Geng Shanaya dan Uncle Ori udah mendekati akhir. Tentu saja akan ada gantinya ya. tapi karena aku penulis eksklusif GN jadi aku harus ikut saran PF buat nulis kisah yang kek gimana. Jadi semoga kalian yang nungguin Tsamara ga kecewa, nanti aku jelasin di medsossku ya soal ini. Makasih geng
“Tidak semudah itu, Ori!” Shanaya mengerutkan kening, sedangkan Oriaga hanya menatap datar Isaak yang baru saja menolak permintaan tulusnya untuk kembali menikahi Shanaya. Pria matang itu datang ke tempat Isaak, merendahkan diri setelah sepakat dengan Shanaya harus meminta izin dulu ke papa kandungnya sebelum melanjutkan hubungan mereka. Ya, apapun Oriaga lakukan demi cinta, termasuk bersikap ramah dan hormat ke Isaak yang sering dia sebut brengsek. “Anakku mengalami banyak cobaan dan musibah saat menjadi istrimu, jadi aku tidak bisa dengan mudah memberikan izin kali ini, karena aku ti … “ “Papa tidak boleh menolak niat tulus Oom Ori, kalau Papa tidak merestui, lihat saja kami akan kawin lari!” Potong Shanaya setengah emosi. Wajahnya bahkan sudah berubah masam menyadari Isaak menolak permohonan Oriaga, sedangkan Oriaga masih mencoba bersikap tenang, pria itu menahan paha Shanaya agar tidak berdiri dari kursi. “Kawin lari? Bagaimana caranya orang kawin lari? Hewan saja tidak pakai
Satu bulan kemudian Shanaya memandang Isaak yang sibuk memasukkan bajunya ke dalam koper. Esok pria itu, Amora juga Issa akan kembali ke Belanda. Tentu saja Shanaya tidak akan turut serta, apalagi sudah ada Oriaga yang sudah berjanji menjaganya. “Aku tidak percaya si brengsek itu kembali jadi menantuku,” ucap Isaak. Dia menutup kopernya secara kasar. Lalu bersungut-sungut meletakkannya di sisi ranjang. Shanaya sadar kalau Isaak bersikap seperti ini karena mencemaskan dirinya, hingga dia mendekat dan memeluk pinggang pria itu dari belakang. “Papa, meski dulu aku pernah berharap tidak menjadi anak Papa, tapi sekarang aku bahagia karena bagaimanapun Papa sudah memberikan kehidupan baru yang jauh lebih baik untukku, terima kasih.” Shanaya berbicara dengan nada sangat tulus. Dia menggelayuti Isaak lantas pria itu pun menoleh memandanginya yang bersikap manja. “Jangan menatapku seperti itu!” Isaak mendengkus, pundaknya sampai luruh seiring dengan pelukan Shanaya yang perlahan melonggar.
“Apa kamu benar sudah merelakannya?” “Hm … lagipula dia juga sudah kembali menikah dengan Pamanku.” Andra tersenyum penuh ketulusan. Pemuda itu sudah berada di batasnya, menyadari bahwa mencintai seseorang tidaklah bisa dipaksakan. Sebesar apapun keinginan Andra memiliki Shanaya, hal itu tidak akan pernah akan terwujud karena hati manusia tak bisa dipaksa. “Kamu sendiri, apa masih ingin terus seperti ini? Bukankah Mamamu sudah memintamu untuk pulang ke rumah?” Tanya Andra. Mauri yang hari itu menerima ajakan Andra untuk makan siang bersama hanya mendengkus, sebenarnya dia tidak ingin membahas masalah keluarga, tapi untuk saat ini hanya Andra lah yang bisa dijadikannya teman bicara. "Pulang ke rumah sama saja masuk kembali ke sangkar besi," balas Mauri.Karena memiliki papa yang terlalu over protektif, Mauri sampai tidak memiliki sahabat. Kesalahan sekecil apapun dari orang yang dekat dengannya bisa membuat sang Papa murka lantas membuat teman-temannya menjauh satu persatu. Setel
