Pagi Kak. Untuk hari ini dua Bab dulu ya. Terima kasih ^^ Jan lupa dukung Pak Dokter. Kawal terus sampe janur kuning melengkung ^^
"Pak, Anda yakin mau ke Malang hari ini?" tanya Ruslan yang melangkah cepat mengikuti ritme Denver."Siapkan saja semuanya, Ruslan! Aku tidak bisa membiarkan Darius menikahi Dewi! Apalagi Pak Danis pasti memaksa Dewi," geram Denver, matanya menyala penuh amarah."Tapi … bagaimana dengan Nyonya Dwyne, Pak? Kondisinya tidak memungkinkan ditinggal," tukas Ruslan, suaranya terdengar ragu.Langkah Denver terhenti. Pikiran Dokter tampan itu berkecamuk. Jika saja tubuhnya bisa terbagi dua, dia pasti akan melakukan itu. Dwyne, Dewi, dan Dirgantara adalah tanggung jawabnya.Dia tidak ingin kehilangan mereka!"Tangan Anda, Pak," tunjuk Ruslan.Denver menatap pergelangan tangannya. Darah segar menetes dari luka bekas infus yang terbuka, tetapi dia bahkan tidak merasakan sakit. Dia hanya mendengkus ketika melihat Darius sedang berjalan bersama pasien lain."Kamu benar, Ruslan. Untuk saat ini, Mama tidak bisa ditinggal. Pastikan Darius tetap di sini! Katakan pada direktur, jangan memberinya izin!"
Setibanya di Kota Malang, Denver langsung menggunakan taksi menuju kediaman Danis. Sepanjang jalan, jari-jarinya pria itu terus mengetuk layar ponsel.Dia mencoba menghubungi Dewi dan Astuti. Namun, hasilnya tetap sama—panggilan tak terjawab."Sial!" gumam Denver, rahangnya mengeras. “Ke mana mereka semua?”Pikiran pria itu seketika dipenuhi bayangan buruk. Bagaimana jika Dewi sudah dipaksa menikah? Bagaimana jika Darius sedang menggenggam tangannya di altar? Bagaimana jika Dirgantra menangis tanpa ada yang bisa menenangkannya?Bahkan parahnya lagi, jika Dewi benar-benar dibawa menjauh, entah ke mana. Bukankah itu sulit bagi Denver untuk merebutnya lagi?Jantung Denver berdetak lebih cepat dari biasanya dan denyut nadinya terasa hingga di pelipis. Dia tidak bisa tinggal diam!“Permisi, Pak. Sudah sampai tujuan,” ujar sopir taksi dengan suara pelan. “Pak?”Seketika Denver tersentak dari lamunan mengerikan itu. Dia mengembuskan napas kasar, untuk menepis kekhawatiran yang terus menghantu
“Dokter Denver,” ucap Dewi tanpa suara. Bibir mungilnya bergerak, tetapi suaranya tercekat di tenggorokan.Jantung Dewi berdegup begitu cepat karena lonjakan hormon dopamin, seakan ingin melompat dari dadanya. Tubuh mungilnya seakan membeku, tetapi hatinya juga berontak.Dia ingin mendekat, ingin berlari ke dalam pelukan pria itu, tetapi pergelangan tangannya dicekal oleh Danis.“Untuk apa kamu ke sana? Tunggulah sampai acara konferensi pers ini selesai,” bisik Danis, sorot mata hitamnya jelas melarang.Dewi menelan ludah dan menggeleng. Napas gadis itu tersengal, tetapi dia tidak peduli. Ini Denver. Ayah dari Dirgantara, juga pria yang mengisi kehampaan selama setahun belakangan.Dengan gerakan tegas, Dewi melepaskan cengkeraman tangan Danis yang tidak terlalu kuat. Sepasang kaki yang dibingkai heels putih melangkah begitu lemas ke arah Denver.Mata mereka saling bertemu, ada kerinduan yang begitu pekat.Denver melengkungkan senyum, tetapi berbeda dari Darius yang mengepalkan tangan d
