Revanno melepas ciumannya dengan napas memburu, begitupun juga dengan Starla. Wanita tersebut langsung meraup udara sebanyak-banyaknya untuk mengisi paru-parunya yang seakan kehabisan oksigen.
“Sekarang kamu sudah siap, kan?” Tanya Revanno tanpa memperdulikan Starla yang masih sibuk mengatur napasnya.Starla langsung bersemu, pipinya terasa memanas dan jantungnya berdetak lebih cepat. Bagaimanapun juga ia tidak akan siap untuk kehilangan sesuatu yang berharga dari dirinya. Tapi, janji tetaplah janji. Starla yakin sebanyak dan sejauh apa ia menghindar, Revanno akan tetap meminta hal itu.“Kalau benar ini yang pertama bagimu. Aku akan melakukannya dengan pelan-pelan, nggak akan sakit. Aku janji,” rayu Revanno sambil mengusap pipi Starla yang bersemu.Starla masih diam, ia terlalu bingung untuk menjawab seperti apa. Karena sungguh ini benar-benar pengalaman pertamanya. Ia memang sudah sering berhadapan dengan situasi seperti saat ini, tapi tiPagi itu Starla terbangun dengan rasa linu di sekujur tubuhnya. Ia masih mengumpulkan kesadarannya ketika ia mendengar suara gemericik air dari dalam kamar mandinya. Matanya menatap ke sekitar kamarnya, tiba-tiba Starla tersentak saat merasakan tubuhnya tertidur hanya berlapis selimut saja alias telanjang. Ia segera mengangkat tubuhnya, lalu beranjak dari posisi berbaring. “Aww ...” Starla meringis merasakan nyeri di sekitar bagian bawah. Starla menepuk jidatnya beberapa kali lalu menutup wajah dengan kedua tangannya. Ia masih tidak menyangka kalau semalam ia benar-benar melakukannya dengan Revanno. Seks? Dengan Revanno? Tapi Starla juga tidak mampu membohongi perasaannya semalam, ketika ia juga benar-benar menikmati permainan Revanno. Walaupun awalnya memang sangat menyakitkan tapi sakit itu terus berganti dengan kenikmatan yang belum pernah Starla rasakan. “Kamu benar-benar bodoh, Starla.” Wanita itu lagi-lagi menep
Revanno hanya mendengus ketika mendengar ucapan dari Kakeknya. Revanno sudah tidak akan merasa kaget lagi. Sejak dulu William memang selalu seperti itu. Suka sekali menyudutkan Revanno dan juga Ayahnya. Dan hal itu ternyata belum juga berubah, bahkan sampai detik ini.“Apakah seperti ini caramu mendidik seorang anak? Mungkin dia nanti juga akan bernasib sama sepertimu jika kamu saja tidak becus mendidiknya.” William kembali bersuara. Dan kali ini perkataan itu William tujukan untuk Marcus.“Jangan ungkit masa laluku lagi, Yah,” sahut Marcus.Marcus masih ingat betul kejadian bertahun-tahun yang lalu, ketika istrinya pergi meninggalkannya dan memilih untuk hidup bersama pria lain. Hal itulah yang membuat William membenci putranya sendiri—Marcus dan juga menantunya yang di anggapnya tidak tahu diri itu.“Aku kira kamu akan belajar menjadi orang tua yang lebih baik setelah mendapat pengalaman buruk itu. Tapi ternyata aku salah mengira,” ujar
Starla terus berjalan menyusuri rak-rak perlengkapan mandi di salah satu swalayan. Kalau bukan karena shamponya habis, mungkin ia tidak akan mau pergi keluar hari ini. Bayangkan saja, tubuhnya masih terasa remuk akibat permainannya dengan Revanno semalam. Apalagi daerah pangkal pahanya juga masih terasa sakit jika di gunakan untuk berjalan. Belum lagi tanda kissmark yang Revanno berikan hampir di seluruh lehernya, membuat Starla terpaksa harus memakai baju yang bisa menutupi lehernya. Padahal cuaca hari ini sangatlah panas. Aarrrgghh! Revanno sialaaan! Revanno brengsek! Starla melempar kasar botol shampo ke dalam keranjang belanjaannya. Setelah itu ia pergi membayarnya ke kasir. Dalam perjalanannya, lagi-lagi Starla melihat seorang pria yang dulu pernah menjadi korban penipuannya. Kenapa hidupnya harus seperti ini? Starla mulai panik karena sepertinya pria tersebut tengah berjalan ke arahnya. Terlebih setelah mereka saling beradu pandang untuk beberapa saat. “Gawat! Dia lihatku,”