Oriaga berjalan masuk ke tempat tinggalnya sambil memeluk Shanaya dari belakang, istrinya itu terlihat senang meskipun tadi harus dibuat menangis karena kesal juga haru. Shanaya tak menduga, Isaak akan memberinya kejutan seperti itu, bahkan papanya sengaja tidak memberitahu Issa karena takut rencananya akan berantakan. “Apa kamu bahagia hari ini?” Oriaga berbisik mesra di telinga Shanaya, dia menoleh memandangi wajah Shanaya yang mengangguk sambil menyunggingkan senyuman masih dalam posisi dia memeluk dari belakang. “Bahagia sekali, mereka tidak jadi kembali ke Belanda aku sangat senang, kalau bisa terus saja begini, meski aku yakin tidak mungkin, perusahaan Papa tidak bisa terus-terusan ditangani dari jarak jauh.” Oriaga menarik sudut bibir mendengar pemikiran Shanaya yang menurutnya kini semakin dewasa. Walaupun sejak pertama bertemu, Oriaga sudah menyadari bahwa sang pujaan hati memang terpaksa menjadi lebih dewasa karena keadaan. Namun, tetap saja kekaguman itu terus merajai ha
Kirana dan Elkan sudah mirip pasangan suami istri dengan anak mereka yang sangat imut dan cantik. Shanaya pun melempar senyum ke Kirana dan memutuskan untuk menunda sebentar acara belanjanya karena keponakan Oriaga itu kini mendekat ke arah mereka.“Halo, Celine.” Shanaya menoleh Oriaga yang lebih dulu menyapa bayi itu, dia tak menyangka kalau Oriaga seramah ini bahkan sampai mengambil Celine dari gendongan Kirana. “Dia tidak menangis?” Shanaya malah kebingungan karena Celine anteng saja berada di gendongan sang suami. “Kenapa menangis, dia sudah biasa kok bermain dengan Paman.” Jawaban Kirana yang enteng jelas menunjukkan kalau hal itu sebuah fakta. Shanaya mengerutkan kening. Ternyata ada beberapa hal yang berubah dari sosok pria yang dicintainya ini — yang ternyata masih belum dia tahu. “Ngomong-ngomong Celine memanggilmu apa? Kakek? Grandpa? Lalu apa aku akan dipanggil nenek?” Wajah Shanaya berubah lucu, dia menunjuk hidung dengan telunjuk sampai Elkan yang baru saja selesai m
"Ya sudah kamu ganti popoknya sana!" Oriaga benar-benar menjauh. Tak pernah sekalipun Tuan besar sepertinya melihat hal jorok semacam ini.“Itu tinggal ganti saja popoknya Oom!” perintah Shanaya sambil menunjuk ke popok yang sudah dia siapkan di samping Celine.“Nanti nunggu Pak Wira saja. Aku takut salah geser dan malah mengotori tempat tidur kita,” tolak Oriaga karena belum pernah melakukan dan sebenarnya enggan membantu mengganti popok Celine.Sementara Oriaga dan Shanaya masih berdebat, Celine terlihat semakin menangis karena merasa tidak nyaman. Shanaya bahkan bingung harus bagaimana.“Ya sudah aku akan membersihkannya. Tapi apa benar sedikitpun kamu tidak bisa membantu!” Shanaya mengamuk karena Celine semakin menangis kencang.Oriaga merasa sedikit gentar karena terkena marah Shanaya. Akhirnya dia pun membantu meski dengan susah payah karena belum terbiasa. Oriaga bersyukur Shanaya mau mengambil dan membuang popok bekas milik Celine lalu membersihkan pantat bayi itu menggunakan
“Sepertinya ada yang menekan bel,” ucap Shanaya sambil menahan dada Oriaga yang sudah berada di atas tubuhnya malam itu.“Sudah abaikan saja, lagi pula siapa juga yang malam-malam ingin datang bertamu,” balas Oriaga yang tak ingin momen kebersamaannya dengan Shanaya terganggu. Oriaga mencium bibir Shanaya lembut, mengusap pipi gadis itu dan hendak memulai foreplay mereka saat lagi-lagi bel pintu penthouse berbunyi.“Ish, itu belnya berbunyi lagi. Coba lihat dulu! Mungkin Papa atau Pak Wira, siapa tahu ada hal penting,” ujar Shanaya. Dia menepuk lengan meminta Oriaga agar menyingkir dari atas tubuhnya.Oriaga pun mencebik kesal, meski begitu dia akhirnya bangkit keluar lantas melihat siapa yang datang malam-malam dan mengganggu waktu bercintanya. Dia tampak semakin kesal setelah mengintip dari monitor yang terpasang di dinding, karena ternyata Isaak lah yang menekan bel berulang kali.“Papamu itu mau apa malam-malam datang ke sini,” ujar Oriaga sambil menoleh Shanaya yang mengekor di
