“Apa kamu tadi baru saja menemui Revanno, Kak?”
Saga masih bingung harus menjawab apa. Kalau Saga menjawab iya, pasti hal itu hanya akan membuat Starla menjadi semakin penasaran. Selain itu, Starla pasti juga akan mengajukan pertanyaan-pertanyaan lain yang mungkin akan semakin sulit untuk Saga jawab. Tapi jika Saga menjawab tidak. Apakah adiknya itu akan percaya?“Kak, kenapa nggak menjawab?” Starla bertanya lagi. Bahkan kali ini dengan nada yang tidak sabaran.“Starla, aku tadi ...” Saga menggantung kalimatnya. Tiba-tiba saja lidahnya terasa begitu kelu.“Kak Saga, jawab!” Desak Starla.Saga langsung menatap Starla. “Kan aku sudah bilang, kalau aku tadi ingin menemui temanku.”“Bohong!” Seru Starla.“Aku nggak berbohong, Starla,” sahut Saga yang mendesah.Starla terlihat tidak percaya. Bahkan ia kini menatap sengit ke arah Saga. “Untuk apa sih kamu menemui Revanno, Kak?! Untuk apa?!” Tanyanya keRevanno masih terus berusaha menghindar saat satu persatu anak buah Saga mulai menyerangnya. Pria itu mengumpat dalam hati. Kenapa hidupnya harus penuh dengan perkelahian seperti ini, sih? Padahal dulu Revanno merasa kalau hidupnya begitu tenang dan damai. Tapi entah kenapa sekarang bisa tiba-tiba berubah drastis begitu saja. BUUUG! Sial! Satu pukulan berhasil mengenai tubuh Revanno. “Berengsek, aku bilang satu lawan satu. Jangan keroyokan. Kalian tuli, ya?!” Teriak Revanno sambil memegangi perutnya. Tidak ada sahutan. Sepertinya Saga memang melatih anak buahnya itu dengan bahasa isyarat. Buktinya sejak tadi Revanno terus berteriak, tapi tidak ada satupun di antara anak buah Saga yang menjawabnya. Ck! Menyebalkan! Satu pukulan berhasil mendarat lagi di tubuh Revanno, kali ini di bagian wajahnya. Membuat luka bekas pukulan Saga tadi bertambah menjadi perih di sudut bibirnya. “Sialan kalian semua!” Revanno langsung membalas pukulan itu dengan membabi buta. Terutama ke dua anak bu
Revanno terus melajukan mobilnya, menyusur jalan raya sepi yang akan membawanya menuju ke alamat rumah Saga. Di tengah perjalanan Revanno sempat memandangi langit yang semula berwarna cerah perlahan berubah menjadi begitu hitam.“Apakah itu mendung?” Gumam Revanno pelan. Revanno menghembuskan napasnya perlahan. Ia tidak peduli jika hari ini akan turun hujan ataupun tidak. Yang terpenting ia harus segera sampai ke alamat tujuannya. Saat-saat yang di nantikan akhirnya akan segera tiba. Bertemu dengan Starla dan kembali membawa kekasihnya itu ke dalam pelukannya. Oh ... Bahkan Revanno sudah tidak sabar ingin melihat senyum dari bibir kekasihnya.Revanno menghentikan mobilnya ketika ia melihat sebuah nama jalan yang sama persis dengan yang ia cari. “Benar kan ini alamat rumah Saga?” Revanno bergumam pelan sembari menatap sekeliling. Revanno memutuskan keluar dari mobil untuk memastikan siapa tahu ada orang yang bisa ia tanyai. Dan harapannya terkabul. Revanno melihat seorang Ibu-ibu ya
Hujan mengguyur deras tetapi Revanno tidak berhenti untuk mendesak dan memohon agar kedua penjaga rumah Saga itu membukakan pintu gerbang untuknya. Revanno bahkan tidak peduli saat guyuran air hujan itu terus membasahi tubuh dan lukanya secara terus menerus. Siapapun pasti bisa membayangkan seperih apa yang tubuh Revanno rasakan saat ini. Tapi pria itu seolah mencoba untuk tidak menghiraukannya. “Tolong, buka pintunya. Saya ingin bertemu dengan Starla. Tolong!” Revanno terus memohon dan menggedor pintu gerbang tersebut, meski sudah hampir setengah jam yang lalu hasilnya tetap sama saja. Pintu gerbang itu tidak bergerak dan masih tertutup dengan rapatnya. “Buka pintunya!” Teriak Revanno putus asa. Tubuh Revanno mulai merosot ke bawah. Ia menengadah dan meringis saat tetesan air hujan berjatuhan di wajahnya. Mengenai luka di sudut bibirnya atau bahkan di pelipis kepalanya. Revanno lalu menunduk. Ia tersenyum getir saat menyadari nasib yang harus ia alami saat ini. Apa ini memang b
