Semua orang menoleh ke sumber suara. Mereka memandang seorang gadis seumuran Shanaya yang tampak mematung dengan raut wajah kebingungan."Bersikaplah yang sopan! Jangan seenaknya memanggil namanya karena dia adalah bibimu," balas Oriaga."Ki ... Kirana?" Lirih Shanaya.Gadis bernama Kirana itu mendekat dengan kening terlipat halus, memandang Masayu yang merupakan ibunya lalu Shanaya. Kirana memaksakan senyuman, lantas duduk setelah pelayan memersilahkan."Aku tahu dia teman kuliahmu, tapi sekarang dia istriku," kata Oriaga.Mulut Kirana menganga, dia menggeleng membuang muka dan berakhir menatap linglung Oriaga. "Istri? Apa Paman bercanda? Apa paman tahu seperti apa dia?" Pertanyaan Kirana membuat semua orang kaget dan secara bersamaan memandang ke arahnya kecuali Oriaga. "Paman, dia itu .... "Oriaga baru mengangkat kepala dan menatap tajam Kirana saat keponakannya itu membuka mulut lagi. Tanpa menunjukkan reaksi yang berlebihan Oriaga lantas melirik Shanaya, ia menyadari ada gura
"Bagaimana bisa Paman menikah lagi tanpa memberitahu kita?" Kirana tampak kesal, setelah Oriaga juga Shanaya pergi gadis itu mulai bicara lantang ke ibu dan tantenya."Apa Mama tidak ingin melakukan apa-apa? Apa tante Arumi juga akan diam melihat Paman tiba-tiba membawa orang asing ke sini?" Amuk Kirana. Gadis itu tak peduli banyak telinga pelayan yang mendengar ucapannya."Jaga mulutmu Kirana! Kamu seharusnya sudah paham betul sifat Pamanmu." Masayu memperingatkan sang putri, dia sendiri bingung kenapa tiba-tiba Oriaga menikah tanpa memberitahu mereka. Arumi sendiri terlihat lebih tenang. Wanita yang berprofesi sebagai perancang perhiasan itu memilih menyantap steak yang dihidangkan dengan khidmat. Meskipun di dalam hatinya Arumi juga bertanya-tanya, tapi dia tak ingin bersikap reaksioner seperti Kirana."Lagipula kenapa kamu terlambat pulang? Untung saja pamanmu tidak marah," ucap Masayu seraya melempar tatapan kesal ke anaknya."Kenapa? Bahkan Andra juga tidak datang," balas Kira
“Nona, saya baru akan menjelaskan aturan dan beberapa hal yang Tuan inginkan untuk Anda lakukan besok, saya pikir Anda bisa bersabar tapi malah berkeliaran malam-malam.” Pak Wira memberanikan diri mengungkapkan perasaannya saat ini. Meski terdengar sedikit mengeluh, tapi dia membungkuk di samping Shanaya. “Maaf! Apa mungkin aku sudah membuat Pak Wira berada dalam masalah?” Shanaya memberikan respon yang membuat pak Wira merasa gadis itu berbeda dari para wanita penghuni rumah utama lainnya. “Aku lapar. Tuan Oriaga memintaku datang untuk makan malam, tapi setelah sampai di sini aku bahkan hanya duduk dan tak lama dia memintaku mengikutinya pergi.” Shanaya bicara dengan nada lemah. Dia memegangi perut hingga pak Wira meminta pelayan memberitahu koki agar mempercepat proses menyiapkan hidangan. Entah dari mana datangnya keberanian mengeluhnya ini, yang pasti Shanaya merasa senang. “Ngomong-ngomong, kenapa Anda memanggil suami Anda sendiri dengan sebutan Tuan?” Shanaya menoleh pak
