Oriaga tak bisa tinggal diam dan hanya membiarkan Shanaya mendiamkannya seperti ini terus-terusan. Dia pun kembali menghubungi Aditya, meminta anak buahnya itu untuk memberitahu posisi Shanaya. Tanpa menunggu balasan dari Aditya, Oriaga keluar dari ruang kerja sambil memegang kunci mobil dan jas. Dia masuk ke dalam lift dan membuat Aston yang berada di dalamnya kebingungan sampai urung keluar. “Pak Ori, Anda mau ke mana?” Tanya Aston seraya memandang jas yang dipegang Oriaga. “Pergi mengurus masalah rumah tangga.” Jawaban Oriaga yang singkat, padat dan jelas membuat Aston membeku di posisi, dia tak mengejar saat pintu lift terbuka dan Oriaga melangkah pergi. Aston hanya menggaruk tengkuk lantas membenarkan letak kacamata yang bertengger di hidung. “Astaga, ternyata cinta bisa merubahnya juga,” gumam Aston. Sementara Oriaga memutuskan bergerak menyusul ke lokasi di mana Shanaya berada, saat ini Aditya masih harus waspada karena belum mengetahui sosok orang yang juga mengikuti Sha
Shanaya terhanyut, amarahnya yang sejak kemarin seperti api yang menyulut hati tiba-tiba saja hampir padam karena sentuhan lembut bibir Oriaga. Meskipun sedikit kasar di awal, tapi pria itu perlahan melumat bibir Shanaya penuh perasaan. “Tidak! Tidak bisa begini, aku butuh penjelasan. Aku tidak mau dia membuatku bingung.” Shanaya mendorong dada Oriaga hingga pagutan mereka terlepas. Wanita itu menutup mulut menggunakan punggung tangan sambil melempar tatapan tajam. “Apa kamu sudah gila? Bagaimana kalau Naila melihat?” Shanaya menoleh ke belakang, sedangkan Oriaga hanya diam sambil mengusap bibirnya yang basah menggunakan ibu jari. “Begini kelakuanmu padaku? Jangankan memanggil sayang atau suamiku, kamu bahkan tidak memanggilku Oom lagi.” Balasan Oriaga membuat Shanaya tak bisa lagi membantah. Shanaya meraih pergelangan tangan Oriaga dan meminta suaminya itu pergi dari rumah sang ayah. “Aku akan pulang sendiri kalau ibu dan ayah sudah kembali dari rumah orangtua Mbak Rahma, jadi
Tak tinggal diam, Oriaga pun merebut mangkuk kemudian duduk memunggungi Shanaya. Dia menyantap makanan itu dengan sangat lahap bahkan tak lebih dari sepuluh menit mi dan kuahnya habis tak berbekas.Oriaga menoleh kembali, menggeser mangkuk yang sudah kosong melompong ke arah Shanaya. "Bukannya tadi Oom bilang rasanya kimia?" "Aku lapar, seharian tidak nafsu makan karena memikirkanmu yang marah," ucap Oriaga.Shanaya menelan ludah dan merasa sangat bersalah. Dia tak bisa melakukan apa-apa selain mengambil mangkuk kosong itu lantas berdiri untuk mencucinya.Oriaga sendiri semakin merasa bersalah, wajah Shanaya yang tak seceria biasanya membuat Oriaga merasa dirinya memang kurang bijaksana dalam menyampaikan keputusan perihal anak.Sejenak Oriaga pun memandangi punggung Shanaya, setelah itu berdiri dan pergi dari ruang makan. "Suami Mbak sudah pulang?" Tanya Naila melihat Shanaya masuk ke kamarnya. "Ngomong-ngomong Kalian lagi marahan ya?" Shanaya yang berdiri di dekat meja belajar Na
