sory geng up nya lemes. Bulan ini banyak hal tak terduga terjadi. Aku sedang mencoba kuat meski sambil nyebut Ya Allah ya Allah 😀😃 Sehat selalu ya buat kalian oh ya aku janjiin GA buat yang komen di bab 200 nanti diundi Bismillah semoga bisa list nama²nya segera
Siang harinya, Andra pun pergi menjemput Mauri di tempat kerja wanita itu. Mauri bekerja di sebuah perusahaan asing dan Andra tidak bertanya di posisi apa Wanita itu ditempatkan.“Apa kamu sudah lama menunggu?” tanya Mauri sesaat setelah masuk mobil Andra.“Tidak juga,” jawab Andra sambil memperhatikan Mauri yang sedang memasang sabuk pengaman. Setelah Mauri menoleh sambil memulas senyuman, Andra pun mengemudikan mobil meninggalkan gedung perusahaan.Andra mengajak Mauri ke sebuah restoran cepat saji. Mereka memesan tempat dan kini sudah duduk menunggu makanan diantar oleh pelayan.“Apa kamu benar-benar sudah baik-baik saja?” tanya Mauri memastikan.“Aku sedang patah hati,” balas Andra tanpa rasa sungkan.Mauri melihat kekecewaan yang sangat dalam di tatapan mata Andra, hingga sebuah rasa penasaran pun menggelayuti dadanya.“Apa wanita itu benar-benar sangat berharga untukmu sampai kamu seperti itu hanya karena patah hati?” Andra tersenyum getir mendengar pertanyaan Mauri. Dia memand
Shanaya melihat Arumi hanya tergelak ironi mendengar ucapannya barusan. Dia pun mendekat ke Isaak dan Amora lalu mencubit gemas pipi Issa."Kalian hati-hati di jalan," ujar Shanaya ke Isaak juga Amora."Bukannya aku yang seharusnya berkata begitu," balas Isaak dengan cara berbisik. "Pastikan kamu masuk ke rumah dan mengunci pintunya, jangan keluar apapun yang terjadi."Shanaya tersenyum menyadari Isaak sangat mencemaskan kondisinya. Dia pun mengangguk kemudian masuk dan melakukan apa yang papanya perintahkan.Sejujurnya Shanaya merasa sangat kesal, ingin rasanya dia menjambak rambut Arumi yang bersikap bak sang dewi padahal berhati iblis.Isaak pun berjalan pergi setelah memastikan Shanaya benar-benar mengunci pintu. Dia tidak mungkin juga menunjukkan rasa bencinya ke Arumi lalu memilih sejenak berbasa-basi sebelum pergi."Apa kamu mencari Ori? Bukankah di jam ini dia masih ada di kantor?" Arumi tak menjawab, tanpa berkata apapun wanita itu memalingkan muka dan pergi dari sana.Amora
"Kamu memintaku untuk tidak percaya ramalan, tapi kamu meninggalkanku karena itu."Shanaya nyaman berada di pelukan Oriaga, mereka duduk di sofa setelah makan, sambil berpelukan dan meluruskan kaki. Kenyataan bahwa Oriaga mengkonsumsi obat penenang masih saja membuat Shanaya tak percaya."Maaf."Lagi-lagi hanya kata itu yang terlontar dari lisan Oriaga, membuat Shanaya tercekat dan tak lagi ingin membalasnya."Aku senang bisa memelukmu seperti ini, aku harap apapun yang terjadi nanti kamu tidak akan meningalkanku lagi." Shanaya semakin memeluk erat Oriaga. Gadis itu memejamkan mata sejenak karena sebuah rencana yang sudah dia susun untuk membalas Arumi harus segera terealisasikan. Dia hanya takut Oriaga menghalangi niatnya, meski pria itu sudah berkata tidak akan ikut campur."Apa Andra tidak menghubungimu?" Shanaya tiba-tiba merasa penasaran. Dia menjauhkan kepala untuk memandang Oriaga dan tiam-diam mencoba mencari tahu apakah masalah Andra ini memengaruhi pikiran pria itu."Tidak,
