petunjuk penting, tetapi pertanyaannya: untuk apa kunci itu?Keesokan paginya, Megan mulai bergerak. Dia memperhatikan dengan saksama setiap langkah Jessica. Saat Jessica pergi keluar rumah untuk sebuah pertemuan, Megan memanfaatkan kesempatan itu untuk masuk ke kamar pribadi Jessica.Dia memeriksa setiap sudut kamar, mencari tempat yang mungkin menjadi lokasi penyimpanan rahasia. Laci-laci meja, lemari pakaian, hingga rak buku diperiksanya dengan teliti. Hingga akhirnya, di sudut bawah lemari, Megan menemukan sebuah kotak logam kecil yang terkunci.“Pasti ini,” gumam Megan
Malam kembali hadir, ketegangan terasa memenuhi rumah megah Albian. Setelah diskusi tegang antara Sonia, Albian, dan Jessica sebelumnya, suasana menjadi lebih dingin dari biasanya. Albian menyimpan dokumen penting yang menunjukkan rencana Jessica di laci meja kerjanya, berjanji untuk mempelajarinya lebih lanjut. Namun, di balik ketenangan semu, ada gerakan yang tidak terlihat—Julian telah diperintahkan oleh Jessica untuk mengambil dokumen itu sebelum Albian sempat membaca lebih jauh.Julian adalah lelaki yang licik dan tangguh, sempurna untuk menjadi kaki tangan Jessica. Malam itu, dia menyelinap masuk ke rumah melalui pintu belakang, menggunakan rencana yang telah diatur dengan matang. Jessica memberinya informasi detail tentang lokasi dokumen tersebut dan cara menghindari penjaga malam serta beberapa pelayan yang masih berpihak pada Sonia.Di ruang kerja Albian yang remang-remang, Julian mulai mencari dokumen itu. Dia memeriksa laci meja kerja dengan cepat, tetapi mendapati semuanya
Jessica yang sedang duduk di ruang kerjanya menarik napas dalam dan mengembuskan perlahan, tangan mengepal di meja, sementara pikirannya dipenuhi kekhawatiran. Rencana liciknya untuk menghancurkan Albian dan menguasai perusahaannya telah terbongkar. Julian gagal mencuri dokumen rahasia yang sekarang ada di tangan Albian. Namun, Jessica bukan tipe wanita yang menyerah begitu saja. Dia tahu bahwa satu-satunya cara untuk mempertahankan posisinya adalah dengan memutarbalikkan fakta dan membangun narasi baru yang membuat dirinya tetap terlihat tidak bersalah.Sehari berlalu, Jessica mulai menjalankan rencananya. Dia memanggil beberapa pelayan yang masih setia padanya, terutama mereka yang telah diuntungkan oleh kemurahan hatinya di masa lalu. Mereka adalah Asri, Erna, dan Dea.“Dengar baik-baik,” kata Jessica dengan nada mendesak, “ada beberapa rumor buruk yang mulai beredar tentang aku. Itu semua adalah kebenaran yang ditemukan oleh Sonia dan Megan. Kalian tahu aku bisa melakukan hal-hal
Jessica yang sudah duduk di dalam mobilnya menghela napas berat, wajahnya yang biasanya tenang kini dihiasi gurat-gurat frustrasi. Posisi yang selama ini dia jaga dengan penuh ambisi perlahan terguncang. Albian mulai mempertanyakan kesetiaannya dan Sonia semakin mendapat dukungan. Namun, wanita licik yang menggenggam ambisi itu adalah seorang ahli strategi yang tak mudah menyerah."Aku harus menjatuhkan Sonia, sekali dan untuk selamanya," gumamnya, matanya menyala penuh kebencian.Setelah beberapa saat berpikir, dia menyusun rencana baru. Kali ini, dia akan menjebak Sonia dengan tuduhan palsu yang cukup besar untuk menghancurkan kepercayaan Albian sepenuhnya. Namun sebelum itu, dia merasa harus menenangkan pikiran dan menemui Julian agar tidak mudah tersulut emosi.Jessica tahu betul bahwa seseorang yang berkepala dingin dan terlihat tenang, biasanya lebih mudah menang. Pertempuran antara dirinya dan Sonia tidak akan pernah mencapai akhir sampai salah satu dari mereka terusir dari ru
