“Mas Bima?” panggil Dewi tanpa suara. Jemari ramping gadis itu mengusap dada, rasa bersalah mengganjal di hatinya. Dia telah membohongi Bima! Ya, pria itu pasti belum mengetahui bahwa proses pembuahan dilakukan secara alami. Meskipun Bima selalu menyakiti fisik dan batinnya, Dewi pernah mencintai pria itu. Pernah mengharapkan balasan cinta. Namun, sekarang … perasaan itu justru berbalik melukainya, merobek hati tulus yang dulu bodoh mengharapkan pria yang bahkan tak pernah benar-benar menganggapnya ada. Dewi menelan ludah, mengepalkan tangan saat ingatan menguak luka lama, bagaimana Bima dengan tega menjualnya kepada Denver demi uang. Suami macam apa yang menyerahkan keperawanan istrinya kepada pria lain? Tanpa sadar, air mata mengalir diam-diam. 'Sebaiknya kita tidak bertemu lagi, Mas,' batinnya getir. Gadis itu menempelkan kartu akses pada sensor. Namun suara berat Bima membuyarkan lamunannya. “Hey, tunggu aku! Kamu mau ke mana?” Dewi menoleh dan beradu pandang dengan suaminya.
Satu jam sebelumnya seorang pria duduk di ruang makan. Bukan makan, tetapi dia membaca pesan yang dikirim seseorang. [Aku pulang pagi. Selamat tidur, Baby.] Detik berikutnya satu pesan kembali masuk. [Pak Denver, saya dapat informasi Bima datang ke apartemen. Dia menunggu Nona Dewi di lobi.] Detik itu juga Denver meninggalkan rumah mewahnya di kawasan perumahan elit. Mobil Audi hitam melaju dengan kecepatan sedang. Kendaraan roda empat itu terhenti di basement gedung apartemen mewah. Kaki pria itu melangkah lebar menuju salah satu unit. Begitu pintu terbuka, iris cokelat karamelnya tertuju pada pintu kamar yang tertutup rapat. Terkunci. Akan tetapi, dia tahu cara membukanya. Tempat ini miliknya. Pintu terbuka dan sepi. Namun, sayup-sayup dia mendengar gemericik air dari kamar mandi. “Dewi …,” desah pria itu. Lagi, pintu kamar mandi terkunci dari dalam. Mudah juga bagi Denver membuka dengan kunci cadangan. Denver mengembus karbondioksida dengan panjang. Iris cokel
“Di mana Dokter Denver?” tanya Dewi. Dia menatap ke penjuru sudut apartemen mewah ini. Sepi. Dia sempat berpikir mungkin saja Denver ada di dapur. Ternyata … tidak ada sosok pria bertelanjang dada yang biasanya sedang memasak. “Non, ayo, sarapan.” Ucapan asisten rumah tangga membuat fokus Dewi buyar. Gadis itu tersenyum dan menatap piring berisi sandwich ikan dan telur dilengkapi sayuran hijau dan tomat segar. Kemudian di sampingnya ada segelas susu serta potongan buah. Pundak gadis itu terkulai lemas karena bosan dan sarapan seperti ini tidak sesuai dengan lidahnya. Dia merindukan makanan lain. Sekarang hidup Dewi terikat dan terkekang dengan perjanjian gila ini. “Dihabiskan, Non. Ini Pak Denver yang masak.” Asisten rumah tangga itu menaruh secarik kertas berisi kata-kata tulis tangan. Dewi menatap kertas putih berbentuk segiempat, lalu menatap pelayan dan berkata, “Terima kasih, Bik.” Sambil berusaha menikmati sarapannya, dia membaca isi pesan Denver. [Habiskan sarapanmu, ja
