Selepas pertemuan dengan Ningsih, kami tidak lagi balik ke kantor. Supir mengantar kami pulang ke rumah. Sepanjang jalan menuju ke rumah Noni menumpahkan kesedihannya dipangkuanku. Dia kembali teringat tentang penderitaan Mamanya seperti yang diceritakan Ningsih.
Dan dari cerita itu pulalah yang membuat dia mengingat kembali penderitaannya semasa kecil. Sebuah tragedi yang menghancurkan masa depannya dan membuat dia kehilangan kehormatan sebelum waktunya. Bagi Noni itu adalah pengalaman keji yang sangat menyakitkannya. “Kenapa ya Pa.. kok tante Ningsih harus cerita soal itu?” tanya Noni. Aku belai rambut Noni yang tiduran dipanggkuanku, “Tante Ningsih gak sengaja sayang.. kan dia sudah minta maaf sama kamu.” Jawabku. Begitu sampai di rumah Noni segera turun dan berlari masuk ke dalam rumah. Hatinya masih sedih dan dia ingin menumpahkan kesedihan pada neneknya. Sebelum turun aku berikan uang untuk supir yang sudah mengantSetelah mandi dan bersih-bersih, aku keluar dari kamar mandi dan menghampiri Noni di tempat tidur. Noni sudah berbaring dan menyelimuti tubuhnya. Aku mengenakan pakaian dan kain sarung untuk menutupi tubuhku sembari berbaring disisi Noni.Karena ukuran tempat tidur Noni tidak terlalu lebar, mau tak mau aku pun rela bersempit-sempit disisi Noni. Toh aku tidak semalaman menemani Noni, setelah Noni tertidur aku akan keluar dari kamarnya. Seperti itulah biasanya, tapi kali ini Noni ingin aku menemaninya sampai pagi.“Papa keberatan temani Noni?” Bisik Noni ditelingaku. “Bukan keberatan Non.. rasanya kurang pantas kalau Papa harus temani kamu sampai pagi.” Aku jawab seperti itu agar dia mengerti. Tapi, rupanya Noni salah faham, dia membalikkan badannya dan memunggungiku.Aku peluk Noni dari belakang, aku bisikkan di telinganya, “Sayang.. kamu jangan salah faham, apa yang Papa lakukan ini demi kebaikan kita berdua.” Bisi
Saat sarapan pagi aku katakan pada Noni dan Nenek, bahwa aku harus kembali bertemu Ningsih. Dari raut wajahnya Noni terlihat masih menyimpan kesal terhadapku. Pagi itu dia agak hemat bersuara, biasanya dia malah banyak bertanya. Bahkan dia tidak merespon sama sekali apa yang aku katakan saat itu.Nenek bertanya padaku, “Malam ini kamu masih nginap di sini Danu? Atau hari ini pulang ke Jakarta?” tanya Nenek. Noni memandang ke arah nenek tanpa menoleh kepadaku. “In Shaa Allah masih nek, karena kemungkinan sampai sore masih sibuk di Bandung.” Jawabku sembari menatap nenek dan Noni.Akhirnya Noni pun bicara, “Papa ke kantor dulu atau langsung ketemu tante Ningsih?” tanya Noni. “Papa harus temani anak Papa yang cantik dulu dong ke kantor.” Aku katakan itu sembari menebar senyum pada Noni. Noni membalas senyumku, dia begitu senang aku puji.Selesai sarapan pagi setelah pamit pada nenek, aku dan Noni bergegas
