"Cinta dan kasih sayang Mommy selalu ada di setiap langkahku. I love you, Mommy." - Samuel Watson -
Detektif Rodriguez menyatukan potongan rekaman video yang sudah dia pisahkan sebelum. Kini kepingan puzzle yang hilang mulai bermunculan dan mengarahkannya kepada satu jawaban yang mereka cari selama ini.“Martin, tolong periksa histori panggilan terakhir yang dilakukan oleh Paul Stone, korban dari pembunuhan,” pinta Detektif Rodriguez sambil mencatat timeline dalam video sesuai dengan kesaksian para korban.“Baik, aku akan memeriksanya sekarang.”Martin mulai sibuk menghubungkan kartu sim korban yang bernama Paul dengan provider dan satelit terakhir yang digunakan pria itu.“Lihat!” teriaknya tanpa sadar. Di layar laptopnya terpampang dua nomor terakhir yang menghubungi pria itu.“Coba periksa siapa pemilik nomor tersebut,” ucap Magnus yang baru saja keluar dari kamar mandi.Dengan gesit, Martin mengetik nomor telepon tersebut dan mencari siapa pemilik nomor tersebut di beberapa situs website.“Audrey?” gumam Martin.“Siapa?” tanya Magnus yang langsung melompat dari kursi kerja yang
“Kamu pasti akan sembuh, Freya,” ucap Magnus sambil melepaskan pelukannya.“Aku juga berharap seperti itu.”“Apakah ada sesuatu yang bisa aku lakukan untukmu?”Freya menatap Magnus jengah. Magnus terlihat begitu tampan dalam balutan pakaian kerjanya. ‘Oh my, my. Dia begitu panas dan gagah,’ keluh Freya tak berdaya.“Freya…” panggil Magnus. Dia meraih tangan wanita pujaannya itu. Walaupun dia belum pernah mengatakan apa-apa padanya, tapi hatinya tidak bisa menyangkal bahwa rasa cintanya sudah tumbuh sejak dari hari pertama dia menginterogasi Freya.Wajah Freya semakin memerah. Dia menyukai ketika Magnus menggenggam tangannya, tapi dia juga merasa tidak pantas dicintai. Magnus terlalu sempurna untuknya. Freya sangat takut kalau Magnus mengetahui kisah hidupnya yang pernah diperk*sa oleh seorang pria bejat, hamil saat berusia enam belas tahun. Kemudian diusir dari rumah, terlunta-lunta di jalanan sebelum Chloe menampungnya, dan masih banyak hal lain yang membuatnya merasa rendah diri.
“Sekarang kita gosok gigi. Lalu…, tidur deh,” ucap Chloe sambil menyiapkan sikat gigi dan meraih pasta gigi khusus untuk anak-anak yang sudah dibelinya di apotek saat dalam perjalanan pulang tadi.“Auntie, aku akan ulang tahun di bulan Maret. Auntie ingat ‘kan?”“Iya dong, sayang. Auntie ingat ‘kok. Kamu mau hadiah apa?”“Aku tidak mau apa-apa, Auntie.” Samuel meraih sikat gigi dan mulai mengoleskan pasta gigi di sana. “Loh, kok tumben kamu tidak mau hadiah?”“Aku mau hadiah, tapi bukan hadiah yang harus dibeli.”Chloe menaikkan alisnya. Dia ingin bertanya lebih lanjut, tapi Samuel sudah mulai menggosok giginya. Dia pun dengan sabar menunggu sampai bocah itu selesai.“Aaa? Open your mouth, please? Auntie mau periksa dulu, sudah bersih atau belum.”Dengan patuh Samuel membuka mulutnya dan memperlihatkan giginya yang putih tersusun rapi.“Well done!”puji Chloe sambil ber-high five dengannya.Samuel tersenyum senang. Dia suka karena Chloe melakukan hal-hal yang mommynya juga biasa lakuka
Chloe segera menggosok giginya. Dia menatap wajahnya di dalam cermin di depannya. Di sana terlihat sekali kalau dia letih dan butuh istirahat. Sepanjang hari, energinya terkuras untuk menangis dan memikirkan nasib sahabatnya. Dia tidak akan pernah rela kalau Freya sampai perginya meninggalkannya. Chloe berkumur dan melanjutkan dengan mencuci mukanya dengan menggunakan produk-produk kecantikan yang dibelikan Mateo sebagai hadiah pernikahan mereka.Setelah menyelesaikan semua itu, dia segera membuka tas kecil yang terletak di bawah rak dan mengeluarkan sesuatu dari sana. Sebuah test pack yang akan ia gunakan sebentar lagi. Dengan wajah tegang, dia melakukan semua sesuai dengan petunjuk yang tertera di atas kertas. Walaupun di sana dianjurkan untuk melakukan test tersebut pagi hari untuk mendapatkan hasil yang lebih akurat, tapi Chloe sudah tidak sabar lagi untuk menunggu hari esok. Dia mencelupkan alat itu ke dalam air seni yang sudah dia tampung dalam sebuah wajah. Chloe menghitung s
