Beberapa minggu berlalu, dan persiapan untuk pernikahan Alexander dengan Sarah mulai dilakukan. Meskipun Sarah tidak merasa bahagia dengan situasinya, dia menyadari bahwa ini adalah kesempatan bagi dia untuk memberikan masa depan yang lebih baik bagi bayinya.Sarah dan Alexander bertemu di sebuah ruangan yang didesain megah untuk pembicaraan terakhir sebelum pernikahan. Wajah mereka dipenuhi dengan ekspresi yang kompleks, mencerminkan perasaan yang beragam di dalam hati mereka."Aku tahu ini mungkin tidak mudah bagi Anda, tapi perlu kau tahu jangan terlalu berharap dengan ku Sarah," ucap Alexander dengan suara menekan. "Baiklah aku tahu tuan, aku tidak akan melebihi batas ku pada mu." Sarah mengangguk, mencoba menahan emosinya. Dia tahu bahwa dia harus bertindak dewasa dan menerima keputusan yang telah dibuat. Meskipun hatinya masih penuh dengan rasa sakit dan kecewa, dia berjanji untuk memberikan yang terbaik bagi bayinya."Baguslah jika kamu memahami ku, dan perlu kau ingat pernik
Setelah pernikahan, suasana di dalam mobil terasa tegang dan hening. Sarah duduk di samping Alexander, tetapi dia bisa merasakan jarak emosional yang begitu besar di antara mereka. Alexander, yang duduk di sampingnya hanya diam tanpa mengatakan sepatah kata pun sejak mereka meninggalkan tempat pernikahan."Apa yang harus ku lakukan, kenapa tuan Alexander sejak tadi hanya diam." gumam Sarah melirik Alexander. Sarah merasa cemas dan kebingungan. Dia tidak tahu apa yang harus dia katakan atau lakukan untuk meredakan ketegangan yang begitu kuat di dalam mobil. Rasanya seperti semua yang dia alami bersama Alexander hanya mengarah pada momen ini, bahkan Daniel pun hanya diam saja hal tersebut membuat Sarah semakin bingung. Meskipun dia ingin mencoba memulai percakapan, Sarah merasa ragu. Dia takut bahwa kata-kata yang dia ucapkan hanya akan membuat situasi semakin buruk. Jadi dia memilih untuk tetap diam, membiarkan keheningan yang tegang mengisi ruang di antara mereka.Di sisi lain, Alex
Keesokan paginya Sarah berusaha menjadi istri yang baik untuk Alexander, ia menyiapkan pakaian kerja Alexander dengan senyuman manis di bibirnya. "Daniel". Suara teriakan Alexander membuat Daniel langsung menghampiri tuan nya. "iya tuan muda, ada yang bisa ku bantu ?." Alexander menunjukkan kearah pakaian yang berada di atas tempat tidur, Alexander memberitahu Daniel untuk membawa pakaian tersebut keluar dari tempat tidur nya. "Maaf tuan, aku menyiapkan pakaian untuk anda." Ucap Sarah. "Aku tidak pernah bilang bahwa kamu boleh menyentuh barang ku." Sarah menundukkan kepala nya, ia meminta maaf jika perbuatan telah membuat Alexander marah. Sarah tidak ada maksud seperti itu, dia hanya ingin melakukan hal yang harusnya istri lakukan. "Tak perlu Sarah, aku tidak ingin merepotkan mu. Tak perlu kamu melakukan perkerjaan istri, disini banyak pelayan." Ucap Alexander menahan kemarahannya. "Tapi tuan, bagaimana pun aku adalah istri mu jadi biarkan aku lakukan pekerjaan ku saja tuan. "
