Kirana dan Elkan sudah mirip pasangan suami istri dengan anak mereka yang sangat imut dan cantik. Shanaya pun melempar senyum ke Kirana dan memutuskan untuk menunda sebentar acara belanjanya karena keponakan Oriaga itu kini mendekat ke arah mereka.“Halo, Celine.” Shanaya menoleh Oriaga yang lebih dulu menyapa bayi itu, dia tak menyangka kalau Oriaga seramah ini bahkan sampai mengambil Celine dari gendongan Kirana. “Dia tidak menangis?” Shanaya malah kebingungan karena Celine anteng saja berada di gendongan sang suami. “Kenapa menangis, dia sudah biasa kok bermain dengan Paman.” Jawaban Kirana yang enteng jelas menunjukkan kalau hal itu sebuah fakta. Shanaya mengerutkan kening. Ternyata ada beberapa hal yang berubah dari sosok pria yang dicintainya ini — yang ternyata masih belum dia tahu. “Ngomong-ngomong Celine memanggilmu apa? Kakek? Grandpa? Lalu apa aku akan dipanggil nenek?” Wajah Shanaya berubah lucu, dia menunjuk hidung dengan telunjuk sampai Elkan yang baru saja selesai m
"Ya sudah kamu ganti popoknya sana!" Oriaga benar-benar menjauh. Tak pernah sekalipun Tuan besar sepertinya melihat hal jorok semacam ini.“Itu tinggal ganti saja popoknya Oom!” perintah Shanaya sambil menunjuk ke popok yang sudah dia siapkan di samping Celine.“Nanti nunggu Pak Wira saja. Aku takut salah geser dan malah mengotori tempat tidur kita,” tolak Oriaga karena belum pernah melakukan dan sebenarnya enggan membantu mengganti popok Celine.Sementara Oriaga dan Shanaya masih berdebat, Celine terlihat semakin menangis karena merasa tidak nyaman. Shanaya bahkan bingung harus bagaimana.“Ya sudah aku akan membersihkannya. Tapi apa benar sedikitpun kamu tidak bisa membantu!” Shanaya mengamuk karena Celine semakin menangis kencang.Oriaga merasa sedikit gentar karena terkena marah Shanaya. Akhirnya dia pun membantu meski dengan susah payah karena belum terbiasa. Oriaga bersyukur Shanaya mau mengambil dan membuang popok bekas milik Celine lalu membersihkan pantat bayi itu menggunakan
“Sepertinya ada yang menekan bel,” ucap Shanaya sambil menahan dada Oriaga yang sudah berada di atas tubuhnya malam itu.“Sudah abaikan saja, lagi pula siapa juga yang malam-malam ingin datang bertamu,” balas Oriaga yang tak ingin momen kebersamaannya dengan Shanaya terganggu. Oriaga mencium bibir Shanaya lembut, mengusap pipi gadis itu dan hendak memulai foreplay mereka saat lagi-lagi bel pintu penthouse berbunyi.“Ish, itu belnya berbunyi lagi. Coba lihat dulu! Mungkin Papa atau Pak Wira, siapa tahu ada hal penting,” ujar Shanaya. Dia menepuk lengan meminta Oriaga agar menyingkir dari atas tubuhnya.Oriaga pun mencebik kesal, meski begitu dia akhirnya bangkit keluar lantas melihat siapa yang datang malam-malam dan mengganggu waktu bercintanya. Dia tampak semakin kesal setelah mengintip dari monitor yang terpasang di dinding, karena ternyata Isaak lah yang menekan bel berulang kali.“Papamu itu mau apa malam-malam datang ke sini,” ujar Oriaga sambil menoleh Shanaya yang mengekor di