“Dari tadi aku lihat kamu terus tersenyum. Apa ada sesuatu yang membuatmu senang?” tanya Isaak saat melihat Shanaya tersenyum-senyum sendiri sambil memandang ponsel.Shanaya menatap ke arah Isaak masih dengan senyumnya. Dia menenggak jus yang ada di gelas, sebelum menjawab pertanyaan pria itu.“Entahlah! Aku hanya sedang senang saja,” jawab Shanaya sambil meletakkan gelas di meja.Isaak menaikkan satu sudut alis, tidak biasanya sang putri bersikap seperti itu.“Apa kamu mendapat pesan dari Oriaga? Apa dia memberimu sesuatu lagi? Apa kali ini? Saham? Atau jet pribadi?” tanya Isaak penasaran.“Papa kepo,”seloroh Shanaya yang tak mau menjawab pertanyaan Isaak.Meskipun kaget mendengar balasan dari Shanaya, tapi Isaak tetap tertawa karena bagaimanapun melihat putrinya bahagia, dia juga ikut bahagia.“Kamu akhir-akhir ini memang sedikit aneh,” ucap Isaak. "Meski sebenarnya jauh lebih baik, karena tampaknya kamu lebih bahagia," gumamnya di dalam hati.“Bukankah lebih baik aneh? Daripada hil
Arumi jelas tak mau disalahkan begitu saja. Jika saat salah saja dia ngotot tak bersalah, apalagi saat ini yang memang benar-benar tidak bersalah. Arumi pun mendatangkan polisi untuk mengecek wanita dan pria yang dituduh menipunya. Bahkan dia mengeluarkan rekaman Cctv dengan muka memandam amarah.Polisi pun melihat rekaman Cctv yang terpasang di dinding belakang pria itu. Semua orang memperhatikan termasuk Arumi, tapi mereka tak melihat ada yang aneh di sana.“Kami tidak melakukan apa pun, bahkan kami menunggu kamu berbicara dengan wanita tadi. Bagaimana bisa kamu menuduh kami menukar dan mencurinya.” Wanita itu bicara sambil memperlihatkan rasa kesal yang dibuat-buat untuk meyakinkan aktingnya.Dalam rekaman itu, wanita dan pria yang datang tadi memang tidak melakukan gerakan yang mencurigakan. Sang pria menukar perhiasan hanya dengan menggerakkan tangan cepat. Apalagi dia duduk memunggungi kamera, sehingga kamera Cctv tak bisa menangkap gerakan tangannya.“Kalian pasti menyembunyik
Arumi benar-benar emosi dan merasa ditipu. Dia sampai mengecek berkali-kali rekaman Cctv di jam perhiasan itu berubah dari asli menjadi palsu, tapi dia tak mendapatkan kejanggalan sama sekali.“Supplier tidak memobohongiku, semuanya asli. Bahkan sisa material yang dicek pun memang asli. Tapi bagaimana bisa perhiasan ini berubah?”Arumi memandang perhiasan yang ada di kotak. Dia tidak akan membiarkan siapa pun mengerjai dan membuatnya rugi. Dia kembali mengecek rekaman Cctv tapi tak ada yang mencurigakan. Hingga dia melihat rekaman setelah kejadian, di saat polisi datang.“Tunggu!” Arumi melihat yang janggal.Arumi melihat wanita yang datang terakhir di galerinya, terekam sedang mengambil sesuatu di kolong sofa.“Apa yang diambilnya?” Arumi menjeda video yang diputar tepat saat wanita yang baru saja mengambil sesuatu itu hendak memasukkan ke tas. Dia lantas memperbesar resolusi gambarnya, hingga bisa melihat apa yang dipegang wanita itu.“Plastik?” Arumi mengerutkan dahi melihat sebua
Arumi berjalan dengan penuh amarah. Dia pergi ke tempat wanita yang terekam Cctv mengambil sesuatu dari bawah sofa di galerinya. Dia sangat yakin jika itu perhiasan asli yang ditukar dengan perhiasan palsu.Wanita yang dicurigai Arumi sedang berada di sebuah toilet salah satu restoran. Dia tidak tahu akan kedatangan Arumi di sana, hingga saat baru saja keluar dari bilik kamar mandi, wanita itu syok melihat Arumi di sana sedang memandangnya sambil melipat kedua tangan di depan dada.Arumi sendiri memasang tanda kalau kamar mandi itu sedang tidak bisa dipakai, lantas mengunci pintunya agar targetnya tak bisa kabur.“Anda di sini, kebetulan sekali,” ucap wanita berbasa-basi sambil memasang senyum yang dipaksakan, meski dalam hati panik karena tatapan dari Arumi.Arumi diam sambil memberikan tatapan tajam. Dia berjalan mendekat perlahan, membuat wanita itu panik.Wanita itu sampai mundur, hingga hampir terjungkal karena menabrak pintu bilik yang terdorong ke dalam.“Ada apa ini?” tanya wan