Setelah beberapa hari, Sarah pikir ia akan tenang tinggal di rumah Alexander mendapatkan kasih sayang dari kedua orang tua Alexander. Namun itu hanya sementara, suatu masalah hadir dalam kehidupan Sarah yaitu ibu tiri dan adik tiri tiba-tiba datang kerumah Alexander. "Sarah, Sarah keluar kamu jangan bersembunyi didalam." teriak seorang wanita tua. "Maaf ibu, anda tidak memiliki hak untuk berteriak-teriak di rumah tuan Alexander. " "Terserah aku dong, lagian putri ku didalam cepat panggilkan dia." Perintah ibu tiri Sarah. Pengawal tersebut tidak mendengarkan permintaan ibu tiri Sarah, melainkan menariknya untuk keluar dari halaman rumah Alexander. Namun tiba-tiba pintu terbuka, menunjukkan wanita cantik berusia 50 an berpenampilan anggun berdiri didepan pintu. "Ada apa ini ?, kenapa terdengar sangat berisik sekali." Ucap Elizabeth menatap kedua orang didepannya. "Maaf nyonya Elizabeth, wanita ini tiba-tiba menorbos masuk ingin bertemu dengan non Sarah." Jelas pengawal t
Hari setelah dimana Ibu dan saudari tiri Sarah mengunjungi Sarah membuat Sarah terdiam, ia memikirkan perkataan Ibu nya, jika tak memberikan uang kepadanya maka Ayahnya akan dalam masalah. "Apa kamu tidak mendengar kedatangan ku ?." Tanya Alexander yang melihat Sarah duduk terdiam di tempat tidur. "Ohh,, maaf Alex aku tidak menyadarinya." Alexander melemparkan tas ke tempat tidur, ia mengulurkan dasinya. Alexander berjalan ke arah lemari membuka lemari, dan memilih salah satu pakaian. "Biarkan aku bantu." "Ngga perlu, aku bisa sendiri. Lakukan saja yang menurut kamu bisa." Alexander menghindari dirinya dari Sarah, ia tak ingin disentuh oleh Sarah. Alexander berjalan mundur meraih handuk dan segera pergi ke kamar mandi. "Padahal aku hanya membantunya saja, apakah salah ?." Ucap Sarah. Sarah mengambil tas kerja Alexander, ia meletakkan di tempat biasa. Meraih dasi dan pakaian yang Alexander letakan diatas kasur begitu saja. "Apa aku minta uang saja kepada Alexan
Keesokan harinya, Ibu tirinya Sarah menghubungi Sarah kembali dengan alasan bahwa uang yang diberikan oleh Sarah kemarin tidak cukup untuk membayar hutang-hutang ayahnya. "Apa bu, bu itu 35 juta beserta bunganya. Uang segitu ngga mungkin ngga cukup kan ?." Tanya Sarah kesal mendengar keluhan ibu tirinya. "Sarah kau pikir ibu mu berbohong hah, uang itu emang ngga cukup membuat membayar hutang-hutang ayah mu. Masih banyak hutang ayah mu maka berikan lagi uang nya ayo." pinta Dewi. Sarah menolak keinginan ibu nya, ia tak bisa meminta uang dengan Alexander hanya dengan jeda satu hari. Lagian mana mungkin Alexander akan memberikannya, Sarah juga tak ingin di cap sebagai wanita yang gila uang."Sarah kau pikir ibu tidak tahu, kau menikah dengan tuan Alexander karena kamu sudah hamil duluan kan?, perempuan tidak punya malu kamu, bagaimana perasaan ayah mu jika tahu tentang itu." "Ibu, maksudnya apa ?." Tanya Sarah dengan ketakutan. Suara ketawa Dewi terdengar jelas oleh Sarah, ia mengan
Malam hari Alexander pulang ke rumah dalam keadaan kelelahan, di kantor nya Alexander sangat frustasi dengan pekerjaan kantornya. "Tuan Alex, lebih baik anda istirahat. Seperti nya anda sangat kelelahan bekerja seharian." Ucap Daniel. "Emm,, baiklah.""Tuan Alex.. Alexander menghentikan langkah kaki, ia berbalik badan melihat kearah Daniel. Alexander, menunggu Daniel berbicara. " Ada apa Daniel ?." Tanya Alexander. "Umm,, ini tuan aku ingin berbicara mengenai Nona Sarah. ""Jika tidak penting, lebih baik tidak perlu." Ucap Alexander berbalik badan. Daniel ingin membahas tentang keluarga Sarah yang terus menerus meminta uang kepada Sarah, tapi seperti nya Alexander sedang tak ingin membahas yang lain. "Baiklah tuan jika seperti itu lebih baik anda istirahat saja.""Hemm,, "Alexander langsung masuk ke dalam rumah, ia melihat sekeliling tak menemukan seseorang pun. Alexander berjalan dan melewati sebuah foto yang terpanjang besar diruang tamu. "Daniel.. " Iya tuan ada apa ?." t
