Satu minggu sudah terlewati, tetapi kondisi Rudi masih sama. Pria itu belum menunjukkan tanda-tanda akan pulih dalam waktu dekat. ICU masih menjadi tempat bermalam entah sampai kapan. Sebagai orang yang bertanggung jawab, Denver mengambil alih menafkahi dan menjadi wali anak Rudi yang kini sedang sakit. Mungkin bayi malang itu merindukan ayahnya yang sudah hampir satu bulan tidak pulang. “Rudi, kamu harus bangun!” bisik Denver, dengan suara serak menahan kelelahan. Dia menggenggam tangan Rudi erat, berharap sentuhannya bisa menyalurkan semangat. Bahkan Denver tidak pulang ke rumahnya, rumah orang tua, atau apartemen. Pria itu seolah betah di rumah sakit, melindungi orang-orang terdekat yang sedang sakit. Setelah menunggui Rudi, Denver menjenguk sang oma yang hari ini diizinkan pulang. Namun, bukan sambutan hangat yang diterima melainkan pengusiran. “Mau apa kamu ke sini? Bukannya kamu lebih memilih perempuan murahan itu?! Lihat ‘kan sekarang dia kabur bersama suaminya!” ketus Mama
“Siapa?” teriak Dewi lagi.Ketukan pintu terdengar tergesa-gesa, bagai gemuruh badai yang bisa memecah keheningan rumah.Dewi yang tengah mengusap lembut perutnya terhenti. Dia menatap pintu dengan alis bertaut, tangannya sedikit gemetar. Siapa yang datang ke rumah ini?"Dewi! Cepat buka! Ini aku, Maharani!" Suara dari luar membuat Ibu hamil terpaku, lega sekaligus bingung.Dewi meraih gagang pintu dan membukanya perlahan. Maharani berdiri dengan wajah penuh peluh dan napas tersengal dii balik pintuWajah wanita itu tampak kacau, matanya melebar seperti melihat hal buruk."Rani? Ada apa? Kenapa panik begini?" tanya Dewi dengan nada cemas, tubunya pun sedikit condong ke depan.Maharani melangkah masuk tanpa menjawab. Dia memutar tubuh dan mengunci pintu dengan cepat. Pandangannya melesat ke setiap sudut ruangan, memastikan semuanya aman. Setelah itu, dia meraih lengan Dewi."Kita harus pergi sekarang," tegas wanita itu dengan intonasi tanpa jeda.Dewi mengernyit. "Pergi? Kenapa? Rani,
Bima menegakkan tubuhnya di balik pintu rumah kontrakan. Sudah beberapa jam dia berdiri di sana. Hingga hari berubah gelap dan gerimis berjatuhan membuat pria itu makin waspada. Bahkan keringat dingin mulai membasahi pelipis Bima. “Sialan Ruslan!” geram Bima, “Dia pasti melapor ke Dokter itu!” Dia mengintip dari celah tirai, memastikan siapa yang ada di sekitar rumah. Namun, tidak ada orang di luar sana, hanya bayangan samar pepohonan yang bergoyang diterpa angin. “Aku harus pergi,” gumam Bima sembari meraih ransel kecil di sudut ruangan. Isi ransel itu tidak banyak—hanya ada beberapa lembar uang, kartu identitas palsu, dan sebuah pistol kecil yang dia beli dari pasar gelap. Bima mendengar deru mesin mobil dan motor mendekat dan berhenti entah di mana. Dia meraih senjata, memeriksa pelurunya dengan tangan sedikit gemetar. Suara langkah kaki beberapa orang di luar makin mendekat. “Aku tidak akan menyerah begitu saja!” berang Bima dengan mata liar. Bima melirik ke arah j