"Isaak," jawab Oriaga. "Oh ... sahabat Oom. Angkat saja dulu! Siapa tahu penting."Shanaya merespon dengan nada biasa, tapi entah kenapa terdengar seperti kekecewaan di telinga Oriaga. Terlebih Shanaya mengatakannya sambil membenarkan baju yang sudah dia buat kusut.Namun, alih-alih melakukan apa yang Shanaya minta, Oriaga malah menggeleng, dia hampir meletakkan ponsel ke lantai lift saat Shanaya mencengkeram erat kemejanya."Kenapa?" Oriaga kaget mendapati Shanaya melebarkan manik mata."Sepertinya aku datang bulan betulan!"Setelah mengatakan itu Shanaya buru-buru menekan pintu lift agar terbuka, dia berlari secepat kilat menuju kamar meninggalkan Oriaga — yang terlanjur menolak panggilan Isaak. Wajah Oriaga tampak kesal, bahkan dia memungut jasnya yang teronggok di lantai dengan kasar. Oriaga lantas berjalan menyusul Shanaya yang bahkan tak menutup pintu kamar. Pria itu menekuk satu tangan ke pinggang kemudian menyandarkan badan ke pintu. Jujur dari lubuk hatinya yang paling dala
Isaak tak percaya Oriaga akan menolak panggilannya dan mematikan ponsel. Dia semakin tidak bisa tenang memikirkan jika benar sahabatnya itu menikah dengan putrinya dan Seruli."Aku tidak bisa tinggal diam, bagaimana bisa si brengsek Ori menjadi menantuku? Tidak sudi aku mempunyai mantu kurang ajar seperti dia." Isaak mondar mandir tak bisa tenang. Dia berjalan ke arah pintu ruang kerja hendak meraih gagang pintu tapi tiba-tiba berbalik lagi dan kembali duduk di kursi."Aku harus ke Indonesia, aku harus memastikan sendiri. Mengetahui apakah dia memang anak biologisku jauh lebih penting dari pada perceraianku dan Amora," ucap Isaak. Tanpa berpikir panjang, Isaak pun memutuskan segera pergi ke Indonesia, dia bahkan memberi perintah asistennya untuk memesankan tiket segera, hingga terkesan tidak memikirkan pekerjaannya di Belanda. Sikap Isaak yang terburu-buru itu sontak membuat sang asisten cemas."Tuan Isaak, bukankah Anda bilang akan mengurus masalah perceraian dan warisan Tuan besar
Masayu yang malam itu pergi ke rumah timur sukses membuat Arumi kesal. Pasalnya dia sejak tadi mondar-mandir memikirkan nasib Kirana. Biasanya rasa bimbang Masayu akan hilang setelah dia bercinta dan mendapatkan puncak kenikmatan surga dunia. Namun, meskipun beberapa kali Malik membuatnya mendapatkan kepuasan, tapi gundah gulana di hati Masayu tetap tak bisa hilang. “Kamu membuatku pusing, bisa tidak duduk? Apa pantatmu bisulan?” Arumi memijat kening, seharusnya dia sudah bisa kembali ke rumah utama hari itu, tapi entah kenapa belum ada kabar juga dari pak Wira. “Apa kamu pikir masalah yang sedang aku hadapi mudah? Aku pikir Kirana berhalusinasi saat bilang Elkan menyukai Shana, tapi Malik yang aku minta mengawasi gadis itu memergoki sendiri bagaimana Elkan mengejar-ngejar kakak ipar kampunganmu itu,” sewot Masayu. Arumi berdecak lidah, dia tak terima dengan ucapan Masayu lantas membalas,”Dia juga kakak iparmu tahu!” Masayu meremas udara di depan wajah karena frustasi mendengar ja
Hari pun berganti dan matahari sudah menampakkan sinarnya menghangatkan bumi. Beberapa menit yang lalu Shanaya membuka pintu kamar menemui Pak Wira yang datang untuk menanyakan— apakah sang tuan ingin sarapan bersama yang lain."Suamiku masih tidur, jadi bawakan saja sarapan kami ke kamar ya, Pak!" Pinta Shanaya."Tidak biasanya, Nona. Apa Tuan sakit?" Tanya Pak Wira khawatir. Bagaimanapun juga kepala pelayan rumah utama itu menyadari kemarin Oriaga dan Shanaya sedang bertengkar."Tidak, hanya saja dia kemarin tidur larut malam." Pak Wira mengangguk kemudian berniat pergi untuk melakukan apa yang Shanaya minta, tapi sebelum itu Pak Wira memilih memastikan kembali apakah Oriaga benar baik-baik saja."Apa Pak Wira mau masuk? Tapi suamiku hanya memakai selimut," balas Shanaya.Pak Wira seketika malu, sedangkan Mbok Sarni yang ikut ke lantai tiga harus menahan tawa menyadari perubahan ekspresi wajah pria paruh baya itu."Maaf Nona, apa bisa saya membawa keranjang baju kotor ke bawah untu