Sepulang kerja, Dewi memutuskan menemui Danu di rumah Bima.“Sampai Ayah sembuh, Kakak mau menginap di sini,” tegas Danu sambil memperhatikan sepasang suami istri yang terlihat kaku dan bermusuhan. “Kamar tamu di mana?” tanyanya.Dewi menjadi panik, berbanding terbalik dengan Bima yang tersenyum puas melihat kesulitan sang istri. Telunjuk Bima tertuju pada lorong sempit di samping dapur.“Umm … Kak, aku—”Ucapan Dewi terpotong karena Danu menyela, “ Adik-adik sudah Kakak titip sama Budhe. Debt collector datang terus ke rumah.”“Kakak nunggak bayar cicilan?” geram Dewi melihat Danu yang seenak jidat kabur dari masalah.“Makanya Kakak bilang sama kamu pinjam uang 50 juta!” sembur pria itu membuat Dewi geleng-geleng. Kemudian, Danu melenggang pergi menuju salah satu kamar tamu.Sedangkan Bima tampak menikmati perdebatan antara Kakak dan Adik. Pria itu duduk santai di sofa sambil bertepuk tangan tak bersuara.“Apa kubilang. Minta saja sama Pak Rudi. Gampang Dewi. Sekalian mobil dan rumah,
[Nona Dewi ada di apartemen, Pak.] Pesan teks itu dibaca oleh Denver. Dia langsung memutar arah laju mobil menuju apartemen. Setengah jam kemudian, Denver menginjakkan kaki di The Luxury RB Apartement. Dia pun menaruh ibu jari pada alat sensor. Detik itu juga terdengar suara kecil pertanda kunci berhasil terbuka. Terdengar kebisingan dari dapur, Denver memelankan langkah sepatu derby-nya. Sudut bibir pria itu melengkung melihat Dewi sedang berdiri menghadap kompor. Iris cokelat karamelnya juga tertuju pada bokong berisi milik gadis itu. Jakun Denver turun naik melihat lekuk tubuh Dewi. Padahal gadis itu menggunakan celana panjang dan kaos berlengan pendek dengan gambar Kuromi. Namun, gairah Dokter tampan bergejolak. Lagi, Denver mengendap sampai berdiri tepat di belakang gadis miliknya. Pria itu melingkarkan tangan pada perut rata dan menempelkan pipi di telinga Dewi. “Ya ampun!” pekik Dewi. Refleks dia mengangkat sendok sayur hendak memukul Denver, tetapi setelah melihat paras t
"Perempuan itu ...," gumam Dewi yang mematung, tubuhnya membeku. Sosok yang terbaring di ranjang IGD membuat dadanya sesak dan napasnya mendadak berat. Itu Yessy. Di bilik informasi, Denver berdiri tenang, berbicara dengan dokter jaga. Sosok bertubuh jangkung itu terlihat kokoh, berbeda dengan Dewi yang hampir kehilangan keseimbangan. “Dewi? Kenapa kamu di sini? Ini bukan jam tugas kamu!” Suara seorang teman perawat mengejutkan Dewi. Temannya itu sibuk dengan tumpukan obat-obatan. Dewi tersentak, buru-buru mencari alasan. “Itu... ada barang ketinggalan,” jawabnya tergagap. Wajah Dewi menunduk, berusaha menghindari tatapan temannya. Dia tidak ingin kedatangannya bersama Denver menjadi bahan pembicaraan. “Oh, bantu aku, ya. Hubungi keluarga pasien Yessy. Kandungannya keguguran,” kata temannya cepat sebelum berlalu. 'Kandungannya ... keguguran,' ulang Dewi dalam hati bagai dihantam palu godam. Tangannya refleks memegangi perut, seolah rasa sakit Yessy menjalar ke tubuhnya sendiri. Ma
[Aku ada di depan rumahmu! Cepat suruh pengawal membuka pintu!] Carissa menghela napas panjang membaca pesan itu. Naskah sinetron yang tadinya digenggam dilempar ke meja. Dengan wajah masam, dia melangkah keluar kamar, sepatu hak tingginya mengetuk lantai marmer menuju lantai bawah. “Buka gerbang!” perintah Carissa kepada pengawal. Bima masuk dengan langkah lebar dan sikap meledak-ledak. Carissa duduk bersandar di sofa mewah ruang tamu. Dia melipat tangan di depan dada, menatap adik sepupu dengan alis terangkat. “Mau apa?” hardiknya, “ganggu orang aja!” Bima melangkah mendekat. Dia tidak membuang waktu untuk basa-basi. “Jaga suamimu! Jangan sibuk syuting terus, nanti Denver selingkuh!” Kata-kata itu menghentak di ruang tamu seperti pecahan kaca. Carissa tidak langsung merespons. Dia memiringkan kepala, mencoba mencerna ucapan itu, sebelum akhirnya meledak dan tawa keras menggema. “Kamu serius?” Carissa berdiri, bertolak pinggang. Matanya menyipit, penuh ejekan. “Dengar, y
