"Kamu masih tetap saja cengeng."Oriaga menghapus air mata Shanaya yang membasahi pipi. Dia menipiskan bibir memandangi Shanaya yang datang ke penthousenya untuk menceritakan apa yang terjadi."Tidak perlu mengirim uang ke wanita itu lagi, toh uangnya juga dia pakai untuk kesenangan sendiri. Aku yakin ayah tidak ikut menikmatinya," kata Shanaya. Dia mengusap mata kemudian memajukan bibir karena kesal."Lalu apa benar kamu menyewa apartemen di bawah untuk ayahmu?"Oriaga menyematkan helaian rambut Shanaya ke belakang telinga, mengusap pipi gadis itu yang langsung menyandarkan kepala ke dadanya."Benar, aku tidak akan mengizinkan ayah kembali ke rumah wanita itu." Shanaya memejamkan mata sejenak. Kemudian mendongak penuh harap agar idenya disetujui Oriaga."Lakukan apapun yang kamu anggap baik, aku tidak akan melarangmu melakukan hal-hal yang kamu inginkan." Oriaga mencium puncak kepala Shanaya. Mengusap punggung kemudian menghidu aroma wangi shampo yang menguar dari rambut gadis itu."
Shanaya menunggu Oriaga datang ke kafe tempatnya bertemu dengan Andra tadi. Pria itu berjalan cepat masuk lalu mencari-cari di mana Shanaya duduk. Oriaga merasa khawatir. Dia bahkan langsung berlari mendekat melihat Shanaya berdiri."Apa kamu baik-baik saja?" Oriaga terlihat cemas, dia mendekat dan meraih tangan Shanaya lalu menatap cincin yang tergelatak di atas meja.Menyadari tatapan Oriaga tertuju pada benda yang biasanya dipakai untuk mengikat janji suci itu, Shanaya pun buru-buru meraih cincin itu dan menggenggamnya."Andra marah, aku benar-benar bingung harus bersikap bagaimana lagi padanya," lirih Shanaya.Oriaga hanya diam, sejenak tertegun setelah melihat cincin yang diberikan oleh Andra ke Shanaya. Oriaga sendiri saat ini sedang merasa menjadi manusia egois, menjadi sosok dewasa yang malah menghancurkan dan menyakiti hati keponakan yang seharusnya dia lindungi."Aku tidak mungkin meninggalkan cincin semahal ini di sini," imbuh Shanaya saat berpikir Oriaga mungkin merasa tak
“Ada apa?” tanya Isaak yang buru-buru keluar dari kamar setelah mendengar Shanaya memanggil. Pipi Isaak bahkan bersemu merah karena malu putrinya memergoki kelakuannya.Shanaya sendiri terlihat cemas, lantas mencoba menjelaskan.“Aku butuh bantuan."“Bantuan apa?” tanya Isaak panik melihat Shanaya yang terlihat gusar.“Tolong Papa jemput Andra, dia saat ini sedang mabuk di klub,” ucap Shanaya sambil memperlihatkan alamat klub tempat Andra berada pada Isaak.“Dari mana kamu tahu kalau Andra mabuk di sana?” tanya Isaak menyelidik.Shanaya mengembuskan napas kasar, lantas menjawab, “Tadi ada seorang wanita meneleponku. Dia mengabari kalau Andra saat ini sedang berada di klub dalam kondisi mabuk."Isaak mengerutkan alis mendengar ucapan Shanaya. Dia keheranan karena tak menyangka Andra bisa dekat dengan wanita selain sang putri.“Wanita? Bagaimana mungkin ada wanita yang dekat dengan Andra, bukankah dia bucin sekali padamu?” tanya Isaak dengan dahi berkerut halus.“Papa jangan membahas ma
