Malam itu, langit gelap pekat tanpa bintang. Suara tangisan bayi menggema di seluruh rumah, memecah keheningan malam yang seharusnya damai. Alfarizzacky Blackwoon, putra pertama Alexander dan Sarah, menangis keras di dalam kamarnya. Sarah, yang tampak sangat lelah setelah seharian merawat bayi mereka, berusaha menghibur Zacky dengan menggendong dan mengayunkannya pelan. Namun, tangisannya tak kunjung mereda.Alexander, yang baru saja menyelesaikan pekerjaan di ruang kerjanya, mendengar suara tangisan itu dan segera menuju kamar bayi. Ketika ia membuka pintu, ia melihat Sarah yang terlihat kelelahan dan hampir putus asa. Alexander merasa bersalah melihat istrinya dalam kondisi seperti itu.“Sarah, biar aku yang pegang Zacky,” kata Alexander dengan lembut, mendekati Sarah dan mengambil bayi mereka dari pelukannya.Sarah menatap suaminya dengan rasa terima kasih. “Terima kasih, Mas Alex. Aku benar-benar lelah,” ujarnya dengan suara pelan sebelum duduk di kursi goyang di sudut ruangan.Al
Pagi itu, Emily sudah bersiap dengan rencana jahatnya. Ia berpakaian rapi, mengenakan gaun merah menyala yang selalu berhasil menarik perhatian. Rambutnya ditata sempurna dan wajahnya dihiasi dengan riasan yang menonjolkan kecantikannya. Hari ini, ia bertekad untuk menghancurkan reputasi Alexander dengan cara yang paling licik.Sesampainya di halaman kantor Alexander, Emily menunggu dengan sabar di dekat pintu masuk. Alexander yang baru tiba di kantor dengan mobil hitamnya, segera keluar dan berjalan menuju pintu utama. Ketika ia melihat Emily berdiri di sana, alisnya mengernyit."Emily, apa yang kamu lakukan di sini?" tanya Alexander dengan nada dingin. Ia tak ingin ada lagi drama dari mantan kekasihnya yang sudah terlalu sering membuat kekacauan dalam hidupnya.Namun, Emily hanya tersenyum manis dan mendekat ke arahnya. "Aku hanya ingin bicara, Alex. Ada beberapa hal yang perlu kita selesaikan," katanya dengan nada memelas yang dibuat-buat.Tanpa memberikan Alexander kesempatan untu
Pagi itu, kantor Alexander penuh dengan kesibukan yang tidak biasa. Tim PR bekerja keras untuk meredakan skandal yang telah menyebar seperti api liar. Namun, dampak dari foto-foto Alexander dan Emily yang berciuman sudah tidak dapat dihindari. Reputasi Alexander yang selama ini dibangun dengan susah payah kini terancam hancur.Di ruang rapat, Alexander duduk dengan wajah tegang, dikelilingi oleh para eksekutif perusahaan dan tim PR. Di layar besar, terpampang berita-berita utama tentang skandal tersebut. Judul-judul seperti "CEO Terkemuka Tertangkap Berselingkuh" dan "Skandal Ciuman Mengguncang Dunia Bisnis" membuat suasana semakin suram."Kita harus segera mengeluarkan pernyataan resmi," ujar salah satu anggota tim PR dengan nada panik. "Kita tidak bisa membiarkan ini berlarut-larut."Alexander mengangguk pelan. "Lakukan apa yang perlu dilakukan," katanya dengan suara lelah. Ia tahu bahwa pernyataan resmi hanya akan sedikit membantu meredakan kerusakan yang telah terjadi.***Di ruma