Ingin sekali Denver merebut anaknya dari Darius, sebab mereka tampak asyik bercengkerama. Namun, akal sehatnya memutuskan untuk menemui Danis terlebih dahulu.Setibanya di ruang kerja, pria paruh baya itu duduk dengan tegang. Denver dan Dewi berdiri tepat di depannya, menunggu instruksi."Duduklah," kata Danis dengan nada dingin dan memerintah."Terima kasih," sahut Denver begitu tenang, sembari menggenggam tangan Dewi erat.Dewi menunduk dan hatinya berdebar. Ruangan ini terasa lebih dingin dari biasanya, atau mungkin itu hanya efek dari tatapan tajam Danis yang menusuk seperti pisau bedah. Dia tahu, pria itu belum sepenuhnya percaya pada Denver, dan jujur saja, dia pun masih bertanya-tanya, apakah Denver benar-benar akan bertahan?Danis mengetukkan jarinya di meja dengan ekspresi tetap datar. Namun, ada sesuatu dalam sorot matanya, sebuah peringatan "Kalau kamu berpikir aku akan menyerahkan Dewi begitu saja, kamu salah besar, Denver."Sebagai pria dewasa yang matang, Denver tidak
Beberapa hari setelah pemberitaan identitas Dewi ke media massa, publik kembali mengangkat hubungannya dengan Denver. Bahkan, saat ini mereka juga menyayangkan sikap Carissa di masa lalu yang menyia-nyiakan Denver, sekaligus mengagumi Dewi sebagai penggantinya yang jauh lebih baik.Saat ini Carissa menjenguk Bima di rumah tahanan. Wanita itu tampak mendelik pada adik sepupunya yang kini makin kurus dan tidak terurus.“Ada apa ke sini, hah? Mau menertawai nasibku?” sergah Bima sebelum duduk.Carissa melipat tangan depan dada dan berdecak, “Kenapa kamu bisa melewati hal penting seperti itu? Kalau saja tahu dia itu anaknya Pak Danis pasti kehidupan kita enggak begini, huh!”Bima membuang ludah sembarangan dan matanya menatap nyalang. Rahang dengan janggut lebat itu tampak berkedut. “Aku juga tidak tahu Carissa! Seandainya tahu, mana mungkin kuceraikan dia!”“Bima, kamu itu diceraikan, paham!” ketus Carissa.“Dan kamu juga ditendang dari keluarga Bradley. Sudah bagus punya suami muda dan b
Kediaman Bradley.Kursi roda Dwyne meluncur pelan memasuki ruang tamu besar, bergaya Eropa. Di sana, seorang perempuan cantik duduk dengan anggun, menyesap teh sambil bercengkerama dengan Oma Nayla.Tatapan Dwyne melembut, penuh kasih, seperti seorang ibu yang melihat anaknya.Kursi roda itu makin mendekat, didorong oleh seorang perawat.“Apa kabar, Tante?” Dania buru-buru menghampiri Dwyne, mencium tangan wanita itu dengan hormat.Dwyne mengangguk pelan, bibirnya bergetar saat berusaha menjawab, “B-a-i-k.”Dania tersenyum, mengambil alih kursi roda Dwyne, lalu mengeluarkan sesuatu dari tasnya. “Papa bilang ini untuk Tante, supaya cepat sembuh.” Dia menyerahkan sebotol multivitamin.Sedangkan Dwyne hanya mengangguk lagi, berbeda dengan mata Dania bergerak gelisah, seperti mencari sesuatu.Tentunya hal gerak-gerik Dania tidak luput dari Oma Nayla yang duduk di seberangnya , memperhatikan denga
