Shanaya menelan ludah susah payah. Ia diam tak bergerak saat Oriaga menyentuhkan bibir mereka dengan sangat lembut.Oriaga melumat bergantian bibir bawah dan atas Shanaya tanpa sedikitpun menuntut."Apakah aku harus belajar memuaskannya agar tidak dibuang begitu saja?" Shanaya memejamkan mata. Menikmati permainan bibir dan lidah Oriaga yang tanpa dia sadari membuat bagian bawah tubuhnya mulai basah.Oriaga melepas kaitan bibir mereka, tanpa sadar mengingkari ucapannya sendiri yang mengatakan tidak akan pernah menunduk di depan siapa pun. Nyatanya sekarang Oriaga menundukkan kepala untuk mencium bibir ranum Shanaya.Oriaga melepas jasnya sendiri, menarik Shanaya menuju meja belajar lantas melepaskan handuk Shanaya dan membuang sembarangan. Seperti tak mengeluarkan tenaga, Oriaga mengangkat tubuh Shanaya dengan mudah lantas mendudukkan gadis itu di atas meja belajar.Apa yang Oriaga lakukan tentu saja membuat Shanaya merasa sangat malu, refleks dia menutup dada menggunakan tangan kiri d
"Benar 'kan dugaan Mama, Shanaya mengaku ke pak Wira baru mengenal pamanmu selama dua bulan."Masayu dan Kirana membicarakan Shanaya lagi setelah makan malam. Mereka semakin mencemaskan kemungkinan bahwa Oriaga memang menikahi Shanaya hanya untuk mendapatkan penerus setelah mendapat bocoran informasi dari Rini."Aku tidak boleh diam saja, aku harus mendekati Shanaya. Lebih baik aku mendapat kepercayaannya." Kirana malah bergumam di hati dan tak mendengarkan Masayu dengan baik. Dia tampak kaget saat sang Mama menghardiknya."Kenapa kamu malah diam saja? Apa kamu tidak cemas? Bagaimana kalau kita akan hidup seperti ini selamanya? Apa kamu mau? Wasiat kakekmu benar-benar sulit dipercaya," gerutu Masayu.Sama seperti sang mama, Kirana juga menganggap wasiat kakeknya tidak adil, semua harta Pradipta diwariskan atas nama Oriaga sehingga membuat mereka tidak bisa berkutik."Mama sebaiknya mulai menyelidiki, jangan-jangan Mama dan tante Arumi hanya anak pungut kakek."Masayu tak percaya mende
Pagi itu Shanaya terlihat sudah rapi. Dia benar-benar mematuhi perintah Oriaga untuk mandi sebelum pria itu bangun. Bahkan, Shanaya rela bangun jauh lebih pagi, karena takut Oriaga bangun lebih dulu.Seperti kemarin, Shanaya melayani suaminya dengan baik, ia membantu mengancingkan kemeja dan mengikatkan dasi ke leher Oriaga. Namun, meskipun ini bukan kali pertama, tapi Shanaya masih saja grogi. Apalagi saat wajahnya dan Oriaga begitu dekat. Shanaya beberapa kali membuat bagian dasi yang sudah dia lipat terlepas karena gemetaran. Menyadari tingkah menggemaskan Shanaya, Oriaga pun tersenyum tipis. Dia sendiri tidak mengerti kenapa begitu senang membuat istri kecilnya gemetaran. âHuh ⌠sudahlah kalau tidak bisa biar aku sendiri!âOriaga membuang napas berpura-pura frustasi. Dia sengaja memegang dasi yang ada di depan dada, tapi Shanaya lebih dulu menggeleng sambil menatapnya. âTidak âŚ. Tu âShanaya menjeda lisan. Nyaris saja mulutnya menyebut kata tuan lagi. Gadis itu menelan ludah su
