Sarah bangun pagi, ia melihat Alexander masih tertidur pulas. Ia beranjak bangun, berjalan ke arah jendela membuka tirai jendela. "Hem,, belum bangun padahal udah siang." ucap Sarah. Sarah menyiapkan pakaian kerja Alexander dan bergegas pergi ke kamar mandi untuk mandi. Sedangkan Alexander terbangun karena silaunya matahari menebus jendela kamarnya. "Aishh,, siapa yang membuka tirai jendela." ucap Alexander. Alexander melihat jam ternyata sudah pukul 07:00 wib, ia bergegas bangun. Saat ia meraih handuk melihat Sarah keluar dari kamar mandi menggunakan sehelai handuk menutupi tubuh nya. Alexander melihat dari ujung kaki sampai ujung kepala, paha yang putih bersih tersinar matahari sangat membuat Alexander terpana melihat tubuh Sarah. "Aaahhhh,, tutup mata mu. " teriak Sarah. Dengan panik Alexander berbalik badan menutup mata nya, ia merasa seperti baru ketahuan saja. Namun setelah dipikirin Alexander baru ingat kenapa dia menutupi matanya,padahal dia suaminya sendiri. "Sarahhh.
Dikantor Alexander masih mengingat kejadian pagi tadi bersama dengan Sarah. "Tuan Alex, rapat sudah siap. " ucap Daniel. "Ohiya, aku akan kesana, pergi lah duluan. " perintah Daniel. Alexander beranjak bangun, namun sebelum ia pergi ia memeriksa ponsel melihat mama nya mengirimkan sebuah pesan yang menyatakan bahwa Elizabeth menginginkan es krim. "Dia pengen es krim, terus kemarin bilang ngga mau hemm." oceh Alexander. Alexander menutup layar ponselnya dan segera pergi ke ruang rapat. Disana ia melaksanakan rapat selama satu jam lebih, setelah selesai ia mengingat keinginan istrinya untuk makan es krim. "Daniel, belikan semua rasa es krim. " perintah Alexander. "Hah untuk apa tuan ?." tanya Daniel penasaran. "Emm,, bayi ku menginginkan nya." ucap Alexander malu-malu. "Kalo gitu biarkan aku menghubungi nona Sarah terlebih dahulu tuan, biar nona memilih rasa apa?." Alexander menghentikan Daniel, ia meminta Daniel menghubungi Elizabeth saja, karena ia tahu dari Elizabeth bahwa
Setelah menemukan tempat yang cocok untuk tuannya dan Sarah bertemu ditempat es krim. "Tuan Alex, aku sudah menyiapkan tempat yang cocok untuk anda." ucap Daniel. "Aihh,, emang harus aku nganterin dia makan es krim ?." tanya Alexander. Daniel memberitahu Alexander bahwa itu adalah haknya, dan seharusnya Alexander yang menemani Sarah bukan Daniel. "Tapi aku ngga bisa ?,mana mungkin aku jalan berdua dengan wanita selain Emily." ucap Alexander mengeluh. "Tuan Alex, bagaimanapun nona Sarah adalah istri anda tuan. " "Hemm,, tapi Daniel dia tidak pantas bersanding dengannku,dari derajat saja sudah berbeda. " ucap Alexander menyombongkan dirinya. "Tuan Alex, setidak dia sedang mengandung anak anda, junior Alexander muda tuan." Alexander terdiam, ia berbalik badan memikir apa yang dikatakan oleh Daniel. Ia tidak bisa egois dengan keadaan ini, apa lagi Sarah memang sedang mengandung anaknya tentu saja ia harus memperhatikan nya."Baiklah, ayo kita kesana." ucap Alexander. "Tapi sebaik