“Jadi gini mas Danu.. setahu saya Noni bukanlah anak biologis mas Danu, karena saat Widarti pulang kampung dalam keadaan hamil, sampai di kampung dia keguguran. Itu cerita Widarti pada saya waktu itu.” Jelas Ningsih. Aku tidak yakin dengan apa yang dikatakan Ningsih, karena usia Noni saat ini sama dengan waktu kehamilan Widarti.“Tapi, Usia Noni itu sekarang 20 tahun Ningsih? Itu sama dengan waktu Widarti sedang hamil?” Aku jelaskan pada Ningsih.Ningsih ceritakan saat Widarti kembali ke Bandung dalam keadaan sudah menikah dan membawa Noni yang masih bayi. Tapi, suami Widarti tersebut bukanlah bapak biologis Noni. Sebelum menikah Widarti dalam keadaan hamil, tapi bukan kehamilan yang disebabkan aku.Aku merasa apa yang diceritakan Ningsih sangat rumit dan aku tidak bisa mempercayainya begitu saja. “Saya rasa memang harus Widarti yang menceritakannya Ningsih, kita perlu dengar seperti apa pengakuan Widarti.” Aku kat
Sampai di Jakarta aku langsung ke kantor, karena aku harus hubungi kontak organisasi TKI di Hong Kong. Dari satu organisasi TKI yang dianggap valid yang aku hubungi, ada beberapa nomor kontak atas nama Widarti. Untuk itu aku harus menghubunginya satu persatu dengan berbagai kendala yang aku hadapi.Ada satu nomor kontak atas nama Widarti yang menurutku adalah benar nomor kontak Widarti Mamanya Noni. Tapi, begitu aku sebutkan namaku Danu sambungan teleponnya langsung di putus. Dari situlah aku semakin yakin kalau nomor tersebut adalah nomor kontak Widarti.Berkali-kali aku ulangi menghubungi nomor Widarti selalu reject, seakan-akan dia memang tidak ingin berkomunikasi denganku. Satu-satunya jalan yang sangat mungkin hanyalah meminta Noni yang menghubungi nomor tersebut. Aku telepon Noni agar dia bisa hubungi langsung Mamanya.“Hallo Non.. Papa sudah dapat kontak Mama, tapi Mama menolak berkomunikasi dengan Papa.” Aku sampaikan itu pada Non
“Kamu bilang apa sama Mama Non?” tanyaku ingin tahu. “Boro-boro Pa.. aku baru bilang, Ma.. Ini Noni, Mama langsung menutup sambungan teleponnya.” Jawab Noni.Padahal aku berharap kalau Noni yang telepon Widarti mau menerima dan mau bicara sama Noni, karena Noni anak yang ditinggalkannya begitu saja. Setidaknya dia bisa minta maaf pada Noni. Tapi, pada kenyataannya mau bicara sama Noni pun tidak.“Yaudah sayang.. kamu jangan putus asa, kalau ada waktu kamu harus terus usaha untuk komunikasi dengan Mama.” Aku sarankan seperti itu pada Noni.“Mama kebangetan Pa.. masak sih gak ada rasa kangen sama sekali?” Noni katakan itu disela isak tangisnya. Aku bisa membayangkan betapa sedihnya Noni, dia berharap dengan memperoleh nomor kontak Widarti dia bisa berkomunikasi layaknya anak dan Mamanya.Aku tidak ingin Noni tambah bersedih, aku sudah dahulu pembicaraanku dengan Noni. Aku kasih alasan mau meeti
“Mas Danu.. saat ini Widarti masih menutup komunikasi dulu, dia minta maaf. Tapi, dia tidak belum jelaskan apa sebabnya.” Jawab Ningsih dengan lirih.Ternyata aku dan Noni masih harus bersabar, entah apa penyebabnya Widarti masih menutup diri untuk berkomunikasi. Menurut Ningsih, Widarti akan mengabarinya kalau dia sudah memungkinkan untuk berkomunikasi.Aku tanyakan pada Ningsih, “Waktu pertama tersambung dengan Widarti gimana reaksinya? Apakah dia senang bisa bicara sama kamu?” tanyaku pada Ningsih.“Dia gak surprise sama sekali mas, nada bicaranya datar aja. Dia seperti orang yang sedang was-was gitu mas.” Jawab Ningsih. Aku merasa kalau Widarti masih merahasiakan sesuatu pada suaminya. Sehingga dia tidak leluasa terima telepon dari Indonesia.Aku katakan pada Ningsih, sebetulnya aku dan Noni cuma ingin tahu kondisi kehidupannya di sana. Apakah hidupnya bahagia atau tidak. Sehingga Noni juga bisa tena