Daniel duduk di ruang tamunya, memandangi layar ponselnya dengan sedikit gugup. Di pikirannya, hanya ada satu orang yang terus mengisi pikirannya—Amelia. Selama ini, ia selalu memikirkan cara untuk mendekati gadis yang energik dan penuh semangat itu. Meskipun Amelia sering kali tampak ketus padanya, Daniel merasakan ada ketertarikan yang kuat antara mereka berdua.Dengan jemari yang sedikit gemetar, Daniel mengetik pesan singkat:> "Halo Amelia, apa kabar? Mau makan malam dan jalan-jalan di pasar malam bareng? Aku tahu tempat yang asyik."Ia menghela napas panjang sebelum menekan tombol 'kirim'. Pesan itu terbang menuju Amelia, dan kini ia hanya bisa menunggu balasan dari gadis yang telah mencuri perhatiannya.Tak lama kemudian, ponselnya berbunyi. Sebuah pesan masuk dari Amelia.> "Baiklah, aku akan datang. Jam berapa?"Wajah Daniel langsung berseri-seri. Amelia setuju! Ia segera membalas pesan tersebut.> "Bagaimana kalau jam 7? Aku akan jemput kamu."Setelah menerima konfirmasi dar
Ketenangan malam di rumah keluarga Blackwood terasa lebih hangat dari biasanya. Suara kecil Zacky yang tertidur lelap membuat suasana semakin damai. Di kamar mereka, Alexander sedang memandangi layar ponselnya, merencanakan langkah berikutnya untuk menyelamatkan reputasinya yang sempat tercoreng oleh isu perselingkuhan dengan Emily.Setelah kejadian di pasar malam bersama Amelia, Daniel terus mendukung Alexander dan memberikan saran untuk mengatasi masalah ini. Mereka berdua sepakat bahwa Alexander harus menunjukkan pada dunia bahwa ia adalah suami yang setia dan ayah yang baik.Pagi itu, Alexander duduk di ruang tamu sambil menggenggam ponselnya. Sarah, yang sedang menggendong Zacky, duduk di sebelahnya. Mereka berdua terlihat tenang meski suasana hati Alexander masih sedikit tegang."Sarah, aku ingin kita memposting foto keluarga kita di media sosial," kata Alexander tiba-tiba.Sarah menatapnya dengan sedikit terkejut. "Kamu yakin, Mas? Bagaimana kalau ini malah memperburuk situasi?
Pagi itu, suasana di rumah keluarga Blackwood terasa lebih sunyi dari biasanya. Alexander sedang duduk di meja makan, memandang sarapan yang tersaji di depannya tanpa selera. Sarah menggendong Zacky di pangkuannya, mencoba menyuapi bayi mereka yang ceria tanpa menyadari kesedihan yang menyelimuti ruangan."Aku harus pergi ke luar negeri untuk urusan pekerjaan," Alexander membuka pembicaraan dengan suara berat. "Tapi aku tidak bisa meninggalkan kalian berdua."Sarah menatap suaminya dengan penuh pengertian. "Kamu harus pergi, Mas. Ini penting untuk perusahaan. Aku dan Zacky akan baik-baik saja."Namun, Alexander masih merasa ragu. "Aku khawatir meninggalkan kalian. Aku tidak ingin ada sesuatu yang buruk terjadi."Di saat itulah Daniel masuk ke ruangan. "Apa yang sedang kalian bicarakan?" tanyanya sambil duduk di sebelah Alexander.Alexander menghela napas. "Aku harus pergi ke Singapura untuk urusan pekerjaan, tapi aku tidak bisa meninggalkan keluarga."Daniel berpikir sejenak sebelum m
Pagi itu, rumah keluarga Blackwood terasa lebih sunyi dari biasanya. Sarah duduk di ruang tamu, memandang kosong ke arah jendela. Di tangannya, Zacky tidur nyenyak, tidak menyadari ketegangan yang meliputi rumah mereka. Beberapa hari telah berlalu sejak kecelakaan pesawat yang membawa Daniel, dan pencarian belum membuahkan hasil. Semua orang dalam keluarga itu merasakan beban yang semakin berat.Amelia, yang biasanya ceria, sekarang tampak pucat dan lelah. Ia duduk di sudut ruangan dengan tatapan kosong, terus memikirkan Daniel. Di sisi lain, Alexander hampir tidak pernah berada di rumah. Ia menghabiskan sebagian besar waktunya di lokasi pencarian, berharap menemukan jejak sahabatnya yang hilang.Richard, ayah Alexander, merasa sangat khawatir. Perusahaan mereka di ambang kehancuran karena Alexander tidak fokus pada pekerjaannya. Richard memegang kepalanya, mencoba mencari solusi untuk mengatasi krisis ini. Ia tahu bahwa tanpa kehadiran Alexander di kantor, mereka akan mengalami kerug