“Kenapa?” “Ya?” Starla mengerjap. Ia langsung mendongak dan menatap Saga yang bertanya pelan padanya. Sial. Gara-gara memikirkan Revanno Starla sampai melupakan kalau saat ini sedang ada Saga di hadapannya. “Ah, nggak kok. Nggak apa-apa.”“Aku pikir, kamu masih kepikiran soal mantanmu tadi,” ujar Saga meledek.Starla langsung memelotot. “Enak saja. Jangan sembarangan,” balasnya tidak terima.Saga terkekeh. “Aku hanya bercanda. Maaf,” ujarnya pelan. “Mulai sekarang jangan sungkan lagi kalau kita bertemu di jalan ya. Kamu bisa menyapaku kapanpun kamu mau, termasuk meminta bantuanku. Anggap saja kita berteman mulai hari ini,” imbuh Saga sambil tersenyum.Starla berdecih. “Mana bisa kita berteman hanya karena sudah bertemu sebanyak dua kali.”“Berarti kamu maunya kita bertemu terus supaya bisa di katakan sebagai teman?” Saga menaikkan sebelah alisnya.Starla langsung menggeleng. “Bukan begitu maksudku.”“Lalu apa?” Saga kembali terkekeh. “Sudahlah, Starla. Kamu jujur saja. Aku justru l
“Terima kasih atas kerja samanya Pak Reihan. Saya akan selalu memberitahukan perkembangan proyeknya nanti,” ujar Revanno sambil menjabat tangan pria paruh baya yang bernama Reihan tersebut.“Saya juga berterima kasih sekaligus senang karena bisa bekerja sama dengan CEO muda dan berbakat seperti Anda,” balas Pak Reihan yang tersenyum.“Ah, Anda ini bisa saja. Sudah banyak yang bilang seperti itu,” kelakar Revanno dan berhasil membuat kedua pria itu tertawa sembari berjalan keluar dari ruang rapat.“Saya bersungguh-sungguh, Pak Revanno. Saya jarang sekali menemui seorang CEO yang masih muda dan tampan seperti Pak Revanno.”“Sudah, Pak. Tidak perlu memuji seperti itu. Saya jadi semakin enak nih.” Lagi-lagi Revanno menanggapinya dengan bercanda. Dan Pak Reihan hanya tertawa.Begitu Pak Reihan pamit dan masuk ke dalam lift, Revanno langsung menghadap Starla dan menatap wanita itu dengan alis terangkat. Revanno merasa sejak tiba di ka
Starla dan Revanno masih sama-sama terdiam di posisinya masing-masing. Starla berdiri di depan pintu dan Revanno berdiri sambil menatap heran ke arah wanita yang kini sedang berdiri di hadapannya. Kalau boleh jujur, rasanya Starla sudah sangat kesal dan ingin sekali memukul dan memaki Revanno pada saat ini juga. Starla rasa, Revanno benar-benar sama sekali tidak sadar dengan kesalahan yang sudah pria itu lakukan.“Nggak usah menatapku seperti itu!” Bentak Starla dengan nada kesal.Revanno hanya mengernyit. “Kenapa memangnya? Nggak ada yang melarangnya juga,” sahut Revanno santai.Starla ingin menjerit dalam hati. Berbicara dengan Revanno rasanya sudah seperti berbicara dengan orang gila yang sering lewat di pinggir jalan.“Aku yang melarang! Apa perlu aku tulis di keningku sekalian supaya kamu bisa sadar?!” Ketus Starla.“Terserah sih. Tapi kalau kamu maunya seperti itu ya silahkan.” Revanno mengangkat bahunya acuh.Starla melongo. “Kamu masih belum sadar juga ya? Kalau aku itu masih