Shanaya berjalan santai ke luar gedung tempatnya tinggal hendak berolah raga. Dia mengambil earphone dan hendak menempelkannya ke telinga. Namun, saat baru saja melangkah, Shanaya terkejut melihat siapa yang ada di depannya saat ini.“Kenapa terkejut?” Arumi datang dan memberikan tatapan benci ke Shanaya.Shanaya hanya memandang Arumi tanpa kata. Tatapannya terlihat penuh kebencian ke wanita itu.“Tidak, bukankah sudah biasa kalau kamu tiba-tiba muncul seperti hantu,” balas Shanaya dengan entengnya.“Kamu pikir bisa menang dariku!” Arumi tiba-tiba menghardik geram. Satu tangannya terlihat disembunyikan di belakang tubuh sedangkan yang satunya mengepal kencang.“Aku tidak paham maksudmu. Jika kamu tidak ada hal penting yang ingin dikatakan selain rasa irimu, lebih baik menyingkir!” balas Shanaya sengit.“Kamu terlalu sombong. Kamu pikir bisa mendapatkan semuanya dengan mudah? Aku tidak akan membiarkan itu!” Arumi memperlihatkan amarah. Dari sorot matanya menunjukkan seolah dia ingin mem
Hari itu mungkin menjadi hari yang paling ditunggu oleh semua orang. Sebuah pesta pernikahan digelar megah, senyum serta canda tampak kentara di wajah keluarga terutama dua pasang mempelai yang kini sedang berdansa. Oriaga melihat Shanaya yang tersenyum, lantas mendekatkan bibir ke telinga istrinya itu kemudian berbisik, “Apa kamu ingin pesta pernikahan seperti ini?” Shanaya semakin melebarkan senyum lantas menoleh suaminya. “Bukankah sudah terlambat kalau kita membuat pesta?” tanya balik Shanaya. Oriaga menanggapi ucapan Shanaya dengan senyuman karena apa yang dikatakan memang benar. Pesta pernikahan Andra, Mauri, Elkan, dan Kirana berlangsung hari itu. Shanaya menatap ke para pengantin baru itu, setelah semua yang dilalui, kini semua orang mendapat kebahagiaan tak terkecuali. “Mereka sangat bahagia,” ucap Shanaya ke Oriaga. “Kita juga,” balas pria itu sambil menggenggam erat tangan Shanaya. Shanaya melebarkan senyum lantas menyandarkan kepala di pundak Oriaga.
Pagi itu selepas Oriaga berangkat ke kantor, Shanaya tampak duduk di taman bersama Pak Wira yang punya tugas tambahan mengawasinya satu kali dua puluh empat jam.Pak Wira terlihat membawa buku catatan dan pulpen di tangannya. Pria tua itu membenarkan letak kacamata yang bertengger di hidung sebelum berkata,“Saya sudah membuat daftar barang yang harus disiapkan sebelum Anda melahirkan.”Ternyata diam-diam Pak Wira memiliki catatan barang apa saja yang harus disiapkan Shanaya untuk menyambut kelahiran anaknya.Shanaya pun memperhatikan Pak Wira yang memegang buku catatan itu, hingga mulai membaca apa saja yang tertulis di sana.“Baju new born lima lusin, baju tidur tiga lusin, selimut sepuluh, sepatu sepuluh, lalu--” Belum juga Pak Wira selesai menyebutkan semua barang yang dicatat, Shanaya sudah menghentikan pria itu.“Kenapa banyak sekali, Pak? Bayi tidak perlu baju sebanyak itu, lagipula yang Pak Wira sebutkan itu baju, bukan popok sekali pakai,” ucap Shanaya.“Memangnya Pak Wira men