Keesokan paginya saat dalam perjalanan menuju ke kantor Adriana telepon aku. Dia mau memberikan kejutan padaku, ada oleh-oleh spesial untuk aku katanya.“Sorry Dri.. tapi gak bisa sekarang ketemuannya, paling entar pas jam makan siang.” Aku jelaskan pada Adriana. Adriana maklum dengan apa yang aku katakan.“Nanti gini om.. aku check in duluan, terus om menyusul.. bisa gak?” tanya Adriana di telepon. Aku sarankan pada Adriana untuk check in setelah ada kepastian dari aku, karena aku belum memastikan bisa atau gaknya.Adriana menyetujui saran yang aku berikan dan dia mengakhiri pembicaraan. Aku tidak tahu Adriana mau kasih aku kejutan apa, yang jelas dia ingin memberikanku oleh-oleh sebagai buah tangan setelah pulang dari Singapura dengan pak Anggoro.Aku pikir dia pasti dapat uang tips yang lumayan dari hasil menemani pak Anggoro ke Singapura. Sehingga dia memberikanku oleh-oleh sebagai tanda terima kasihnya. Adriana memang menjadi sangat dekat den
Masih tersisa waktu 1 jam dan Adriana ingin bermanja-manja denganku, dia ingin aku peluk dan disayang layaknya aku memperlakukan Noni. Entah apa yang ada dibenak Adriana sehingga dia begitu terobsesi untuk diperhatikan dan diperlakukan seperti Noni.“Aku merasa nyaman om perlakukan seperti ini.. “ Ucap Adriana yang ada dipelukanku. Dia katakan itu dengan menatap bola mataku. Matanya yang begitu bening dan indah membuatku hanyut dalam berbagai imajinasi tentang dirinya.“Kenapa kamu merasa nyaman Dri? Kan ini sesuatu yang biasa aja sih menurut om?” Aku katakan itu sembari melabuhkan kecupan di bibirnya.“Mungkin om melakukannya dengan tulus dan penuh kasih sayang, aku sangat merasakannya om.” Balas Adriana.Sulit rasanya aku untuk menahan diri dalam posisi kami masih sama-sama dibaluti sehelai kain pun. Kadang Adriana menyilangkan kakinya dipahaku, kadang dia mengelus dada polosku yang tanpa sehelai rambu
196. EndingTiga bulan kemudian Noni yang pada awalnya tidak tertarik dengan Nara, menjalin hubungan hanya untuk menyenangkan hati orang tuanya. Lambat laun cintanya berlabuh juga pada Nara, “Mas.. Kok kamu sabar sekali menghadapi aku?” itu dikatakan Noni satu hari sebelum akad nikahnya dengan Nara padaku. “Non, aku sangat yakin dengan kekuatan cinta, mencintai itu seperti titik air di atas batu. Harus intens dan serius, itulah yang akhirnya aku dapatkan.” jawab Nara penuh keyakinan Noni memeluk Nara sangat erat, “Kamu hebat, mas, kesabaran kamulah yang membuat aku jatuh cinta pada akhirnya.” bisik Noni. Nara jelaskan pada Noni, bukan hanya dalam mencintai harus yakin pada perasaan. Tapi, dalam segala hal manusia harus serius pada tujuan hidupnya. Bagi Nara, cukuplah penderitaan sudah menjadi bagian hidupnya. Sekarang dia ingin menghiasi cintanya pada Noni penuh dengan kebahagiaan. “Aku sangat berharap Papa besok hadir pada pernikahanku, tanpa ada Papa hidupku belumlah lengkap.