Saat ini cahaya lampu yang menggantung di langit-langit ruang interogasi memberikan suasana mencekam. Denver menatap tajam pada Bima yang duduk di kursi, kedua tangan pria itu terborgol di belakang. Dua orang petugas pun berdiri mengawasi. Napas Denver terdengar kasar, bukan karena kelelahan, melainkan emosi yang mendidih sejak Bima membuka mulutnya tadi. “Aku tanya sekali lagi,” tegas Denver dengan suara serak dan menggema. “Di mana Dewi?!” Bima mendongak pelan dan sudut bibirnya melengkung membentuk senyum tipis. Mata pria itu penuh dengan tantangan, seakan sedang menikmati setiap detik kekesalan Denver. “Hah, Dewi?” ulang Bima dengan nada mengejek. “Sepertinya aku lupa membuangnya di mana.” “Jangan main-main denganku, Bima!” berang Denver, intonasinya benar-benar meninggi. Tangan Dokter tampan itu mengepal di atas meja logam hingga buku-buku jarinya memutih. Bima terkekeh pelan dan menyahut, “Kalau kamu lebih pintar, Denver, kamu pasti sudah tahu jawabannya. Tapi saya
“Bagaimana tidurmu, Dewi?” tanya Maharani pelan sambil mendekati ranjang tempat Dewi berbaring. Mata sipit Dewi membuka perlahan. Sinar matahari yang menembus tirai jendela klinik dan menerangi ruangan kecil itu memberi efek silau. Dia menarik napas panjang, lalu mencoba tersenyum tipis. “Sedikit … lebih baik. Tapi aku masih pusing.” “Syukurlah, Wi. Kondisimu kemarin benar-benar mengkhawatirkan,” celoteh Maharani sambil menarik kursi dan duduk di samping Dewi. “Dokter bilang tekanan darahmu sudah turun. Sekarang kamu hanya perlu istirahat total.” Dewi memalingkan wajah ke arah jendela, matanya menerawang. Perutnya yang membesar terasa lebih ringan dibandingkan kemarin, tetapi hatinya masih sesak dan perih. “Rani, aku … aku tidak tahu bagaimana cara membalas semua ini. Kamu sudah terlalu banyak bantu aku.” Maharani tertawa kecil, mencoba mencairkan suasana. “Balas? Dewi, aku tidak pernah minta balasan apa pun darimu. Ingat itu!” ucap Marahari yang diakhiri nada tegas. “Tapi aku
“Carissa!” Suara lantang menggema di dalam kamar besar itu, diikuti pintu yang terbuka tanpa permisi. Carissa yang sedang berdiri di depan meja rias sontak duduk dan tubuhnya menegang dengan wajahnya pucat. “N–Niang? Ada apa ini?” tanyanya dengan nada gemetar sambil berusaha tetap tenang. Wanita tua itu masuk dengan langkah mantap, mata tajamnya mengawasi Carissa yang terlihat gelisah. “Apa yang kamu sembunyikan lagi? Kenapa kamu selalu bertingkah, hah?” geram Niang menggaung keras dan penuh tekanan. Carissa memanfaatkan kemampuannya beralting. Dia tersenyum kaku, mencoba menyembunyikan kegugupan. “Aku enggak menyembunyikan apa-apa, Niang.” “Jangan bodohi aku!” hardik Niang, suaranya menggelegar, membuat Carissa mundur setengah langkah. “Apa ini berhubungan dengan Chico? Atau hal lain? Berapa banyak lagi rahasia yang kamu kubur?” “Niang, aku … enggak paham apa maksudmu,” elak Carissa dengan suara bergetar. Tangan wanita itu menggenggam pinggiran meja rias dan mulai berk
“Jadi, mediasi akan dilanjutkan minggu depan,” kata mediator dengan penuturan tenang dan tajam, pandangannya bergantian antara Denver dan Carissa yang duduk di ujung meja panjang. Denver bergeming. Rahang pria itu mengeras dan sorot mata cokelat karamelnya lurus ke depan. “Saya tetap pada pendirian. Bercerai dengan Carissa.” Sedangkan Carissa yang duduk di seberangnya mengepalkan tangan di pangkuan, tentu saja tatapan matanya memerah. “Kenapa,hah? Kenapa harus seperti ini? Aku enggak setuju!” Suaranya meninggi dan melengking. “Carissa, hubungan kita sudah selesai. Tidak ada yang bisa diperbaiki lagi,” balas Denver dengan nada dingin serta menatap sekilas, lalu kembali memalingkan wajah. Sudah sangat lelah dia dihadapkan ada akting wanita itu. Mediator menepuk meja kecil di hadapannya. “Baik, kita sudahi sesi ini. Saya harap ada perkembangan sebelum mediasi selanjutnya.” Carissa berdiri dengan tergesa, menabrak kursi hingga berbunyi keras. “Perkembangan? Apa yang haru