Matahari baru saja terbit ketika sebuah panggilan telepon membangunkan Alexander dari tidurnya yang singkat dan tidak tenang. Dengan cepat, ia mengangkat telepon, berharap mendengar kabar baik tentang pencarian Daniel. Namun, suara di ujung telepon membawa kabar yang membuat hatinya semakin berat."Pak Blackwood, kami menemukan pakaian Daniel, tapi tubuhnya belum ditemukan," kata suara di ujung telepon dengan nada penuh penyesalan.Alexander menelan ludah, merasakan rasa frustasi yang mendalam. Sudah tujuh hari berlalu sejak kecelakaan pesawat itu, dan setiap hari tanpa jejak Daniel membuatnya semakin tertekan. Ia berterima kasih kepada orang di ujung telepon dan menutup panggilan itu dengan tangan yang gemetar.Dengan langkah berat, Alexander keluar dari kamar, menuju ruang makan di mana Sarah sedang menyiapkan sarapan untuk Zacky. Wajahnya pucat, matanya sembab karena kurang tidur dan tekanan emosional yang ia rasakan."Ada kabar, Mas?" tanya Sarah dengan nada penuh harap.Alexander
Kebahagiaan yang sempat Adrian rasakan saat kelahiran putrinya berubah menjadi kekhawatiran yang dalam. Ia tak bisa benar-benar tenang, mengingat betapa berbahayanya situasi antara Daniel dan Alexander. Adrian tahu bahwa satu-satunya cara untuk menghentikan siklus dendam ini adalah dengan menghadapi Daniel dan menemukan solusi yang benar-benar damai.Alexander juga menyadari ancaman yang belum sepenuhnya berlalu. Meski sempat tersentuh oleh kebahagiaan Adrian, pikirannya tak bisa lepas dari bayang-bayang pertemuan terakhirnya dengan Daniel. Dalam pertemuan itu, Daniel menunjukkan kemarahan dan kebencian yang mendalam, terutama setelah merasa dikhianati oleh Adrian. Alexander memahami bahwa dendam yang tersimpan dalam hati Daniel tak akan hilang begitu saja.Adrian akhirnya memutuskan bahwa ia harus berbicara langsung dengan Daniel. Ia mengatur pertemuan rahasia di tempat yang jauh dari hiruk-pikuk kota, berharap bisa melunakkan hati sepupunya itu. Sebelum pergi, ia menatap Amelia dan
Amelia duduk di kursi malas di rumah sakit, perutnya yang besar jelas menunjukkan bahwa ia sudah sangat dekat dengan waktu persalinan. Adrian duduk di sampingnya, menggenggam tangannya erat-erat. Meski bibirnya tersenyum lembut, ada ketegangan yang jelas di wajahnya. Hari itu, hari yang seharusnya dipenuhi kebahagiaan, malah diwarnai kekhawatiran karena ancaman Daniel yang masih menggantung di udara."Semua akan baik-baik saja," bisik Adrian, berusaha menenangkan istrinya. "Kita fokus pada kelahiran bayi kita dulu. Jangan pikirkan hal-hal yang lain."Amelia mengangguk, meskipun ia tahu Adrian juga sedang memikirkan hal yang sama. Ia tahu suaminya tertekan dengan situasi yang melibatkan Daniel. Namun, saat ini, yang terpenting baginya adalah menyambut buah hati mereka.Tiba-tiba, Amelia merasakan rasa sakit yang tajam di perutnya, seperti ada kontraksi yang datang lebih kuat dari sebelumnya. Ia mengerang pelan, membuat Adrian segera panik.“Amelia, kamu baik-baik saja?” Adrian langsung