Melihat Alexander yang sudah didepan matanya, Sarah hanya terdiam dan mengacuhkan Alexander dan berbicara kembali dengan pemilik kucing tersebut. "Sarah, kenapa kamu hanya diam?." tanya Alexander. "Iya lex, ada apa ?." Alexander menghela nafas, ia meminta pria tersebut untuk segera pergi karena yang berbicara dengan nya adalah istrinya bukan orang lain. "Maaf tuan, aku tidak tahu." ucap pria tersebut. "Ada apa sih?, lagian kan aku mau liat kucing itu." "Sarah, bukan nya kamu disini ingin makan es krim bukan liat kucing itu." ucap Alexander. "Emm,, ngga deh. Ngga jadi kayak nya, pengen liat kucing itu aja." Alexander mengkerut dahi nya, ia melihat Sarah dengan tatapan mata yang menekan. Bisa-bisanya Sarah bilang tidak ingin makan es krim. "Sarah jangan main-main Sarah, aku menghentikan pekerjaan ku demi mengantarkan mu makan es krim. " ucap Alexander. "Aku emang ngga ingin Alex, lagian itu pengennya tadi bukan sekarang. " ucap Sarah melirik kearah lain. "
Setelah beberapa bulan pernikahan mereka, kini kandungan Sarah sudah terlihat besar. Bahkan Alexander sudah menunjukkan kasih sayang, perhayain nya terhadap Sarah walaupun masih terlihat malu-malu. "Hari ini kamu cek kandungan kan, biar aku antarkan. " ucap Alexander. "Hah, tumben. Ngga perlu ada mama kok, lagian kan kamu harus ke kantor. ""Emang kenapa ?, aku ingin melihat perkembangan calon anak ku." ucap Alexander mengusap perut Sarah. Sarah tersenyum, dan mengiyakan ucapan Alexander jika memang tak menganggu pekerjaan Alexander. Sarah merasakan perubahan Alexander, kini ia mulai memperhatikan hal-hal kecil yang berhubungan dengan Sarah. "Emm,, kamu ngga boleh pakai pakaian ketat, karena itu ngga baik buat bayi kita. Jadi aku akan meminta Daniel dan beberapa pelayan untuk belanja baju untuk mu, mengganti pakaian ketat mu dilamari.""Hah,, terus semua baju-baju ku dimana ?." tanya Sarah seraya membuka lemarinya. "Ku buang." ucap santai Alexander. "Lex, baju itu masih bagus se
Sepulangnya dari RS, Sarah langsung mengunjungi rumah ayah nya. Ia benar-benar merindukan ayahnya, namun merasa takut jika kehadiran nya tak diterima oleh mereka. "Sarah, haii aku benar-benar rinduk kamu. " ucap Tania memeluk erat sahabatnya. "Taniaaa,, aa akhirnya aku bisa melihat mu juga. " Alexander yang melihat Sarah dan Tania hanya bisa diam menyenderkan tubuhnya dimobil. Pandangan mata Alexander terus menerus melihat kearah perut Sarah, ia takut jika Tania akan menyentuh perutnya. "Eii, jangan sentuh. " ucap Alexander menahan tangan Tania. "Kenapa ?, aku cuman mau mengelus saja. " "Jangan,aku ngga mau bayi ku kenapa-kenapa ?." ucap Alexander menarik pelan tangan Sarah. Tania tercengang dengan ucapan Alexander, mana mungkin ia akan menyelakai temannya sendiri. Alexander benar-benar berfikir jauh tentang Tania, padahal Tania hanya ingin mengelus perut Sarah ngga lebih. "Tuan Alexander, aku ngga akan membuat calon bayi mu kenapa-kenapa, aku hanya ingin mengelus calon kepona
Sesampainya dirumah Alexander meminta pelayan untuk membawa Sarah ke kamar dengan berhati-hati. "Sarah kenapa Lex?." tanya Elizabeth kuatir melihat keadaan Sarah. "Aku ngga apa-apa kok mah, cuman kecapean." ucap Sarah. "Kamu habis nangis sayang, lex Sarah nangis kenapa?. " "Sarah benaran deh mama ngga apa-apa, Sarah ke kamar dulu." ucap Sarah. Sarah pergi menuju kamarnya, sedangkan Alexander terdiam membeku melihat keadaan Sarah. Ia benar-benar tak tega. "Lex, ada apa nak?." "Emm,, tadi habis dari rumah nya tapi sepertinya dia tak diterima dengan baik." jelas Alexander. "Keluarga sialan, berani sekali dia melakukan itu kepada menantu ku." "Aku juga ngga habis pikir mah, dia memiliki saudara tiri tapi jahat sekali." ucap Alexander bingung. Elizabeth sudah menduga pasti dia akan melakukan hal itu, karena posisinya memang keluarga sana tidak pernah menyukai Sarah. "Ayahnya Sarah kerja dimana?." "Daniel bilang dia sudah dipecat terjebak hutang, makanya waktu itu meminta uang