Starla berhasil menghabiskan beberapa potongan slice Pizza yang di belikan oleh Revanno. Bahkan ia tidak peduli dengan tatapan yang sejak tadi Revanno berikan padanya ketika ia menyantap makanannya. Karena sungguh ia benar-benar sangat lapar dan ingin segera menghabiskan makanan tersebut tanpa sisa. Mengingat kalau sudah sejak sore tadi perutnya belum terisi makanan sedikitpun. “Akhirnya.” Starla mendesah lalu menyandarkan punggungnya ke sofa panjang yang ada di depan TV. “Ambilkan minuman dong.” Revanno memelotot. Tidak puas hanya dengan menyuruhnya membelikan makanan. Sekarang Starla masih menyuruhnya untuk mengambilkan minuman. Oh, ia benar-benar merasa di kerjai. Starla tertawa dalam hati ketika Revanno langsung beranjak ke dapur dan kembali dengan membawa segelas minuman untuknya. Ia yakin pasti Revanno sangat kesal sekarang. Tapi setidaknya Starla sudah cukup merasa lega karena sudah berhasil menyuruh-nyuruh Revanno malam ini. Gelas yang sudah kosong itu Starla berikan lagi
Dengan langkah kesal Starla berjalan dan membuka pintu apartemennya. Ini sudah lewat tengah malam dan bisa-bisanya ada orang yang berani mengganggu acara tidurnya. Dan ... Sungguh mengejutkan, ketika Starla membuka pintunya ternyata Revanno-lah pelakunya. Pria itu sudah berdiri di depan pintu apartemen Starla. Masih menggunakan kemeja kerja yang lengannya sudah tergulung hingga ke siku. Dasi dan jasnya sudah tidak ada. Entah dimana Revanno membuangnya Starla juga tak ingin memperdulikannya. Rambutnya sudah tak serapi pagi tadi, dan bahkan dari jarak mereka Starla bisa mencium bau alkohol yang cukup menyengat. Walaupun pria itu adalah Bos gilanya dengan kadar kebrengsekkan dan kemesuman yang tiada tara. Tapi entah kenapa Starla tetap saja terpaku ketika pandangan mereka bertemu. Seutas senyum muncul dari sudut bibir Revanno ketika Starla menatap ke arahnya. Dan tentu saja hal itu langsung membuat Starla mengalihkan pandangannya. “Kenapa kamu ke sini?” Starla memutuskan untuk bersuar
“Revanno.”“Ya?”Starla membelai wajah pucat Revanno. “Kamu baik-baik saja?”Revanno mengangguk seraya menelan ludah susah payah. Membuat Starla tertawa pelan.“Kenapa tertawa?” Revanno menatap istrinya dengan kening bertaut.“Yang ingin melahirkan itu aku, kenapa kamu yang panik dan pucat seperti ini?”“Yang ingin kamu lahirkan itu anakku, kenapa aku nggak boleh panik seperti ini?”Starla tersenyum simpul, membawa kepala Revanno ke dadanya. Membelainya lembut. “Jangan panik seperti itu. Aku baik-baik saja. Wajah kamu pucat sekali.”Revanno mengangkat kepala, sejajar dengan kepala Starla. Mata kelamnya menatap Starla lekat. “Berjanjilah padaku, kamu akan baik-baik saja.”Starla mengangguk. “Aku pasti baik-baik saja. Ini bukan pertama kali aku melahirkan, Revanno. Apa kamu lupa?” Tanyanya menatap Revanno. “Dan ini juga bukan pertama kalinya kamu menemaniku saat ingin melahirkan.”Revanno meringis. “Tapi tetap saja, Starla. Rasanya tetap sama tegangnya. Dan khawatir juga. Aku sangat kha
“Starla dimana?” Joshep yang tengah menyiapkan bekal untuk piknik bersama cucunya menatap Revanno yang memasuki dapur, dengan rambut basah.“Tidur,” jawab Revanno singkat. Revanno mulai mengambil beberapa telur untuk membuat omelet.“Tidur?” Tanya Joshep dengan satu alis terangkat, kemudian pria itu mengulum senyum. “Kelelahan?” Godanya.Revanno hanya tertawa pelan seraya mengangguk. Mulai memecahkan beberapa telur ke dalam mangkuk. “Apa perlu Ayah membawa Sera untuk menginap di hotel?”Revanno menoleh, ide itu terdengar sangatmenggoda. Namun, apa Starla akan mengizinkannya?“Ayah ajak ke hotel saja, ya. Hotel yang ada di Ubud. Ayah ingin mengajak Sera untuk melihat pemandangan yang ada di sana. Dia pasti suka.” Kata Joshep.Revanno mendekati Ayahnya, lalu memeluk Ayahnya singkat. “Terima kasih, Ayah.”Joshep mengangguk, menepuk- nepuk pelan bahu Revanno. “Dalam rangka mendapatkan cucu kedua, Ayah rela menjaga Sera selama yang kamu inginkan,” ujar Joshep sambil mengedipkan sebelah
