Shanaya kaget bukan kepalang, dia memandang sosok yang memanggil kemudian beralih ke Oriaga. Terlihat jelas Oriaga senang, sangat jauh berbeda seperti saat terakhir bertemu.âKai!â ucap Oriaga yang tersenyum lebar. Shanaya mundur beberapa langkah karena kaget mendapati Kai langsung menghambur dan memeluk Oriaga, begitupun pria itu yang menyambut sambil merentangkan tangan. Shanaya merasa bahagia melihat pemandangan di hadapannya saat ini, terlebih saat menoleh ke arah Kai datang, dia mendapati Verel, Ermanu, Elisa bahkan Anne juga berada di sana.âBagaimana kabarmu?â Oriaga melepas pelukan dan menyentuh pipi Kai. Namun, bukannya menjawab Kai kembali memeluk Oriaga. Anak itu terus saja menganggap Oriaga adalah penyelamat karena sudah menolong papanya. âApa kabar?â Elisa menyapa Shanaya, berharap gadis itu tak bersikap seperti terakhir kali mereka bertemu. âBaik,â balas Shanaya seraya menerima jabatan tangan Elisa. Mereka kebetulan juga datang ke sana karena hari itu adalah ulangta
âKenapa kamu datang ke sini? Apa kamu mau mentertawaiku?â Arumi berdiri dari kursi dan hendak mencakar Shanaya. Beruntung ada pembatas besi layaknya penjara yang memisahkan mereka. Shanaya bergeming, berbeda dari Masayu yang berjengket kaget dan berdiri melihat Arumi yang saat ini tampak menyeramkan. âKenapa kamu bisa datang bersama gadis kampungan ini? Apa kalian sekarang sudah menjadi teman? Ha?â Arumi menuduh Masayu dengan emosi menyala-nyala. Sedangkan Masayu sendiri masih mencoba menenangkan diri karena rasa kaget yang mendera. Ibunda Kirana itu tampak mengelus dada kemudian memandang Shanaya yang masih santai seolah gertakan Arumi bukan apa-apa baginya. âAku datang ingin melihatmu, apakah kondisimu baik-baik saja,â kata Shanaya masih dengan mimik datar. Masayu menelan ludah, dia kembali mendekat lalu menjelaskan ke Arumi bahwa dirinya tanpa sengaja bertemu Shanaya tadi di depan.âRumi, bersikaplah baik. Bukankah tidak enak tinggal di sini? Aku saja takut berada di sini, ken
âTidak semudah itu, Ori!â Shanaya mengerutkan kening, sedangkan Oriaga hanya menatap datar Isaak yang baru saja menolak permintaan tulusnya untuk kembali menikahi Shanaya. Pria matang itu datang ke tempat Isaak, merendahkan diri setelah sepakat dengan Shanaya harus meminta izin dulu ke papa kandungnya sebelum melanjutkan hubungan mereka. Ya, apapun Oriaga lakukan demi cinta, termasuk bersikap ramah dan hormat ke Isaak yang sering dia sebut brengsek. âAnakku mengalami banyak cobaan dan musibah saat menjadi istrimu, jadi aku tidak bisa dengan mudah memberikan izin kali ini, karena aku ti ⌠â âPapa tidak boleh menolak niat tulus Oom Ori, kalau Papa tidak merestui, lihat saja kami akan kawin lari!â Potong Shanaya setengah emosi. Wajahnya bahkan sudah berubah masam menyadari Isaak menolak permohonan Oriaga, sedangkan Oriaga masih mencoba bersikap tenang, pria itu menahan paha Shanaya agar tidak berdiri dari kursi. âKawin lari? Bagaimana caranya orang kawin lari? Hewan saja tidak pakai
Satu bulan kemudian Shanaya memandang Isaak yang sibuk memasukkan bajunya ke dalam koper. Esok pria itu, Amora juga Issa akan kembali ke Belanda. Tentu saja Shanaya tidak akan turut serta, apalagi sudah ada Oriaga yang sudah berjanji menjaganya. âAku tidak percaya si brengsek itu kembali jadi menantuku,â ucap Isaak. Dia menutup kopernya secara kasar. Lalu bersungut-sungut meletakkannya di sisi ranjang. Shanaya sadar kalau Isaak bersikap seperti ini karena mencemaskan dirinya, hingga dia mendekat dan memeluk pinggang pria itu dari belakang. âPapa, meski dulu aku pernah berharap tidak menjadi anak Papa, tapi sekarang aku bahagia karena bagaimanapun Papa sudah memberikan kehidupan baru yang jauh lebih baik untukku, terima kasih.â Shanaya berbicara dengan nada sangat tulus. Dia menggelayuti Isaak lantas pria itu pun menoleh memandanginya yang bersikap manja. âJangan menatapku seperti itu!â Isaak mendengkus, pundaknya sampai luruh seiring dengan pelukan Shanaya yang perlahan melonggar.