“Maharani, aku tidak punya waktu buat basa-basi!” Suara Denver terdengar tegas. Sudah lebih dari 15 menit dia berdiri di depan meja kasir restoran cukup besar itu. Mata cokelat karamelnya tajam mengintimidasi Maharani yang tampak gugup, tangan wanita itu sibuk menhitung uang dan menulis daftar belanjaan yang sama berulang-ulang. Ya, Denver turun tangan secara langsung menemui Maharani. Dia yakin Dewi dan wanita itu memiliki pertemanan yang erat. “Maaf, Dokter Denver, saya sibuk. Saya tidak bisa lama-lama ngobrol,” elak Maharani sambil berpaling dan berinteraksi dengan pegawai. Dia mencoba menghindari tatapan pria di depannya. “Berhenti pura-pura sibuk, Maharani!” geram Denver, “kamu tahu kenapa aku di sini?!” Maharani menghela napas panjang, mencoba menenangkan diri. “Dokter Denver, saya benar-benar tidak tahu di mana Dewi sekarang. Terakhir kali saya lihat dia, kondisinya memprihatinkan. Kandungannya lemah, dia juga … tidak punya uang.” Denver mengepalkan tangan di sisi
“Bagaimana hasil pemeriksaanku? Umm … kapan program bayi tabungnya?” Maharani menyandarkan punggung pada dinding kamar sempitnya. Dia masih menempelkan telepon genggam di telinga, mendengar suara Dania yang terdengar ceria di seberang sana."Oke. Hasil pemeriksaanmu sangat bagus, Maharani. Dokter bilang badanmu dalam kondisi prima. Dengan obat yang sudah diberikan, sel telurmu berada dalam kualitas terbaik," tutur Dania yang suaranya penuh kepuasan.Maharani tersenyum getir. "Itu … kabar baik. Aku ingin semua berjalan lancar. Aku juga mau minta tolong Dokter Dania untuk daftar operasi plastik di rumah sakit JB … setelah melahirkan."Dania terdiam sejenak, lalu tertawa tanpa suara dan geleng-geleng. "Gampang. Aku bisa mengurus semuanya untukmu. Kamu hanya perlu menunggu kehamilan itu saja."Maharani menarik napas panjang dan berbisik, "Boleh aku minta sesuatu?”“Katakan saja!”“Umm … tolong siapkan tempat tingg
"Papa lihat ada pisang goleng gosong manis!" seru Dirga, saat melihat Denver baru saja pulang dari rumah sakit. Bocah kecil itu berlari mendekati papanya, sambil membawa pisang di kedua tangannya."Aaa ... Papa, ini enak. Onty Lani yang bawa." Dirga tersenyum lebar, lalu satu tangannya menunjuk ke samping."Papa mau coba, satu saja." Denver membuka mulutnya dan dia lumayan menikmati pisang 'gosong' kesukaan putranya.Dewi pun terkikik geli melihat tingkah dua lelaki itu, tetapi tidak dengan Maharani yang saat ini duduk di ruang keluarga rumah Dewi.Maharani memandangi sekeliling dengan perasaan campur aduk. Tangannya menggenggam kotak kecil berisi sale pisang buatannya sendiri, buah tangan darinya untuk sang sahabat.Aroma kayu manis dari diffuser ruangan bercampur dengan bau kopi yang disajikan pelayan rumah. Nyaman, hangat, dan jauh dari kesulitan yang beberapa hari ini membuat kepala Maharani dilanda pusing.Dewi kel