Merasa apa yang akan Shanaya sampaikan sangat serius, Pak Wira pun mengajak gadis itu ke bagian rumah yang sepi. Namun, Shanaya menolak dengan berkata tempat di rumah utama yang paling aman tentu saja hanya lantai tiga. "Bagaimana kalau kita bicara di ruang tamu lantai 3?" Tawar Shanaya.Pak Wira awalnya ragu, tapi karena apa yang Shanaya katakan memang benar, dia pun akhirnya setuju dan kini duduk bersama gadis itu di tempat yang sama beberapa bulan lalu, saat dia mengajari hal-hal apa saja yang boleh dan tidak boleh dilakukan, juga sederet daftar tentang kebiasaan Oriaga."Silahkan sampaikan apa yang ingin Nona katakan!" Pinta Pak Wira memecah keheningan yang terjadi.Meskipun Pak Wira sudah mempersilahkan, tapi Shanaya masih diam. Gadis itu seolah sedang mengumpulkan keberanian, padahal beberapa saat yang lalu dia penuh percaya diri menemui Pak Wira untuk mengajak bicara."Nona! Apa ada masalah penting?"Pertanyaan Pak Wira malah membuat Shanaya menelan ludah. Tangannya mengepal di
Hari itu mungkin menjadi hari yang paling ditunggu oleh semua orang. Sebuah pesta pernikahan digelar megah, senyum serta canda tampak kentara di wajah keluarga terutama dua pasang mempelai yang kini sedang berdansa. Oriaga melihat Shanaya yang tersenyum, lantas mendekatkan bibir ke telinga istrinya itu kemudian berbisik, “Apa kamu ingin pesta pernikahan seperti ini?” Shanaya semakin melebarkan senyum lantas menoleh suaminya. “Bukankah sudah terlambat kalau kita membuat pesta?” tanya balik Shanaya. Oriaga menanggapi ucapan Shanaya dengan senyuman karena apa yang dikatakan memang benar. Pesta pernikahan Andra, Mauri, Elkan, dan Kirana berlangsung hari itu. Shanaya menatap ke para pengantin baru itu, setelah semua yang dilalui, kini semua orang mendapat kebahagiaan tak terkecuali. “Mereka sangat bahagia,” ucap Shanaya ke Oriaga. “Kita juga,” balas pria itu sambil menggenggam erat tangan Shanaya. Shanaya melebarkan senyum lantas menyandarkan kepala di pundak Oriaga.
Pagi itu selepas Oriaga berangkat ke kantor, Shanaya tampak duduk di taman bersama Pak Wira yang punya tugas tambahan mengawasinya satu kali dua puluh empat jam.Pak Wira terlihat membawa buku catatan dan pulpen di tangannya. Pria tua itu membenarkan letak kacamata yang bertengger di hidung sebelum berkata,“Saya sudah membuat daftar barang yang harus disiapkan sebelum Anda melahirkan.”Ternyata diam-diam Pak Wira memiliki catatan barang apa saja yang harus disiapkan Shanaya untuk menyambut kelahiran anaknya.Shanaya pun memperhatikan Pak Wira yang memegang buku catatan itu, hingga mulai membaca apa saja yang tertulis di sana.“Baju new born lima lusin, baju tidur tiga lusin, selimut sepuluh, sepatu sepuluh, lalu--” Belum juga Pak Wira selesai menyebutkan semua barang yang dicatat, Shanaya sudah menghentikan pria itu.“Kenapa banyak sekali, Pak? Bayi tidak perlu baju sebanyak itu, lagipula yang Pak Wira sebutkan itu baju, bukan popok sekali pakai,” ucap Shanaya.“Memangnya Pak Wira men