âApa kamu benar sudah merelakannya?â âHm ⌠lagipula dia juga sudah kembali menikah dengan Pamanku.â Andra tersenyum penuh ketulusan. Pemuda itu sudah berada di batasnya, menyadari bahwa mencintai seseorang tidaklah bisa dipaksakan. Sebesar apapun keinginan Andra memiliki Shanaya, hal itu tidak akan pernah akan terwujud karena hati manusia tak bisa dipaksa. âKamu sendiri, apa masih ingin terus seperti ini? Bukankah Mamamu sudah memintamu untuk pulang ke rumah?â Tanya Andra. Mauri yang hari itu menerima ajakan Andra untuk makan siang bersama hanya mendengkus, sebenarnya dia tidak ingin membahas masalah keluarga, tapi untuk saat ini hanya Andra lah yang bisa dijadikannya teman bicara. "Pulang ke rumah sama saja masuk kembali ke sangkar besi," balas Mauri.Karena memiliki papa yang terlalu over protektif, Mauri sampai tidak memiliki sahabat. Kesalahan sekecil apapun dari orang yang dekat dengannya bisa membuat sang Papa murka lantas membuat teman-temannya menjauh satu persatu. Setel
Oriaga berjalan masuk ke tempat tinggalnya sambil memeluk Shanaya dari belakang, istrinya itu terlihat senang meskipun tadi harus dibuat menangis karena kesal juga haru. Shanaya tak menduga, Isaak akan memberinya kejutan seperti itu, bahkan papanya sengaja tidak memberitahu Issa karena takut rencananya akan berantakan. âApa kamu bahagia hari ini?â Oriaga berbisik mesra di telinga Shanaya, dia menoleh memandangi wajah Shanaya yang mengangguk sambil menyunggingkan senyuman masih dalam posisi dia memeluk dari belakang. âBahagia sekali, mereka tidak jadi kembali ke Belanda aku sangat senang, kalau bisa terus saja begini, meski aku yakin tidak mungkin, perusahaan Papa tidak bisa terus-terusan ditangani dari jarak jauh.â Oriaga menarik sudut bibir mendengar pemikiran Shanaya yang menurutnya kini semakin dewasa. Walaupun sejak pertama bertemu, Oriaga sudah menyadari bahwa sang pujaan hati memang terpaksa menjadi lebih dewasa karena keadaan. Namun, tetap saja kekaguman itu terus merajai ha
Kirana dan Elkan sudah mirip pasangan suami istri dengan anak mereka yang sangat imut dan cantik. Shanaya pun melempar senyum ke Kirana dan memutuskan untuk menunda sebentar acara belanjanya karena keponakan Oriaga itu kini mendekat ke arah mereka.âHalo, Celine.â Shanaya menoleh Oriaga yang lebih dulu menyapa bayi itu, dia tak menyangka kalau Oriaga seramah ini bahkan sampai mengambil Celine dari gendongan Kirana. âDia tidak menangis?â Shanaya malah kebingungan karena Celine anteng saja berada di gendongan sang suami. âKenapa menangis, dia sudah biasa kok bermain dengan Paman.â Jawaban Kirana yang enteng jelas menunjukkan kalau hal itu sebuah fakta. Shanaya mengerutkan kening. Ternyata ada beberapa hal yang berubah dari sosok pria yang dicintainya ini â yang ternyata masih belum dia tahu. âNgomong-ngomong Celine memanggilmu apa? Kakek? Grandpa? Lalu apa aku akan dipanggil nenek?â Wajah Shanaya berubah lucu, dia menunjuk hidung dengan telunjuk sampai Elkan yang baru saja selesai m