"Hari ini aku ke kampus. Ada kelas," kata Darius dengan suara datarnya. Pagi ini, Darius merapikan jasnya di depan cermin. Dia melirik Dania yang masih berbaring di tempat tidur dengan wajah ketus. Sejak tadi, wanita itu tidak mengucapkan sepatah kata pun. Semalam, Darius berhasil menggagalkan rencana liciknya. Tabung kecil berisi benihnya sudah dia amankan sebelum Dania sempat membawanya pergi. “Aku berangkat dulu,” ucap Darius lembut, dan mengecup puncak kepala sang istri. Dania tetap diam. Tangan wanita itu sibuk mengetuk-ngetuk layar ponsel, tetapi sorot matanya menunjukkan kekecewaan mendalam. Saat Darius hendak melangkah keluar, Dania bersuara pelan, tetapi penuh sindiran. “Kamu pikir bisa lolos terus?” Wanita itu menatap tajam pada Darius. "Aku akan menggunakan cara lain, apa kamu lupa aku ini lulusan kedokteran?" Darius berhenti sejenak, menoleh dengan ekspresi
Pagi-pagi sekali, Dania sudah tiba di Rumah Sakit JB. Dia melirik ke kanan dan kiri, lalu melangkah masuk ke dalam area klinik poli estetika.Wanita itu mengendap-endap layaknya penyusup, senyum tipis terpatri di wajahnya. Setelah berhasil mendapatkan sedikit informasi dari para perawat kemarin, hari ini dia berniat menggali lebih dalam.“Aku yakin Maharani itu kompeten,” gumamnya, dengan mata waspada, khawatir Darius mengikutinya.Dari balik meja resepsionis, seorang wanita berkulit sawo matang menyambut dengan senyum ramah. “Selamat siang, Dokter Dania, ada yang bisa saya bantu?”Dania menyeringai dan mengangguk kecil, lalu berdeham. “Aku mau bicara sama salah satu perawat di sini.”Wanita itu meneliti Dania sesaat, lantas mengangguk. “Sebentar, saya panggilkan.”Tidak butuh waktu lama, seorang wanita berkacamata dengan seragam perawat rapi datang menghampiri. “Ada yang bisa saya bantu, Dokter Dania?”Dania tersenyum r
Dania memandang kertas kecil di tangannya. Sebuah rincian medis atas nama seseorang."Maharani Putri, rincian biaya bedah plastik," ucapnya. Mata wanita itu menyipit, meneliti nama itu dengan saksama. Ada sesuatu yang mengusik pikirannya, seakan-akan dia pernah mendengar dan bahkan mengenal orang ini.Awalnya, dia hendak meremas kertas itu dan membuangnya ke tempat sampah. Namun, telinganya menangkap bisikan dua orang perawat yang baru saja keluar dari poli estetika, tengah berbincang di dekatnya."Kasihan, ya? Maharani apes banget.""Benar. Begitulah orang kaya, kalau tidak butuh, ya, ditendang.""Padahal dia bisa saja minta tolong sama Pak Rudi. Dia 'kan pernah jadi ibu pengganti."Langkah Dania seketika terhenti. Jari-jarinya yang tadi hendak membuang kertas itu kini mengurungkan niatnya dam menjauh dari tempat sampa. Mata wanita itu kembali tertuju pada tulisan pada kertas medis di tangannya. Maharani Putri. Ibu pengganti?Tiba-tiba sja senyuman miring terukir di bibirnya. Kerta
Dewi menatap wajah kecil dalam dekapannya. Tubuh mungil itu terasa menghangatkan hati, tetapi pikirannya merambat begitu dingin. Kata-kata Dania tadi masih menusuk-nusuk benaknya, berputar tanpa henti seakan menjadi mantra kutukan. "Mama, aku mau bobo dipeluk Mama, ya?" Dirga menggumam pelan, matanya yang indah mulai meredup dalam kantuk. Dewi tersentak dari lamunannya. Dia menelan ludah, berusaha mengembalikan fokus ke putranya. Bibir merah muda wanita itu melengkung samar, meskipun hatinya masih penuh gundah. "Iya, Sayang. Mama bakal peluk Dirga semalaman." "Janji. Mama nggak hilang, ya?" Bocah itu menatap sang mama dengan mata ngantuknya. "Janji, Bos Kecil." Dirga tersenyum kecil mendengar ucapan mamanya, lalu menyusup lebih dalam ke pelukan Dewi. Napas anak itu mulai teratur, tangannya masih menggenggam baju ibunya erat. Seakan takut jika melepaskan, Dewi akan kembali hilang. Denver melirik ke kaca spion, melihat istrinya yang masih menunduk, membelai rambut putranya de