âBagaimana kabar Ayahmu? Apa keadaannya sudah membaik?âFloâpemilik toko kue tempat Shanaya bekerja tampak cemas dengan kondisi Nugroho. Sebagai seorang bos, wanita lajang itu sebenarnya selalu perhatian ke seluruh anak buahnya tak hanya pada Shanaya.âAku belum menemui Ayah karena aku ke sini lebih dulu, tapi kata mba Rahma kondisi Ayah sudah semakin membaik.âFlo mengerutkan kening saat merasa ada yang janggal dari jawaban Shanaya. Meskipun belum sepenuhnya percaya, tapi dia berpikir mungkin saja kabar yang disebutkan oleh dua pegawainya memang benar.âKata Farah kamu menikah, apa benar?ââBenar, dari rumah suamiku aku langsung datang menemui kakak.âShanaya menundukkan kepala setelah bicara. Takut jika sampai Flo menanyakan sesuatu tentang suaminya, juga khawatir kalau wanita itu berpikir dia melangkahi dengan menikah lebih dulu. Meski tidak memiliki hubungan darah, tapi Shanaya sudah menganggap Flo seperti kakak kandung sendiri, dia juga tahu bagaimana rumitnya kisah cinta bosnya
Setelah beberapa saat duduk untuk meredam rasa sedihnya karena tidak akan bekerja lagi di Wonderflo â toko kue di mana dia pernah bekerja. Shanaya pun pergi ke halte sambil membawa tentengan berisi kue yang Flo berikan padanya.Shanaya hendak menuju rumah sakit tempat ayahnya dirawat. Sebenarnya dia bisa saja menggunakan taksi, tapi enggan karena merasa harus berhemat.Meskipun Oriaga sudah setuju dengan syarat yang disebutnya sebagai keinginan, tapi tetap saja Shanaya tidak bisa tenang, bagaimanapun juga dia tetap tidak akan pernah mengetahui kapan Oriaga mulai bosan lalu meninggalkannya."Aku harus menghemat uang yang dia berikan, lebih baik aku mengambil uang transport dua ratus ribu dan hanya mengeluarkan lima puluh ribu." Shanaya bergumam di dalam hati, memegang erat kotak kue dari Flo di pangkuan sambil memandang keluar jendela. Beberapa menit berlalu Shanaya pun tiba di halte terdekat dari rumah sakit, dia melanjutkan perjalanan dengan berjalan menyusuri trotoar untuk menjangk
Shanaya tak berani ikut masuk ke lift bersama Oriaga, dia mematung di posisinya dan tak sadar kalau Masayu juga Kirana melihatnya dengan seringai di wajah.Shanaya menekan tombol lift dan menunggu lift itu turun kembali. Dia terus diam sambil menyusun kalimat yang tepat di kepala agar tidak salah saat bicara ke Oriaga nanti.Namun, sepanjang apapun kalimat yang sudah dia buat, ternyata hanya ucapan maaf lah yang terlontar dari bibir Shanaya."Maaf, Oom! Aku pulang terlambat."Shanaya yakin Oriaga mendengar ucapannya, tapi entah kenapa pria yang saat ini sedang duduk di meja kerja itu diam tak membalas. Shanaya merasa sangat aneh karena Oriaga mendiamkannya seperti ini, hingga baru sadar kalau penampilannya tampak sangat kumal. Shanaya buru-buru masuk ke kamar ganti untuk mengambil baju. Dia bergegas membersihkan diri setelah itu berniat meminta maaf dengan cara yang lebih baik ke Oriaga. "Dia marah, iya 'kan? Tapi bukankah aku sudah diizinkan mengurus urusanku hari ini? Aku tidak mu
Kirana tak bisa langsung menjawab pertanyaan Shanaya. Untuk melancarkan aksi membuat Shanaya berpikir buruk tentang pamannya saja, dia dan Masayu harus menunggu pak Wira meninggalkan rumah utama, karena jika tidak mana mungkin Rini bisa dengan mudah membohongi Shanaya tadi."Kirana, apa Pak Wira diusir?" Shanaya bertanya lagi karena Kirana tak merespon."Ah ... pak Wira hanya mengambil libur, mana mungkin Paman mengusirnya?" Kirana tertawa canggung. Dia dan Masayu berani melakukan ini ke Shanaya, karena Kirana tahu bagaimana sifat gadis yang sedang menikmati makan malam di kamarnya ini.Pernah suatu kali di kampus Kirana sengaja menyenggol Shanaya saat berpapasan jalan, hingga tugas kuliah yang sedang Shanaya pegang jatuh ke kolam ikan, tapi gadis itu sama sekali tidak marah apalagi mengadu pada Andra yang jelas-jelas sedang mendekatinya.Kirana diam-diam menyeringai, merasa Shanaya begitu polos dan bodoh. Dia dan sang Mama jelas tidak akan membiarkan Shanaya menjadi nyonya di rumah