“Jangan kasihan padaku, Dokter,” kata gadis itu, “berikan saja uang sesuai kesepakatan.” Dewi memejamkan mata dan menggigit bibir bawahnya. Satu detik berikutnya dia merasakan sentuhan lembut menyapu kedua belah bibir merah muda. Gadis itu membuka mata dan tatapannya terkunci kepada Denver. Dokter tampan itu tidak tersenyum, tetapi makna tersirat cukup jelas melalui sorot matanya. Seketika Dewi merasa dilindungi dan nyaman, ya, sesuatu yang belum pernah dia dapatkan dari Bima, suaminya. “Lalu bagaimana caramu membayarnya?” tanya Denver, ada penekanan pada ucapannya. “Dicicil dengan gajiku, tentunya. Setelah melahirkan, aku akan lanjut kuliah lagi. Bukankah gajiku juga bertambah, Dokter?” Pertanyaan Dewi membuat Denver tertawa kecil. Sebagai pria yang memiliki segalanya, tentu saja dia ingin gadisnya memohon. Namun, tidak dengan Dewi, justru gadis itu memilih berjuang sendiri. “Kamu bisa mengikuti seleksi beasiswa di J&B Pharmacy. Semoga lulus,” goda Denver seraya mengerling sebel
“Wah … itu adik? Tapi kenapa adiknya kecil banget, Pa?” tanya Dirga sambil menunjuk layar monitor dengan mata membulat penasaran.Dua minggu telah berlalu sejak hari pernikahan Darius dan Maharani. Semua kembali beraktivitas normal.Hari ini, Dewi memutuskan melakukan pemeriksaan kehamilan bersama suaminya di ruang praktik milik Denver. Sebenarnya, ini karena permintaan Dirga yang terus-menerus merengek ingin melihat calon adiknya.“Ya, perkembangan manusia memang dimulai dari yang sangat kecil, Nak. Kalau dijelaskan panjang lebar, kamu pasti bingung,” tutur Denver lembut. Senyumnya merekah melihat Dirga begitu terkesima memandangi layar.Sementara itu, Dewi terus menatap Denver tanpa berkedip. Ada rasa geli dan manis saat melihat pria tampan yang kini jadi suaminya itu serius memeriksanya—sebagai dokter kandungan. Lucu rasanya, diperiksa oleh suami sendiri.“Kenapa kamu lihat aku terus, Mon ange? Jangan goda aku di tempat kerja, hmm,” bisik Denver seraya mengerlingkan sebelah matany
“Sakit, Oma …,” adu Dirga sambil menunjuk kakinya yang tersembunyi di balik celana panjang. Bibir mungilnya maju ke depan, dan manik karamel bergerak gelisah, mencari dua sosok yang sejak tadi dinantikan.“Iya, itu sudah diobati, Sayang. Tidak ada luka apa pun, kan?” sahut Dwyne sembari membelai puncak kepala Dirgantara dengan sentuhan penuh kasih.“Olang itu jalannya sembalang, ah!” Dirga bersedekap dada. Kedua alisnya bertaut, bola matanya menatap tajam ke arah tamu-tamu yang masih ramai di taman, menikmati pesta.Wajah tampan anak itu merengut.Beberapa saat lalu, ketika mengambil makanan di meja, seorang anak kecil menabrak Dirga cukup keras hingga makanannya terjatuh. Beruntung tuksedo mininya tidak kotor, tetapi tubuh kecil Dirga ikut terhuyung dan tersungkur. Anak yang menabraknya pun menangis sehingga mengundang perhatian para tamu.“Dia lebih kecil dari kamu. Jadi … belum tahu cara menghindar,” ujar Dwyne, masih dengan nada lembut. Dalam hati, wanita paruh baya itu ingin sek