Suasana malam yang sangat menegangkan bagi keluarga Richard, ia yang masih menjadi pemimpin keluarganya belum bisa mengontrol emosi Alexander. "Mah, kenapa melakukan tidak berdiskusi terlebih dahulu dengan papa." "Pah, apa yang ingin di diskusi kan, lagian ya wajar saja kan kalo mama pasang foto pernikahan dia." Ucap Elizabeth yang tak ingin di salahkan. "Tapi kasian dengan Sarah, dia tidak tahu apa-apa harus mendapatkan amarah dari Alex." Sarah memotong percakapan mereka, Sarah memberitahu mereka, bahwa Sarah tak mempermasalahkan keadaan itu. Ia sudah terbiasa dengan segala sesuatu yang terjadi dirumah ini, Sarah meminta maaf jika karena nya keluarga mereka menjadi seperti ini. "Sarah, apa yang kamu katakan hah ?, ngga apa-apa nak, sudah jangan diambil hati ucapan Alex nya. " ucap Elizabeth mengelus rambut panjang Sarah. "Iya mah, terimakasih. " Walaupun mereka tidak marah terhadap Sarah, tapi tetap saja Sarah tak enak hati jika seperti ini terus menerus. Disisi lain
Kebahagiaan yang sempat Adrian rasakan saat kelahiran putrinya berubah menjadi kekhawatiran yang dalam. Ia tak bisa benar-benar tenang, mengingat betapa berbahayanya situasi antara Daniel dan Alexander. Adrian tahu bahwa satu-satunya cara untuk menghentikan siklus dendam ini adalah dengan menghadapi Daniel dan menemukan solusi yang benar-benar damai.Alexander juga menyadari ancaman yang belum sepenuhnya berlalu. Meski sempat tersentuh oleh kebahagiaan Adrian, pikirannya tak bisa lepas dari bayang-bayang pertemuan terakhirnya dengan Daniel. Dalam pertemuan itu, Daniel menunjukkan kemarahan dan kebencian yang mendalam, terutama setelah merasa dikhianati oleh Adrian. Alexander memahami bahwa dendam yang tersimpan dalam hati Daniel tak akan hilang begitu saja.Adrian akhirnya memutuskan bahwa ia harus berbicara langsung dengan Daniel. Ia mengatur pertemuan rahasia di tempat yang jauh dari hiruk-pikuk kota, berharap bisa melunakkan hati sepupunya itu. Sebelum pergi, ia menatap Amelia dan
Amelia duduk di kursi malas di rumah sakit, perutnya yang besar jelas menunjukkan bahwa ia sudah sangat dekat dengan waktu persalinan. Adrian duduk di sampingnya, menggenggam tangannya erat-erat. Meski bibirnya tersenyum lembut, ada ketegangan yang jelas di wajahnya. Hari itu, hari yang seharusnya dipenuhi kebahagiaan, malah diwarnai kekhawatiran karena ancaman Daniel yang masih menggantung di udara."Semua akan baik-baik saja," bisik Adrian, berusaha menenangkan istrinya. "Kita fokus pada kelahiran bayi kita dulu. Jangan pikirkan hal-hal yang lain."Amelia mengangguk, meskipun ia tahu Adrian juga sedang memikirkan hal yang sama. Ia tahu suaminya tertekan dengan situasi yang melibatkan Daniel. Namun, saat ini, yang terpenting baginya adalah menyambut buah hati mereka.Tiba-tiba, Amelia merasakan rasa sakit yang tajam di perutnya, seperti ada kontraksi yang datang lebih kuat dari sebelumnya. Ia mengerang pelan, membuat Adrian segera panik.“Amelia, kamu baik-baik saja?” Adrian langsung