Satu bulan kemudianPernikahan pak Anggoro dan Adriana tidaklah dirayakan secara meriah, mengingat isteri pak Anggoro juga belum lama meninggal. Sebuah pernikahan yang sangat sederhana, yang dirayakan di villa pak Anggoro di puncak. Aku hadir bersama isteriku, sengaja aku minta Sri untuk menemaniku. Tadinya Sri tidak ingin pergi, karena dia tahu di acara itu pasti ada Widarti Mama Noni, yang merupakan mantanku sebelum menikahi Sri. “Mas.. biarlah aku di rumah saja, aku tidak ingin nanti Widarti malah tidak menerima kehadiranku.” ucap Sri saat itu“Sri.. mas justeru ingin perlihatkan pada Widarti, bahwa aku bahagia bersama kamu. Aku ingin semua orang tahu, bahwa aku bangga sama kamu, Sri.”Akhirnya Sri bersedia menemaniku malam itu. Sri terlihat cantik sekali, karena memang dia tidak pernah berdandan seperti itu. Kami berangkat dari rumah dengan menggunakan mobil kantor yang dipinjamkan pak Anggoro. Sampai di Villa kami agak terlambat, sehingga kedatangan kami menjadi perhatian bany
“Dalam keadaan habis sakit aja stamina om masih okey, gimana sebelumnya ya?” puji Virna “Om cuma bisanya seperti tadi itu, Virna, maaf ya performa om kurang bagus.” aku sedikit merendahkan diriVirna memelukku, “Om.. apa yang aku rasakan tadi sudah lebih dari cukup. Makanya aku membayangkan om saat masih sehat.”Aku jelaskan pada Virna, bahwa sesuai dengan usiaku saat ini performaku sudah jauh menurun. Namun, Virna menganggap kalau aku masih mampu mengimbangi durasinya dalam bercinta. Selama ini Virna bisa merasakan seperti itu jika berhubungan dengan lelaki seusianya. Baginya apa yang aku suguhkan padanya sudah lebih dari cukup. “Ada yang istimewa dari om, cara om memperlakukan aku. Om benar-benar pakai perasaan saat melakukannya.”“Kalau itu soal kebiasaan aja, Vir, om selalu menganggap pasangan bercinta itu adalah kekasih. Om tidak akan bercinta dengan wanita yang tidak om sukai.”Virna mempererat pelukannya, “Terima kasih om sudah perlakukan aku dengan penuh cinta.” ucap Virna
Keesokan harinya Pulang dari Bandung aku semakin percaya diri, terlebih lagi setelah kencan dengan Noni. Ternyata aku memang harus membebaskan diri dari berbagai ketakutan, aku harus lebih santai menghadapi keadaan. Virna memang tidak mungkin telepon aku, karena dia hanya memasukkan nomor ponselnya di daftar kontakku. Aku sangat yakin kalau dia mau menguji aku, apakah aku bersedia untuk meneleponnya. Saat aku berada di taman perumahan aku telepon Virna, “Hai Vir.. kok kamu gak kelihatan di taman?” tanyaku Virna katakan pagi itu dia tidak di rumah, dia sedang berada di luar rumah. Virna mengajakku untuk bertemu, “Di mana Virna?” tanyaku lagiVirna katakan kalau dia sedang staycation di sebuah hotel dan dia memberikan nama hotelnya, juga nomor kamarnya. Aku tidak buang kesempatan itu, aku segera pulang ke rumah untuk segera mandi. Saat aku sedang berpakaian, Sri masuk ke kamar, “Tuh kan! Kalau sudah sehat aja gak betah di rumah, mas mau kemana rapi gitu?” tanya Sri penuh kecurig
Di kantor, aku, Nara dan Noni membicarakan rencana pernikahan Noni dan Nara. Keluarga Noni menginginkan pernikahan dilaksanakan enam bulan lagi. Berbeda dengan keinginan Noni dan Nara, yang menginginkan pernikahan dilaksanakan tahun depan. Noni dan Nara butuh masukan dariku, “Pernikahan itu bisa dilaksanakan tergantung kesiapan kalian, karena yang akan menikah adalah kalian,” itu yang bisa aku katakan“Iya Pa, aku dan mas Nara siapnya tahun depan, tapi Papa dan Mama maunya lebih cepat dari itu.” ujar NoniNara pun menjelaskan, secara finansial dia baru bisa melaksanakan tahun depan. Namun, menurut Nara Jatimin menyanggupi untuk menutupi seluruh biaya. Alasan Jatimin, karena Noni anaknya satu-satunya. “Jadi, sebetulnya alasan kalian menunda juga terlalu prinsip, ya. Ikuti saja keinginan Papa kamu, Non, itulah yang paling baik. Aku jelaskan juga alasan Nara menunda bisa ditanggulangi Jatimin, jadi alasan Nara tidaklah menjadi halangan bagi keluarga Noni. Keluarga Noni tidak terlalu