“Ah … Darius, kamu benar-benar penjahat,” lenguh Maharani, matanya terpejam sesaat, napasnya tersendat di tengah desahan halus. Dia menelan saliva, kini tubuhnya menegang seperti tersentuh listrik halus di bawah kulitnya.Tadi, pria itu membawanya langsung ke kamar hotel usai prosesi pernikahan mereka. Tanpa banyak kata, dengan antusiasme yang membuncah, Darius melucuti kebaya pengantin Maharani. Jemarinya bekerja luwes, sudah hafal setiap lipatan dan kancing, lalu membaringkan sang istri di ranjang pengantin berseprai putih yang bertabur kelopak mawar.Detik ini, mereka telah sama-sama polos, tidak ada lagi batas di antara kain dan kulit.Darius tampak sangat menguasai momen. Namun, di balik geraknya yang percaya diri, ada ketulusan yang menyelinap di setiap kecupan dan belaian.“Penjahat?” bisik Darius sembari menelusuri ceruk leher sang istri dengan ciuman yang membuat bulu kuduk Maharani meremang.“Umm … iya. Kamu menculikku. Pesta kita bahkan belum selesai, Da-Darius …, ah … ini
Setelah resmi menyandang status duda dan mempertahankan gelar itu selama kurang dari sebulan, akhirnya hari ini Darius melepas masa kesendiriannya dengan mempersunting Maharani.Bunga-bunga bermekaran indah menghiasi pelaminan serta taman. Bahkan pepohonan rindang pun seolah merestui hari penuh cinta ini. Suhu yang sejuk turut mendukung segalanya yang telah dirancang dengan saksama.Saat ini Darius mengenakan jas putih dengan rambut ditata rapi menggunakan pomade. Dia duduk bersama Denver dan Danis sebagai saksi pernikahan, menanti sang mempelai wanita yang belum juga tiba."Santai, Darius. Tenanglah, Maharani sedang bersiap. Kamu jangan bikin malu seperti ini," bisik Denver sambil melirik kaki Darius yang bergerak-gerak gelisah. Kening Darius juga dipenuhi keringat sebesar biji jagung."Aku tidak perlu nasihat. Aku butuh Maharani!" tegas Darius dengan wajah tegang.Denver terkekeh melihat mantan rivalnya panik. Dia pun menggoda lagi dengan suara rendah, "Ah … bagaimana kalau Maharani
Hari berikutnya, Darius masih cuti. Dia datang lebih awal ke persidangan kedua Dania. Pria itu duduk menyendiri di bangku tunggu, memandangi sisi kanan dan kiri ruang sidang yang masih sepi. Padahal dia sudah janjian dengan Denver, tetapi pria itu belum tampak.Darius memejamkan mata sambil menyandarkan punggung ke dinding dingin. Dia mencoba membayangkan wajah Maharani agar suasana hatinya lebih tenang, dan berhasil.Bahkan ketika Denver datang bersama Ruslan dan Rudi, Darius menyapa dengan santai. Termasuk saat bertemu Dania di ruang sidang, tatapan tajam sang mantan tidak lagi menggoyahkan hatinya.Sidang pun selesai. Jadwal sidang berikutnya masih menunggu konfirmasi. Hal ini membuat Darius sedikit cemas, lantaran pernikahannya dengan Maharani makin dekat.“Tidak baik melamun,” tegur Denver, melihat Darius tampak berpikir di depan pintu pengadilan.“Ah, bukan melamun. Aku sedang berpikir cari kado untuk anakmu.” Darius m
Minggu ini menjadi yang paling berat sepanjang hidup Darius. Bahkan dia sengaja mengajukan cuti dari rumah sakit hanya untuk menyelesaikan segala masalah yang selama ini menggantung.Sekarang, dengan ditemani pengacara serta pamannya yang sangat baik, Darius duduk di ruang sidang yang terasa dingin dan sunyi.Bau kertas tua bercampur aroma pembersih ruangan menyengat di hidung. Suara langkah sepatu para pengacara dan detik jarum jam di dinding terasa memekakkan di tengah ketegangan.Dia menoleh ke samping, menatap kursi kosong di sebelahnya—kursi yang seharusnya diisi oleh Dania. Namun, wanita itu hanya menghadiri sidang melalui layar ponsel, sebab pihak kepolisian tidak mengizinkannya keluar dari sel tahanan karena perilaku buruknya yang makin menjadi.Darius menarik napas panjang, terasa sesak dan perih di dadanya. Ketika hakim memintanya mengucap ikrar talak, sejenak dia terdiam. Ada kilatan ingatan yang muncul—saat pertama kali menggenggam tangan Dania di bawah langit sore, berjan