Alexander membawa Sarah keluar dengan beralasan ia ingin membuat Sarah lebih tenang. "Kita akan kemana mas ?." tanya Sarah penasaran. "Kesuatu tempat, yang akan membuat mu bahagia.""Ohiya, tempat apa itu?." "Kau juga akan tahu setelah kita sampai disana." ucap Alexander. Alexander tinggal menunggu kabar dari Daniel apakah dia berhasil membuat Ibu dan adik tiri Sarah pergi meninggalkan rumah, sehingga Daniel dan Tania bisa membawa Ayahnya Sarah untuk bertemu dengan Sarah sesuai dengan tempat yang telah di tentukan. "Aku sudah siap, ayo berangkat aku udah ngga sabar ingin tahu apa yang kamu siapkan." ucap Sarah tersenyum. "Umm,, jangan memasang wajah itu aku tidak menyukai nya. ""Hah, kenapa?, apakah kamu takut jatuh cinta dengan ku?." tanya Sarah. "Sarah, ingatlah aku... " Aku bisa membuat mu jatuh cinta dengan ku mas, itu semua butuh waktu, aku yakin suatu saat kamu pasti akan menyukai ku dan menerima aku sebagai istri mu." ucap Sarah memotong ucapan Alexander. Alexander te
Kebahagiaan yang sempat Adrian rasakan saat kelahiran putrinya berubah menjadi kekhawatiran yang dalam. Ia tak bisa benar-benar tenang, mengingat betapa berbahayanya situasi antara Daniel dan Alexander. Adrian tahu bahwa satu-satunya cara untuk menghentikan siklus dendam ini adalah dengan menghadapi Daniel dan menemukan solusi yang benar-benar damai.Alexander juga menyadari ancaman yang belum sepenuhnya berlalu. Meski sempat tersentuh oleh kebahagiaan Adrian, pikirannya tak bisa lepas dari bayang-bayang pertemuan terakhirnya dengan Daniel. Dalam pertemuan itu, Daniel menunjukkan kemarahan dan kebencian yang mendalam, terutama setelah merasa dikhianati oleh Adrian. Alexander memahami bahwa dendam yang tersimpan dalam hati Daniel tak akan hilang begitu saja.Adrian akhirnya memutuskan bahwa ia harus berbicara langsung dengan Daniel. Ia mengatur pertemuan rahasia di tempat yang jauh dari hiruk-pikuk kota, berharap bisa melunakkan hati sepupunya itu. Sebelum pergi, ia menatap Amelia dan
Amelia duduk di kursi malas di rumah sakit, perutnya yang besar jelas menunjukkan bahwa ia sudah sangat dekat dengan waktu persalinan. Adrian duduk di sampingnya, menggenggam tangannya erat-erat. Meski bibirnya tersenyum lembut, ada ketegangan yang jelas di wajahnya. Hari itu, hari yang seharusnya dipenuhi kebahagiaan, malah diwarnai kekhawatiran karena ancaman Daniel yang masih menggantung di udara."Semua akan baik-baik saja," bisik Adrian, berusaha menenangkan istrinya. "Kita fokus pada kelahiran bayi kita dulu. Jangan pikirkan hal-hal yang lain."Amelia mengangguk, meskipun ia tahu Adrian juga sedang memikirkan hal yang sama. Ia tahu suaminya tertekan dengan situasi yang melibatkan Daniel. Namun, saat ini, yang terpenting baginya adalah menyambut buah hati mereka.Tiba-tiba, Amelia merasakan rasa sakit yang tajam di perutnya, seperti ada kontraksi yang datang lebih kuat dari sebelumnya. Ia mengerang pelan, membuat Adrian segera panik.“Amelia, kamu baik-baik saja?” Adrian langsung