Saat Denver menerima telepon, pria itu segera menjauh dari Dewi. Gerak-geriknya membuat gadis itu bertanya-tanya, tetapi dia tidak berani menguping. Itu urusan pribadi Denver, bukan haknya untuk ikut campur. Wajah pria itu yang semula santai kini berubah tegang. Rahang mengeras dan jemarinya mencengkeram ponsel lebih erat. Otot-otot di leher Denver menegang, menandakan sesuatu yang serius sedang terjadi. “Apa Nyonya Dwyne sudah bisa bicara lagi?” gumam Dewi, memperhatikan ekspresi Denver yang penuh kecemasan. “Kenapa kamu pakai ponsel Mama? Sekarang di mana Mamaku?” Suara Denver terdengar lebih rendah, seperti geraman. Dia berbalik menatap Dewi, matanya tajam. “Ponselku ketinggalan di rumah. Sekarang Aunty syok berat, Kak. Mendingan Kakak pulang sekarang. Kita harus bahas siapa pengganti direktur!” Valerie di seberang sana berbicara dengan nada panik. Dewi masih berusaha mendengar, dan perasaan berdebarnya makin menjadi. Ada sesuatu yang terjadi di rumah sakit, dan itu bukan
Tatapan sinis Paman Carissa menusuk tajam ke arah Denver, seakan ingin mencabiknya hidup-hidup. Senyum kecil sosok itu penuh ejekan ketika berkata, "Bukankah tidak harus seorang dokter untuk menjadi direktur?"Denver mengepalkan tangan di bawah meja. Sudut bibirnya berkedut samar, tetapi dia tetap mempertahankan ekspresi tenangnya. Mereka ingin merebut kendali rumah sakit ini—itu sudah jelas.“Anda benar.” Denver akhirnya membuka suara, nada bicaranya tetap terkendali. “Siapa pun bisa menjadi direktur, selama dia memiliki kompetensi dan kepedulian terhadap pasien, bukan hanya keuntungan.”Niang yang sejak tadi diam, menyelipkan senyum tipis. Meskipun sulit bicara, dia memaksakan diri. “Kalau begitu, biar putraku saja yang memimpin rumah sakit ini.”Denver menatapnya tajam. “Aku tidak keberatan, asalkan beliau memenuhi syarat sebagai direktur yang tidak hanya berfokus pada keuntungan semata,” tegasnya, menyelipkan tantangan dalam suaranya.Para anggota dewan mulai berbisik-bisik. Paman
Dewi bergegas ke dapur begitu mendengar suara pecahan gelas. Saat sampai, alangkah terkejutnya dia mendapati Valerie sedang berjongkok, meringis kesakitan sambil membersihkan pecahan gelas yang berserakan di lantai. "Ya ampun Valerie!" Dewi segera mendekat, menarik tangan Valerie. "Jangan sentuh pakai tangan kosong!" pekiknya. Mata sipitnya melebar melihat ada luka di jari Valerie, cairan merah merembes keluar. "Kamu–" "Aku tidak sengaja menjatuhkannya," ujar Valerie, wajahnya sedikit pucat. "Aku tadi mau ambil air, tapi tanganku sakit."Tanpa banyak bicara lagi, Dewi mengambil kotak P3K, lalu dengan cekatan membersihkan luka Valerie. "Makasih, ya, Wi." ujar Valerie setelah tangannya dibalut plester. Dewi tersenyum lantas menyentuh bahu Valerie. Adik sepupu Denver itu meringis. "Harusnya aku yang bilang makasih, tanganmu pegal karena gendong Dirga," ucap Dewi sungkan. "Ya, mungkin. Badannya Dirga berat, sih." Valerie tergelak mengingat anak kecil itu.Dewi tersenyum lembut.