Hari itu selama sehari penuh Shanaya betah berada di rumah Isaak karena ada bayi Amora yang baru saja lahir. Dia sangat suka dengan bayi laki-laki itu, apalagi saat mencium wangi dari parfum bayi yang menguar.“Kalau capek menggendongnya, taruh saja di box,” ucap Amora karena Shanaya terus memangku Xavi — putra keduanya dan Isaak.“Tidak, aku tidak capek, Ma. Aku suka menimangnya seperti ini,” balas Shanaya.“Apa kaamu tidak mau pulang? Ini sudah malam, bagaimana kalau Oriaga mencarimu?” tanya Amora karena Shanaya berada di sana sejak pagi hingga malam hari.“Kalau dia sudah pulang, paling juga akan mencari ke sini, Mama tidak perlu cemas,” jawab Shanaya.“Kalau Mama capek, tidur saja dulu, biar aku yang menjaga Xavi,” ujar Shanaya lagi karena senang memiliki adik bayi.Amora hanya mengedikkan bahu, lantas memilih beristirahat sejenak karena menjadi ibu baru memang sedikit melelahkan.Sementara itu, tanpa Shanaya tahu Oriaga baru saja pulang. Pria itu sudah masuk ke penthousenya dan b
"Hadeh Nona, bagi orang yang sudah menikah mengingat kapan waktu datang bulan itu sangat penting."Shanaya menekuk bibir, sejenak memikirkan ucapan Pak Wira setelah itu membalas.“Tidak usahlah, Pak. Aku yakin hanya masuk angin."“Coba tes saja, tidak ada salahnya Nona mencoba. Lagipula saya sudah susah payah membelinya di apotek, sampai-sampai penjaga apotek menatap aneh karena mungkin berpikir kenapa aki-aki macam saya ini membeli testpack,” ujar pak Wira sedikit memaksa.Shanaya masih bergeming menatap testpack itu, sebelum mengangsurkan tatapan ke Pak Wira yang masih menyodorkan barang itu di depan mukanya. “Tidak ada salahnya dicoba, biar tidak penasaran juga, Nona,” ucap Pak Wira lagi.Shanaya pun akhirnya mau menerima tetspack itu karena Pak Wira terus memaksa.“Ya sudah, tapi aku gunakan nanti saja,” ucap Shanaya lantas menyimpan testpack itu di laci.“Ingat, jangan lupa dipakai!" Pak Wira mengingatkan sebelum pergi meninggalkan Shanaya di kamar sendirian.Shanaya memperhatik
Hari itu cuaca tidak begitu panas juga tidak tampak seperti akan turun hujan, langit seperti mendukung apa yang akan Shanaya lakukan hari itu.Shanaya menoleh Oriaga yang sedang mengemudi. Meski sempat berdebat, tapi dia akhirnya berhasil mengajak Oriaga pergi ke rumah Nugroho. Sesaat setelah sampai di sana, Shanaya dan Oriaga sama-sama dibuat terkejut karena melihat sebuah kedai makanan di depan rumah Nugroho. Kedai itu bahkan tampak ramai pembeli. Shanaya yang awalnya bingung pun seketika merasa bersyukur karena Ariani mau bekerja.“Ibu tirimu benar-benar serius membuka usaha sendiri," ucap Oriaga saat baru saja memarkirkan mobil. "Hm ... setidaknya dia berubah dan tak lagi seenaknya memanfaatkan orang lain demi keuntungan pribadi,” balas Shanaya sambil memulas senyum.Oriaga pun mengangguk, mereka keluar dari mobil bersama lantas berjalan menuju rumah.Shanaya terus memperhatikan Ariani yang sedang melayani pelanggan. Ariani yang melihat kedatangan Oriaga dan Shanaya, lantas meno
Hari itu Oriaga mengajak Shanaya pergi ke rumah utama, karena sudah lama mereka tidak menginjakkan kaki di sana. Sebenarnya Oriaga juga ingin melihat bagaimana reaksi Shanaya sebelum dia mengajak calon ibu dari anaknya itu kembali tinggal di sana. Shanaya tampak bersikap biasa, meskipun dalam hati dia merasa sedih sekaligus senang. Bagaimanapun juga rumah utama memberikan banyak kenangan baginya, setiap sudut rumah itu seolah memiliki cerita tersendiri.“Rumahnya masih sama,” ucap Shanaya sambil menatap rumah mewah itu.“Memangnya kamu pikir akan berubah seperti apa?” Oriaga malah menanggapi ucapan Shanaya dengan candaan, hingga membuat sang istri tertawa. “Ayo keluar!” ajak Oriaga sambil membuka pintu mobil.Shanaya pun menganggukkan kepala, dia melepas seatbelt sambil memandang Oriaga yang selalu membuatnya terpesona. Oriaga bergegas membukakan pintu sebelum pelayan mendekat, pria itu bahkan meletakkan tangan di atas kepala Shanaya.“Selamat datang.”Pak Wira dan pelayan menyambut