Malam itu, suasana rumah Alexander dipenuhi ketenangan setelah kelahiran anak keduanya. Namun, di luar sana, badai besar sedang mendekat. Daniel, yang masih dikuasai amarah dan dendam, tidak bisa menerima kenyataan bahwa Adrian, adik sepupunya, memilih untuk melawan dan menghentikan niatnya.Sementara itu, di rumah sakit, Sarah telah dipindahkan ke kamar pemulihan bersama bayi perempuannya yang sehat. Alexander tak lepas dari sisi istrinya. Meski ia merasa lega karena anak keduanya lahir dengan selamat, pikirannya tetap terpecah dengan ancaman yang menggantung di atas kepala mereka—Daniel.“Alex,” bisik Sarah dengan suara lembut, menggenggam tangan suaminya. “Kamu kelihatan sangat khawatir. Ada apa? Apakah sesuatu terjadi dengan Daniel?”Alexander mengangguk pelan. Ia tak ingin menyembunyikan apapun dari Sarah, meskipun ia tahu bahwa ini bukan saat yang tepat untuk membicarakan masalah besar. Namun, Sarah mengenalnya terlalu baik untuk dibiarkan dalam kegelapan.“Daniel... dia... mara
Suara napas Sarah semakin cepat, tubuhnya bergetar menahan rasa sakit yang semakin tak tertahankan. Pecahnya ketuban membuat semua orang di rumah panik, terutama Amelia yang tidak pernah melihat kakaknya dalam keadaan selemah ini. Amelia segera memegang tangan Sarah dengan erat, mencoba menenangkan kakaknya meski hatinya sendiri dipenuhi kekhawatiran. Sementara itu, Adrian sedang dalam perjalanan, berusaha secepat mungkin untuk menemukan Alexander."Adrian, tolong cepat kembali! Kak Sarah tidak sanggup lagi!" suara Amelia terdengar putus asa melalui telepon.Adrian mempercepat langkahnya, berpacu dengan waktu. Di tengah perjalanan, ia tak henti-hentinya mencoba menghubungi Alexander, tetapi ponselnya tetap mati. Rasa takut dan kekhawatiran merayap dalam dirinya. Ia tahu bahwa Daniel mungkin sudah melancarkan rencananya, dan jika Alexander tidak segera ditemukan, semuanya bisa berakhir buruk. Namun, saat ini, Adrian tidak hanya memikirkan Alexander, tapi juga Sarah dan bayinya yang aka
Di ruang gawat darurat rumah sakit, situasi semakin tegang. Sarah yang berbaring di ranjang rumah sakit sudah tampak pucat pasi. Pecah ketubannya datang lebih cepat dari perkiraan, dan rasa sakit yang menyiksanya semakin hebat. Amelia menggenggam erat tangan kakaknya, mencoba menenangkan Sarah, namun ketegangan tetap terasa jelas di wajahnya."Amelia... aku tidak bisa... ini terlalu sakit," bisik Sarah dengan suara yang nyaris putus asa."Sabar, Sarah. Kamu kuat. Aku di sini bersamamu, dan Adrian sedang berusaha menghubungi Alexander," ucap Amelia dengan nada lembut, meski dalam hatinya ia sendiri mulai panik. Adrian, yang berdiri tak jauh dari pintu, terlihat mondar-mandir sambil terus menempelkan ponselnya di telinga, mencoba menghubungi Alexander berkali-kali."Kenapa teleponnya selalu mati?" gumam Adrian, frustrasi. Ia menghela napas panjang, matanya terarah ke arah Sarah yang sedang berjuang. Rasa tanggung jawab mulai menekan hatinya. Apalagi dengan firasat buruk yang terus mengg
Malam itu, Sarah terbangun dengan rasa mulas yang menusuk di perutnya. Ia mengerang pelan, tangannya memegangi perut yang semakin membesar. Detik itu juga ia tahu bahwa ini adalah tanda bahwa waktu kelahiran anak keduanya telah tiba. Namun, Alexander belum juga kembali. Ia mencoba menenangkan diri, menarik napas dalam-dalam, tapi kontraksi semakin kuat.Dengan tangan gemetar, Sarah meraih ponselnya dan segera menghubungi adiknya, Amelia. Sambil menunggu Amelia mengangkat panggilan, Sarah menggigit bibirnya, menahan rasa sakit yang semakin tak tertahankan."Amelia... aku butuh bantuanmu," suara Sarah terdengar panik saat Amelia akhirnya mengangkat telepon.Amelia yang mendengar suara panik kakaknya langsung terbangun dari tidurnya. "Sarah? Ada apa? Kau baik-baik saja?""Ini... aku rasa aku akan melahirkan, Amelia. Alexander belum juga pulang. Bisa kau datang ke sini dengan Adrian? Aku tidak kuat..."Mendengar suara lemah Sarah, Amelia langsung bergegas membangunkan Adrian yang masih te