"Apa sudah kenyang?""Anda belum tidur?" Shanaya menutup pintu dengan sangat pelan. Dia mendekati Oriaga yang duduk di tepi ranjang. Pikirannya mulai menerka-nerka, akankah Oriaga meminta pelayanan seks lagi darinya."Tuan, besok saya berniat pulang untuk mengambil baju dan melihat keadaan ayah di rumah sakit." Shanaya memberanikan diri meminta izin, meskipun tangannya yang berada di depan badan sedikit gemetaran."Apa kamu tidak melihat koper yang ada di dekat lemari kosong di dalam kamar ganti? Isinya baju untukmu."Shanaya terkesiap, merasa Oriaga seolah menghalanginya bertemu dengan Nugroho. "Tapi .... ""Lihat dan baca dulu apa yang tertulis di amplop itu, jangan berani-beraninya kamu tidur sebelum memahami isinya!" Titah Oriaga. Dia memandang dingin Shanaya lalu menunjuk amplop di meja menggunakan dagu. Shanaya jelas tak berani membantah, dia meraih amplop itu lantas menoleh Oriaga. Pria itu ternyata memerhatikan dirinya, tapi tak lama naik ke atas ranjang dan berbaring membe
Setelah sarapan, Shanaya mengantar Oriaga yang hendak berangkat kerja sampai ke halaman depan. Ia hanya bisa diam tanpa berani menanyakan apa yang akan Oriaga lakukan dengan kontrak yang sudah dia beri tanda tangan. "Hari ini kamu tidak boleh pergi ke mana-mana, pak Wira akan memberitahu tugasmu dan kamu juga harus belajar darinya soal kebiasaanku, apa yang aku suka dan tidak suka," ucap Oriaga.Shanaya mengangguk. Bingung harus bertingkah bagaimana di depan orang lain saat Oriaga bicara padanya.Oriaga tak bicara lagi, dia masuk ke dalam mobil dan menyuruh sang sopir segera berangkat. Shanaya sendiri hanya diam di posisinya sampai sedan mewah yang membawa Oriaga keluar dari halaman. Dia masih mematung, meskipun gerbang rumah setinggi empat meter berwarna cokelat tua itu sudah menutup kembali. Hingga pak Wira perlahan mendekat dan berkata," Nona sebaiknya Anda mandi."Shanaya menoleh pak Wira lalu menunduk memandang penampilannya yang masih sama seperti kemarin. "Ah ... aku terlal
“Apa kalian dengar yang gadis itu katakan tadi? Dia ingin memberikan sumbangan ke panti asuhan sebagai ganti pesta pernikahan.” Masayu tertawa mencibir, pundaknya mengedik, membuang muka menahan rasa kesal yang bercokol di dada. Kirana hanya diam mendengar ucapan sang mama, tatapan matanya yang kosong membuat gadis itu seperti sedang mengamati lantai marmer yang mempermewah ruang keluarga. “Pasti ada alasan kenapa kakak menikahinya, kamu tahu sendiri kemampuan kak Oriaga dalam menilai orang.” Berbeda dari sang kakak, Arumi terlihat santai. Dari pada membahas Shanaya, dia lebih tertarik untuk mengetahui apa yang ada di pikiran Kirana saat ini. Arumi merasa sikap keponakannya itu berubah sejak makan malam kemarin. “Apa mungkin Shanaya itu sainganmu di kampus?” Tebak Arumi. Terang saja kalimatnya itu membuat Masayu mengerutkan alis, begitu juga Kirana yang langsung menoleh kaget. “Apa yang tante bicarakan? Aku? Bersaing dengannya? Apa Tante tidak bisa melihat kalau kami ini tidak se
Pak Wira menoleh Rini. Meminta pelayan itu untuk meninggalkannya berdua bersama Shanaya sebelum menjawab."Kamu bisa ke bawah dulu, jangan lupa saat kembali bawakan minum dan buah untuk Nona!" Rini membungkuk dan hendak berpaling, tapi Shanaya berdiri dan menawarkan sesuatu padanya."Ayo aku antar menggunakan lift!" Rini tentu saja kaget, dia memandang Shanaya lantas pak Wira sambil menggelengkan kepala."Tidak perlu Nona. Seperti apa yang tadi pak Wira sampaikan, kami sudah biasa naik turun anak tangga."Rini buru-buru pergi meninggalkan tempat itu, sedangkan Shanaya sendiri merasa sedih karena kebaikan hatinya terganjal aturan yang dibuat oleh Oriaga. Shanaya pun tak langsung duduk kembali, dia menjulurkan kepala seolah memastikan Rini menuruni anak tangga dengan aman, sebelum pak Wira memintanya duduk."Nona, bukankah Anda tadi ingin tahu soal Tuan?" Shanaya mengangguk, mendaratkan pantatnya kembali ke sofa dan mulai mendengarkan dengan seksama cerita pak Wira."Sebelum Anda dat