“Kamu kenapa? Ada yang sakit?” tanya Maharani sambil menatap Darius yang sejak tadi hanya bersedekap dada, duduk di pojokan kamar.Setelah Dewi dan Dirgantara dijemput Denver, Maharani langsung menghampiri Darius. Pria itu tidak menyambutnya dengan senyum atau pelukan, melainkan ekspresi super dingin, seperti freezer yang kelupaan ditutup.Apa mungkin Darius kesal karena dia terlalu lama menemani Dewi di kamar? Atau ... ada sesuatu yang tidak dia tahu?“Mulai sekarang jangan makan tempe goreng lagi!” geram Darius tiba-tiba. Nada suaranya seperti menegur pasien bandel.Maharani langsung melongo. Tadi pria ini begitu antusias ketika diberikan tempe goreng hangat. Sekarang mendadak berubah arah.“Kamu sakit perut karena makan tempe goreng?” tanya Maharani curiga. Matanya menyipit, memeriksa wajah calon suaminya dari atas ke bawah.Darius berdecak, lalu menggeleng cepat. “Bukan perut yang sakit, Rani. Tapi hati. Mengerti?!” ucapnya dengan desahan napas berat seperti habis lari maraton.“A
"Rani … apa yang kamu—"Protes Darius terputus begitu saja saat Maharani menatapnya tajam dan mengangkat telunjuk di depan bibirnya, memberi isyarat tegas agar pria itu diam."Tapi aku—""Jangan berisik, Dok!" tegur Maharani dengan tegas, sambil meraih handuk dan menghela napas panjang.Dia berbalik, mengambil pakaian dengan wajah jengkel, lalu mengenakannya secepat kilat.Beberapa detik kemudian, langkah kecil terdengar mendekat. Seorang anak laki-laki muncul di ambang pintu, membawa aroma tempe goreng yang menguar dari kotak kecil di tangannya."Tante Lani, tempe golengnya masih anget, enak loh dimakan pakai kecap!" celoteh Dirga ceria. Namun, matanya menyapu ke dalam kamar, tidak menemukan keberadaan Maharani."Tante Lani di mana?" tanyanya polos sambil mengetuk pintu, dia tidak berani masuk tanpa izin. Meskipun kakinya terlalu gatal ingin melangkah.Maharani segera melangkah dengan cepat menghampiri Dirga, sambil sibuk mengancingkan kancing baju. Senyum wanita itu dibuat selebar m
“Rani ... kamu di mana?” panggil Darius. Pria itu sudah menekan bel berkali-kali, tetapi tidak ada yang membukakan pintu pagar.Bahkan Darius mencoba menghubungi Maharani dan Bu Astuti, tetapi tak mendapat balasan. Hingga akhirnya, dia menggunakan kunci cadangan dan masuk ke dalam rumah.Suasana di dalam tampak rapi dan tenang, aroma pengharum kopi menguar dari sudut-sudut ruangan dan memberi kesan hangat yang familiar.“Rani? Sayang?” panggilnya lagi, sambil mengedarkan pandangan ke sekeliling ruang tamu yang tertata apik. Tidak ada satu pun tanda kehadiran manusia.Dia meletakkan kantong makanan yang dibawanya di atas meja makan panjang putih. Matanya sempat tertumbuk pada vas bunga segar yang tertata manis di tengah meja.Bibir Darius tertarik membentuk senyum kecil. Rumah ini terasa jauh lebih hidup sejak ada sentuhan seorang wanita.“Bu? Bu Astuti?” Darius melongok ke taman belakang yang ukurannya tidak terlalu besar. Pandangannya menyapu seluruh sudut. Tetap tidak terlihat siapa