Mauri pulang setelah memastikan Andra pergi dengan aman bersama Isaak. Namun, baru saja sampai rumah, Mauri terkejut ketika melihat ayahnya yang sedang menunggu di ruang tamu.“Kamu dari mana malam-malam begini?” tanya ayah Mauri dengan nada suara tinggi.“Aku ada urusan dengan temanku,” jawab Mauri berusaha tenang ketika melihat ayahnya yang terlihat emosi.Ayah Mauri memang overprotektif, sampai Mauri merasa terkekang hingga tak bisa bernapas ketika mendengar amukan sang ayah karena hal-hal sepele.“Ini sudah malam, apa temanmu itu tidak tahu waktu, hah!” amuk ayah Mauri lagi.Mauri terlihat kesal karena ayahnya terus marah-marah seperti ini. “Aku sudah besar, kenapa Papa terus saja mengatur-ngaturku, seolah aku ini masih anak-anak!” balas Mauri dengan nada yang tak kalah tinggi.“Papa melakukan ini demi kamu juga!” ujar Danur — ayah Mauri. Matanya melotot dengan wajah garang penuh rasa kesal.“Papa cuma tidak ingin kamu sampai seperti kakakmu!” pungkas Danur membahas anak pertamany
Siang harinya, Andra pun pergi menjemput Mauri di tempat kerja wanita itu. Mauri bekerja di sebuah perusahaan asing dan Andra tidak bertanya di posisi apa Wanita itu ditempatkan.“Apa kamu sudah lama menunggu?” tanya Mauri sesaat setelah masuk mobil Andra.“Tidak juga,” jawab Andra sambil memperhatikan Mauri yang sedang memasang sabuk pengaman. Setelah Mauri menoleh sambil memulas senyuman, Andra pun mengemudikan mobil meninggalkan gedung perusahaan.Andra mengajak Mauri ke sebuah restoran cepat saji. Mereka memesan tempat dan kini sudah duduk menunggu makanan diantar oleh pelayan.“Apa kamu benar-benar sudah baik-baik saja?” tanya Mauri memastikan.“Aku sedang patah hati,” balas Andra tanpa rasa sungkan.Mauri melihat kekecewaan yang sangat dalam di tatapan mata Andra, hingga sebuah rasa penasaran pun menggelayuti dadanya.“Apa wanita itu benar-benar sangat berharga untukmu sampai kamu seperti itu hanya karena patah hati?” Andra tersenyum getir mendengar pertanyaan Mauri. Dia memand
Shanaya melihat Arumi hanya tergelak ironi mendengar ucapannya barusan. Dia pun mendekat ke Isaak dan Amora lalu mencubit gemas pipi Issa."Kalian hati-hati di jalan," ujar Shanaya ke Isaak juga Amora."Bukannya aku yang seharusnya berkata begitu," balas Isaak dengan cara berbisik. "Pastikan kamu masuk ke rumah dan mengunci pintunya, jangan keluar apapun yang terjadi."Shanaya tersenyum menyadari Isaak sangat mencemaskan kondisinya. Dia pun mengangguk kemudian masuk dan melakukan apa yang papanya perintahkan.Sejujurnya Shanaya merasa sangat kesal, ingin rasanya dia menjambak rambut Arumi yang bersikap bak sang dewi padahal berhati iblis.Isaak pun berjalan pergi setelah memastikan Shanaya benar-benar mengunci pintu. Dia tidak mungkin juga menunjukkan rasa bencinya ke Arumi lalu memilih sejenak berbasa-basi sebelum pergi."Apa kamu mencari Ori? Bukankah di jam ini dia masih ada di kantor?" Arumi tak menjawab, tanpa berkata apapun wanita itu memalingkan muka dan pergi dari sana.Amora
"Kamu memintaku untuk tidak percaya ramalan, tapi kamu meninggalkanku karena itu."Shanaya nyaman berada di pelukan Oriaga, mereka duduk di sofa setelah makan, sambil berpelukan dan meluruskan kaki. Kenyataan bahwa Oriaga mengkonsumsi obat penenang masih saja membuat Shanaya tak percaya."Maaf."Lagi-lagi hanya kata itu yang terlontar dari lisan Oriaga, membuat Shanaya tercekat dan tak lagi ingin membalasnya."Aku senang bisa memelukmu seperti ini, aku harap apapun yang terjadi nanti kamu tidak akan meningalkanku lagi." Shanaya semakin memeluk erat Oriaga. Gadis itu memejamkan mata sejenak karena sebuah rencana yang sudah dia susun untuk membalas Arumi harus segera terealisasikan. Dia hanya takut Oriaga menghalangi niatnya, meski pria itu sudah berkata tidak akan ikut campur."Apa Andra tidak menghubungimu?" Shanaya tiba-tiba merasa penasaran. Dia menjauhkan kepala untuk memandang Oriaga dan tiam-diam mencoba mencari tahu apakah masalah Andra ini memengaruhi pikiran pria itu."Tidak,