Shanaya memutari meja kerja Oriaga. Dia pikir sesuatu yang harus dilakukan adalah memuaskan pria itu seperti sebelumnya. Padahal yang Oriaga maksud adalah ke depan Shanaya harus mengabarinya jika pulang terlambat."Tunggu! Kalau aku mencium atau bicara terlalu dekat, bisa-bisa Oom Ori tahu kalau aku tadi makan." Shanaya menghentikan langkah setelah bermonolog. Sedangkan Oriaga masih memandangi dengan tatapan heran. "Aku lupa belum gosok gigi saat mandi tadi," ucap Shanaya. Dia buru-buru memutar tumit untuk berlari ke kamar mandi. Tingkahnya ini malah semakin membuat Oriaga kebingungan. "Apa? Dia itu, benar-benar! Jorok sekali."Oriaga menggerutu tapi seketika sadar malah sedang memulas senyum, dia tak percaya bagaimana bisa salah tingkah karena kelakuan acak perempuan muda seperti Shanaya.Oriaga menggeleng seolah berusaha menyadarkan diri. Seharusnya hanya kejantanannya saja yang berereksi melihat tingkah Shanaya, karena dada dan hatinya tidak boleh sampai bereaksi."Aku pasti suda
Hari itu mungkin menjadi hari yang paling ditunggu oleh semua orang. Sebuah pesta pernikahan digelar megah, senyum serta canda tampak kentara di wajah keluarga terutama dua pasang mempelai yang kini sedang berdansa. Oriaga melihat Shanaya yang tersenyum, lantas mendekatkan bibir ke telinga istrinya itu kemudian berbisik, âApa kamu ingin pesta pernikahan seperti ini?â Shanaya semakin melebarkan senyum lantas menoleh suaminya. âBukankah sudah terlambat kalau kita membuat pesta?â tanya balik Shanaya. Oriaga menanggapi ucapan Shanaya dengan senyuman karena apa yang dikatakan memang benar. Pesta pernikahan Andra, Mauri, Elkan, dan Kirana berlangsung hari itu. Shanaya menatap ke para pengantin baru itu, setelah semua yang dilalui, kini semua orang mendapat kebahagiaan tak terkecuali. âMereka sangat bahagia,â ucap Shanaya ke Oriaga. âKita juga,â balas pria itu sambil menggenggam erat tangan Shanaya. Shanaya melebarkan senyum lantas menyandarkan kepala di pundak Oriaga.
Pagi itu selepas Oriaga berangkat ke kantor, Shanaya tampak duduk di taman bersama Pak Wira yang punya tugas tambahan mengawasinya satu kali dua puluh empat jam.Pak Wira terlihat membawa buku catatan dan pulpen di tangannya. Pria tua itu membenarkan letak kacamata yang bertengger di hidung sebelum berkata,âSaya sudah membuat daftar barang yang harus disiapkan sebelum Anda melahirkan.âTernyata diam-diam Pak Wira memiliki catatan barang apa saja yang harus disiapkan Shanaya untuk menyambut kelahiran anaknya.Shanaya pun memperhatikan Pak Wira yang memegang buku catatan itu, hingga mulai membaca apa saja yang tertulis di sana.âBaju new born lima lusin, baju tidur tiga lusin, selimut sepuluh, sepatu sepuluh, lalu--â Belum juga Pak Wira selesai menyebutkan semua barang yang dicatat, Shanaya sudah menghentikan pria itu.âKenapa banyak sekali, Pak? Bayi tidak perlu baju sebanyak itu, lagipula yang Pak Wira sebutkan itu baju, bukan popok sekali pakai,â ucap Shanaya.âMemangnya Pak Wira men