“Kenapa mendadak seperti ini? Sebenarnya tidak perlu dijemput tidak apa-apa, aku bisa pergi ke sana sendiri,” ucap Mauri. Dia terkejut karena Andra tiba-tiba menghubungi.“Itu Kirana sudah di bawah, tidak masalah! Pergi saja bersama dengannya,” ucap Andra dari seberang panggilan.Mauri benar-benar tak percaya mendengar ucapan Andra, tapi karena tak ingin Kirana lama menunggu, Mauri pun buru-buru menyambar tasnya menuju lobi.Hari itu secara mendadak Andra memberitahu bahwa Kirana akan datang untuk mengajak Mauri pergi ke butik.Mauri yang merasa belum mengenal dekat Kirana jelas merasa sungkan, apalagi saat sampai di lobi Kirana sudah berdiri di sana lantas menghampirinya.“Apak amu sudah siap?” tanya Kirana saat bertemu sang calon kakak ipar. Mauri kaget sekaligus senang mendapati sikap ramah Kirana. Namun, masih ada sedikit rasa sungkan di hatinya, hingga Mauri hanya mengangguk membalas pertanyaan Kirana.Tak menunggu lama Kirana pun mengajak Mauri masuk ke mobilnya yang masih terp
Baru saja masuk kamar, tapi Oriaga langsung ditodong pertanyaan dari Shanaya yang ternyata menunggu dirinya pulang. Shanaya yang sedang bersantai duduk di atas ranjang seketika menegakkan badan. Wanita itu antusias bertanya,“Bagaimana tadi pertemuan dengan orang tuanya Mauri?” “Lancar dan tentu saja Ayah Mauri langsung merestui,” jawab Oriaga. Oriaga berjalan mendekat ke Shanaya yang sejak tadi ternyata sedang membaca buku. Oriaga naik ke ranjang, lantas tanpa permisi mengambil buku Shanaya kemudian berbaring terlentang untuk membaca buku itu. “Kenapa bacanya sambil berbaring? Baca sambil duduk, nanti matamu sakit kalau membaca dengan posisi seperti itu,” ucap Shanaya sambil menatap Oriaga. “Aku memang sudah 43 tahun, tapi mataku ini masih bisa melihat dengan jelas. Kamu tenang saja,” balas Oriaga dengan santainya tanpa mengganti posisi. “Sombong, awas saja nanti kalau kamu mengeluh matamu gatal atau berair.” Shanaya bicara dengan nada candaan, dia menggeser dudu
Malam harinya Andra pun pergi ke rumah orang tua Mauri bersama Oriaga dan Masayu. Andra tak bisa bersikap tenang, dia terlihat sangat gugup saat baru saja turun dari mobil.“Jangan gugup, tarik napas panjang lalu embuskan perlahan,” ucap Masayu sambil merapikan kemeja Andra. Dia memulas senyum, menyadari bahwa sang putra mungkin sedang tidak baik-baik saja.Andra menatap sang mama, dia mengangguk kemudian melakukan apa yang dikatakan oleh Masayu.Masayu kemudian menggandeng tangan Andra, bersama Oriaga berjalan menuju pintu rumah Abraham.Saat sampai di depan rumah, ibu Mauri menyambut mereka dengan ramah meski wanita itu terlihat pucat dan tubuhnya masih kurang bugar.“Apa Anda baik-baik saja? Jika masih kurang sehat, seharusnya tak perlu menyambut kami di depan,” ucap Masayu berpindah menggandeng tangan ibu Mauri.Ibu Mauri pun mengajak semuanya masuk sambil digandeng Masayu. Meski baru pertama kali bertemu, tapi mereka tampak dekat.“Apa kondisi Anda sudah membaik?” tanya Masayu ka
Andra sudah sangat panik hingga memutuskan membuang status sebagai atasan dan bawahan lalu mencoba menghubungi nomor pamannya sendiri. “Ada apa?” Suara Oriaga terdengar dari seberang panggilan. Detak jantung Andra seketika mulai normal kembali, dia terlihat sangat lega karena panggilannya dijawab oleh Oriaga. “Paman ada di mana?” tanya Andra dengan suara yang masih panik. “Aku sedang ada urusan di luar,” jawab Oriaga, “ada apa?” tanya pria itu lagi. “Bagini Paman, ayah Mauri memintaku membawa Paman ke rumahnya nanti malam." Andra memberitahu Oriaga tanpa ada lagi basa-basi. “Sudah kuduga karena hal itu kamu menghubungi dengan suara panik seperti ini,” ucap Oriaga dari seberang panggilan. “Bagaimana aku tidak panik, aku ke ruangan Paman dan di sana sepi, bagaimana jika tiba-tiba saja Paman ke luar kota,” balas Andra. “Tenang saja, aku akan datang dan memastikan kalau kamu akan menikah dengan Mauri,” ucap Oriaga mencoba menenangkan Andra. Andra pun bernapas dengan