Malam itu, suasana rumah Alexander dipenuhi ketenangan setelah kelahiran anak keduanya. Namun, di luar sana, badai besar sedang mendekat. Daniel, yang masih dikuasai amarah dan dendam, tidak bisa menerima kenyataan bahwa Adrian, adik sepupunya, memilih untuk melawan dan menghentikan niatnya.Sementara itu, di rumah sakit, Sarah telah dipindahkan ke kamar pemulihan bersama bayi perempuannya yang sehat. Alexander tak lepas dari sisi istrinya. Meski ia merasa lega karena anak keduanya lahir dengan selamat, pikirannya tetap terpecah dengan ancaman yang menggantung di atas kepala mereka—Daniel.“Alex,” bisik Sarah dengan suara lembut, menggenggam tangan suaminya. “Kamu kelihatan sangat khawatir. Ada apa? Apakah sesuatu terjadi dengan Daniel?”Alexander mengangguk pelan. Ia tak ingin menyembunyikan apapun dari Sarah, meskipun ia tahu bahwa ini bukan saat yang tepat untuk membicarakan masalah besar. Namun, Sarah mengenalnya terlalu baik untuk dibiarkan dalam kegelapan.“Daniel... dia... mara
Suara napas Sarah semakin cepat, tubuhnya bergetar menahan rasa sakit yang semakin tak tertahankan. Pecahnya ketuban membuat semua orang di rumah panik, terutama Amelia yang tidak pernah melihat kakaknya dalam keadaan selemah ini. Amelia segera memegang tangan Sarah dengan erat, mencoba menenangkan kakaknya meski hatinya sendiri dipenuhi kekhawatiran. Sementara itu, Adrian sedang dalam perjalanan, berusaha secepat mungkin untuk menemukan Alexander."Adrian, tolong cepat kembali! Kak Sarah tidak sanggup lagi!" suara Amelia terdengar putus asa melalui telepon.Adrian mempercepat langkahnya, berpacu dengan waktu. Di tengah perjalanan, ia tak henti-hentinya mencoba menghubungi Alexander, tetapi ponselnya tetap mati. Rasa takut dan kekhawatiran merayap dalam dirinya. Ia tahu bahwa Daniel mungkin sudah melancarkan rencananya, dan jika Alexander tidak segera ditemukan, semuanya bisa berakhir buruk. Namun, saat ini, Adrian tidak hanya memikirkan Alexander, tapi juga Sarah dan bayinya yang aka
Di ruang gawat darurat rumah sakit, situasi semakin tegang. Sarah yang berbaring di ranjang rumah sakit sudah tampak pucat pasi. Pecah ketubannya datang lebih cepat dari perkiraan, dan rasa sakit yang menyiksanya semakin hebat. Amelia menggenggam erat tangan kakaknya, mencoba menenangkan Sarah, namun ketegangan tetap terasa jelas di wajahnya."Amelia... aku tidak bisa... ini terlalu sakit," bisik Sarah dengan suara yang nyaris putus asa."Sabar, Sarah. Kamu kuat. Aku di sini bersamamu, dan Adrian sedang berusaha menghubungi Alexander," ucap Amelia dengan nada lembut, meski dalam hatinya ia sendiri mulai panik. Adrian, yang berdiri tak jauh dari pintu, terlihat mondar-mandir sambil terus menempelkan ponselnya di telinga, mencoba menghubungi Alexander berkali-kali."Kenapa teleponnya selalu mati?" gumam Adrian, frustrasi. Ia menghela napas panjang, matanya terarah ke arah Sarah yang sedang berjuang. Rasa tanggung jawab mulai menekan hatinya. Apalagi dengan firasat buruk yang terus mengg
Malam itu, Sarah terbangun dengan rasa mulas yang menusuk di perutnya. Ia mengerang pelan, tangannya memegangi perut yang semakin membesar. Detik itu juga ia tahu bahwa ini adalah tanda bahwa waktu kelahiran anak keduanya telah tiba. Namun, Alexander belum juga kembali. Ia mencoba menenangkan diri, menarik napas dalam-dalam, tapi kontraksi semakin kuat.Dengan tangan gemetar, Sarah meraih ponselnya dan segera menghubungi adiknya, Amelia. Sambil menunggu Amelia mengangkat panggilan, Sarah menggigit bibirnya, menahan rasa sakit yang semakin tak tertahankan."Amelia... aku butuh bantuanmu," suara Sarah terdengar panik saat Amelia akhirnya mengangkat telepon.Amelia yang mendengar suara panik kakaknya langsung terbangun dari tidurnya. "Sarah? Ada apa? Kau baik-baik saja?""Ini... aku rasa aku akan melahirkan, Amelia. Alexander belum juga pulang. Bisa kau datang ke sini dengan Adrian? Aku tidak kuat..."Mendengar suara lemah Sarah, Amelia langsung bergegas membangunkan Adrian yang masih te