Malam itu, suasana rumah Alexander dipenuhi ketenangan setelah kelahiran anak keduanya. Namun, di luar sana, badai besar sedang mendekat. Daniel, yang masih dikuasai amarah dan dendam, tidak bisa menerima kenyataan bahwa Adrian, adik sepupunya, memilih untuk melawan dan menghentikan niatnya.Sementara itu, di rumah sakit, Sarah telah dipindahkan ke kamar pemulihan bersama bayi perempuannya yang sehat. Alexander tak lepas dari sisi istrinya. Meski ia merasa lega karena anak keduanya lahir dengan selamat, pikirannya tetap terpecah dengan ancaman yang menggantung di atas kepala mereka—Daniel.“Alex,” bisik Sarah dengan suara lembut, menggenggam tangan suaminya. “Kamu kelihatan sangat khawatir. Ada apa? Apakah sesuatu terjadi dengan Daniel?”Alexander mengangguk pelan. Ia tak ingin menyembunyikan apapun dari Sarah, meskipun ia tahu bahwa ini bukan saat yang tepat untuk membicarakan masalah besar. Namun, Sarah mengenalnya terlalu baik untuk dibiarkan dalam kegelapan.“Daniel... dia... mara
Suara napas Sarah semakin cepat, tubuhnya bergetar menahan rasa sakit yang semakin tak tertahankan. Pecahnya ketuban membuat semua orang di rumah panik, terutama Amelia yang tidak pernah melihat kakaknya dalam keadaan selemah ini. Amelia segera memegang tangan Sarah dengan erat, mencoba menenangkan kakaknya meski hatinya sendiri dipenuhi kekhawatiran. Sementara itu, Adrian sedang dalam perjalanan, berusaha secepat mungkin untuk menemukan Alexander."Adrian, tolong cepat kembali! Kak Sarah tidak sanggup lagi!" suara Amelia terdengar putus asa melalui telepon.Adrian mempercepat langkahnya, berpacu dengan waktu. Di tengah perjalanan, ia tak henti-hentinya mencoba menghubungi Alexander, tetapi ponselnya tetap mati. Rasa takut dan kekhawatiran merayap dalam dirinya. Ia tahu bahwa Daniel mungkin sudah melancarkan rencananya, dan jika Alexander tidak segera ditemukan, semuanya bisa berakhir buruk. Namun, saat ini, Adrian tidak hanya memikirkan Alexander, tapi juga Sarah dan bayinya yang aka
Di ruang gawat darurat rumah sakit, situasi semakin tegang. Sarah yang berbaring di ranjang rumah sakit sudah tampak pucat pasi. Pecah ketubannya datang lebih cepat dari perkiraan, dan rasa sakit yang menyiksanya semakin hebat. Amelia menggenggam erat tangan kakaknya, mencoba menenangkan Sarah, namun ketegangan tetap terasa jelas di wajahnya."Amelia... aku tidak bisa... ini terlalu sakit," bisik Sarah dengan suara yang nyaris putus asa."Sabar, Sarah. Kamu kuat. Aku di sini bersamamu, dan Adrian sedang berusaha menghubungi Alexander," ucap Amelia dengan nada lembut, meski dalam hatinya ia sendiri mulai panik. Adrian, yang berdiri tak jauh dari pintu, terlihat mondar-mandir sambil terus menempelkan ponselnya di telinga, mencoba menghubungi Alexander berkali-kali."Kenapa teleponnya selalu mati?" gumam Adrian, frustrasi. Ia menghela napas panjang, matanya terarah ke arah Sarah yang sedang berjuang. Rasa tanggung jawab mulai menekan hatinya. Apalagi dengan firasat buruk yang terus mengg
Malam itu, Sarah terbangun dengan rasa mulas yang menusuk di perutnya. Ia mengerang pelan, tangannya memegangi perut yang semakin membesar. Detik itu juga ia tahu bahwa ini adalah tanda bahwa waktu kelahiran anak keduanya telah tiba. Namun, Alexander belum juga kembali. Ia mencoba menenangkan diri, menarik napas dalam-dalam, tapi kontraksi semakin kuat.Dengan tangan gemetar, Sarah meraih ponselnya dan segera menghubungi adiknya, Amelia. Sambil menunggu Amelia mengangkat panggilan, Sarah menggigit bibirnya, menahan rasa sakit yang semakin tak tertahankan."Amelia... aku butuh bantuanmu," suara Sarah terdengar panik saat Amelia akhirnya mengangkat telepon.Amelia yang mendengar suara panik kakaknya langsung terbangun dari tidurnya. "Sarah? Ada apa? Kau baik-baik saja?""Ini... aku rasa aku akan melahirkan, Amelia. Alexander belum juga pulang. Bisa kau datang ke sini dengan Adrian? Aku tidak kuat..."Mendengar suara lemah Sarah, Amelia langsung bergegas membangunkan Adrian yang masih te