Shanaya menelan ludah susah payah. Ia diam tak bergerak saat Oriaga menyentuhkan bibir mereka dengan sangat lembut.Oriaga melumat bergantian bibir bawah dan atas Shanaya tanpa sedikitpun menuntut."Apakah aku harus belajar memuaskannya agar tidak dibuang begitu saja?" Shanaya memejamkan mata. Menikmati permainan bibir dan lidah Oriaga yang tanpa dia sadari membuat bagian bawah tubuhnya mulai basah.Oriaga melepas kaitan bibir mereka, tanpa sadar mengingkari ucapannya sendiri yang mengatakan tidak akan pernah menunduk di depan siapa pun. Nyatanya sekarang Oriaga menundukkan kepala untuk mencium bibir ranum Shanaya.Oriaga melepas jasnya sendiri, menarik Shanaya menuju meja belajar lantas melepaskan handuk Shanaya dan membuang sembarangan. Seperti tak mengeluarkan tenaga, Oriaga mengangkat tubuh Shanaya dengan mudah lantas mendudukkan gadis itu di atas meja belajar.Apa yang Oriaga lakukan tentu saja membuat Shanaya merasa sangat malu, refleks dia menutup dada menggunakan tangan kiri d
Hari itu mungkin menjadi hari yang paling ditunggu oleh semua orang. Sebuah pesta pernikahan digelar megah, senyum serta canda tampak kentara di wajah keluarga terutama dua pasang mempelai yang kini sedang berdansa. Oriaga melihat Shanaya yang tersenyum, lantas mendekatkan bibir ke telinga istrinya itu kemudian berbisik, “Apa kamu ingin pesta pernikahan seperti ini?” Shanaya semakin melebarkan senyum lantas menoleh suaminya. “Bukankah sudah terlambat kalau kita membuat pesta?” tanya balik Shanaya. Oriaga menanggapi ucapan Shanaya dengan senyuman karena apa yang dikatakan memang benar. Pesta pernikahan Andra, Mauri, Elkan, dan Kirana berlangsung hari itu. Shanaya menatap ke para pengantin baru itu, setelah semua yang dilalui, kini semua orang mendapat kebahagiaan tak terkecuali. “Mereka sangat bahagia,” ucap Shanaya ke Oriaga. “Kita juga,” balas pria itu sambil menggenggam erat tangan Shanaya. Shanaya melebarkan senyum lantas menyandarkan kepala di pundak Oriaga.
Pagi itu selepas Oriaga berangkat ke kantor, Shanaya tampak duduk di taman bersama Pak Wira yang punya tugas tambahan mengawasinya satu kali dua puluh empat jam.Pak Wira terlihat membawa buku catatan dan pulpen di tangannya. Pria tua itu membenarkan letak kacamata yang bertengger di hidung sebelum berkata,“Saya sudah membuat daftar barang yang harus disiapkan sebelum Anda melahirkan.”Ternyata diam-diam Pak Wira memiliki catatan barang apa saja yang harus disiapkan Shanaya untuk menyambut kelahiran anaknya.Shanaya pun memperhatikan Pak Wira yang memegang buku catatan itu, hingga mulai membaca apa saja yang tertulis di sana.“Baju new born lima lusin, baju tidur tiga lusin, selimut sepuluh, sepatu sepuluh, lalu--” Belum juga Pak Wira selesai menyebutkan semua barang yang dicatat, Shanaya sudah menghentikan pria itu.“Kenapa banyak sekali, Pak? Bayi tidak perlu baju sebanyak itu, lagipula yang Pak Wira sebutkan itu baju, bukan popok sekali pakai,” ucap Shanaya.“Memangnya Pak Wira men