Setelah berbincang dengan Oriaga, Andra tak menunggu lama untuk menghubungi Mauri, memberitahu kabar baik yang didapatnya.“Apa kamu masih di rumah sakit?” tanya Andra saat panggilannya dijawab Mauri.“Iya,” jawab Mauri dari seberang panggilan.“Aku sudah menemui pamanku, dia setuju untuk membantu kita,” ucap Andra lagi. Ia mendengar suara helaan napas kasar dari seberang panggilan, hingga kemudian Mauri bicara.“Syukurlah kalau memang seperti itu.”Ada kelegaan di wajah Mauri yang tidak bisa Andra lihat karena mereka tidak sedang bersama. Bahkan jika saat ini berdekatan Mauri sangat ingin memeluk erat Andra.“Sampaikan ke papamu, pamanku bilang ingin bertemu, mau di rumah utama atau di rumahmu terserah yang penting papamu percaya.”“Hm … aku akan coba bertanya dulu ke Papa,” balas Mauri dari seberang panggilan.“Aku akan menunggu kabar darimu, kalau bisa cepatnya,” ucap Andra.“Pasti aku kabari segera,” balas Mauri. “Oh … ya, hari ini aku izin tidak ke kantor sehari lagi, aku sedang
Pagi itu Andra datang ke rumah utama. Saat sampai di sana, dia bertemu dengan Shanaya yang baru saja keluar dari lift dan heran melihat kedatangannya. Andra awalnya hendak menyapa, tapi melihat rambut Shanaya yang basah di pagi hari membuat Andra tertegun, bahkan pikiran pria itu sampai ke mana-mana. “Andra, tumben kamu datang pagi sekali?” sapa Shanaya. “Iya." Andra menjawab sekenanya. Masih kaget karena pikiran liar di kepala. “Itu ... memangnya wanita hamil boleh sering melakukan .... ?” Andra menjeda lisan, tanpa sadar mengungkapkan isi kepala. Shanaya terkejut mendengar pertanyaan Andra, hingga dia pun membalas, “Maksudmu bercinta? Itu malah sangat penting untuk menjaga kestabilan hormon.” Andra mengedip beberapa kali, dia bingung mendengar penjelasan Shanaya. Namun, agak sungkan untuk bertanya. “Makanya kamu cepetan nikah supaya tahu hal semacam ini,” ucap Shanaya saat melihat Andra bingung. Andra mengerucutkan bibir mendengar hinaan Shanaya, hingga dia pun mem
“Tidak bisa! Aku harus bicara serius ke papamu, jika masalah ini tidak dibereskan dan dituntaskan, maka akan terus berlarut,” ujar Andra mencoba meyakinkan Mauri.Mauri tertegun melihat Andra yang terlihat serius, hingga akhirnya mengangguk pelan mengizinkan pria itu pergi. “Baiklah, tapi hati-hati,” ucap Mauri yang masih menyimpan perasaan cemas.Andra mengangguk lalu menyentuh lembut pipi Mauri, dia lantas menoleh ke ibu Mauri yang terbaring lemah. Dia tersenyum tipis ke wanita itu seolah meminta izin.Setelahnya Andra pun keluar dari kamar inap itu, dan berlari mengejar Abraham yang berjalan di koridor hingga menghadang dan membuat Abraham berhenti melangkah.“Tunggu, saya ingin bicara dengan Anda,” ucap Andra. Meskipun menerima perlakuan buruk, tapi dia tetap bersikap sopan.Abraham terlihat kesal melihat Andra. Pria itu tak mau bicara, lebih memilih berjalan melewati Andra lagi tapi kembali dihadang.“Izinkan saya bicara pada Anda Pak,” ucap Andra membujuk.“Tidak ada yang perlu