"Sayang, besok aku ada meeting," sanggah Albian dengan mimik serius."Bisa ditunda, kan?"Lelaki itu terdiam. Dia bingung harus memberi alasan apa. Sebenarnya dia tidak ada meeting besok, hanya alasan agar Jessica mengerti. Lagi pula kalau dia mengantar wanita muda itu ke rumah orang tuanya, maka bagaimana perasaan Jessica sebagai istri pertama? Tidakkah dia merasa cemburu karena sekarang suaminya harus peduli pada dua orang?Lagi pula, dia tidak kenal dekat dengan ibu dan adik Sonia. Jika bertamu ke sana, mungkin sulit menemukan bahasan yang cocok. Wanita paruh baya itu pun pasti tahu bahwa dirinya tidak mencintai Sonia dan mungkin sampai kapan pun cinta itu ibarat mustahil ada. Satu lagi, Albian memikirkan tanggapan tetangga.Masalah tempat tinggal, itu hal biasa sekarang karena setahu Albian, Jessica merenovasi rumah orang tua Sonia hingga terlihat lebih layak. Hal itulah yang menjadi sebab istri keduanya semakin sulit kalau mau membantah. Dia menurut saja, seperti boneka."Nggak a
"Kamu mulai gemukan, Nak. Nampak kayak orang kaya, tapi kamu bahagia, kan?" tanya Bu Siti dengan mata berkaca-kaca. Sungguh, dia tidak bisa menyembunyikan kesedihannya."Gemuk karena hamil mungkin, Bu. Kalau masalah bahagia, lumayanlah. Minimal nggak sengsara di sana.""Maksudnya?"Sonia terdiam. Tidak mungkin dia jujur pada sang ibu bahwa ada ART bernama Dea yang selalu cari masalah padanya. Dia harus menutupi semua itu dan memancarkan senyum paling manis. Hanya sebentar lagi dia akan bebas dari perjanjian yang sebenarnya sangat tidak diinginkan.Lagi pula itu bukan masalah besar, Sonia bisa mengatasinya. Sekarang dia tidak takut, terutama jika Albian berada di sisinya meskipun sedikit melihat perubahan pada Jessica.Dia tidak tahu mengapa wanita itu semakin baik padanya. Bukan maksud menggiring opini negatif, Sonia hanya khawatir ada sesuatu yang direncanakan. Bukankah musuh paling besar adalah seseorang yang dianggap penting?
"Kakak!" teriak Tania ketika dia pulang sekolah dan menemukan sang kakak tercinta sedang menonton televisi. Raut wajah gadis itu berubah ceria, padahal sebelumnya bagai pakaian kusut karena kelelahan.Sonia menyambut dengan senyuman lantas memeluk adiknya. Dia rindu. Tanpa terasa bulir bening mulai mengalir membasahi kedua pipinya yang mulus bersama harapan agar Tania menjadi orang sukses dengan pendidikan tinggi agar tidak berakhir seperti dirinya.Dunia begitu kejam, begitu pikir Sonia. Untuk itu, Tania harus mengubah semuanya. Menjadi kebanggaan orang tua dengan segudang prestasi yang membanggakan. Bagaimana pun caranya nanti, dia harus bisa mengutamakan pendidikan sang adik."Kakak kenapa ke sini gak bilang-bilang dulu?""Mendadak. Tadi dianter sama Mas Al, cuman Mas Al ada urusan penting.""Kakak nginep, kan, malam ini?"Mendengar itu, Sonia memanyunkan bibir. Air mukanya menyiratkan keputusasaan. Beberapa saat kemudian, dia pun menjawab, "Sayangnya nggak bisa. Mas Al sibuk bange
Bab 27Albian menoleh ke belakang karena sama terkejutnya dengan Sonia. Lelaki itu terlalu senang merasakan gerakan di dalam perut. Dia tidak bisa membayangkan bagaimana rasa bahagia itu datang ketika bayinya telah lahir.Mereka masih beruntung karena tidak terjadi kecelakaan, tetapi amarah pengendara di belakang tentu tidak bisa dielakkan. Dia turun dari mobil, melangkah penuh rasa kesal dan mengetuk kaca jendela kanan."Maaf, Pak. Istri saya tiba-tiba tutup mata, jadi saya kaget." Begitu Albian memberi alasan.Lelaki berkumis tebal itu melirik pada Sonia yang memang memejamkan mata. Amarahnya mereda ketika melihat perut yang membuncit itu. Rasa rindu pada mendiang istri kembali meraja dalam hati karena dulu dia meninggal satu jam setelah melahirkan.Dia memahami bagaimana perjuangan seorang ibu melahirkan anaknya, bukan hanya itu, tetapi saat sedang mengandung pula. Beberapa saat kemudian, dia mengatup kedua tangan di depan dada lalu kembali ke mobilnya tanpa sepatah kata pun."Syuk