"Ya sudah kamu ganti popoknya sana!" Oriaga benar-benar menjauh. Tak pernah sekalipun Tuan besar sepertinya melihat hal jorok semacam ini.âItu tinggal ganti saja popoknya Oom!â perintah Shanaya sambil menunjuk ke popok yang sudah dia siapkan di samping Celine.âNanti nunggu Pak Wira saja. Aku takut salah geser dan malah mengotori tempat tidur kita,â tolak Oriaga karena belum pernah melakukan dan sebenarnya enggan membantu mengganti popok Celine.Sementara Oriaga dan Shanaya masih berdebat, Celine terlihat semakin menangis karena merasa tidak nyaman. Shanaya bahkan bingung harus bagaimana.âYa sudah aku akan membersihkannya. Tapi apa benar sedikitpun kamu tidak bisa membantu!â Shanaya mengamuk karena Celine semakin menangis kencang.Oriaga merasa sedikit gentar karena terkena marah Shanaya. Akhirnya dia pun membantu meski dengan susah payah karena belum terbiasa. Oriaga bersyukur Shanaya mau mengambil dan membuang popok bekas milik Celine lalu membersihkan pantat bayi itu menggunakan
Hari itu mungkin menjadi hari yang paling ditunggu oleh semua orang. Sebuah pesta pernikahan digelar megah, senyum serta canda tampak kentara di wajah keluarga terutama dua pasang mempelai yang kini sedang berdansa. Oriaga melihat Shanaya yang tersenyum, lantas mendekatkan bibir ke telinga istrinya itu kemudian berbisik, âApa kamu ingin pesta pernikahan seperti ini?â Shanaya semakin melebarkan senyum lantas menoleh suaminya. âBukankah sudah terlambat kalau kita membuat pesta?â tanya balik Shanaya. Oriaga menanggapi ucapan Shanaya dengan senyuman karena apa yang dikatakan memang benar. Pesta pernikahan Andra, Mauri, Elkan, dan Kirana berlangsung hari itu. Shanaya menatap ke para pengantin baru itu, setelah semua yang dilalui, kini semua orang mendapat kebahagiaan tak terkecuali. âMereka sangat bahagia,â ucap Shanaya ke Oriaga. âKita juga,â balas pria itu sambil menggenggam erat tangan Shanaya. Shanaya melebarkan senyum lantas menyandarkan kepala di pundak Oriaga.
Pagi itu selepas Oriaga berangkat ke kantor, Shanaya tampak duduk di taman bersama Pak Wira yang punya tugas tambahan mengawasinya satu kali dua puluh empat jam.Pak Wira terlihat membawa buku catatan dan pulpen di tangannya. Pria tua itu membenarkan letak kacamata yang bertengger di hidung sebelum berkata,âSaya sudah membuat daftar barang yang harus disiapkan sebelum Anda melahirkan.âTernyata diam-diam Pak Wira memiliki catatan barang apa saja yang harus disiapkan Shanaya untuk menyambut kelahiran anaknya.Shanaya pun memperhatikan Pak Wira yang memegang buku catatan itu, hingga mulai membaca apa saja yang tertulis di sana.âBaju new born lima lusin, baju tidur tiga lusin, selimut sepuluh, sepatu sepuluh, lalu--â Belum juga Pak Wira selesai menyebutkan semua barang yang dicatat, Shanaya sudah menghentikan pria itu.âKenapa banyak sekali, Pak? Bayi tidak perlu baju sebanyak itu, lagipula yang Pak Wira sebutkan itu baju, bukan popok sekali pakai,â ucap Shanaya.âMemangnya Pak Wira men