âKenapa mendadak seperti ini? Sebenarnya tidak perlu dijemput tidak apa-apa, aku bisa pergi ke sana sendiri,â ucap Mauri. Dia terkejut karena Andra tiba-tiba menghubungi.âItu Kirana sudah di bawah, tidak masalah! Pergi saja bersama dengannya,â ucap Andra dari seberang panggilan.Mauri benar-benar tak percaya mendengar ucapan Andra, tapi karena tak ingin Kirana lama menunggu, Mauri pun buru-buru menyambar tasnya menuju lobi.Hari itu secara mendadak Andra memberitahu bahwa Kirana akan datang untuk mengajak Mauri pergi ke butik.Mauri yang merasa belum mengenal dekat Kirana jelas merasa sungkan, apalagi saat sampai di lobi Kirana sudah berdiri di sana lantas menghampirinya.âApak amu sudah siap?â tanya Kirana saat bertemu sang calon kakak ipar. Mauri kaget sekaligus senang mendapati sikap ramah Kirana. Namun, masih ada sedikit rasa sungkan di hatinya, hingga Mauri hanya mengangguk membalas pertanyaan Kirana.Tak menunggu lama Kirana pun mengajak Mauri masuk ke mobilnya yang masih terp
Baru saja masuk kamar, tapi Oriaga langsung ditodong pertanyaan dari Shanaya yang ternyata menunggu dirinya pulang. Shanaya yang sedang bersantai duduk di atas ranjang seketika menegakkan badan. Wanita itu antusias bertanya,âBagaimana tadi pertemuan dengan orang tuanya Mauri?â âLancar dan tentu saja Ayah Mauri langsung merestui,â jawab Oriaga. Oriaga berjalan mendekat ke Shanaya yang sejak tadi ternyata sedang membaca buku. Oriaga naik ke ranjang, lantas tanpa permisi mengambil buku Shanaya kemudian berbaring terlentang untuk membaca buku itu. âKenapa bacanya sambil berbaring? Baca sambil duduk, nanti matamu sakit kalau membaca dengan posisi seperti itu,â ucap Shanaya sambil menatap Oriaga. âAku memang sudah 43 tahun, tapi mataku ini masih bisa melihat dengan jelas. Kamu tenang saja,â balas Oriaga dengan santainya tanpa mengganti posisi. âSombong, awas saja nanti kalau kamu mengeluh matamu gatal atau berair.â Shanaya bicara dengan nada candaan, dia menggeser dudu
Malam harinya Andra pun pergi ke rumah orang tua Mauri bersama Oriaga dan Masayu. Andra tak bisa bersikap tenang, dia terlihat sangat gugup saat baru saja turun dari mobil.âJangan gugup, tarik napas panjang lalu embuskan perlahan,â ucap Masayu sambil merapikan kemeja Andra. Dia memulas senyum, menyadari bahwa sang putra mungkin sedang tidak baik-baik saja.Andra menatap sang mama, dia mengangguk kemudian melakukan apa yang dikatakan oleh Masayu.Masayu kemudian menggandeng tangan Andra, bersama Oriaga berjalan menuju pintu rumah Abraham.Saat sampai di depan rumah, ibu Mauri menyambut mereka dengan ramah meski wanita itu terlihat pucat dan tubuhnya masih kurang bugar.âApa Anda baik-baik saja? Jika masih kurang sehat, seharusnya tak perlu menyambut kami di depan,â ucap Masayu berpindah menggandeng tangan ibu Mauri.Ibu Mauri pun mengajak semuanya masuk sambil digandeng Masayu. Meski baru pertama kali bertemu, tapi mereka tampak dekat.âApa kondisi Anda sudah membaik?â tanya Masayu ka
Andra sudah sangat panik hingga memutuskan membuang status sebagai atasan dan bawahan lalu mencoba menghubungi nomor pamannya sendiri. âAda apa?â Suara Oriaga terdengar dari seberang panggilan. Detak jantung Andra seketika mulai normal kembali, dia terlihat sangat lega karena panggilannya dijawab oleh Oriaga. âPaman ada di mana?â tanya Andra dengan suara yang masih panik. âAku sedang ada urusan di luar,â jawab Oriaga, âada apa?â tanya pria itu lagi. âBagini Paman, ayah Mauri memintaku membawa Paman ke rumahnya nanti malam." Andra memberitahu Oriaga tanpa ada lagi basa-basi. âSudah kuduga karena hal itu kamu menghubungi dengan suara panik seperti ini,â ucap Oriaga dari seberang panggilan. âBagaimana aku tidak panik, aku ke ruangan Paman dan di sana sepi, bagaimana jika tiba-tiba saja Paman ke luar kota,â balas Andra. âTenang saja, aku akan datang dan memastikan kalau kamu akan menikah dengan Mauri,â ucap Oriaga mencoba menenangkan Andra. Andra pun bernapas dengan