Andra kembali menoleh, menatap putrinya yang tengah menangis tersedu di dekat jendela. Hati orang tua mana yang tidak merasakan sakit jika melihat anaknya menangis hingga tersedu seperti itu. Dengan perlahan Andra menggerakkan kursi rodanya untuk kembali mendekat ke arah Starla. “Starla,” panggil Andra begitu ia sampai di depan putrinya. Pria paruh baya itu mengulurkan tangan untuk membelai kepala putrinya. “Apa kamu ingin menceritakan semuanya ke Papa?”Starla mendongak. Kedua matanya begitu basah oleh air mata yang terus saja mengalir tanpa bisa ia hentikan. Starla lalu bangkit dan memeluk tubuh Papanya. “Aku harus bagaimana, Pa?” Starla kembali menangis.Andra mengusap rambut putrinya. “Ceritakan ke Papa. Setidaknya hal itu bisa membantumu melepas beban yang sedang kamu rasakan.”Starla kemudian melepas pelukannya pada tubuh sang Papa. Tanpa berganti posisi sedikitpun dari tempatnya, Starla mulai menceritakan semuanya kepad
Saat ini Saga sedang terlihat sibuk melakukan panggilan telepon di ruang tengah rumahnya. Ia tahu kalau Papanya baru saja masuk ke kamar Starla. Makanya ia memanfaatkan kesempatan itu untuk menelepon anak buahnya yang ia suruh untuk menghajar Revanno tadi. “Maaf, Bos. Kami gagal membawanya pergi. Tadi tiba-tiba polisi datang dan menggagalkan aksi kami,” jelas seseorang dari seberang telepon. Saga menghela napas lalu menatap ke arah lantai dua dengan was-was. “Seharusnya kalian bisa bekerja lebih cepat, bodoh!” Ketus Saga. “Maaf, Bos. Tapi pria tadi banyak melawan jadi kami sedikit kesulitan untuk mengatasinya.” Saga berdecak. “Ayolah. Lima lawan satu seharusnya bukan hal yang sulit bagi kalian.” “Iya, Bos. Kami tahu. Maaf.” Lagi-lagi anak buah Saga hanya bisa meminta maaf di seberang sana. “Maaf-maaf, terserah!” Ketus Saga lalu memutus panggilannya begitu saja. Saga lalu merebahkan dirinya di sofa panjang yang ada di ruang tengah. Sejujurnya, Saga tadi juga tidak benar-benar be
Saga tidak tahu pikiran bodoh apa yang telah merasuki kepalanya. Hanya karena Papanya memohon dan mengatakan kalau ia anak baik, Saga bisa langsung menurut begitu saja. Ck! Sangat bodoh memang. Padahal baru saja Saga menyadari kalau menjadi baik itu menyusahkan. Tapi tidak bisa di pungkiri kalau diam-diam Saga merasa sangat senang setiap kali di panggil anak baik oleh Papanya. Saga masih berdiri di ruang tamunya setelah mengantar Papanya masuk ke dalam kamar. Banyak hal yang perlu Saga pertimbangkan sebelum menuruti permintaan Papanya tadi. “Sial! Kenapa sih Papa harus peduli dengan pria berengsek itu? Biarkan saja dia kedinginan di luar sana. Kalau perlu mati sekalian,” gerutu Saga yang tampak kesal. Namun, Saga sudah terlanjur menyanggupi permintaan Papanya. Apa pilihan lain masih tersedia untuknya? “Bodoh!” Maki Saga. Akhirnya Saga benar-benar melakukan hal bodoh itu sekarang. Ia berjalan keluar dari rumahnya sambil membawa s