Setelah Daniel pergi, Adrian duduk termenung di ruangannya, memikirkan langkah berikutnya. Situasi semakin memburuk. Meski ia sudah mencoba berbicara dengan Daniel, semuanya malah semakin rumit. Kini, ia harus memikirkan cara untuk menghentikan Daniel sebelum balas dendam itu benar-benar menghancurkan semua orang, termasuk Amelia yang kini menjadi pusat perhatian di antara mereka.Amelia, yang selama ini selalu tampak ceria, belakangan mulai menunjukkan tanda-tanda kelelahan emosional. Adrian menyadari betapa sulitnya bagi Amelia untuk berada di tengah konflik yang ia sendiri mungkin tidak sepenuhnya pahami. Ia tak pernah membayangkan bahwa Amelia akan terjebak di antara dendam keluarga yang tak berkesudahan ini.Setelah beberapa saat berpikir, Adrian memutuskan untuk pulang lebih awal. Ia ingin berbicara dengan Amelia tentang semua yang terjadi. Ada banyak hal yang belum Amelia ketahui, dan Adrian merasa ini adalah saat yang tepat untuk mengungkapkan semuanya. Di satu sisi, Adrian ta
Daniel berjalan bolak-balik di dalam ruangan gelap dengan wajah tegang. Pikiran tentang pengkhianatan Adrian terus membayangi. Adrian, yang seharusnya berada di sisinya, justru mulai menunjukkan sikap sebaliknya. Dan sekarang, Adrian bahkan meminta dia berhenti dari rencana balas dendam yang sudah lama dia susun. Suara langkah kaki Daniel menggema di ruangan itu, hingga akhirnya dia menghentikan gerakannya dan memandang Adrian dengan sorot mata marah."Kenapa kau tiba-tiba berubah pikiran, Adrian?" tanya Daniel dengan nada dingin yang menggigilkan. "Kita sudah sepakat bahwa ini adalah satu-satunya cara untuk membalas dendam pada Alexander. Kenapa sekarang kau memutuskan untuk mengkhianatiku?"Adrian, yang berdiri di sudut ruangan, menghela napas panjang. Wajahnya tampak lelah, dan dia menatap Daniel dengan tatapan tenang, tapi tegas. "Ini bukan soal pengkhianatan, Daniel. Ini soal menghentikan siklus kebencian yang tak ada gunanya. Apa yang kau harapkan dari semua ini? Kehancuran Ale
Hari itu, Alexander kembali ke rumah dengan hati yang penuh beban. Pikirannya tak bisa lepas dari pesan-pesan di ponsel tua yang ia temukan di kantor lama Daniel. Jika benar Daniel masih hidup, apa tujuan dari semua ini? Apa yang sebenarnya sedang dia rencanakan? Di dalam hatinya, Alexander tahu ini bukan lagi sekadar balas dendam pribadi, ada sesuatu yang lebih besar, lebih gelap, yang terpendam di bawah permukaan.Sesampainya di rumah, Alexander disambut oleh Sarah yang sedang bermain bersama Zacky di ruang tengah. Melihat kebahagiaan di wajah istri dan anaknya sedikit meredakan kegelisahan yang menghantuinya."Kamu pulang terlambat lagi, Sayang," kata Sarah sambil tersenyum hangat. "Ada sesuatu yang ingin kamu bicarakan?"Alexander tersenyum tipis, mendekati Sarah dan mencium pipinya. "Banyak yang terjadi di kantor, tapi aku tidak ingin membebanimu dengan masalah itu."Sarah menatap Alexander dengan penuh perhatian, mengetahui bahwa suaminya sedang menutupi sesuatu. Namun, dia memi