Hening menyelimuti ruangan ketika Denver menekan tombol merah di ponsel. Wajah tampan Dokter itu masih serius, tatapannya dalam, tetapi terdapat sedikit kelegaan yang tersirat. Dia berbalik menatap Dewi yang masih terduduk di sofa dengan wajah cemas. Bahkan paras ayunya berubah jadi pucat karena tragedi ini. "Ayo, kita jemput Dirga," kata Denver, sambil berjalan mendekati Dewi. Dewi menatap sang suami dengan mata yang masih basah. Dia mengangguk lemah. Ketika dia hendak berkata untuk menjawab, Denver telah berjongkok di hadapannya. Pria itu menghapus sisa air mata di pipi istrinya dengan jemarinya yang hangat. "Jangan menangis lagi," ujar Denver lembut dan penuh ketenangan.. "Nanti Dirga bisa sedih melihatmu seperti ini." Dewi menunduk, menarik napas dalam, lalu berdiri. Dia menggenggam tangan Denver dengan erat, seakan dia takut terjatuh, karena satu-satunya yang bisa membuatnya tetap berdiri tegak adalah sang suami. Tanpa membuang waktu, mereka bergegas menuju mobil
Dewi nyaris menjatuhkan ponselnya ketika suara panik dari seberang terdengar lagi. "Dirga ... Dirga menghilang, Bu! Saya sudah mencarinya ke seluruh rumah, tapi tidak ada!" Suara pengasuh terdengar putus asa. Ada isak tangis dan keriuhan di sana. Dewi langsung terduduk. Jantungnya seolah berhenti berdetak sejenak, setelah kesadarannya kembali dia melompat panik dari atas ranjang. Tanpa pikir panjang, dia bangkit, menarik pakaiannya yang berserakan di atas karpet dan meraih tasnya dengan tangan gemetar. Denver yang belum memahami situasi, mengernyit melihat istrinya yang tampak panik. "Dewi, ada apa?" "Sayang ... Dirga hilang! Anak kita," histeris Dewi dengan suara pecah saat mengucapkan itu. Tanpa menunggu jawaban, Dewi langsung berjalan keluar kamar dengan tergesa-gesa. Denver bergegas menyusul, meraih kunci helikopter dan mengikuti langkah istrinya yang sudah setengah berlari keluar. Wanita itu tidak peduli meskipun kakinya masih lemas, dan jalannya hampir tersandun
** Baca setelah berbuka puasa**Dewi berdiri dengan bangga di atas panggung, mengenakan toga kebanggaan universitasnya. Sorak-sorai memenuhi auditorium saat namanya dipanggil sebagai lulusan terbaik. Tangannya sedikit gemetar saat menerima ijazah dari rektor, tetapi senyum di wajahnya tak dapat disembunyikan."Selamat, Dewi. Ini adalah hasil dari kerja keras dan ketekunanmu," ujar rektor dengan bangga."Terima kasih, Pak," jawab Dewi dengan suara bergetar, merasakan momen ini sebagai titik puncak dari perjuangannya selama bertahun-tahun.Dari tempat duduk tamu undangan, Denver menatapnya dengan penuh kebanggaan. Di sisinya, Danis dan Oma Nayla juga bertepuk tangan meriah. Namun, perhatian Dewi sempat tertuju pada sosok yang berdiri tidak jauh dari sana—Darius.Senyum pria itu ramah, tetapi tatapan itu membuat Dewi merasa bersalah mengingat perjuangan Darius. Itu akan menjadi kenangan yang tidak terlupakan baginya.Saat Dewi turun dari panggung, Darius menghampirinya lebih dulu, sedangk