Setelah berbincang dengan Oriaga, Andra tak menunggu lama untuk menghubungi Mauri, memberitahu kabar baik yang didapatnya.âApa kamu masih di rumah sakit?â tanya Andra saat panggilannya dijawab Mauri.âIya,â jawab Mauri dari seberang panggilan.âAku sudah menemui pamanku, dia setuju untuk membantu kita,â ucap Andra lagi. Ia mendengar suara helaan napas kasar dari seberang panggilan, hingga kemudian Mauri bicara.âSyukurlah kalau memang seperti itu.âAda kelegaan di wajah Mauri yang tidak bisa Andra lihat karena mereka tidak sedang bersama. Bahkan jika saat ini berdekatan Mauri sangat ingin memeluk erat Andra.âSampaikan ke papamu, pamanku bilang ingin bertemu, mau di rumah utama atau di rumahmu terserah yang penting papamu percaya.ââHm ⌠aku akan coba bertanya dulu ke Papa,â balas Mauri dari seberang panggilan.âAku akan menunggu kabar darimu, kalau bisa cepatnya,â ucap Andra.âPasti aku kabari segera,â balas Mauri. âOh ⌠ya, hari ini aku izin tidak ke kantor sehari lagi, aku sedang
Pagi itu Andra datang ke rumah utama. Saat sampai di sana, dia bertemu dengan Shanaya yang baru saja keluar dari lift dan heran melihat kedatangannya. Andra awalnya hendak menyapa, tapi melihat rambut Shanaya yang basah di pagi hari membuat Andra tertegun, bahkan pikiran pria itu sampai ke mana-mana. âAndra, tumben kamu datang pagi sekali?â sapa Shanaya. âIya." Andra menjawab sekenanya. Masih kaget karena pikiran liar di kepala. âItu ... memangnya wanita hamil boleh sering melakukan .... ?â Andra menjeda lisan, tanpa sadar mengungkapkan isi kepala. Shanaya terkejut mendengar pertanyaan Andra, hingga dia pun membalas, âMaksudmu bercinta? Itu malah sangat penting untuk menjaga kestabilan hormon.â Andra mengedip beberapa kali, dia bingung mendengar penjelasan Shanaya. Namun, agak sungkan untuk bertanya. âMakanya kamu cepetan nikah supaya tahu hal semacam ini,â ucap Shanaya saat melihat Andra bingung. Andra mengerucutkan bibir mendengar hinaan Shanaya, hingga dia pun mem
âTidak bisa! Aku harus bicara serius ke papamu, jika masalah ini tidak dibereskan dan dituntaskan, maka akan terus berlarut,â ujar Andra mencoba meyakinkan Mauri.Mauri tertegun melihat Andra yang terlihat serius, hingga akhirnya mengangguk pelan mengizinkan pria itu pergi. âBaiklah, tapi hati-hati,â ucap Mauri yang masih menyimpan perasaan cemas.Andra mengangguk lalu menyentuh lembut pipi Mauri, dia lantas menoleh ke ibu Mauri yang terbaring lemah. Dia tersenyum tipis ke wanita itu seolah meminta izin.Setelahnya Andra pun keluar dari kamar inap itu, dan berlari mengejar Abraham yang berjalan di koridor hingga menghadang dan membuat Abraham berhenti melangkah.âTunggu, saya ingin bicara dengan Anda,â ucap Andra. Meskipun menerima perlakuan buruk, tapi dia tetap bersikap sopan.Abraham terlihat kesal melihat Andra. Pria itu tak mau bicara, lebih memilih berjalan melewati Andra lagi tapi kembali dihadang.âIzinkan saya bicara pada Anda Pak,â ucap Andra membujuk.âTidak ada yang perlu