“Dari tadi aku lihat kamu terus tersenyum. Apa ada sesuatu yang membuatmu senang?” tanya Isaak saat melihat Shanaya tersenyum-senyum sendiri sambil memandang ponsel.Shanaya menatap ke arah Isaak masih dengan senyumnya. Dia menenggak jus yang ada di gelas, sebelum menjawab pertanyaan pria itu.“Entahlah! Aku hanya sedang senang saja,” jawab Shanaya sambil meletakkan gelas di meja.Isaak menaikkan satu sudut alis, tidak biasanya sang putri bersikap seperti itu.“Apa kamu mendapat pesan dari Oriaga? Apa dia memberimu sesuatu lagi? Apa kali ini? Saham? Atau jet pribadi?” tanya Isaak penasaran.“Papa kepo,”seloroh Shanaya yang tak mau menjawab pertanyaan Isaak.Meskipun kaget mendengar balasan dari Shanaya, tapi Isaak tetap tertawa karena bagaimanapun melihat putrinya bahagia, dia juga ikut bahagia.“Kamu akhir-akhir ini memang sedikit aneh,” ucap Isaak. "Meski sebenarnya jauh lebih baik, karena tampaknya kamu lebih bahagia," gumamnya di dalam hati.“Bukankah lebih baik aneh? Daripada hil
Hari itu mungkin menjadi hari yang paling ditunggu oleh semua orang. Sebuah pesta pernikahan digelar megah, senyum serta canda tampak kentara di wajah keluarga terutama dua pasang mempelai yang kini sedang berdansa. Oriaga melihat Shanaya yang tersenyum, lantas mendekatkan bibir ke telinga istrinya itu kemudian berbisik, “Apa kamu ingin pesta pernikahan seperti ini?” Shanaya semakin melebarkan senyum lantas menoleh suaminya. “Bukankah sudah terlambat kalau kita membuat pesta?” tanya balik Shanaya. Oriaga menanggapi ucapan Shanaya dengan senyuman karena apa yang dikatakan memang benar. Pesta pernikahan Andra, Mauri, Elkan, dan Kirana berlangsung hari itu. Shanaya menatap ke para pengantin baru itu, setelah semua yang dilalui, kini semua orang mendapat kebahagiaan tak terkecuali. “Mereka sangat bahagia,” ucap Shanaya ke Oriaga. “Kita juga,” balas pria itu sambil menggenggam erat tangan Shanaya. Shanaya melebarkan senyum lantas menyandarkan kepala di pundak Oriaga.
Pagi itu selepas Oriaga berangkat ke kantor, Shanaya tampak duduk di taman bersama Pak Wira yang punya tugas tambahan mengawasinya satu kali dua puluh empat jam.Pak Wira terlihat membawa buku catatan dan pulpen di tangannya. Pria tua itu membenarkan letak kacamata yang bertengger di hidung sebelum berkata,“Saya sudah membuat daftar barang yang harus disiapkan sebelum Anda melahirkan.”Ternyata diam-diam Pak Wira memiliki catatan barang apa saja yang harus disiapkan Shanaya untuk menyambut kelahiran anaknya.Shanaya pun memperhatikan Pak Wira yang memegang buku catatan itu, hingga mulai membaca apa saja yang tertulis di sana.“Baju new born lima lusin, baju tidur tiga lusin, selimut sepuluh, sepatu sepuluh, lalu--” Belum juga Pak Wira selesai menyebutkan semua barang yang dicatat, Shanaya sudah menghentikan pria itu.“Kenapa banyak sekali, Pak? Bayi tidak perlu baju sebanyak itu, lagipula yang Pak Wira sebutkan itu baju, bukan popok sekali pakai,” ucap Shanaya.“Memangnya Pak Wira men