“Kalian datang.” Amora terlihat senang melihat Shanaya datang bersama Oriaga ke penthousenya sore itu. Padahal hampir setiap hari sang anak dan menantunya datang.Shanaya hanya mengangguk membalas ucapan Amora. Dia kemudian duduk di samping baby box tempat Xavi berbaring.“Dia lucu sekali,” ucap Shanaya sambil menusuk-nusuk pelan pipi adik bayinya itu.“Kalian dari mana? Apa dari rumah utama langsung ke sini?” tanya Isaak yang kebetulan juga sudah berada di sana. Pria itu mendekat sambil mengaduk cairan pekat bercampur susu di cangkir. Oriaga langsung melirik Isaak, tentu saja ada arti dari tatapan matanya itu.“Tidak! Kami baru saja dari rumah sakit untuk melihat calon bayi kami,” jawab Oriaga penuh rasa bangga. Meskipun di dalam hati dia sedikit kesal karena lupa menanyakan hal penting ke dokter kandungan. Amora dan Isaak langsung saling tatap. Mereka hampir saja tertawa, lantas melihat Oriaga yang mengeluarkan sesuatu dari saku kemeja.“Lihat, ini hasil USG calon bayi kami. Dia p
Hari itu mungkin menjadi hari yang paling ditunggu oleh semua orang. Sebuah pesta pernikahan digelar megah, senyum serta canda tampak kentara di wajah keluarga terutama dua pasang mempelai yang kini sedang berdansa. Oriaga melihat Shanaya yang tersenyum, lantas mendekatkan bibir ke telinga istrinya itu kemudian berbisik, “Apa kamu ingin pesta pernikahan seperti ini?” Shanaya semakin melebarkan senyum lantas menoleh suaminya. “Bukankah sudah terlambat kalau kita membuat pesta?” tanya balik Shanaya. Oriaga menanggapi ucapan Shanaya dengan senyuman karena apa yang dikatakan memang benar. Pesta pernikahan Andra, Mauri, Elkan, dan Kirana berlangsung hari itu. Shanaya menatap ke para pengantin baru itu, setelah semua yang dilalui, kini semua orang mendapat kebahagiaan tak terkecuali. “Mereka sangat bahagia,” ucap Shanaya ke Oriaga. “Kita juga,” balas pria itu sambil menggenggam erat tangan Shanaya. Shanaya melebarkan senyum lantas menyandarkan kepala di pundak Oriaga.
Pagi itu selepas Oriaga berangkat ke kantor, Shanaya tampak duduk di taman bersama Pak Wira yang punya tugas tambahan mengawasinya satu kali dua puluh empat jam.Pak Wira terlihat membawa buku catatan dan pulpen di tangannya. Pria tua itu membenarkan letak kacamata yang bertengger di hidung sebelum berkata,“Saya sudah membuat daftar barang yang harus disiapkan sebelum Anda melahirkan.”Ternyata diam-diam Pak Wira memiliki catatan barang apa saja yang harus disiapkan Shanaya untuk menyambut kelahiran anaknya.Shanaya pun memperhatikan Pak Wira yang memegang buku catatan itu, hingga mulai membaca apa saja yang tertulis di sana.“Baju new born lima lusin, baju tidur tiga lusin, selimut sepuluh, sepatu sepuluh, lalu--” Belum juga Pak Wira selesai menyebutkan semua barang yang dicatat, Shanaya sudah menghentikan pria itu.“Kenapa banyak sekali, Pak? Bayi tidak perlu baju sebanyak itu, lagipula yang Pak Wira sebutkan itu baju, bukan popok sekali pakai,” ucap Shanaya.“Memangnya Pak Wira men