"Wi, ada pasien trauma tingkat 1 di kepala. Tolong bantu."Suara itu menyadarkan Dewi, dia tidak boleh meninggalkan rumah sakit ini sebelum jam kerjanya selesai.Dewi menghela napas panjang, meremas jemarinya yang terasa dingin."Iya Sus." Dewi segera berlari membantu tim medis lain. Barulah setelah menyelesaikan sif-nya di rumah sakit, tanpa memberitahu Denver, dia segera meluncur ke rumah kontrakan Maharani.Begitu sampai, langkahnya terhenti saat melihat Astuti terduduk di lantai ruang tamu, bahunya terguncang karena isakan.Di hadapannya, ads selembar cek senilai seratus juta tergeletak begitu saja di atas meja kayu tua.“Bu Astuti?” Dewi mendekat, menahan detak jantungnya yang berdebar tidak karuan. “Apa yang terjadi?”Astuti mendongak, wajahnya yang sembab memperlihatkan keputusasaan begitu kentara. “Rani pergi ... Dokter Dania kasih uang ini. Seratus juta, Dewi. Ibu takut!”Dewi memicingkan mata, perasaan tidak enak menyergap pikirannya. “Uang sebanyak ini untuk apa?”Astuti
“Tumben mendadak datang ke sini, Wi?” Intonasi Maharani terdengar tercekat, senyumnya kaku. “Ini masih pagi.”Dewi tidak langsung menjawab. Dia hanya menatap lekat wajah Maharani, mengamati setiap perubahan ekspresinya. Napas Maharani tampak tersendat, jemarinya mencengkeram gelas susu sangat erat hingga sedikit bergetar. Terlalu jelas dia menyembunyikan sesuatu.“Rani … tujuanku datang ke sini ingin tahu apa hubunganmu dengan Dokter Dania. Aku tidak percaya kalian berteman,” ujar Dewi dengan nada tajam, mata sipitnya menyipit penuh selidik.Tangan Maharani makin gemetar. Gelas yang dipegangnya hampir tergelincir. Wajah yang semula tenang kini memucat.Dewi tidak bisa mengabaikan perasaan tidak nyaman sejak kemarin. Kedekatan tak wajar antara Maharani dan Dania terus mengusik pikirannya. Pagi ini, tanpa banyak berpikir, dia memutuskan mengunjungi rumah kontrakan.Denver yang kebetulan ada kegiatan pagi ini bersedia mengantarnya. Mereka berangkat lebih awal dari biasanya.“Ada apa, Rani
“Hari ini Pratiwi bisa bantu kamu belajar.” Denver menandatangani berkas di layar tabletnya, jemarinya cekatan bergerak tanpa sedikit pun mengalihkan perhatian.“Beneran?” Mata Dewi berbinar. “Memangnya dokterku enggak repot kalau ditinggal Suster Tiwi?” tanyanya sambil menyuapi Dirga dengan lembut, memastikan anaknya mengunyah dengan benar.Meskipun ada pengasuh, Dewi tetap ingin menikmati setiap momen berharga bersama putranya. Bahkan selama seminggu ini, saat dia menjalani masa magang di JB, Dirga selalu mengekor ke mana pun dia pergi, enggan jauh dari sang ibu.“Iya, Sayang. Hari ini aku libur praktik, cuma ada jadwal operasi jam tiga sore.” Denver akhirnya melirik, senyum tipis terbit di sudut bibirnya saat melihat wajah Dewi yang sumringah.Dewi memang sedang menempuh gelar profesinya sebagai perawat praktisi, dan Denver memberid dukungan penuh. Bahkan, dia rela melepas perawat kepercayaan untuk membim
“Bagaimana hasil pemeriksaanku? Umm … kapan program bayi tabungnya?” Maharani menyandarkan punggung pada dinding kamar sempitnya. Dia masih menempelkan telepon genggam di telinga, mendengar suara Dania yang terdengar ceria di seberang sana."Oke. Hasil pemeriksaanmu sangat bagus, Maharani. Dokter bilang badanmu dalam kondisi prima. Dengan obat yang sudah diberikan, sel telurmu berada dalam kualitas terbaik," tutur Dania yang suaranya penuh kepuasan.Maharani tersenyum getir. "Itu … kabar baik. Aku ingin semua berjalan lancar. Aku juga mau minta tolong Dokter Dania untuk daftar operasi plastik di rumah sakit JB … setelah melahirkan."Dania terdiam sejenak, lalu tertawa tanpa suara dan geleng-geleng. "Gampang. Aku bisa mengurus semuanya untukmu. Kamu hanya perlu menunggu kehamilan itu saja."Maharani menarik napas panjang dan berbisik, "Boleh aku minta sesuatu?”“Katakan saja!”“Umm … tolong siapkan tempat tingg