âKenapa mendadak seperti ini? Sebenarnya tidak perlu dijemput tidak apa-apa, aku bisa pergi ke sana sendiri,â ucap Mauri. Dia terkejut karena Andra tiba-tiba menghubungi.âItu Kirana sudah di bawah, tidak masalah! Pergi saja bersama dengannya,â ucap Andra dari seberang panggilan.Mauri benar-benar tak percaya mendengar ucapan Andra, tapi karena tak ingin Kirana lama menunggu, Mauri pun buru-buru menyambar tasnya menuju lobi.Hari itu secara mendadak Andra memberitahu bahwa Kirana akan datang untuk mengajak Mauri pergi ke butik.Mauri yang merasa belum mengenal dekat Kirana jelas merasa sungkan, apalagi saat sampai di lobi Kirana sudah berdiri di sana lantas menghampirinya.âApak amu sudah siap?â tanya Kirana saat bertemu sang calon kakak ipar. Mauri kaget sekaligus senang mendapati sikap ramah Kirana. Namun, masih ada sedikit rasa sungkan di hatinya, hingga Mauri hanya mengangguk membalas pertanyaan Kirana.Tak menunggu lama Kirana pun mengajak Mauri masuk ke mobilnya yang masih terp
Baru saja masuk kamar, tapi Oriaga langsung ditodong pertanyaan dari Shanaya yang ternyata menunggu dirinya pulang. Shanaya yang sedang bersantai duduk di atas ranjang seketika menegakkan badan. Wanita itu antusias bertanya,âBagaimana tadi pertemuan dengan orang tuanya Mauri?â âLancar dan tentu saja Ayah Mauri langsung merestui,â jawab Oriaga. Oriaga berjalan mendekat ke Shanaya yang sejak tadi ternyata sedang membaca buku. Oriaga naik ke ranjang, lantas tanpa permisi mengambil buku Shanaya kemudian berbaring terlentang untuk membaca buku itu. âKenapa bacanya sambil berbaring? Baca sambil duduk, nanti matamu sakit kalau membaca dengan posisi seperti itu,â ucap Shanaya sambil menatap Oriaga. âAku memang sudah 43 tahun, tapi mataku ini masih bisa melihat dengan jelas. Kamu tenang saja,â balas Oriaga dengan santainya tanpa mengganti posisi. âSombong, awas saja nanti kalau kamu mengeluh matamu gatal atau berair.â Shanaya bicara dengan nada candaan, dia menggeser dudu
Malam harinya Andra pun pergi ke rumah orang tua Mauri bersama Oriaga dan Masayu. Andra tak bisa bersikap tenang, dia terlihat sangat gugup saat baru saja turun dari mobil.âJangan gugup, tarik napas panjang lalu embuskan perlahan,â ucap Masayu sambil merapikan kemeja Andra. Dia memulas senyum, menyadari bahwa sang putra mungkin sedang tidak baik-baik saja.Andra menatap sang mama, dia mengangguk kemudian melakukan apa yang dikatakan oleh Masayu.Masayu kemudian menggandeng tangan Andra, bersama Oriaga berjalan menuju pintu rumah Abraham.Saat sampai di depan rumah, ibu Mauri menyambut mereka dengan ramah meski wanita itu terlihat pucat dan tubuhnya masih kurang bugar.âApa Anda baik-baik saja? Jika masih kurang sehat, seharusnya tak perlu menyambut kami di depan,â ucap Masayu berpindah menggandeng tangan ibu Mauri.Ibu Mauri pun mengajak semuanya masuk sambil digandeng Masayu. Meski baru pertama kali bertemu, tapi mereka tampak dekat.âApa kondisi Anda sudah membaik?â tanya Masayu ka
Andra sudah sangat panik hingga memutuskan membuang status sebagai atasan dan bawahan lalu mencoba menghubungi nomor pamannya sendiri. âAda apa?â Suara Oriaga terdengar dari seberang panggilan. Detak jantung Andra seketika mulai normal kembali, dia terlihat sangat lega karena panggilannya dijawab oleh Oriaga. âPaman ada di mana?â tanya Andra dengan suara yang masih panik. âAku sedang ada urusan di luar,â jawab Oriaga, âada apa?â tanya pria itu lagi. âBagini Paman, ayah Mauri memintaku membawa Paman ke rumahnya nanti malam." Andra memberitahu Oriaga tanpa ada lagi basa-basi. âSudah kuduga karena hal itu kamu menghubungi dengan suara panik seperti ini,â ucap Oriaga dari seberang panggilan. âBagaimana aku tidak panik, aku ke ruangan Paman dan di sana sepi, bagaimana jika tiba-tiba saja Paman ke luar kota,â balas Andra. âTenang saja, aku akan datang dan memastikan kalau kamu akan menikah dengan Mauri,â ucap Oriaga mencoba menenangkan Andra. Andra pun bernapas dengan