“Sera ingat apa pesan Papa?” Revanno berjongkok di depan putrinya. Menatap gadis kecil itu sambil tersenyum.“Nggak boleh nakal dan menyusahkan Kakek sampai Papa dan Mama kembali ke Jakarta.”Revanno tersenyum, menepuk puncakkepala putrinya. “Pintar.”Revanno lalu merentangkan kedua tangannya dan memeluk Sera dengan begitu eratnya.“Hanya beberapa hari, Papa dan Mama akan pulang,” ujar Revanno pelan seraya mengecup kepala anaknya. Sementara Sera hanya mengangguk saja.Revanno dan Starla akan pergi berlibur ke Bali, hanya berdua. Setelah beberapa tahun tidak menghabiskan waktu hanya berduaan, Starla merasa sangat membutuhkan waktu untuk quality time berdua dengan suaminya. Dan Revanno menyetujui hal itu.“Ya sudah. Kalian cepat berangkat sana.” Joshep mengenggam tangan cucunya.Revanno sengaja menitipkan Sera kepada Ayahnya karena memang sejak awal Joshep-lah yang menawarkan diri untuk menjaga Sera selama Revanno dan Starla pergi berlibur. Lagipula sekarang Joshep juga sedang menikm
Starla terengah dengan Revanno yang terus menghunjam ke dalam tubuhnya dari belakang. Wanita itu memejamkan mata, mencengkeram kain yang mengikat kedua tangannya.“Revanno …” Starla mendesah. Ia mendapatkan kenikmatan yang selalu mampu membuatnya tergulung ombak yang begitu dalam.Revanno mencengkeram dada Starla dan menarik istrinya agar menempel ke dadanya. Starla berpegangan pada paha Revanno. Pria itu mendorong kuat-kuat dan menenggelamkan dirinya di sana. Terengah dengan bibir di leher istrinya. Bernapas terputus-putus.Ketika napas mereka tidak lagi memburu seperti tadi, Revanno mengecup leher Starla. Tubuh mereka masih menyatu lekat. Revanno memeluk perut untuk istrinya posesif, enggan melepaskannya. Bibir Revanno mengecupi bahu Starla. Sementara istrinya itu bersandar lemah di dada bidangnya.“Mama!” Teriakan nyaring membuat mata Starla yang semula terpejam, kini terbuka lebar. “Mama!”“Revanno, Sera,” ujar Starla pelan, tubuhnya lelah, Revanno tidak penah hanya cukup satu kal
Lima tahun kemudian.Mobil itu sudah terparkir dengan sempurna di depan rumahnya. Yang paling kecil turu dengan cepat, berlari masuk ke dalam rumah dengan wajah cemberut. Sementara, pria yang menyerupai gadis kecil itu mengikutinya dari belakang dengan senyum tipis dan gelengan kepala pelan.“Mama ... Mama ...” teriak gadis kecil itu hampir memenuhi setiap sudut ruangan. la membuka pintu rumah, mendorong dengan kasar, lalu masuk ke dalamnya disusul dengan sang Ayah yang membawakan tas sekolahnya.“Mama!” Teriaknya lagi, kali ini dengan air wajah yang memerah.Datanglah sang Ibu dari balik pintu dapur, menyambut anaknya yang baru pulang sekolah seperti biasanya. “Loh, anak Mama pulang sekolah kenapa wajahnya di tekuk seperti itu? Ada apa? Siapa yang berani membuat donat gula Mama marah?”Masih memasang wajah cemberut dengan bibir yang maju tak mundur sama sekali, gadis kecil itu bersidekap. “Sera nggak mau di jemput Papa lagi,” ujarnya nyaring.Mendengar hal itu, Starla lantas beralih