Revanno menghentikan mobil yang ia kendarai tepat di pinggir jalan. Wiper pada kaca mobilnya masih terus bergerak menyeka air hujan yang sejak tadi terus saja membasahi kaca depannya. Revanno kembali mencocokkan nama penginapan yang ada di seberang jalan dengan yang ada di ponselnya. “Penginapan Melati,” gumam Revanno seraya menatap sekeliling penginapan tersebut. Tanpa pikir panjang Revanno segera melajukan mobilnya masuk ke pelataran penginapan yang tidak begitu luas tersebut. Hanya ada beberapa mobil, selebihnya ada banyak sepeda motor yang sudah berjejer rapi di parkiran khusus sepeda motor yang ada di sana. “Rupanya ada juga penginapan di daerah terpencil seperti ini. Ya, meskipun tempatnya nggak terlalu bagus. Tapi nggak masalah. Yang penting bisa aku gunakan untuk beristirahat dan tidur malam ini.” Revanno kembali bergumam sambil keluar dari dalam mobilnya.Revanno berjalan santai memasuki Lobi penginapan tersebut. Menghiraukan rintik hujan yang masih terus mengguyur dengan
Revanno baru saja terbangun dari tidurnya setelah hampir semalaman ia di buat kesal dengan suara aneh dari kamar sebelahnya. Bahkan semalam Revanno juga harus terpaksa mengocok miliknya sendiri agar juniornya bisa berhenti memberontak saat mendengar suara desahan wanita tersebut. Ck! Malam yang paling menyebalkan bagi Revanno. Untuk ke depannya Revanno tidak akan pernah sudi lagi jika di suruh tidur di penginapan murahan seperti yang ia tempati sekarang. Lebih baik membayar mahal tapi mendapat fasilitas dan pelayanan yang bagus. Daripada murah tapi justru membuatnya tersiksa. Baiklah. Sekarang saatnya Revanno beranjak bangun dari tempat tidurnya lalu segera mandi. Meskipun di penginapan tersebut Revanno mendapat malam yang menyebalkan. Tapi setidaknya pagi ini Revanno memiliki harapan baik yang semoga saja bisa terwujud. Setelah mengganti pakaian dan membereskan barang-barangnya, Revanno langsung bersiap untuk keluar dari kamarnya. Begitu sampai di l
“Revanno.”“Ya?”Starla membelai wajah pucat Revanno. “Kamu baik-baik saja?”Revanno mengangguk seraya menelan ludah susah payah. Membuat Starla tertawa pelan.“Kenapa tertawa?” Revanno menatap istrinya dengan kening bertaut.“Yang ingin melahirkan itu aku, kenapa kamu yang panik dan pucat seperti ini?”“Yang ingin kamu lahirkan itu anakku, kenapa aku nggak boleh panik seperti ini?”Starla tersenyum simpul, membawa kepala Revanno ke dadanya. Membelainya lembut. “Jangan panik seperti itu. Aku baik-baik saja. Wajah kamu pucat sekali.”Revanno mengangkat kepala, sejajar dengan kepala Starla. Mata kelamnya menatap Starla lekat. “Berjanjilah padaku, kamu akan baik-baik saja.”Starla mengangguk. “Aku pasti baik-baik saja. Ini bukan pertama kali aku melahirkan, Revanno. Apa kamu lupa?” Tanyanya menatap Revanno. “Dan ini juga bukan pertama kalinya kamu menemaniku saat ingin melahirkan.”Revanno meringis. “Tapi tetap saja, Starla. Rasanya tetap sama tegangnya. Dan khawatir juga. Aku sangat kha
“Starla dimana?” Joshep yang tengah menyiapkan bekal untuk piknik bersama cucunya menatap Revanno yang memasuki dapur, dengan rambut basah.“Tidur,” jawab Revanno singkat. Revanno mulai mengambil beberapa telur untuk membuat omelet.“Tidur?” Tanya Joshep dengan satu alis terangkat, kemudian pria itu mengulum senyum. “Kelelahan?” Godanya.Revanno hanya tertawa pelan seraya mengangguk. Mulai memecahkan beberapa telur ke dalam mangkuk. “Apa perlu Ayah membawa Sera untuk menginap di hotel?”Revanno menoleh, ide itu terdengar sangatmenggoda. Namun, apa Starla akan mengizinkannya?“Ayah ajak ke hotel saja, ya. Hotel yang ada di Ubud. Ayah ingin mengajak Sera untuk melihat pemandangan yang ada di sana. Dia pasti suka.” Kata Joshep.Revanno mendekati Ayahnya, lalu memeluk Ayahnya singkat. “Terima kasih, Ayah.”Joshep mengangguk, menepuk- nepuk pelan bahu Revanno. “Dalam rangka mendapatkan cucu kedua, Ayah rela menjaga Sera selama yang kamu inginkan,” ujar Joshep sambil mengedipkan sebelah