Jessica berdiri di depan jendela kamarnya, menatap malam yang gelap dengan senyum penuh kebencian. Semua rencana sebelumnya untuk menghancurkan Sonia gagal total. Keberadaan Megan, yang terus melindungi Sonia, menjadi batu sandungan terbesar. Jessica tahu, selama Sonia masih bernapas, posisinya di hati Albian dan rumah ini tidak akan aman."Kalau dia hilang, semuanya akan selesai," bisik Jessica kepada dirinya sendiri.Dia memutar otaknya, mencari cara paling keji untuk memastikan Sonia tidak akan selamat kali ini. Hingga akhirnya, Jessica menyusun rencana baru yang memanfaatkan seseorang yang tidak pernah mencurigainya: Dea, seorang pelayan muda yang baru bekerja beberapa bulan di rumah itu.Dea sedang membersihkan rumah ketika Jessica menghampirinya dengan senyuman manis. Dea menunduk hormat, merasa sedikit gugup. Meski Jessica selalu terlihat ramah di depannya, ada sesuatu dalam tatapan wanita itu yang membuatnya tidak nyaman.“Dea, aku mau bicara sebentar,” ucap Jessica lembut.“Y
Rumah besar itu dipenuhi kesunyian pagi, hanya denting jam modern di ruang tengah yang sesekali memecah keheningan. Sonia berdiri di dekat gazebo, menatap taman luas yang disiram cahaya matahari. Tangannya mengelus perut yang semakin membesar. Hatinya terasa berat, bukan hanya karena beban fisik kehamilan, tetapi juga segala intrik yang terus menghantui kehidupannya.Megan mengetuk pintu yang menghubungkan ruang tengah dan taman lalu masuk dengan hati-hati. Dia membawa sebuah map tebal berwarna cokelat yang terlihat usang.“Aku menemukan ini tadi malam, Sonia,” ujar Megan sambil menunjukkan map tersebut.Sonia mengernyit. “Apa isinya?”Megan duduk di gazebo kayu yang terlihat cantik itu, membuka map itu dengan hati-hati. Di dalamnya, terselip beberapa dokumen yang tampak seperti salinan kontrak bisnis dan surat-surat pribadi yang ditulis dengan tangan. Salah satu surat itu menarik perhatian Sonia karena ditandatangani oleh Julian.Megan menunjuk paragraf tertentu. “Lihat ini, Sonia. S
Tidak seperti saat pertama datang ke rumah itu, mereka masih sering sarapan dan makan malam bersama meskipun sikap Albian tentu saja dingin atau bahkan menganggap Sonia tidak ada di sana. Sekarang mereka memang sering bertemu, tetapi untuk menciptakan konflik.Albian yang selalu sibuk dengan urusan pekerjaan terkadang merenung hampir sepanjang malam. Lelaki itu menatap langit-langit kamar seraya bertanya dalam hati, kapan semua akan selesai dengan semestinya tanpa menutupi kebenaran? Benarkah Jessica sudah berubah?Tidak ada lagi canda dan tawa, semua hanya ketegangan. Bahkan hari itu, langit sore mulai meredup, menyisakan semburat jingga di cakrawala. Megan yang duduk di tepi tempat tidur di kamar Sonia, menatap lantai dengan ekspresi yang sulit ditebak. Sonia yang sedang membaca salah satu dokumen rahasia Jessica melirik ke arah Megan.“Megan, kamu kenapa?” tanyanya pelan.Megan mengangkat wajahnya, tetapi tidak segera menjawab. Mata cokelatnya menyiratkan sesuatu yang dalam, sepert
Lima tahun berlalu sejak malam yang penuh tantangan di ballroom mewah itu. Hidup Sonia dan Albian kini terasa lebih stabil meski tetap penuh dinamika. Mereka telah melalui banyak hal bersama dan keluarga mereka tumbuh dengan cinta dan kebahagiaan.Di sebuah pagi musim semi yang cerah, suara tawa anak kecil terdengar di halaman rumah besar milik keluarga Albian. Farhan Damian Adikusumo, putra pertama mereka yang kini berusia lima tahun, sedang berlari-lari mengejar bola di bawah pengawasan pelayan. Sementara itu, Sonia berbaring di tempat tidur di kamar utama, tangannya menggenggam tangan Albian.“Bagaimana perasaanmu, Sayang?” tanya Albian dengan nada cemas, duduk di tepi ranjang. Wajahnya menunjukkan kecemasan bercampur antusiasme.“Sedikit tegang, tapi aku siap, Mas,” jawab Sonia dengan senyum kecil meski wajahnya terlihat lelah. Perut besarnya menunjukkan bahwa dia akan melahirkan kapan saja.Tiba-tiba, Sonia merasakan kontraksi yang tajam. Dia pun menggigit bibir bawahnya, mencoba