Hari itu selama sehari penuh Shanaya betah berada di rumah Isaak karena ada bayi Amora yang baru saja lahir. Dia sangat suka dengan bayi laki-laki itu, apalagi saat mencium wangi dari parfum bayi yang menguar.“Kalau capek menggendongnya, taruh saja di box,” ucap Amora karena Shanaya terus memangku Xavi — putra keduanya dan Isaak.“Tidak, aku tidak capek, Ma. Aku suka menimangnya seperti ini,” balas Shanaya.“Apa kaamu tidak mau pulang? Ini sudah malam, bagaimana kalau Oriaga mencarimu?” tanya Amora karena Shanaya berada di sana sejak pagi hingga malam hari.“Kalau dia sudah pulang, paling juga akan mencari ke sini, Mama tidak perlu cemas,” jawab Shanaya.“Kalau Mama capek, tidur saja dulu, biar aku yang menjaga Xavi,” ujar Shanaya lagi karena senang memiliki adik bayi.Amora hanya mengedikkan bahu, lantas memilih beristirahat sejenak karena menjadi ibu baru memang sedikit melelahkan.Sementara itu, tanpa Shanaya tahu Oriaga baru saja pulang. Pria itu sudah masuk ke penthousenya dan b
Hari itu mungkin menjadi hari yang paling ditunggu oleh semua orang. Sebuah pesta pernikahan digelar megah, senyum serta canda tampak kentara di wajah keluarga terutama dua pasang mempelai yang kini sedang berdansa. Oriaga melihat Shanaya yang tersenyum, lantas mendekatkan bibir ke telinga istrinya itu kemudian berbisik, “Apa kamu ingin pesta pernikahan seperti ini?” Shanaya semakin melebarkan senyum lantas menoleh suaminya. “Bukankah sudah terlambat kalau kita membuat pesta?” tanya balik Shanaya. Oriaga menanggapi ucapan Shanaya dengan senyuman karena apa yang dikatakan memang benar. Pesta pernikahan Andra, Mauri, Elkan, dan Kirana berlangsung hari itu. Shanaya menatap ke para pengantin baru itu, setelah semua yang dilalui, kini semua orang mendapat kebahagiaan tak terkecuali. “Mereka sangat bahagia,” ucap Shanaya ke Oriaga. “Kita juga,” balas pria itu sambil menggenggam erat tangan Shanaya. Shanaya melebarkan senyum lantas menyandarkan kepala di pundak Oriaga.
Pagi itu selepas Oriaga berangkat ke kantor, Shanaya tampak duduk di taman bersama Pak Wira yang punya tugas tambahan mengawasinya satu kali dua puluh empat jam.Pak Wira terlihat membawa buku catatan dan pulpen di tangannya. Pria tua itu membenarkan letak kacamata yang bertengger di hidung sebelum berkata,“Saya sudah membuat daftar barang yang harus disiapkan sebelum Anda melahirkan.”Ternyata diam-diam Pak Wira memiliki catatan barang apa saja yang harus disiapkan Shanaya untuk menyambut kelahiran anaknya.Shanaya pun memperhatikan Pak Wira yang memegang buku catatan itu, hingga mulai membaca apa saja yang tertulis di sana.“Baju new born lima lusin, baju tidur tiga lusin, selimut sepuluh, sepatu sepuluh, lalu--” Belum juga Pak Wira selesai menyebutkan semua barang yang dicatat, Shanaya sudah menghentikan pria itu.“Kenapa banyak sekali, Pak? Bayi tidak perlu baju sebanyak itu, lagipula yang Pak Wira sebutkan itu baju, bukan popok sekali pakai,” ucap Shanaya.“Memangnya Pak Wira men