"Indah ...."Indah segera menghampiri Sonia dan mengambil kertas yang dijatuhkan Jessica tadi lantas membacanya dengan seksama. "Aku sengaja mengirim surat karena tidak mau meninggalkan jejak di ponsel. Kamu tahu, kan, Mas Al bisa saja melihatnya? Aku tidak sabar menanti kepulanganmu, Julian. Tenang saja, gadis itu tengah mengandung.""Julian ... kamu juga tahu tentang foto itu?""Iya, Non. Julian adalah adik Bu Jessi, tapi aku nggak tahu dia ada di mana sekarang. Rupanya tebakan Bi Sumi benar, mereka memang sedang merencanakan sesuatu.Sonia segera mengambil ponselnya, kemudian memotret kertas tadi dan menyimpannya dalam brankas pribadi. Setelah itu, dia melipat dan meletakkannya di tempat semula.Sebelum Jessica kembali, mereka berdua kembali duduk di tepi ranjang, pura-pura tidak melihat sesuatu. Namun, sampai suapan terakhir, wanita itu tidak juga menampakkan batang hidungnya.Malam semakin larut ketika Sonia merasa kesepian di dalam kamar, seorang diri, hanya ditemani embusan ang
"Sudahlah. Harusnya aku nggak nanya sama kamu soal Jessica," kata Albian lagi seraya melepas tangan wanita itu sebelum menuruni anak tangga.Dia segera mengecek dapur dan tiada siapa pun di sana. Penasaran, Albian melangkah panjang menuju ruang tamu, tetapi kosong. Lelaki bertubuh tinggi itu benar-benar berhasil dibuat kesal oleh istrinya. Mengapa selalu saja menghilang?"Maaf, Pak Al cari siapa?" Salah seorang ART mendekat ketika melihat majikannya berdiri sambil mengedarkan pandangan ke segala arah."Kamu lihat istri saya?""Istri yang mana, Pak? Bu Jessi atau Non Sonia?""Bu Jessi. Lihat?""Mungkin di sekitar kolam, Pak. Tadi aku kayak lihat bayangan waktu lewat."Albian tidak menjawab, melainkan langsung menuju kolam yang ada di samping rumah. Kalau memang benar Jessica ada di sana, maka dia harus menghujaninya dengan banyak pertanyaan.Entah kenapa, Albian merasa terlalu memanjakan Jessica selama ini. Dia berpikir bahwa perkataan keluarganya benar, sikap Albian yang selalu mengal
"Dea, Asri!" panggil Bi Sumi memekakkan telinga kedua gadis itu. "Iya, Bi. Ini udah siap!" sahut Dea keluar dari pintu kamar, disusul oleh Asri. Mereka berdua berpenampilan seperti seorang majikan. Bi Sumi hanya bisa geleng-geleng kepala. Andai bukan demi Sonia, sudah pasti wanita paruh baya itu lebih memilih mengajak Dewi dan Kamila. Supir baru yang diterima bekerja sejak dua bulan lalu telah menunggu di halaman depan. Mereka bertiga pun memasuki kendaraan roda empat tersebut. Tidak lama kemudian, Sonia melangkah cepat menuju halaman depan, menunggu Indah sambil berjemur. Dewi, Arini, Kamila, dan Erna sibuk melanjutkan pekerjaan. Sesuai saran dari Albian, Sonia melakukan gerakan-gerakan ringan daripada hanya duduk atau rebahan seharian. Memang benar, melakukan semua itu pun membuat badannya terasa bugar lagi. Sonia pun merasa harus lebih banyak tersenyum agar di wajahnya tidak mudah dihiasi kerutan tipis. "Non!" Sonia menoleh. "Ngomong di sini aja, sekalian jemuran bareng.