“Kenapa mendadak seperti ini? Sebenarnya tidak perlu dijemput tidak apa-apa, aku bisa pergi ke sana sendiri,” ucap Mauri. Dia terkejut karena Andra tiba-tiba menghubungi.“Itu Kirana sudah di bawah, tidak masalah! Pergi saja bersama dengannya,” ucap Andra dari seberang panggilan.Mauri benar-benar tak percaya mendengar ucapan Andra, tapi karena tak ingin Kirana lama menunggu, Mauri pun buru-buru menyambar tasnya menuju lobi.Hari itu secara mendadak Andra memberitahu bahwa Kirana akan datang untuk mengajak Mauri pergi ke butik.Mauri yang merasa belum mengenal dekat Kirana jelas merasa sungkan, apalagi saat sampai di lobi Kirana sudah berdiri di sana lantas menghampirinya.“Apak amu sudah siap?” tanya Kirana saat bertemu sang calon kakak ipar. Mauri kaget sekaligus senang mendapati sikap ramah Kirana. Namun, masih ada sedikit rasa sungkan di hatinya, hingga Mauri hanya mengangguk membalas pertanyaan Kirana.Tak menunggu lama Kirana pun mengajak Mauri masuk ke mobilnya yang masih terp
Baru saja masuk kamar, tapi Oriaga langsung ditodong pertanyaan dari Shanaya yang ternyata menunggu dirinya pulang. Shanaya yang sedang bersantai duduk di atas ranjang seketika menegakkan badan. Wanita itu antusias bertanya,“Bagaimana tadi pertemuan dengan orang tuanya Mauri?” “Lancar dan tentu saja Ayah Mauri langsung merestui,” jawab Oriaga. Oriaga berjalan mendekat ke Shanaya yang sejak tadi ternyata sedang membaca buku. Oriaga naik ke ranjang, lantas tanpa permisi mengambil buku Shanaya kemudian berbaring terlentang untuk membaca buku itu. “Kenapa bacanya sambil berbaring? Baca sambil duduk, nanti matamu sakit kalau membaca dengan posisi seperti itu,” ucap Shanaya sambil menatap Oriaga. “Aku memang sudah 43 tahun, tapi mataku ini masih bisa melihat dengan jelas. Kamu tenang saja,” balas Oriaga dengan santainya tanpa mengganti posisi. “Sombong, awas saja nanti kalau kamu mengeluh matamu gatal atau berair.” Shanaya bicara dengan nada candaan, dia menggeser dudu
Malam harinya Andra pun pergi ke rumah orang tua Mauri bersama Oriaga dan Masayu. Andra tak bisa bersikap tenang, dia terlihat sangat gugup saat baru saja turun dari mobil.“Jangan gugup, tarik napas panjang lalu embuskan perlahan,” ucap Masayu sambil merapikan kemeja Andra. Dia memulas senyum, menyadari bahwa sang putra mungkin sedang tidak baik-baik saja.Andra menatap sang mama, dia mengangguk kemudian melakukan apa yang dikatakan oleh Masayu.Masayu kemudian menggandeng tangan Andra, bersama Oriaga berjalan menuju pintu rumah Abraham.Saat sampai di depan rumah, ibu Mauri menyambut mereka dengan ramah meski wanita itu terlihat pucat dan tubuhnya masih kurang bugar.“Apa Anda baik-baik saja? Jika masih kurang sehat, seharusnya tak perlu menyambut kami di depan,” ucap Masayu berpindah menggandeng tangan ibu Mauri.Ibu Mauri pun mengajak semuanya masuk sambil digandeng Masayu. Meski baru pertama kali bertemu, tapi mereka tampak dekat.“Apa kondisi Anda sudah membaik?” tanya Masayu ka
Andra sudah sangat panik hingga memutuskan membuang status sebagai atasan dan bawahan lalu mencoba menghubungi nomor pamannya sendiri. “Ada apa?” Suara Oriaga terdengar dari seberang panggilan. Detak jantung Andra seketika mulai normal kembali, dia terlihat sangat lega karena panggilannya dijawab oleh Oriaga. “Paman ada di mana?” tanya Andra dengan suara yang masih panik. “Aku sedang ada urusan di luar,” jawab Oriaga, “ada apa?” tanya pria itu lagi. “Bagini Paman, ayah Mauri memintaku membawa Paman ke rumahnya nanti malam." Andra memberitahu Oriaga tanpa ada lagi basa-basi. “Sudah kuduga karena hal itu kamu menghubungi dengan suara panik seperti ini,” ucap Oriaga dari seberang panggilan. “Bagaimana aku tidak panik, aku ke ruangan Paman dan di sana sepi, bagaimana jika tiba-tiba saja Paman ke luar kota,” balas Andra. “Tenang saja, aku akan datang dan memastikan kalau kamu akan menikah dengan Mauri,” ucap Oriaga mencoba menenangkan Andra. Andra pun bernapas dengan