“Kenapa mendadak seperti ini? Sebenarnya tidak perlu dijemput tidak apa-apa, aku bisa pergi ke sana sendiri,” ucap Mauri. Dia terkejut karena Andra tiba-tiba menghubungi.“Itu Kirana sudah di bawah, tidak masalah! Pergi saja bersama dengannya,” ucap Andra dari seberang panggilan.Mauri benar-benar tak percaya mendengar ucapan Andra, tapi karena tak ingin Kirana lama menunggu, Mauri pun buru-buru menyambar tasnya menuju lobi.Hari itu secara mendadak Andra memberitahu bahwa Kirana akan datang untuk mengajak Mauri pergi ke butik.Mauri yang merasa belum mengenal dekat Kirana jelas merasa sungkan, apalagi saat sampai di lobi Kirana sudah berdiri di sana lantas menghampirinya.“Apak amu sudah siap?” tanya Kirana saat bertemu sang calon kakak ipar. Mauri kaget sekaligus senang mendapati sikap ramah Kirana. Namun, masih ada sedikit rasa sungkan di hatinya, hingga Mauri hanya mengangguk membalas pertanyaan Kirana.Tak menunggu lama Kirana pun mengajak Mauri masuk ke mobilnya yang masih terp
Baru saja masuk kamar, tapi Oriaga langsung ditodong pertanyaan dari Shanaya yang ternyata menunggu dirinya pulang. Shanaya yang sedang bersantai duduk di atas ranjang seketika menegakkan badan. Wanita itu antusias bertanya,“Bagaimana tadi pertemuan dengan orang tuanya Mauri?” “Lancar dan tentu saja Ayah Mauri langsung merestui,” jawab Oriaga. Oriaga berjalan mendekat ke Shanaya yang sejak tadi ternyata sedang membaca buku. Oriaga naik ke ranjang, lantas tanpa permisi mengambil buku Shanaya kemudian berbaring terlentang untuk membaca buku itu. “Kenapa bacanya sambil berbaring? Baca sambil duduk, nanti matamu sakit kalau membaca dengan posisi seperti itu,” ucap Shanaya sambil menatap Oriaga. “Aku memang sudah 43 tahun, tapi mataku ini masih bisa melihat dengan jelas. Kamu tenang saja,” balas Oriaga dengan santainya tanpa mengganti posisi. “Sombong, awas saja nanti kalau kamu mengeluh matamu gatal atau berair.” Shanaya bicara dengan nada candaan, dia menggeser dudu
Malam harinya Andra pun pergi ke rumah orang tua Mauri bersama Oriaga dan Masayu. Andra tak bisa bersikap tenang, dia terlihat sangat gugup saat baru saja turun dari mobil.“Jangan gugup, tarik napas panjang lalu embuskan perlahan,” ucap Masayu sambil merapikan kemeja Andra. Dia memulas senyum, menyadari bahwa sang putra mungkin sedang tidak baik-baik saja.Andra menatap sang mama, dia mengangguk kemudian melakukan apa yang dikatakan oleh Masayu.Masayu kemudian menggandeng tangan Andra, bersama Oriaga berjalan menuju pintu rumah Abraham.Saat sampai di depan rumah, ibu Mauri menyambut mereka dengan ramah meski wanita itu terlihat pucat dan tubuhnya masih kurang bugar.“Apa Anda baik-baik saja? Jika masih kurang sehat, seharusnya tak perlu menyambut kami di depan,” ucap Masayu berpindah menggandeng tangan ibu Mauri.Ibu Mauri pun mengajak semuanya masuk sambil digandeng Masayu. Meski baru pertama kali bertemu, tapi mereka tampak dekat.“Apa kondisi Anda sudah membaik?” tanya Masayu ka
Andra sudah sangat panik hingga memutuskan membuang status sebagai atasan dan bawahan lalu mencoba menghubungi nomor pamannya sendiri. “Ada apa?” Suara Oriaga terdengar dari seberang panggilan. Detak jantung Andra seketika mulai normal kembali, dia terlihat sangat lega karena panggilannya dijawab oleh Oriaga. “Paman ada di mana?” tanya Andra dengan suara yang masih panik. “Aku sedang ada urusan di luar,” jawab Oriaga, “ada apa?” tanya pria itu lagi. “Bagini Paman, ayah Mauri memintaku membawa Paman ke rumahnya nanti malam." Andra memberitahu Oriaga tanpa ada lagi basa-basi. “Sudah kuduga karena hal itu kamu menghubungi dengan suara panik seperti ini,” ucap Oriaga dari seberang panggilan. “Bagaimana aku tidak panik, aku ke ruangan Paman dan di sana sepi, bagaimana jika tiba-tiba saja Paman ke luar kota,” balas Andra. “Tenang saja, aku akan datang dan memastikan kalau kamu akan menikah dengan Mauri,” ucap Oriaga mencoba menenangkan Andra. Andra pun bernapas dengan