Satu minggu kemudian Aku dijemput Noni dan Nara, alasannya Noni dan Nara banyak yang ingin dibicarakan di Bandung terkait rencana pernikahan mereka. Di Bandung aku nginap di rumah Nara, rumah yang pernah aku tempati sebagai kepala cabang. Saat aku di kantor menemani Nara dan bertemu dengan karyawan, Noni mengajakku keluar. Alasannya, dia ingin memberikan kejutan padaku. Aku minta izin pada Nara, “Nara.. om izin jalan sama Noni ya, Noni mau kasih kejutan pada om.”“Iya mas.. gak lama kok, aku mau perlihatkan sesuatu pada Papa.”“Okey.. Gak apa-apa kok, silahkan aja Pa.. saya belum bisa menemani karena lagi padat hari ini.” ucap Nara. Noni menyetir mobilnya, aku mendampinginya di depan. Noni cerita, bahwa rumah nenek sudah di renovasi, itulah yang ingin diperlihatkannya padaku. “Rumahnya sudah bagus Pa, yang renovasi Papa Jatimin.”“Jadi kamu mau kasih lihat rumah nenek sama Papa?”“Iya Pa, biar gimanapun rumah itu banyak kenangan kita, Pa. Papa senang gak aku ajak ke sana?”Aku me
Virna belum tahu situasi di kompleks perumahan, dengan entengnya dia mengajakku mampir ke rumahnya, “Om keberatan gak kalau aku ajak mampir ke rumah?”“Keberatan sih gak, Virna, masalahnya kompleks perumahan ini bukanlah seperti perumahan pondok indah. Apa kata warga entar lihat om ke rumah kamu.” aku menolak dengan halus. “Om.. aku mau tanya, sekarang performa om gimana?”Sepertinya Virna mau menguji staminaku, “Performa sih lumayan dibandingkan beberapa bulan yang lalu.”Virna pembicaraannya sudah mulai rada panas, dia menanyakan vitalitasku sudah kembali normal atau belum. Dari gestur tubuhnya Virna terlihat sangat gelisah, seperti ada yang ingin buru-buru dia tuntaskan. Virna mengulurkan tangannya, “Om pegang deh telapak tangan aku..” Aku ambil telapak tangannya, “Lho? Kok basah gini, Vir? Kenapa tuh?” tanyaku pura-pura polos“Aku gitu om.. kalau sudah ketemu yang aku inginkan, aku jadi nervous kalau tidak aku dapatkan.”Aku sebetulnya tahu apa yang Virna sedang alami dan ras
Kesehatanku sudah berangsur pulih, setiap pagi aku mulai melakukan olah raga ringan dengan gerak jalan. Selain itu aku juga mengubah penampilan, yang tadinya lebih klimis, sekarang wajahku mulai ditumbuhi kumis dan brewok tipis. Di taman komplek perumahan aku berlari-lari kecil untuk jarak pendek, sekadar menggerakkan tubuh agar berkeringat. Banyak juga penduduk disekitarnya yang ikut berolahraga. Saat sedang melepas lelah di bangku taman, seorang gadis menghampiriku, “Pagi om.. maaf om warga disekitar komplek ini ya?” tanya gadis itu“Iya dik.. adik juga warga sini ya? Kok om baru lihat kamu?” aku berusaha bersikap seramah mungkin“Kenalin om.. Virna, aku warga baru di sini, baru dua bulan pindah ke sini.” Dia mengulurukan tangan dan memperkenalkan diriAku pun membalas jabatan tangannya sambil memperkenalkan diri, “Danu.. om warga pertama di komplek ini.”Virna yang memakai outfit sport yang ketat dengan belahan depan rendah, sehingga memperlihatkan setiap lekuk tubuhnya yang men
Yosi pada akhirnya datang ke rumahku, dia kaget saat tahu aku lagi sakit, “Ya Tuhan, om.. aku benar-benar gak tahu kalau om sakit. Emang Maura tahu dari mana om sakit, tante?”“Tante juga gahu Yosi, yang jelas dia datang ke rumah saat om lagi sakit. Dia bawa anaknya yang berusia hampir satu tahun.”Yosi ceritakan pada isteriku kenapa dia kenalkan Maura padaku, alasan dia semata-mata karena aku sering menolong orang lain. Yosi katakan kalau dia kasihan pada Maura yang sedang hamil, tapi cowoknya kabur. Saat itu aku hanya diminta mencari solusinya, dan aku memberikan solusinya. “Yang aku tahu gitu tante, Maura juga bilang sama aku kalau om Danu baik dan tidak macam-macam.”“Kamu sering menemui om ya?”“Gak sering tante, baru sekali itu aja.. benar kan om?”“Ya Sri.. Yosi ketemu aku baru kali itu aja.”“Emang Maura cerita apa sama tante soal om?”Sri katakan pada Yosi, bahwa Maura tidak banyak bicara. Maura hanya prihatin melihat keadaanku, dia belum sudah lama tidak bertemu denganku.