Setelah berbincang dengan Oriaga, Andra tak menunggu lama untuk menghubungi Mauri, memberitahu kabar baik yang didapatnya.“Apa kamu masih di rumah sakit?” tanya Andra saat panggilannya dijawab Mauri.“Iya,” jawab Mauri dari seberang panggilan.“Aku sudah menemui pamanku, dia setuju untuk membantu kita,” ucap Andra lagi. Ia mendengar suara helaan napas kasar dari seberang panggilan, hingga kemudian Mauri bicara.“Syukurlah kalau memang seperti itu.”Ada kelegaan di wajah Mauri yang tidak bisa Andra lihat karena mereka tidak sedang bersama. Bahkan jika saat ini berdekatan Mauri sangat ingin memeluk erat Andra.“Sampaikan ke papamu, pamanku bilang ingin bertemu, mau di rumah utama atau di rumahmu terserah yang penting papamu percaya.”“Hm … aku akan coba bertanya dulu ke Papa,” balas Mauri dari seberang panggilan.“Aku akan menunggu kabar darimu, kalau bisa cepatnya,” ucap Andra.“Pasti aku kabari segera,” balas Mauri. “Oh … ya, hari ini aku izin tidak ke kantor sehari lagi, aku sedang
Pagi itu Andra datang ke rumah utama. Saat sampai di sana, dia bertemu dengan Shanaya yang baru saja keluar dari lift dan heran melihat kedatangannya. Andra awalnya hendak menyapa, tapi melihat rambut Shanaya yang basah di pagi hari membuat Andra tertegun, bahkan pikiran pria itu sampai ke mana-mana. “Andra, tumben kamu datang pagi sekali?” sapa Shanaya. “Iya." Andra menjawab sekenanya. Masih kaget karena pikiran liar di kepala. “Itu ... memangnya wanita hamil boleh sering melakukan .... ?” Andra menjeda lisan, tanpa sadar mengungkapkan isi kepala. Shanaya terkejut mendengar pertanyaan Andra, hingga dia pun membalas, “Maksudmu bercinta? Itu malah sangat penting untuk menjaga kestabilan hormon.” Andra mengedip beberapa kali, dia bingung mendengar penjelasan Shanaya. Namun, agak sungkan untuk bertanya. “Makanya kamu cepetan nikah supaya tahu hal semacam ini,” ucap Shanaya saat melihat Andra bingung. Andra mengerucutkan bibir mendengar hinaan Shanaya, hingga dia pun mem
“Tidak bisa! Aku harus bicara serius ke papamu, jika masalah ini tidak dibereskan dan dituntaskan, maka akan terus berlarut,” ujar Andra mencoba meyakinkan Mauri.Mauri tertegun melihat Andra yang terlihat serius, hingga akhirnya mengangguk pelan mengizinkan pria itu pergi. “Baiklah, tapi hati-hati,” ucap Mauri yang masih menyimpan perasaan cemas.Andra mengangguk lalu menyentuh lembut pipi Mauri, dia lantas menoleh ke ibu Mauri yang terbaring lemah. Dia tersenyum tipis ke wanita itu seolah meminta izin.Setelahnya Andra pun keluar dari kamar inap itu, dan berlari mengejar Abraham yang berjalan di koridor hingga menghadang dan membuat Abraham berhenti melangkah.“Tunggu, saya ingin bicara dengan Anda,” ucap Andra. Meskipun menerima perlakuan buruk, tapi dia tetap bersikap sopan.Abraham terlihat kesal melihat Andra. Pria itu tak mau bicara, lebih memilih berjalan melewati Andra lagi tapi kembali dihadang.“Izinkan saya bicara pada Anda Pak,” ucap Andra membujuk.“Tidak ada yang perlu