“Kenapa mendadak seperti ini? Sebenarnya tidak perlu dijemput tidak apa-apa, aku bisa pergi ke sana sendiri,” ucap Mauri. Dia terkejut karena Andra tiba-tiba menghubungi.“Itu Kirana sudah di bawah, tidak masalah! Pergi saja bersama dengannya,” ucap Andra dari seberang panggilan.Mauri benar-benar tak percaya mendengar ucapan Andra, tapi karena tak ingin Kirana lama menunggu, Mauri pun buru-buru menyambar tasnya menuju lobi.Hari itu secara mendadak Andra memberitahu bahwa Kirana akan datang untuk mengajak Mauri pergi ke butik.Mauri yang merasa belum mengenal dekat Kirana jelas merasa sungkan, apalagi saat sampai di lobi Kirana sudah berdiri di sana lantas menghampirinya.“Apak amu sudah siap?” tanya Kirana saat bertemu sang calon kakak ipar. Mauri kaget sekaligus senang mendapati sikap ramah Kirana. Namun, masih ada sedikit rasa sungkan di hatinya, hingga Mauri hanya mengangguk membalas pertanyaan Kirana.Tak menunggu lama Kirana pun mengajak Mauri masuk ke mobilnya yang masih terp
Baru saja masuk kamar, tapi Oriaga langsung ditodong pertanyaan dari Shanaya yang ternyata menunggu dirinya pulang. Shanaya yang sedang bersantai duduk di atas ranjang seketika menegakkan badan. Wanita itu antusias bertanya,“Bagaimana tadi pertemuan dengan orang tuanya Mauri?” “Lancar dan tentu saja Ayah Mauri langsung merestui,” jawab Oriaga. Oriaga berjalan mendekat ke Shanaya yang sejak tadi ternyata sedang membaca buku. Oriaga naik ke ranjang, lantas tanpa permisi mengambil buku Shanaya kemudian berbaring terlentang untuk membaca buku itu. “Kenapa bacanya sambil berbaring? Baca sambil duduk, nanti matamu sakit kalau membaca dengan posisi seperti itu,” ucap Shanaya sambil menatap Oriaga. “Aku memang sudah 43 tahun, tapi mataku ini masih bisa melihat dengan jelas. Kamu tenang saja,” balas Oriaga dengan santainya tanpa mengganti posisi. “Sombong, awas saja nanti kalau kamu mengeluh matamu gatal atau berair.” Shanaya bicara dengan nada candaan, dia menggeser dudu
Malam harinya Andra pun pergi ke rumah orang tua Mauri bersama Oriaga dan Masayu. Andra tak bisa bersikap tenang, dia terlihat sangat gugup saat baru saja turun dari mobil.“Jangan gugup, tarik napas panjang lalu embuskan perlahan,” ucap Masayu sambil merapikan kemeja Andra. Dia memulas senyum, menyadari bahwa sang putra mungkin sedang tidak baik-baik saja.Andra menatap sang mama, dia mengangguk kemudian melakukan apa yang dikatakan oleh Masayu.Masayu kemudian menggandeng tangan Andra, bersama Oriaga berjalan menuju pintu rumah Abraham.Saat sampai di depan rumah, ibu Mauri menyambut mereka dengan ramah meski wanita itu terlihat pucat dan tubuhnya masih kurang bugar.“Apa Anda baik-baik saja? Jika masih kurang sehat, seharusnya tak perlu menyambut kami di depan,” ucap Masayu berpindah menggandeng tangan ibu Mauri.Ibu Mauri pun mengajak semuanya masuk sambil digandeng Masayu. Meski baru pertama kali bertemu, tapi mereka tampak dekat.“Apa kondisi Anda sudah membaik?” tanya Masayu ka
Andra sudah sangat panik hingga memutuskan membuang status sebagai atasan dan bawahan lalu mencoba menghubungi nomor pamannya sendiri. “Ada apa?” Suara Oriaga terdengar dari seberang panggilan. Detak jantung Andra seketika mulai normal kembali, dia terlihat sangat lega karena panggilannya dijawab oleh Oriaga. “Paman ada di mana?” tanya Andra dengan suara yang masih panik. “Aku sedang ada urusan di luar,” jawab Oriaga, “ada apa?” tanya pria itu lagi. “Bagini Paman, ayah Mauri memintaku membawa Paman ke rumahnya nanti malam." Andra memberitahu Oriaga tanpa ada lagi basa-basi. “Sudah kuduga karena hal itu kamu menghubungi dengan suara panik seperti ini,” ucap Oriaga dari seberang panggilan. “Bagaimana aku tidak panik, aku ke ruangan Paman dan di sana sepi, bagaimana jika tiba-tiba saja Paman ke luar kota,” balas Andra. “Tenang saja, aku akan datang dan memastikan kalau kamu akan menikah dengan Mauri,” ucap Oriaga mencoba menenangkan Andra. Andra pun bernapas dengan