Setelah selesai mengatur napasnya yang terengah-engah akibat kenakalan istrinya, Mateo meraih tangan Chloe dan mengecupnya lembut.“Aku ingin mengatakan sesuatu padamu.”“Hmm,” balas Chloe sambil tangannya membelai dada Mateo yang berbidang. Dia menyukai struktur tubuh proporsional suaminya. Mateo segera menghentikan tangan Chloe. Mana bisa dia konsentrasi kalau seperti itu. Berdekatan dengan Chloe saja, sudah membuatnya candu, ditambah lagi kalau dibelai-belai seperti itu. Tubuhnya kembali menginginkan Chloe.“Apa yang ingin kamu katakan?” tangan Chloe sambil menatap suaminya dengan penuh cinta.Mateo menarik napas panjang.“Kamu hamil,” ucap Mateo dengan senyum mengembang.“Hah? Dari mana kamu tahu?"Chloe tidak bisa menyembunyikan rasa kagetnya. Dia menatap suaminya dengan penasaran.“Aku sudah tahu dari hari pertama kamu muntah-muntah saat makan malam bersama mommy.”“Oh, jadi selama ini kamu sudah merahasiakan hal itu dariku?”“Eh, bukan, bukan itu maksudku,” gagap Mateo. Dia kha
Magnus meraih cangkir kosong di depannya dan berniat meneguk kopi hitam kesukaannya. “Yah, sudah habis ternyata,” gumamnya pelan. Entah sudah berapa cangkir kopi yang dia sudah konsumsi hari ini. “Mungkin aku harus istirahat sebentar.”Magnus menguap dan hendak meng-off kan komputernya, tapi dia segera mengurungkan niat begitu melihat pesan yang ada dalam inbox em*ilnya.“Surat elektronik dari bagian Polisi Khusus Pemasyarakatan (Polsuspas)?"Departemen itu biasanya bertugas melakukan pengawasan, pembinaan, keamanan, serta keselamatan narapidana dan tahanan."Semoga bukan berita buruk," harap Magnus.Gegas, Magnus mengklik surat elektronik tersebut. Betapa terkejutnya dia setelah membaca isi pesan tersebut.“Kurang ajar! Berarti si Jason lagi cuti dalam minggu ini. Aku akan segera mengirimkan penjagaan dan pengawalan untuk Freya.”Magnus rupanya telah meminta salah satu temannya yang bertugas di sana untuk menginformasikan kepadanya setiap kali Jason mendapat cuti bersyarat.Seluruh
“Bagaimana, Boss? Apakah Boss mau ikut masuk ke dalam?”Jason berpikir sebentar. Dia ragu untuk melakukan itu, tapi dengan topi dan selembar masker yang menutupi wajahnya, sepertinya itu tidak akan mendatangkan masalah baginya.“Hmm, baiklah. Ayo kita masuk.”Mereka berdua berjalan memasuki lobby rumah sakit dan berusaha untuk bersikap biasa-biasa saja. Jason mengedarkan pandangan dan mencoba sebisa mungkin untuk menghidar dari area-area yang disorot CCTV.“Maaf, Tuan-Tuan, ini sudah jam dua pagi. Waktu berkunjung sudah berakhir.”Bendic, orang sewaan Jason segera pasang badan dan menjawab pertanyaan dari petugas rumah sakit.“Kami baru tiba dari luar kota dan ingin menjenguk keluarga kami yang sedang sakit. Maafkan atas gangguan ini.”“Saya mengerti, Tuan. Tapi kualitas istirahat dari pasien, sangat kami utama di sini. Dengan beristirahat yang cukup, proses pemulihan pun bisa berjalan dengan lebih cepat.”"Kami janji akan menengoknya sebentar saja.""Maaf, saya tetap tidak bisa mengi
Aurora mengikat tali sepatunya dengan perlahan. Diliriknya jam dinding di depannya. Melihat angka yang tertera di sana, membuat hatinya menciut. Hari ini adalah hari pertama Aurora kembali ke sekolah setelah tragedi yang menimpanya beberapa waktu yang lalu.“Apakah kamu sudah siap?” tanya daddy sambil meraih tas kerjanya yang selalu digantung di tempat yang sama.“Aku tidak tahu,” jawab Aurora pelan. Tangannya gemetar ketika mengikat tali sepatu sebelah kanan. Dia takut kalau William akan kembali mendatangi dan menangkapnya saat dia berada di sekolah atau jauh dari keluarganya. “Daddy yakin kamu akan baik-baik saja,” ucap daddy dari Aurora. Dia menepuk pundak anak perempuannya itu dan meraih sebuah jaket tebal. Tiga hari lagi, musim dingin akan tiba. Udara terasa semakin menggigit. “Bagaimana kalau dia menangkapku, Daddy?” Wajah Aurora memucat. Kakinya terasa diajak berat untuk melangkah. Andai saja dia bisa memilih, Aurora ingin di rumah seharian. Aurora bahkan tidak mau menyentuh