“Kenapa mendadak seperti ini? Sebenarnya tidak perlu dijemput tidak apa-apa, aku bisa pergi ke sana sendiri,” ucap Mauri. Dia terkejut karena Andra tiba-tiba menghubungi.“Itu Kirana sudah di bawah, tidak masalah! Pergi saja bersama dengannya,” ucap Andra dari seberang panggilan.Mauri benar-benar tak percaya mendengar ucapan Andra, tapi karena tak ingin Kirana lama menunggu, Mauri pun buru-buru menyambar tasnya menuju lobi.Hari itu secara mendadak Andra memberitahu bahwa Kirana akan datang untuk mengajak Mauri pergi ke butik.Mauri yang merasa belum mengenal dekat Kirana jelas merasa sungkan, apalagi saat sampai di lobi Kirana sudah berdiri di sana lantas menghampirinya.“Apak amu sudah siap?” tanya Kirana saat bertemu sang calon kakak ipar. Mauri kaget sekaligus senang mendapati sikap ramah Kirana. Namun, masih ada sedikit rasa sungkan di hatinya, hingga Mauri hanya mengangguk membalas pertanyaan Kirana.Tak menunggu lama Kirana pun mengajak Mauri masuk ke mobilnya yang masih terp
Baru saja masuk kamar, tapi Oriaga langsung ditodong pertanyaan dari Shanaya yang ternyata menunggu dirinya pulang. Shanaya yang sedang bersantai duduk di atas ranjang seketika menegakkan badan. Wanita itu antusias bertanya,“Bagaimana tadi pertemuan dengan orang tuanya Mauri?” “Lancar dan tentu saja Ayah Mauri langsung merestui,” jawab Oriaga. Oriaga berjalan mendekat ke Shanaya yang sejak tadi ternyata sedang membaca buku. Oriaga naik ke ranjang, lantas tanpa permisi mengambil buku Shanaya kemudian berbaring terlentang untuk membaca buku itu. “Kenapa bacanya sambil berbaring? Baca sambil duduk, nanti matamu sakit kalau membaca dengan posisi seperti itu,” ucap Shanaya sambil menatap Oriaga. “Aku memang sudah 43 tahun, tapi mataku ini masih bisa melihat dengan jelas. Kamu tenang saja,” balas Oriaga dengan santainya tanpa mengganti posisi. “Sombong, awas saja nanti kalau kamu mengeluh matamu gatal atau berair.” Shanaya bicara dengan nada candaan, dia menggeser dudu
Malam harinya Andra pun pergi ke rumah orang tua Mauri bersama Oriaga dan Masayu. Andra tak bisa bersikap tenang, dia terlihat sangat gugup saat baru saja turun dari mobil.“Jangan gugup, tarik napas panjang lalu embuskan perlahan,” ucap Masayu sambil merapikan kemeja Andra. Dia memulas senyum, menyadari bahwa sang putra mungkin sedang tidak baik-baik saja.Andra menatap sang mama, dia mengangguk kemudian melakukan apa yang dikatakan oleh Masayu.Masayu kemudian menggandeng tangan Andra, bersama Oriaga berjalan menuju pintu rumah Abraham.Saat sampai di depan rumah, ibu Mauri menyambut mereka dengan ramah meski wanita itu terlihat pucat dan tubuhnya masih kurang bugar.“Apa Anda baik-baik saja? Jika masih kurang sehat, seharusnya tak perlu menyambut kami di depan,” ucap Masayu berpindah menggandeng tangan ibu Mauri.Ibu Mauri pun mengajak semuanya masuk sambil digandeng Masayu. Meski baru pertama kali bertemu, tapi mereka tampak dekat.“Apa kondisi Anda sudah membaik?” tanya Masayu ka
Andra sudah sangat panik hingga memutuskan membuang status sebagai atasan dan bawahan lalu mencoba menghubungi nomor pamannya sendiri. “Ada apa?” Suara Oriaga terdengar dari seberang panggilan. Detak jantung Andra seketika mulai normal kembali, dia terlihat sangat lega karena panggilannya dijawab oleh Oriaga. “Paman ada di mana?” tanya Andra dengan suara yang masih panik. “Aku sedang ada urusan di luar,” jawab Oriaga, “ada apa?” tanya pria itu lagi. “Bagini Paman, ayah Mauri memintaku membawa Paman ke rumahnya nanti malam." Andra memberitahu Oriaga tanpa ada lagi basa-basi. “Sudah kuduga karena hal itu kamu menghubungi dengan suara panik seperti ini,” ucap Oriaga dari seberang panggilan. “Bagaimana aku tidak panik, aku ke ruangan Paman dan di sana sepi, bagaimana jika tiba-tiba saja Paman ke luar kota,” balas Andra. “Tenang saja, aku akan datang dan memastikan kalau kamu akan menikah dengan Mauri,” ucap Oriaga mencoba menenangkan Andra. Andra pun bernapas dengan