"Papa lihat ada pisang goleng gosong manis!" seru Dirga, saat melihat Denver baru saja pulang dari rumah sakit. Bocah kecil itu berlari mendekati papanya, sambil membawa pisang di kedua tangannya."Aaa ... Papa, ini enak. Onty Lani yang bawa." Dirga tersenyum lebar, lalu satu tangannya menunjuk ke samping."Papa mau coba, satu saja." Denver membuka mulutnya dan dia lumayan menikmati pisang 'gosong' kesukaan putranya.Dewi pun terkikik geli melihat tingkah dua lelaki itu, tetapi tidak dengan Maharani yang saat ini duduk di ruang keluarga rumah Dewi.Maharani memandangi sekeliling dengan perasaan campur aduk. Tangannya menggenggam kotak kecil berisi sale pisang buatannya sendiri, buah tangan darinya untuk sang sahabat.Aroma kayu manis dari diffuser ruangan bercampur dengan bau kopi yang disajikan pelayan rumah. Nyaman, hangat, dan jauh dari kesulitan yang beberapa hari ini membuat kepala Maharani dilanda pusing.Dewi kel
"Hari ini aku ke kampus. Ada kelas," kata Darius dengan suara datarnya. Pagi ini, Darius merapikan jasnya di depan cermin. Dia melirik Dania yang masih berbaring di tempat tidur dengan wajah ketus. Sejak tadi, wanita itu tidak mengucapkan sepatah kata pun. Semalam, Darius berhasil menggagalkan rencana liciknya. Tabung kecil berisi benihnya sudah dia amankan sebelum Dania sempat membawanya pergi. “Aku berangkat dulu,” ucap Darius lembut, dan mengecup puncak kepala sang istri. Dania tetap diam. Tangan wanita itu sibuk mengetuk-ngetuk layar ponsel, tetapi sorot matanya menunjukkan kekecewaan mendalam. Saat Darius hendak melangkah keluar, Dania bersuara pelan, tetapi penuh sindiran. “Kamu pikir bisa lolos terus?” Wanita itu menatap tajam pada Darius. "Aku akan menggunakan cara lain, apa kamu lupa aku ini lulusan kedokteran?" Darius berhenti sejenak, menoleh dengan ekspresi
Pagi-pagi sekali, Dania sudah tiba di Rumah Sakit JB. Dia melirik ke kanan dan kiri, lalu melangkah masuk ke dalam area klinik poli estetika.Wanita itu mengendap-endap layaknya penyusup, senyum tipis terpatri di wajahnya. Setelah berhasil mendapatkan sedikit informasi dari para perawat kemarin, hari ini dia berniat menggali lebih dalam.“Aku yakin Maharani itu kompeten,” gumamnya, dengan mata waspada, khawatir Darius mengikutinya.Dari balik meja resepsionis, seorang wanita berkulit sawo matang menyambut dengan senyum ramah. “Selamat siang, Dokter Dania, ada yang bisa saya bantu?”Dania menyeringai dan mengangguk kecil, lalu berdeham. “Aku mau bicara sama salah satu perawat di sini.”Wanita itu meneliti Dania sesaat, lantas mengangguk. “Sebentar, saya panggilkan.”Tidak butuh waktu lama, seorang wanita berkacamata dengan seragam perawat rapi datang menghampiri. “Ada yang bisa saya bantu, Dokter Dania?”Dania tersenyum r
Dania memandang kertas kecil di tangannya. Sebuah rincian medis atas nama seseorang."Maharani Putri, rincian biaya bedah plastik," ucapnya. Mata wanita itu menyipit, meneliti nama itu dengan saksama. Ada sesuatu yang mengusik pikirannya, seakan-akan dia pernah mendengar dan bahkan mengenal orang ini.Awalnya, dia hendak meremas kertas itu dan membuangnya ke tempat sampah. Namun, telinganya menangkap bisikan dua orang perawat yang baru saja keluar dari poli estetika, tengah berbincang di dekatnya."Kasihan, ya? Maharani apes banget.""Benar. Begitulah orang kaya, kalau tidak butuh, ya, ditendang.""Padahal dia bisa saja minta tolong sama Pak Rudi. Dia 'kan pernah jadi ibu pengganti."Langkah Dania seketika terhenti. Jari-jarinya yang tadi hendak membuang kertas itu kini mengurungkan niatnya dam menjauh dari tempat sampa. Mata wanita itu kembali tertuju pada tulisan pada kertas medis di tangannya. Maharani Putri. Ibu pengganti?Tiba-tiba sja senyuman miring terukir di bibirnya. Kerta