"Aku harus bisa tegas pada mereka," bisik Sonia pada diri sendiri seraya melangkah cepat masuk ke rumah karena Dewi memanggilnya.Erna dan Arini masih terus beradu mulut, sesekali saling menarik rambut. Berani sekali dia, padahal ada Kamila juga bersama mereka, sedangkan dia ibarat seorang diri."Hentikan!" Sonia berucap tegas pada mereka. Matanya menatap tajam tanpa senyuman seperti biasa dia suguhkan."Arini yang duluan, Non!" kata Erna berusaha membela diri."Nggak, Mbak Erna yang duluan," bantah wanita yang namanya disebut itu. Dia menatap tidak suka pada Erna seakan-akan ingin menelan hidup-hidup."Aku nggak peduli siapa yang memulai. Aku hanya ingin mengingatkan kalau tugas kalian di sini adalah bekerja. Adapun kalau benar ada yang malas-malasan, memang seharusnya ditegur. Aku nggak mau tahu sedekat apa kalian sama Kak Jes atau mungkin Mas Al, pada intinya kalian ada di sini untuk bekerja. Mengerti?"Erna mengepalkan kedua tangannya lalu berlalu meninggalkan mereka. Dia lebih me
Lima tahun berlalu sejak malam yang penuh tantangan di ballroom mewah itu. Hidup Sonia dan Albian kini terasa lebih stabil meski tetap penuh dinamika. Mereka telah melalui banyak hal bersama dan keluarga mereka tumbuh dengan cinta dan kebahagiaan.Di sebuah pagi musim semi yang cerah, suara tawa anak kecil terdengar di halaman rumah besar milik keluarga Albian. Farhan Damian Adikusumo, putra pertama mereka yang kini berusia lima tahun, sedang berlari-lari mengejar bola di bawah pengawasan pelayan. Sementara itu, Sonia berbaring di tempat tidur di kamar utama, tangannya menggenggam tangan Albian.“Bagaimana perasaanmu, Sayang?” tanya Albian dengan nada cemas, duduk di tepi ranjang. Wajahnya menunjukkan kecemasan bercampur antusiasme.“Sedikit tegang, tapi aku siap, Mas,” jawab Sonia dengan senyum kecil meski wajahnya terlihat lelah. Perut besarnya menunjukkan bahwa dia akan melahirkan kapan saja.Tiba-tiba, Sonia merasakan kontraksi yang tajam. Dia pun menggigit bibir bawahnya, mencoba
Pada malam yang lain sesuai permintaan Pak Adikusumo, acara berlangsung meriah di salah satu ballroom hotel mewah milik keluarga Albian. Lampu kristal menggantung megah di langit-langit, sementara para tamu dari kalangan pebisnis ternama dan tokoh masyarakat berdatangan dengan senyum ramah yang penuh formalitas.Sonia berdiri di samping Albian, mengenakan gaun malam berwarna biru safir yang anggun. Rambutnya disanggul sederhana dan senyum lembutnya mencerminkan rasa percaya diri yang baru dia temukan. Di tengah percakapan hangat dengan beberapa tamu, Sonia merasakan tatapan dingin sang mertua yang terus mengawasinya dari kejauhan.“Ibu pasti sedang merencanakan sesuatu,” pikir Sonia, tetapi dia tetap menjaga sikapnya.Di sudut ruangan, Bu Laura memandang Sonia dengan sorot mata sulit ditebak. Keberhasilan Sonia membantu perusahaan selamat dari krisis besar baru-baru ini membuatnya terkesan, meski dia enggan mengakui hal itu secara terbuka.Namun, ada sesuatu dalam diri wanita tua itu