Setelah berbincang dengan Oriaga, Andra tak menunggu lama untuk menghubungi Mauri, memberitahu kabar baik yang didapatnya.“Apa kamu masih di rumah sakit?” tanya Andra saat panggilannya dijawab Mauri.“Iya,” jawab Mauri dari seberang panggilan.“Aku sudah menemui pamanku, dia setuju untuk membantu kita,” ucap Andra lagi. Ia mendengar suara helaan napas kasar dari seberang panggilan, hingga kemudian Mauri bicara.“Syukurlah kalau memang seperti itu.”Ada kelegaan di wajah Mauri yang tidak bisa Andra lihat karena mereka tidak sedang bersama. Bahkan jika saat ini berdekatan Mauri sangat ingin memeluk erat Andra.“Sampaikan ke papamu, pamanku bilang ingin bertemu, mau di rumah utama atau di rumahmu terserah yang penting papamu percaya.”“Hm … aku akan coba bertanya dulu ke Papa,” balas Mauri dari seberang panggilan.“Aku akan menunggu kabar darimu, kalau bisa cepatnya,” ucap Andra.“Pasti aku kabari segera,” balas Mauri. “Oh … ya, hari ini aku izin tidak ke kantor sehari lagi, aku sedang
Pagi itu Andra datang ke rumah utama. Saat sampai di sana, dia bertemu dengan Shanaya yang baru saja keluar dari lift dan heran melihat kedatangannya. Andra awalnya hendak menyapa, tapi melihat rambut Shanaya yang basah di pagi hari membuat Andra tertegun, bahkan pikiran pria itu sampai ke mana-mana. “Andra, tumben kamu datang pagi sekali?” sapa Shanaya. “Iya." Andra menjawab sekenanya. Masih kaget karena pikiran liar di kepala. “Itu ... memangnya wanita hamil boleh sering melakukan .... ?” Andra menjeda lisan, tanpa sadar mengungkapkan isi kepala. Shanaya terkejut mendengar pertanyaan Andra, hingga dia pun membalas, “Maksudmu bercinta? Itu malah sangat penting untuk menjaga kestabilan hormon.” Andra mengedip beberapa kali, dia bingung mendengar penjelasan Shanaya. Namun, agak sungkan untuk bertanya. “Makanya kamu cepetan nikah supaya tahu hal semacam ini,” ucap Shanaya saat melihat Andra bingung. Andra mengerucutkan bibir mendengar hinaan Shanaya, hingga dia pun mem
“Tidak bisa! Aku harus bicara serius ke papamu, jika masalah ini tidak dibereskan dan dituntaskan, maka akan terus berlarut,” ujar Andra mencoba meyakinkan Mauri.Mauri tertegun melihat Andra yang terlihat serius, hingga akhirnya mengangguk pelan mengizinkan pria itu pergi. “Baiklah, tapi hati-hati,” ucap Mauri yang masih menyimpan perasaan cemas.Andra mengangguk lalu menyentuh lembut pipi Mauri, dia lantas menoleh ke ibu Mauri yang terbaring lemah. Dia tersenyum tipis ke wanita itu seolah meminta izin.Setelahnya Andra pun keluar dari kamar inap itu, dan berlari mengejar Abraham yang berjalan di koridor hingga menghadang dan membuat Abraham berhenti melangkah.“Tunggu, saya ingin bicara dengan Anda,” ucap Andra. Meskipun menerima perlakuan buruk, tapi dia tetap bersikap sopan.Abraham terlihat kesal melihat Andra. Pria itu tak mau bicara, lebih memilih berjalan melewati Andra lagi tapi kembali dihadang.“Izinkan saya bicara pada Anda Pak,” ucap Andra membujuk.“Tidak ada yang perlu