“Kenapa mendadak seperti ini? Sebenarnya tidak perlu dijemput tidak apa-apa, aku bisa pergi ke sana sendiri,” ucap Mauri. Dia terkejut karena Andra tiba-tiba menghubungi.“Itu Kirana sudah di bawah, tidak masalah! Pergi saja bersama dengannya,” ucap Andra dari seberang panggilan.Mauri benar-benar tak percaya mendengar ucapan Andra, tapi karena tak ingin Kirana lama menunggu, Mauri pun buru-buru menyambar tasnya menuju lobi.Hari itu secara mendadak Andra memberitahu bahwa Kirana akan datang untuk mengajak Mauri pergi ke butik.Mauri yang merasa belum mengenal dekat Kirana jelas merasa sungkan, apalagi saat sampai di lobi Kirana sudah berdiri di sana lantas menghampirinya.“Apak amu sudah siap?” tanya Kirana saat bertemu sang calon kakak ipar. Mauri kaget sekaligus senang mendapati sikap ramah Kirana. Namun, masih ada sedikit rasa sungkan di hatinya, hingga Mauri hanya mengangguk membalas pertanyaan Kirana.Tak menunggu lama Kirana pun mengajak Mauri masuk ke mobilnya yang masih terp
Baru saja masuk kamar, tapi Oriaga langsung ditodong pertanyaan dari Shanaya yang ternyata menunggu dirinya pulang. Shanaya yang sedang bersantai duduk di atas ranjang seketika menegakkan badan. Wanita itu antusias bertanya,“Bagaimana tadi pertemuan dengan orang tuanya Mauri?” “Lancar dan tentu saja Ayah Mauri langsung merestui,” jawab Oriaga. Oriaga berjalan mendekat ke Shanaya yang sejak tadi ternyata sedang membaca buku. Oriaga naik ke ranjang, lantas tanpa permisi mengambil buku Shanaya kemudian berbaring terlentang untuk membaca buku itu. “Kenapa bacanya sambil berbaring? Baca sambil duduk, nanti matamu sakit kalau membaca dengan posisi seperti itu,” ucap Shanaya sambil menatap Oriaga. “Aku memang sudah 43 tahun, tapi mataku ini masih bisa melihat dengan jelas. Kamu tenang saja,” balas Oriaga dengan santainya tanpa mengganti posisi. “Sombong, awas saja nanti kalau kamu mengeluh matamu gatal atau berair.” Shanaya bicara dengan nada candaan, dia menggeser dudu
Malam harinya Andra pun pergi ke rumah orang tua Mauri bersama Oriaga dan Masayu. Andra tak bisa bersikap tenang, dia terlihat sangat gugup saat baru saja turun dari mobil.“Jangan gugup, tarik napas panjang lalu embuskan perlahan,” ucap Masayu sambil merapikan kemeja Andra. Dia memulas senyum, menyadari bahwa sang putra mungkin sedang tidak baik-baik saja.Andra menatap sang mama, dia mengangguk kemudian melakukan apa yang dikatakan oleh Masayu.Masayu kemudian menggandeng tangan Andra, bersama Oriaga berjalan menuju pintu rumah Abraham.Saat sampai di depan rumah, ibu Mauri menyambut mereka dengan ramah meski wanita itu terlihat pucat dan tubuhnya masih kurang bugar.“Apa Anda baik-baik saja? Jika masih kurang sehat, seharusnya tak perlu menyambut kami di depan,” ucap Masayu berpindah menggandeng tangan ibu Mauri.Ibu Mauri pun mengajak semuanya masuk sambil digandeng Masayu. Meski baru pertama kali bertemu, tapi mereka tampak dekat.“Apa kondisi Anda sudah membaik?” tanya Masayu ka
Andra sudah sangat panik hingga memutuskan membuang status sebagai atasan dan bawahan lalu mencoba menghubungi nomor pamannya sendiri. “Ada apa?” Suara Oriaga terdengar dari seberang panggilan. Detak jantung Andra seketika mulai normal kembali, dia terlihat sangat lega karena panggilannya dijawab oleh Oriaga. “Paman ada di mana?” tanya Andra dengan suara yang masih panik. “Aku sedang ada urusan di luar,” jawab Oriaga, “ada apa?” tanya pria itu lagi. “Bagini Paman, ayah Mauri memintaku membawa Paman ke rumahnya nanti malam." Andra memberitahu Oriaga tanpa ada lagi basa-basi. “Sudah kuduga karena hal itu kamu menghubungi dengan suara panik seperti ini,” ucap Oriaga dari seberang panggilan. “Bagaimana aku tidak panik, aku ke ruangan Paman dan di sana sepi, bagaimana jika tiba-tiba saja Paman ke luar kota,” balas Andra. “Tenang saja, aku akan datang dan memastikan kalau kamu akan menikah dengan Mauri,” ucap Oriaga mencoba menenangkan Andra. Andra pun bernapas dengan