“Sera ingat apa pesan Papa?” Revanno berjongkok di depan putrinya. Menatap gadis kecil itu sambil tersenyum.“Nggak boleh nakal dan menyusahkan Kakek sampai Papa dan Mama kembali ke Jakarta.”Revanno tersenyum, menepuk puncakkepala putrinya. “Pintar.”Revanno lalu merentangkan kedua tangannya dan memeluk Sera dengan begitu eratnya.“Hanya beberapa hari, Papa dan Mama akan pulang,” ujar Revanno pelan seraya mengecup kepala anaknya. Sementara Sera hanya mengangguk saja.Revanno dan Starla akan pergi berlibur ke Bali, hanya berdua. Setelah beberapa tahun tidak menghabiskan waktu hanya berduaan, Starla merasa sangat membutuhkan waktu untuk quality time berdua dengan suaminya. Dan Revanno menyetujui hal itu.“Ya sudah. Kalian cepat berangkat sana.” Joshep mengenggam tangan cucunya.Revanno sengaja menitipkan Sera kepada Ayahnya karena memang sejak awal Joshep-lah yang menawarkan diri untuk menjaga Sera selama Revanno dan Starla pergi berlibur. Lagipula sekarang Joshep juga sedang menikm
Starla terengah dengan Revanno yang terus menghunjam ke dalam tubuhnya dari belakang. Wanita itu memejamkan mata, mencengkeram kain yang mengikat kedua tangannya.“Revanno …” Starla mendesah. Ia mendapatkan kenikmatan yang selalu mampu membuatnya tergulung ombak yang begitu dalam.Revanno mencengkeram dada Starla dan menarik istrinya agar menempel ke dadanya. Starla berpegangan pada paha Revanno. Pria itu mendorong kuat-kuat dan menenggelamkan dirinya di sana. Terengah dengan bibir di leher istrinya. Bernapas terputus-putus.Ketika napas mereka tidak lagi memburu seperti tadi, Revanno mengecup leher Starla. Tubuh mereka masih menyatu lekat. Revanno memeluk perut untuk istrinya posesif, enggan melepaskannya. Bibir Revanno mengecupi bahu Starla. Sementara istrinya itu bersandar lemah di dada bidangnya.“Mama!” Teriakan nyaring membuat mata Starla yang semula terpejam, kini terbuka lebar. “Mama!”“Revanno, Sera,” ujar Starla pelan, tubuhnya lelah, Revanno tidak penah hanya cukup satu kal
Lima tahun kemudian.Mobil itu sudah terparkir dengan sempurna di depan rumahnya. Yang paling kecil turu dengan cepat, berlari masuk ke dalam rumah dengan wajah cemberut. Sementara, pria yang menyerupai gadis kecil itu mengikutinya dari belakang dengan senyum tipis dan gelengan kepala pelan.“Mama ... Mama ...” teriak gadis kecil itu hampir memenuhi setiap sudut ruangan. la membuka pintu rumah, mendorong dengan kasar, lalu masuk ke dalamnya disusul dengan sang Ayah yang membawakan tas sekolahnya.“Mama!” Teriaknya lagi, kali ini dengan air wajah yang memerah.Datanglah sang Ibu dari balik pintu dapur, menyambut anaknya yang baru pulang sekolah seperti biasanya. “Loh, anak Mama pulang sekolah kenapa wajahnya di tekuk seperti itu? Ada apa? Siapa yang berani membuat donat gula Mama marah?”Masih memasang wajah cemberut dengan bibir yang maju tak mundur sama sekali, gadis kecil itu bersidekap. “Sera nggak mau di jemput Papa lagi,” ujarnya nyaring.Mendengar hal itu, Starla lantas beralih