Setelah berbincang dengan Oriaga, Andra tak menunggu lama untuk menghubungi Mauri, memberitahu kabar baik yang didapatnya.“Apa kamu masih di rumah sakit?” tanya Andra saat panggilannya dijawab Mauri.“Iya,” jawab Mauri dari seberang panggilan.“Aku sudah menemui pamanku, dia setuju untuk membantu kita,” ucap Andra lagi. Ia mendengar suara helaan napas kasar dari seberang panggilan, hingga kemudian Mauri bicara.“Syukurlah kalau memang seperti itu.”Ada kelegaan di wajah Mauri yang tidak bisa Andra lihat karena mereka tidak sedang bersama. Bahkan jika saat ini berdekatan Mauri sangat ingin memeluk erat Andra.“Sampaikan ke papamu, pamanku bilang ingin bertemu, mau di rumah utama atau di rumahmu terserah yang penting papamu percaya.”“Hm … aku akan coba bertanya dulu ke Papa,” balas Mauri dari seberang panggilan.“Aku akan menunggu kabar darimu, kalau bisa cepatnya,” ucap Andra.“Pasti aku kabari segera,” balas Mauri. “Oh … ya, hari ini aku izin tidak ke kantor sehari lagi, aku sedang
Pagi itu Andra datang ke rumah utama. Saat sampai di sana, dia bertemu dengan Shanaya yang baru saja keluar dari lift dan heran melihat kedatangannya. Andra awalnya hendak menyapa, tapi melihat rambut Shanaya yang basah di pagi hari membuat Andra tertegun, bahkan pikiran pria itu sampai ke mana-mana. “Andra, tumben kamu datang pagi sekali?” sapa Shanaya. “Iya." Andra menjawab sekenanya. Masih kaget karena pikiran liar di kepala. “Itu ... memangnya wanita hamil boleh sering melakukan .... ?” Andra menjeda lisan, tanpa sadar mengungkapkan isi kepala. Shanaya terkejut mendengar pertanyaan Andra, hingga dia pun membalas, “Maksudmu bercinta? Itu malah sangat penting untuk menjaga kestabilan hormon.” Andra mengedip beberapa kali, dia bingung mendengar penjelasan Shanaya. Namun, agak sungkan untuk bertanya. “Makanya kamu cepetan nikah supaya tahu hal semacam ini,” ucap Shanaya saat melihat Andra bingung. Andra mengerucutkan bibir mendengar hinaan Shanaya, hingga dia pun mem
“Tidak bisa! Aku harus bicara serius ke papamu, jika masalah ini tidak dibereskan dan dituntaskan, maka akan terus berlarut,” ujar Andra mencoba meyakinkan Mauri.Mauri tertegun melihat Andra yang terlihat serius, hingga akhirnya mengangguk pelan mengizinkan pria itu pergi. “Baiklah, tapi hati-hati,” ucap Mauri yang masih menyimpan perasaan cemas.Andra mengangguk lalu menyentuh lembut pipi Mauri, dia lantas menoleh ke ibu Mauri yang terbaring lemah. Dia tersenyum tipis ke wanita itu seolah meminta izin.Setelahnya Andra pun keluar dari kamar inap itu, dan berlari mengejar Abraham yang berjalan di koridor hingga menghadang dan membuat Abraham berhenti melangkah.“Tunggu, saya ingin bicara dengan Anda,” ucap Andra. Meskipun menerima perlakuan buruk, tapi dia tetap bersikap sopan.Abraham terlihat kesal melihat Andra. Pria itu tak mau bicara, lebih memilih berjalan melewati Andra lagi tapi kembali dihadang.“Izinkan saya bicara pada Anda Pak,” ucap Andra membujuk.“Tidak ada yang perlu