Setelah Daniel pergi, Adrian duduk termenung di ruangannya, memikirkan langkah berikutnya. Situasi semakin memburuk. Meski ia sudah mencoba berbicara dengan Daniel, semuanya malah semakin rumit. Kini, ia harus memikirkan cara untuk menghentikan Daniel sebelum balas dendam itu benar-benar menghancurkan semua orang, termasuk Amelia yang kini menjadi pusat perhatian di antara mereka.Amelia, yang selama ini selalu tampak ceria, belakangan mulai menunjukkan tanda-tanda kelelahan emosional. Adrian menyadari betapa sulitnya bagi Amelia untuk berada di tengah konflik yang ia sendiri mungkin tidak sepenuhnya pahami. Ia tak pernah membayangkan bahwa Amelia akan terjebak di antara dendam keluarga yang tak berkesudahan ini.Setelah beberapa saat berpikir, Adrian memutuskan untuk pulang lebih awal. Ia ingin berbicara dengan Amelia tentang semua yang terjadi. Ada banyak hal yang belum Amelia ketahui, dan Adrian merasa ini adalah saat yang tepat untuk mengungkapkan semuanya. Di satu sisi, Adrian ta
Daniel berjalan bolak-balik di dalam ruangan gelap dengan wajah tegang. Pikiran tentang pengkhianatan Adrian terus membayangi. Adrian, yang seharusnya berada di sisinya, justru mulai menunjukkan sikap sebaliknya. Dan sekarang, Adrian bahkan meminta dia berhenti dari rencana balas dendam yang sudah lama dia susun. Suara langkah kaki Daniel menggema di ruangan itu, hingga akhirnya dia menghentikan gerakannya dan memandang Adrian dengan sorot mata marah."Kenapa kau tiba-tiba berubah pikiran, Adrian?" tanya Daniel dengan nada dingin yang menggigilkan. "Kita sudah sepakat bahwa ini adalah satu-satunya cara untuk membalas dendam pada Alexander. Kenapa sekarang kau memutuskan untuk mengkhianatiku?"Adrian, yang berdiri di sudut ruangan, menghela napas panjang. Wajahnya tampak lelah, dan dia menatap Daniel dengan tatapan tenang, tapi tegas. "Ini bukan soal pengkhianatan, Daniel. Ini soal menghentikan siklus kebencian yang tak ada gunanya. Apa yang kau harapkan dari semua ini? Kehancuran Ale
Hari itu, Alexander kembali ke rumah dengan hati yang penuh beban. Pikirannya tak bisa lepas dari pesan-pesan di ponsel tua yang ia temukan di kantor lama Daniel. Jika benar Daniel masih hidup, apa tujuan dari semua ini? Apa yang sebenarnya sedang dia rencanakan? Di dalam hatinya, Alexander tahu ini bukan lagi sekadar balas dendam pribadi, ada sesuatu yang lebih besar, lebih gelap, yang terpendam di bawah permukaan.Sesampainya di rumah, Alexander disambut oleh Sarah yang sedang bermain bersama Zacky di ruang tengah. Melihat kebahagiaan di wajah istri dan anaknya sedikit meredakan kegelisahan yang menghantuinya."Kamu pulang terlambat lagi, Sayang," kata Sarah sambil tersenyum hangat. "Ada sesuatu yang ingin kamu bicarakan?"Alexander tersenyum tipis, mendekati Sarah dan mencium pipinya. "Banyak yang terjadi di kantor, tapi aku tidak ingin membebanimu dengan masalah itu."Sarah menatap Alexander dengan penuh perhatian, mengetahui bahwa suaminya sedang menutupi sesuatu. Namun, dia memi