Setelah berbincang dengan Oriaga, Andra tak menunggu lama untuk menghubungi Mauri, memberitahu kabar baik yang didapatnya.“Apa kamu masih di rumah sakit?” tanya Andra saat panggilannya dijawab Mauri.“Iya,” jawab Mauri dari seberang panggilan.“Aku sudah menemui pamanku, dia setuju untuk membantu kita,” ucap Andra lagi. Ia mendengar suara helaan napas kasar dari seberang panggilan, hingga kemudian Mauri bicara.“Syukurlah kalau memang seperti itu.”Ada kelegaan di wajah Mauri yang tidak bisa Andra lihat karena mereka tidak sedang bersama. Bahkan jika saat ini berdekatan Mauri sangat ingin memeluk erat Andra.“Sampaikan ke papamu, pamanku bilang ingin bertemu, mau di rumah utama atau di rumahmu terserah yang penting papamu percaya.”“Hm … aku akan coba bertanya dulu ke Papa,” balas Mauri dari seberang panggilan.“Aku akan menunggu kabar darimu, kalau bisa cepatnya,” ucap Andra.“Pasti aku kabari segera,” balas Mauri. “Oh … ya, hari ini aku izin tidak ke kantor sehari lagi, aku sedang
Pagi itu Andra datang ke rumah utama. Saat sampai di sana, dia bertemu dengan Shanaya yang baru saja keluar dari lift dan heran melihat kedatangannya. Andra awalnya hendak menyapa, tapi melihat rambut Shanaya yang basah di pagi hari membuat Andra tertegun, bahkan pikiran pria itu sampai ke mana-mana. “Andra, tumben kamu datang pagi sekali?” sapa Shanaya. “Iya." Andra menjawab sekenanya. Masih kaget karena pikiran liar di kepala. “Itu ... memangnya wanita hamil boleh sering melakukan .... ?” Andra menjeda lisan, tanpa sadar mengungkapkan isi kepala. Shanaya terkejut mendengar pertanyaan Andra, hingga dia pun membalas, “Maksudmu bercinta? Itu malah sangat penting untuk menjaga kestabilan hormon.” Andra mengedip beberapa kali, dia bingung mendengar penjelasan Shanaya. Namun, agak sungkan untuk bertanya. “Makanya kamu cepetan nikah supaya tahu hal semacam ini,” ucap Shanaya saat melihat Andra bingung. Andra mengerucutkan bibir mendengar hinaan Shanaya, hingga dia pun mem
“Tidak bisa! Aku harus bicara serius ke papamu, jika masalah ini tidak dibereskan dan dituntaskan, maka akan terus berlarut,” ujar Andra mencoba meyakinkan Mauri.Mauri tertegun melihat Andra yang terlihat serius, hingga akhirnya mengangguk pelan mengizinkan pria itu pergi. “Baiklah, tapi hati-hati,” ucap Mauri yang masih menyimpan perasaan cemas.Andra mengangguk lalu menyentuh lembut pipi Mauri, dia lantas menoleh ke ibu Mauri yang terbaring lemah. Dia tersenyum tipis ke wanita itu seolah meminta izin.Setelahnya Andra pun keluar dari kamar inap itu, dan berlari mengejar Abraham yang berjalan di koridor hingga menghadang dan membuat Abraham berhenti melangkah.“Tunggu, saya ingin bicara dengan Anda,” ucap Andra. Meskipun menerima perlakuan buruk, tapi dia tetap bersikap sopan.Abraham terlihat kesal melihat Andra. Pria itu tak mau bicara, lebih memilih berjalan melewati Andra lagi tapi kembali dihadang.“Izinkan saya bicara pada Anda Pak,” ucap Andra membujuk.“Tidak ada yang perlu