Setelah berbincang dengan Oriaga, Andra tak menunggu lama untuk menghubungi Mauri, memberitahu kabar baik yang didapatnya.“Apa kamu masih di rumah sakit?” tanya Andra saat panggilannya dijawab Mauri.“Iya,” jawab Mauri dari seberang panggilan.“Aku sudah menemui pamanku, dia setuju untuk membantu kita,” ucap Andra lagi. Ia mendengar suara helaan napas kasar dari seberang panggilan, hingga kemudian Mauri bicara.“Syukurlah kalau memang seperti itu.”Ada kelegaan di wajah Mauri yang tidak bisa Andra lihat karena mereka tidak sedang bersama. Bahkan jika saat ini berdekatan Mauri sangat ingin memeluk erat Andra.“Sampaikan ke papamu, pamanku bilang ingin bertemu, mau di rumah utama atau di rumahmu terserah yang penting papamu percaya.”“Hm … aku akan coba bertanya dulu ke Papa,” balas Mauri dari seberang panggilan.“Aku akan menunggu kabar darimu, kalau bisa cepatnya,” ucap Andra.“Pasti aku kabari segera,” balas Mauri. “Oh … ya, hari ini aku izin tidak ke kantor sehari lagi, aku sedang
Pagi itu Andra datang ke rumah utama. Saat sampai di sana, dia bertemu dengan Shanaya yang baru saja keluar dari lift dan heran melihat kedatangannya. Andra awalnya hendak menyapa, tapi melihat rambut Shanaya yang basah di pagi hari membuat Andra tertegun, bahkan pikiran pria itu sampai ke mana-mana. “Andra, tumben kamu datang pagi sekali?” sapa Shanaya. “Iya." Andra menjawab sekenanya. Masih kaget karena pikiran liar di kepala. “Itu ... memangnya wanita hamil boleh sering melakukan .... ?” Andra menjeda lisan, tanpa sadar mengungkapkan isi kepala. Shanaya terkejut mendengar pertanyaan Andra, hingga dia pun membalas, “Maksudmu bercinta? Itu malah sangat penting untuk menjaga kestabilan hormon.” Andra mengedip beberapa kali, dia bingung mendengar penjelasan Shanaya. Namun, agak sungkan untuk bertanya. “Makanya kamu cepetan nikah supaya tahu hal semacam ini,” ucap Shanaya saat melihat Andra bingung. Andra mengerucutkan bibir mendengar hinaan Shanaya, hingga dia pun mem
“Tidak bisa! Aku harus bicara serius ke papamu, jika masalah ini tidak dibereskan dan dituntaskan, maka akan terus berlarut,” ujar Andra mencoba meyakinkan Mauri.Mauri tertegun melihat Andra yang terlihat serius, hingga akhirnya mengangguk pelan mengizinkan pria itu pergi. “Baiklah, tapi hati-hati,” ucap Mauri yang masih menyimpan perasaan cemas.Andra mengangguk lalu menyentuh lembut pipi Mauri, dia lantas menoleh ke ibu Mauri yang terbaring lemah. Dia tersenyum tipis ke wanita itu seolah meminta izin.Setelahnya Andra pun keluar dari kamar inap itu, dan berlari mengejar Abraham yang berjalan di koridor hingga menghadang dan membuat Abraham berhenti melangkah.“Tunggu, saya ingin bicara dengan Anda,” ucap Andra. Meskipun menerima perlakuan buruk, tapi dia tetap bersikap sopan.Abraham terlihat kesal melihat Andra. Pria itu tak mau bicara, lebih memilih berjalan melewati Andra lagi tapi kembali dihadang.“Izinkan saya bicara pada Anda Pak,” ucap Andra membujuk.“Tidak ada yang perlu