"Ini lebih buruk dari yang kita kira," kata Albian dengan suara berat, meletakkan dokumen tebal di meja ruang rapatnya. Para eksekutif perusahaan duduk dengan wajah tegang, sementara layar proyektor di depannya menampilkan grafik penurunan tajam.Pesaing besar, Fortuna Corporation, telah meluncurkan produk baru yang hampir identik dengan salah satu produk unggulan perusahaan Albian. Tidak hanya itu, mereka berhasil menekan harga hingga jauh di bawah rata-rata pasar, membuat pelanggan utama perusahaan Albian mulai berpaling."Jika kita tidak segera menemukan solusi, kerugian ini bisa membuat kita kehilangan kontrak-kontrak utama," tambah salah satu direktur pemasaran.Albian menghela napas panjang. Matanya menyapu seluruh ruangan, mencoba mencari semangat dalam timnya yang tampak mulai kehilangan harapan.Ujian datang bertubi-tubi membuat kepalanya terasa berdenyut.***Di rumah, Sonia melihat Albian pulang lebih larut dari biasanya. Wajahnya terlihat kusut, dengan garis-garis kelelaha
“Ibu, ini sudah terlalu jauh!” Albian mendobrak masuk ke ruang kerja ibunya. Suaranya tajam, hampir seperti geram. Di tangannya ada dokumen yang baru saja dia ambil dari meja sang ibu. “Apa maksudmu menyelidiki masa lalu Sonia? Apa Ibu sudah tidak percaya sama anak sendiri?”Wanita tua itu menatap putranya dengan tenang meskipun ekspresinya dingin. “Ibu hanya memastikan, Albian. Sebagai ibu, tentu Ibu punya hak untuk melindungi keluarga. Apa kamu masih tidak mengerti itu?”“Keluarga? Itu termasuk Sonia sekarang! Dia adalah istriku, ibu dari anakku, dan bagian dari hidupku. Ibu tidak punya hak untuk merusak hubungan kami!”Bu Laura segera berdiri, menghadapi Albian dengan tatapan tajam. “Kamu terlalu percaya pada Sonia, seperti dulu kamu percaya pada Jessica. Kamu lupa bagaimana itu menghancurkanmu? Ibu tidak akan membiarkan kesalahan itu terulang!”"Jadi, Ibu menganggap mereka sama karena berasal dari latar belakang yang sama?" Suara Albian mulai pelan, tetapi tentu masih penuh peneka
“Sayang, kamu mau jalan-jalan sama aku nggak?” tanya Albian pagi itu, memecah keheningan di ruang makan. Mereka sedang menikmati sarapan sederhana bersama ibu Sonia.Sonia mengangkat alis, sedikit terkejut. “Ke mana, Mas?”Albian tersenyum kecil, seakan menyimpan rahasia. “Ada sesuatu yang ingin aku tunjukkan. Ini akan menjadi awal dari sesuatu yang baru untuk kita.”Mendengar itu, Bu Siti mengukir senyum dan beralih menatap putrinya. "Pergilah, Nak. Farhan biar sama Ibu.""Apa nggak merepotkan, Bu?" tanya Sonia sedikit ragu. Sungguh, dia tidak lagi ingin merepotkan ibunya karena di masa kecil pun selalu direpotkan meskipun memang sudah menjadi tugas Ibu untuk merawat anak-anaknya.Farhan memang memiliki baby sitter, tetapi tetap saja harus selalu dalam pengawasan. Sudah banyak kasus yang membuat bulu kuduk Sonia meremang. Ya, meskipun baby sitter itu berperilaku baik selama ini, entah dengan nanti."Nggak apa-apa. Farhan cucu Ibu, kan? Lagi pula anakmu itu pinter, lho. Nggak akan nge
“Ini akan menjadi hari yang istimewa, Sayang,” ujar Albian sambil menggenggam tangan istrinya erat. Matanya berbinar penuh cinta saat memandang wanita yang telah melalui banyak rintangan bersamanya.Sonia tersenyum kecil. “Aku masih nggak percaya semua ini akhirnya terjadi, Mas. Aku merasa seperti baru saja melewati badai yang panjang.”Lelaki berwajah tegas itu mengusap punggung tangan Sonia dengan lembut. “Dan kini, kita berdiri di bawah langit yang cerah. Kamu layak mendapatkan semua kebahagiaan ini.”Hari itu, Sonia dan Albian memutuskan untuk mengadakan pesta kecil di rumah mereka. Tidak ada kemewahan berlebihan seperti acara keluarga besar sebelumnya, hanya kehangatan orang-orang terdekat yang setia mendampingi mereka selama ini.Pelayan-pelayan yang tersisa di rumah itu, yang sebagian besar telah menjadi seperti keluarga bagi Sonia, membantu menyiapkan makanan dan dekorasi. Mereka semua tampak bersemangat, seperti merayakan keberhasilan Sonia yang kini benar-benar diterima seba