Setelah Daniel pergi, Adrian duduk termenung di ruangannya, memikirkan langkah berikutnya. Situasi semakin memburuk. Meski ia sudah mencoba berbicara dengan Daniel, semuanya malah semakin rumit. Kini, ia harus memikirkan cara untuk menghentikan Daniel sebelum balas dendam itu benar-benar menghancurkan semua orang, termasuk Amelia yang kini menjadi pusat perhatian di antara mereka.Amelia, yang selama ini selalu tampak ceria, belakangan mulai menunjukkan tanda-tanda kelelahan emosional. Adrian menyadari betapa sulitnya bagi Amelia untuk berada di tengah konflik yang ia sendiri mungkin tidak sepenuhnya pahami. Ia tak pernah membayangkan bahwa Amelia akan terjebak di antara dendam keluarga yang tak berkesudahan ini.Setelah beberapa saat berpikir, Adrian memutuskan untuk pulang lebih awal. Ia ingin berbicara dengan Amelia tentang semua yang terjadi. Ada banyak hal yang belum Amelia ketahui, dan Adrian merasa ini adalah saat yang tepat untuk mengungkapkan semuanya. Di satu sisi, Adrian ta
Daniel berjalan bolak-balik di dalam ruangan gelap dengan wajah tegang. Pikiran tentang pengkhianatan Adrian terus membayangi. Adrian, yang seharusnya berada di sisinya, justru mulai menunjukkan sikap sebaliknya. Dan sekarang, Adrian bahkan meminta dia berhenti dari rencana balas dendam yang sudah lama dia susun. Suara langkah kaki Daniel menggema di ruangan itu, hingga akhirnya dia menghentikan gerakannya dan memandang Adrian dengan sorot mata marah."Kenapa kau tiba-tiba berubah pikiran, Adrian?" tanya Daniel dengan nada dingin yang menggigilkan. "Kita sudah sepakat bahwa ini adalah satu-satunya cara untuk membalas dendam pada Alexander. Kenapa sekarang kau memutuskan untuk mengkhianatiku?"Adrian, yang berdiri di sudut ruangan, menghela napas panjang. Wajahnya tampak lelah, dan dia menatap Daniel dengan tatapan tenang, tapi tegas. "Ini bukan soal pengkhianatan, Daniel. Ini soal menghentikan siklus kebencian yang tak ada gunanya. Apa yang kau harapkan dari semua ini? Kehancuran Ale
Hari itu, Alexander kembali ke rumah dengan hati yang penuh beban. Pikirannya tak bisa lepas dari pesan-pesan di ponsel tua yang ia temukan di kantor lama Daniel. Jika benar Daniel masih hidup, apa tujuan dari semua ini? Apa yang sebenarnya sedang dia rencanakan? Di dalam hatinya, Alexander tahu ini bukan lagi sekadar balas dendam pribadi, ada sesuatu yang lebih besar, lebih gelap, yang terpendam di bawah permukaan.Sesampainya di rumah, Alexander disambut oleh Sarah yang sedang bermain bersama Zacky di ruang tengah. Melihat kebahagiaan di wajah istri dan anaknya sedikit meredakan kegelisahan yang menghantuinya."Kamu pulang terlambat lagi, Sayang," kata Sarah sambil tersenyum hangat. "Ada sesuatu yang ingin kamu bicarakan?"Alexander tersenyum tipis, mendekati Sarah dan mencium pipinya. "Banyak yang terjadi di kantor, tapi aku tidak ingin membebanimu dengan masalah itu."Sarah menatap Alexander dengan penuh perhatian, mengetahui bahwa suaminya sedang menutupi sesuatu. Namun, dia memi