Pada malam yang lain sesuai permintaan Pak Adikusumo, acara berlangsung meriah di salah satu ballroom hotel mewah milik keluarga Albian. Lampu kristal menggantung megah di langit-langit, sementara para tamu dari kalangan pebisnis ternama dan tokoh masyarakat berdatangan dengan senyum ramah yang penuh formalitas.Sonia berdiri di samping Albian, mengenakan gaun malam berwarna biru safir yang anggun. Rambutnya disanggul sederhana dan senyum lembutnya mencerminkan rasa percaya diri yang baru dia temukan. Di tengah percakapan hangat dengan beberapa tamu, Sonia merasakan tatapan dingin sang mertua yang terus mengawasinya dari kejauhan.“Ibu pasti sedang merencanakan sesuatu,” pikir Sonia, tetapi dia tetap menjaga sikapnya.Di sudut ruangan, Bu Laura memandang Sonia dengan sorot mata sulit ditebak. Keberhasilan Sonia membantu perusahaan selamat dari krisis besar baru-baru ini membuatnya terkesan, meski dia enggan mengakui hal itu secara terbuka.Namun, ada sesuatu dalam diri wanita tua itu
"Ini lebih buruk dari yang kita kira," kata Albian dengan suara berat, meletakkan dokumen tebal di meja ruang rapatnya. Para eksekutif perusahaan duduk dengan wajah tegang, sementara layar proyektor di depannya menampilkan grafik penurunan tajam.Pesaing besar, Fortuna Corporation, telah meluncurkan produk baru yang hampir identik dengan salah satu produk unggulan perusahaan Albian. Tidak hanya itu, mereka berhasil menekan harga hingga jauh di bawah rata-rata pasar, membuat pelanggan utama perusahaan Albian mulai berpaling."Jika kita tidak segera menemukan solusi, kerugian ini bisa membuat kita kehilangan kontrak-kontrak utama," tambah salah satu direktur pemasaran.Albian menghela napas panjang. Matanya menyapu seluruh ruangan, mencoba mencari semangat dalam timnya yang tampak mulai kehilangan harapan.Ujian datang bertubi-tubi membuat kepalanya terasa berdenyut.***Di rumah, Sonia melihat Albian pulang lebih larut dari biasanya. Wajahnya terlihat kusut, dengan garis-garis kelelaha
“Ibu, ini sudah terlalu jauh!” Albian mendobrak masuk ke ruang kerja ibunya. Suaranya tajam, hampir seperti geram. Di tangannya ada dokumen yang baru saja dia ambil dari meja sang ibu. “Apa maksudmu menyelidiki masa lalu Sonia? Apa Ibu sudah tidak percaya sama anak sendiri?”Wanita tua itu menatap putranya dengan tenang meskipun ekspresinya dingin. “Ibu hanya memastikan, Albian. Sebagai ibu, tentu Ibu punya hak untuk melindungi keluarga. Apa kamu masih tidak mengerti itu?”“Keluarga? Itu termasuk Sonia sekarang! Dia adalah istriku, ibu dari anakku, dan bagian dari hidupku. Ibu tidak punya hak untuk merusak hubungan kami!”Bu Laura segera berdiri, menghadapi Albian dengan tatapan tajam. “Kamu terlalu percaya pada Sonia, seperti dulu kamu percaya pada Jessica. Kamu lupa bagaimana itu menghancurkanmu? Ibu tidak akan membiarkan kesalahan itu terulang!”"Jadi, Ibu menganggap mereka sama karena berasal dari latar belakang yang sama?" Suara Albian mulai pelan, tetapi tentu masih penuh peneka
“Sayang, kamu mau jalan-jalan sama aku nggak?” tanya Albian pagi itu, memecah keheningan di ruang makan. Mereka sedang menikmati sarapan sederhana bersama ibu Sonia.Sonia mengangkat alis, sedikit terkejut. “Ke mana, Mas?”Albian tersenyum kecil, seakan menyimpan rahasia. “Ada sesuatu yang ingin aku tunjukkan. Ini akan menjadi awal dari sesuatu yang baru untuk kita.”Mendengar itu, Bu Siti mengukir senyum dan beralih menatap putrinya. "Pergilah, Nak. Farhan biar sama Ibu.""Apa nggak merepotkan, Bu?" tanya Sonia sedikit ragu. Sungguh, dia tidak lagi ingin merepotkan ibunya karena di masa kecil pun selalu direpotkan meskipun memang sudah menjadi tugas Ibu untuk merawat anak-anaknya.Farhan memang memiliki baby sitter, tetapi tetap saja harus selalu dalam pengawasan. Sudah banyak kasus yang membuat bulu kuduk Sonia meremang. Ya, meskipun baby sitter itu berperilaku baik selama ini, entah dengan nanti."Nggak apa-apa. Farhan cucu Ibu, kan? Lagi pula anakmu itu pinter, lho. Nggak akan nge