Kencan yang Revanno bayangkan adalah jalan-jalan menaiki mobil, berhenti di taman yang sepi dan menikmati jajanan yang ada di sana. Seharusnya. Ya seharusnya memang seperti itu. Namun, hal itu tidak mungkin karena ini adalah malam Minggu. Ia sudah merangkai semua rencana itu di dalam kepalanya, tetapi realita memang tidak seindah ekspetasi. Pasalnya, baru saja mobilnya keluar dari pelataran rumah sakit, kemacetan sudah menunggu mereka.Revanno menghela napas, wajahnya tertekuk masam, sedikit kesal lebih banyak mengumpat. Starla yang duduk di sampingnya bersama dengan Sera di dalam gendongan wanita itu sudah beberapa kali mengomeli Revanno. Meski Sera belum mengerti, atau memahami apa yang sang Ayah ucapkan, tapi tetap saja rasanya tidak tenang sekali mendengar Revanno mengumpat kasar di depan Sera.“Sabar, Revanno …” Sudah beberapa kali Starla berujar seperti itu. Kali ini ia menambahkan dengan usapan lembut di lengan suaminya. “Nggak apa-apa kok agak malam, Sera juga sudah memakai ba
Beberapa menit kemudian Joshep dan William tiba di rumah sakit bersama Sera yang saat ini tengah di gendong oleh Bi Diyah. Selama jeda menunggu para Kakek itu tiba di rumah sakit, Starla tidak ingin berbicara dengan Revanno. Ia masih merasa kesal pada suaminya yang mengabaikan dirinya. Revanno tidak menjemput Starla di rumah Vania. Tetapi pria itu justru marah-marah ketika Starla pulang terlambat. Apalagi saat beberapa menit sebelum kecelakaaan, Starla mendengar Revanno mengumpat dari balik sambungan telepon. Starla kesal sekali rasanya.Ngomong-ngomong, kecelakaan itu memang tidak fatal terjadi, hanya tabrakan beruntun akibat kemacetan dan tidak menghasilkan korban jiwa yang meninggal. Beberapa hanya luka lecet dan shock seperti Starla.Saat Joshep dan William datang, Revanno sedang mati-matian meminta maaf pada sang istri. Starla mendiamkannya hampir selama jeda sebelum Joshep dan William tiba.Revanno merasa bersalah, Starla juga tahu itu, terlihat dari gurat resah di wajah suamin
Revanno kekeuh tidak ingin ikut datang ke rumah Vania. Pria itu hanya mengantarkan sang istri sampai di depan pagar rumah Vania saja. Hal itu membuat Starla cemberut, merasa kesal karena Revanno tidak ikut turun. “Kenapa sih nggak ingin ikut?” Tanya Starla dengan bibir maju ke depan. “Padahal juga hanya sebentar saja, kok.”“Aku ada pekerjaan penting, Sayang,” jawab Revanno sabar.“Pekerjaan apa? Sepenting apa memangnya sampai harus kamu yang mengerjakannya?” Revanno menoleh penuh dramatis. “Tentu saja harus aku yang mengerjakannya. Suamimu ini pimpinan di perusahaan, Starla. Jadi wajar kalau pekerjaan itu aku yang mengerjakannya. Lagipula aku juga harus memberi contoh yang baik untuk para karyawanku.”Seketika bibir Starla langsung mencibir. Kalau orang lain yang berkata demikian mungkin Starla akan percaya, tapi Revanno? Ck! Bagaimana tingkah pria itu dulu, Starla sangat tahu. Ya, meskipun Starla akui kalau gaya kepemimpinan Revanno memang bagus. Tapi biasanya Revanno tidak pernah
Revanno menghampiri Starla yang sedang sibuk membungkus kado di ruang tengah. la duduk di sebelah sang istri seraya mengambil setoples keripik kentang buatan Bi Diyah.“Untuk siapa?” Tanya Revanno sambil mengunyah.Starla menoleh sekilas, lalu kembali melanjutkan pekerjaannya membungkus kado hadiah untuk Mikayla, anak sahabatnya—Vania.“Untuk anaknya Vania, namanya Mikayla,” jelas Starla.Beberapa hari yang lalu Vania sempat mengatakan kalau anaknya akan merayakan ulang tahun. Dan berhubung kemarin Starla memiliki waktu untuk berbelanja, sekalian ia membeli hadiah untuk ia berikan kepada anaknya Vania.“Ulang tahun?” Revanno bertanya lagi dan Starla langsung mengangguk. “Kapan?” Imbuhnya dengan tangan yang bersiap memasukan dua keripik kentang sekaligus ke mulutnya.“Besok. Antar aku, ya?”Seketika gerakan tangan Revanno terhenti. “Nggak, ah. Kamu sendiri saja. Lagipula aku kan bekerja.”“Eh, mana bisa begitu?” Starla nenoleh ke arah sang suami, mengernyitkan keningnya. Seolah tidak t