“Semuanya sudah siap.” Sonia mengumumkan dengan percaya diri di hadapan tim proyeknya. Mata mereka bersinar penuh harapan meskipun minggu-minggu sebelumnya mereka diliputi keraguan. Strategi baru yang dirancang Sonia berhasil menarik perhatian beberapa perusahaan besar yang bersedia mendanai proyek pembangunan sekolah tersebut. Tantangan terakhir adalah menyampaikan presentasi kepada dewan direksi dan para mitra. Jika Sonia gagal di tahap ini, seluruh proyek bisa runtuh. Hari presentasi tiba. Sonia bangun lebih awal, mengenakan setelan sederhana nan elegan yang mencerminkan profesionalisme. Di depan cermin, dia menarik napas panjang. “Kamu bisa melakukannya,” bisiknya pada dirinya sendiri. Albian menghampiri dari belakang, meletakkan tangannya di pundaknya. “Aku percaya padamu,” katanya dengan suara lembut. “Ingat, ini bukan hanya tentang membuktikan diri kepada keluargaku. Ini tentang memberikan dampak nyata pada hidup orang lain.” Wanita itu tersenyum kecil, merasakan duku
Malam itu, Bu Laura duduk di ruang kerjanya, tangannya menopang dagu sambil memikirkan rencana baru. Sejak Tania pergi, Sonia terlihat lebih tegar. Hubungannya dengan Albian semakin kuat dan keluarga besar mulai memberikan dukungan kepada Sonia. Bu Laura tidak bisa membiarkan hal itu terus terjadi."Jika aku tidak melakukan sesuatu, wanita itu akan benar-benar menguasai keluarga ini," gumamnya. Dia membuka map di depannya yang penuh dokumen proyek amal keluarga mereka—sebuah proyek besar yang diinisiasi oleh keluarga besar Adikusumo sejak dulu.Matanya menyipit saat ide mulai terbentuk. Dia memutuskan untuk memberikan Sonia tanggung jawab besar—sebuah ujian yang, menurutnya, akan membuktikan apakah Sonia benar-benar layak menjadi bagian dari keluarga mereka.Setelah beberapa harinya, Bu Laura memanggil Sonia untuk bertemu di ruang tamu. Sonia datang dengan sedikit canggung, tidak terbiasa diajak berbicara langsung oleh mertuanya.“Ibu mau ketemu aku?” tanya Sonia dengan sopan begitu d
Pagi itu, Sonia sedang menyiapkan sarapan ketika Tania masuk ke dapur dengan raut wajah yang tak biasa. Matanya bersinar dan senyumnya tidak dapat disembunyikan.“Kak Sonia, aku punya kabar baik!” seru Tania, suaranya penuh semangat.Sonia menoleh, meletakkan panci di atas meja. “Apa itu? Cepat ceritain!”Tania mengeluarkan amplop dari tasnya dan menyerahkannya kepada Sonia. “Ini ... aku diterima di program beasiswa untuk melanjutkan studi ke luar negeri!”Sonia membuka amplop itu dengan tangan sedikit gemetar. Mata bulatnya membelalak ketika membaca isi surat tersebut. “Tania! Ini luar biasa!” serunya sambil memeluk adiknya erat.Beasiswa itu adalah impian Tania selama bertahun-tahun, tetapi selama ini tampak mustahil karena keterbatasan finansial. Namun, berkat dukungan Albian yang membantu memfasilitasi aplikasi dan memperkenalkan Tania ke orang-orang yang tepat, kesempatan ini akhirnya menjadi nyata.“Aku nggak percaya ini benar-benar terjadi,” kata Tania, duduk di meja makan deng