Setelah berbincang dengan Oriaga, Andra tak menunggu lama untuk menghubungi Mauri, memberitahu kabar baik yang didapatnya.âApa kamu masih di rumah sakit?â tanya Andra saat panggilannya dijawab Mauri.âIya,â jawab Mauri dari seberang panggilan.âAku sudah menemui pamanku, dia setuju untuk membantu kita,â ucap Andra lagi. Ia mendengar suara helaan napas kasar dari seberang panggilan, hingga kemudian Mauri bicara.âSyukurlah kalau memang seperti itu.âAda kelegaan di wajah Mauri yang tidak bisa Andra lihat karena mereka tidak sedang bersama. Bahkan jika saat ini berdekatan Mauri sangat ingin memeluk erat Andra.âSampaikan ke papamu, pamanku bilang ingin bertemu, mau di rumah utama atau di rumahmu terserah yang penting papamu percaya.ââHm ⌠aku akan coba bertanya dulu ke Papa,â balas Mauri dari seberang panggilan.âAku akan menunggu kabar darimu, kalau bisa cepatnya,â ucap Andra.âPasti aku kabari segera,â balas Mauri. âOh ⌠ya, hari ini aku izin tidak ke kantor sehari lagi, aku sedang
Pagi itu Andra datang ke rumah utama. Saat sampai di sana, dia bertemu dengan Shanaya yang baru saja keluar dari lift dan heran melihat kedatangannya. Andra awalnya hendak menyapa, tapi melihat rambut Shanaya yang basah di pagi hari membuat Andra tertegun, bahkan pikiran pria itu sampai ke mana-mana. âAndra, tumben kamu datang pagi sekali?â sapa Shanaya. âIya." Andra menjawab sekenanya. Masih kaget karena pikiran liar di kepala. âItu ... memangnya wanita hamil boleh sering melakukan .... ?â Andra menjeda lisan, tanpa sadar mengungkapkan isi kepala. Shanaya terkejut mendengar pertanyaan Andra, hingga dia pun membalas, âMaksudmu bercinta? Itu malah sangat penting untuk menjaga kestabilan hormon.â Andra mengedip beberapa kali, dia bingung mendengar penjelasan Shanaya. Namun, agak sungkan untuk bertanya. âMakanya kamu cepetan nikah supaya tahu hal semacam ini,â ucap Shanaya saat melihat Andra bingung. Andra mengerucutkan bibir mendengar hinaan Shanaya, hingga dia pun mem
âTidak bisa! Aku harus bicara serius ke papamu, jika masalah ini tidak dibereskan dan dituntaskan, maka akan terus berlarut,â ujar Andra mencoba meyakinkan Mauri.Mauri tertegun melihat Andra yang terlihat serius, hingga akhirnya mengangguk pelan mengizinkan pria itu pergi. âBaiklah, tapi hati-hati,â ucap Mauri yang masih menyimpan perasaan cemas.Andra mengangguk lalu menyentuh lembut pipi Mauri, dia lantas menoleh ke ibu Mauri yang terbaring lemah. Dia tersenyum tipis ke wanita itu seolah meminta izin.Setelahnya Andra pun keluar dari kamar inap itu, dan berlari mengejar Abraham yang berjalan di koridor hingga menghadang dan membuat Abraham berhenti melangkah.âTunggu, saya ingin bicara dengan Anda,â ucap Andra. Meskipun menerima perlakuan buruk, tapi dia tetap bersikap sopan.Abraham terlihat kesal melihat Andra. Pria itu tak mau bicara, lebih memilih berjalan melewati Andra lagi tapi kembali dihadang.âIzinkan saya bicara pada Anda Pak,â ucap Andra membujuk.âTidak ada yang perlu