Kencan yang Revanno bayangkan adalah jalan-jalan menaiki mobil, berhenti di taman yang sepi dan menikmati jajanan yang ada di sana. Seharusnya. Ya seharusnya memang seperti itu. Namun, hal itu tidak mungkin karena ini adalah malam Minggu. Ia sudah merangkai semua rencana itu di dalam kepalanya, tetapi realita memang tidak seindah ekspetasi. Pasalnya, baru saja mobilnya keluar dari pelataran rumah sakit, kemacetan sudah menunggu mereka.Revanno menghela napas, wajahnya tertekuk masam, sedikit kesal lebih banyak mengumpat. Starla yang duduk di sampingnya bersama dengan Sera di dalam gendongan wanita itu sudah beberapa kali mengomeli Revanno. Meski Sera belum mengerti, atau memahami apa yang sang Ayah ucapkan, tapi tetap saja rasanya tidak tenang sekali mendengar Revanno mengumpat kasar di depan Sera.“Sabar, Revanno …” Sudah beberapa kali Starla berujar seperti itu. Kali ini ia menambahkan dengan usapan lembut di lengan suaminya. “Nggak apa-apa kok agak malam, Sera juga sudah memakai ba
Beberapa menit kemudian Joshep dan William tiba di rumah sakit bersama Sera yang saat ini tengah di gendong oleh Bi Diyah. Selama jeda menunggu para Kakek itu tiba di rumah sakit, Starla tidak ingin berbicara dengan Revanno. Ia masih merasa kesal pada suaminya yang mengabaikan dirinya. Revanno tidak menjemput Starla di rumah Vania. Tetapi pria itu justru marah-marah ketika Starla pulang terlambat. Apalagi saat beberapa menit sebelum kecelakaaan, Starla mendengar Revanno mengumpat dari balik sambungan telepon. Starla kesal sekali rasanya.Ngomong-ngomong, kecelakaan itu memang tidak fatal terjadi, hanya tabrakan beruntun akibat kemacetan dan tidak menghasilkan korban jiwa yang meninggal. Beberapa hanya luka lecet dan shock seperti Starla.Saat Joshep dan William datang, Revanno sedang mati-matian meminta maaf pada sang istri. Starla mendiamkannya hampir selama jeda sebelum Joshep dan William tiba.Revanno merasa bersalah, Starla juga tahu itu, terlihat dari gurat resah di wajah suamin
Revanno kekeuh tidak ingin ikut datang ke rumah Vania. Pria itu hanya mengantarkan sang istri sampai di depan pagar rumah Vania saja. Hal itu membuat Starla cemberut, merasa kesal karena Revanno tidak ikut turun. “Kenapa sih nggak ingin ikut?” Tanya Starla dengan bibir maju ke depan. “Padahal juga hanya sebentar saja, kok.”“Aku ada pekerjaan penting, Sayang,” jawab Revanno sabar.“Pekerjaan apa? Sepenting apa memangnya sampai harus kamu yang mengerjakannya?” Revanno menoleh penuh dramatis. “Tentu saja harus aku yang mengerjakannya. Suamimu ini pimpinan di perusahaan, Starla. Jadi wajar kalau pekerjaan itu aku yang mengerjakannya. Lagipula aku juga harus memberi contoh yang baik untuk para karyawanku.”Seketika bibir Starla langsung mencibir. Kalau orang lain yang berkata demikian mungkin Starla akan percaya, tapi Revanno? Ck! Bagaimana tingkah pria itu dulu, Starla sangat tahu. Ya, meskipun Starla akui kalau gaya kepemimpinan Revanno memang bagus. Tapi biasanya Revanno tidak pernah
Revanno menghampiri Starla yang sedang sibuk membungkus kado di ruang tengah. la duduk di sebelah sang istri seraya mengambil setoples keripik kentang buatan Bi Diyah.“Untuk siapa?” Tanya Revanno sambil mengunyah.Starla menoleh sekilas, lalu kembali melanjutkan pekerjaannya membungkus kado hadiah untuk Mikayla, anak sahabatnya—Vania.“Untuk anaknya Vania, namanya Mikayla,” jelas Starla.Beberapa hari yang lalu Vania sempat mengatakan kalau anaknya akan merayakan ulang tahun. Dan berhubung kemarin Starla memiliki waktu untuk berbelanja, sekalian ia membeli hadiah untuk ia berikan kepada anaknya Vania.“Ulang tahun?” Revanno bertanya lagi dan Starla langsung mengangguk. “Kapan?” Imbuhnya dengan tangan yang bersiap memasukan dua keripik kentang sekaligus ke mulutnya.“Besok. Antar aku, ya?”Seketika gerakan tangan Revanno terhenti. “Nggak, ah. Kamu sendiri saja. Lagipula aku kan bekerja.”“Eh, mana bisa begitu?” Starla nenoleh ke arah sang suami, mengernyitkan keningnya. Seolah tidak t