“Ini akan menjadi hari yang istimewa, Sayang,” ujar Albian sambil menggenggam tangan istrinya erat. Matanya berbinar penuh cinta saat memandang wanita yang telah melalui banyak rintangan bersamanya.Sonia tersenyum kecil. “Aku masih nggak percaya semua ini akhirnya terjadi, Mas. Aku merasa seperti baru saja melewati badai yang panjang.”Lelaki berwajah tegas itu mengusap punggung tangan Sonia dengan lembut. “Dan kini, kita berdiri di bawah langit yang cerah. Kamu layak mendapatkan semua kebahagiaan ini.”Hari itu, Sonia dan Albian memutuskan untuk mengadakan pesta kecil di rumah mereka. Tidak ada kemewahan berlebihan seperti acara keluarga besar sebelumnya, hanya kehangatan orang-orang terdekat yang setia mendampingi mereka selama ini.Pelayan-pelayan yang tersisa di rumah itu, yang sebagian besar telah menjadi seperti keluarga bagi Sonia, membantu menyiapkan makanan dan dekorasi. Mereka semua tampak bersemangat, seperti merayakan keberhasilan Sonia yang kini benar-benar diterima seba
“Semuanya sudah siap.” Sonia mengumumkan dengan percaya diri di hadapan tim proyeknya. Mata mereka bersinar penuh harapan meskipun minggu-minggu sebelumnya mereka diliputi keraguan. Strategi baru yang dirancang Sonia berhasil menarik perhatian beberapa perusahaan besar yang bersedia mendanai proyek pembangunan sekolah tersebut. Tantangan terakhir adalah menyampaikan presentasi kepada dewan direksi dan para mitra. Jika Sonia gagal di tahap ini, seluruh proyek bisa runtuh. Hari presentasi tiba. Sonia bangun lebih awal, mengenakan setelan sederhana nan elegan yang mencerminkan profesionalisme. Di depan cermin, dia menarik napas panjang. “Kamu bisa melakukannya,” bisiknya pada dirinya sendiri. Albian menghampiri dari belakang, meletakkan tangannya di pundaknya. “Aku percaya padamu,” katanya dengan suara lembut. “Ingat, ini bukan hanya tentang membuktikan diri kepada keluargaku. Ini tentang memberikan dampak nyata pada hidup orang lain.” Wanita itu tersenyum kecil, merasakan duku
Malam itu, Bu Laura duduk di ruang kerjanya, tangannya menopang dagu sambil memikirkan rencana baru. Sejak Tania pergi, Sonia terlihat lebih tegar. Hubungannya dengan Albian semakin kuat dan keluarga besar mulai memberikan dukungan kepada Sonia. Bu Laura tidak bisa membiarkan hal itu terus terjadi."Jika aku tidak melakukan sesuatu, wanita itu akan benar-benar menguasai keluarga ini," gumamnya. Dia membuka map di depannya yang penuh dokumen proyek amal keluarga mereka—sebuah proyek besar yang diinisiasi oleh keluarga besar Adikusumo sejak dulu.Matanya menyipit saat ide mulai terbentuk. Dia memutuskan untuk memberikan Sonia tanggung jawab besar—sebuah ujian yang, menurutnya, akan membuktikan apakah Sonia benar-benar layak menjadi bagian dari keluarga mereka.Setelah beberapa harinya, Bu Laura memanggil Sonia untuk bertemu di ruang tamu. Sonia datang dengan sedikit canggung, tidak terbiasa diajak berbicara langsung oleh mertuanya.“Ibu mau ketemu aku?” tanya Sonia dengan sopan begitu d
Pagi itu, Sonia sedang menyiapkan sarapan ketika Tania masuk ke dapur dengan raut wajah yang tak biasa. Matanya bersinar dan senyumnya tidak dapat disembunyikan.“Kak Sonia, aku punya kabar baik!” seru Tania, suaranya penuh semangat.Sonia menoleh, meletakkan panci di atas meja. “Apa itu? Cepat ceritain!”Tania mengeluarkan amplop dari tasnya dan menyerahkannya kepada Sonia. “Ini ... aku diterima di program beasiswa untuk melanjutkan studi ke luar negeri!”Sonia membuka amplop itu dengan tangan sedikit gemetar. Mata bulatnya membelalak ketika membaca isi surat tersebut. “Tania! Ini luar biasa!” serunya sambil memeluk adiknya erat.Beasiswa itu adalah impian Tania selama bertahun-tahun, tetapi selama ini tampak mustahil karena keterbatasan finansial. Namun, berkat dukungan Albian yang membantu memfasilitasi aplikasi dan memperkenalkan Tania ke orang-orang yang tepat, kesempatan ini akhirnya menjadi nyata.“Aku nggak percaya ini benar-benar terjadi,” kata Tania, duduk di meja makan deng