“Membuktikan penasaran kamu tentang hidung om ya, Non?”“Kok Non sih om? Anya bukan Non.. Siapa itu Non, om?”Tanpa aku sadari sering sekali aku menyebutkan nama Anya dengan Noni. Sehingga Anya mempertanyakannya, aku terpaksa harus jujur pada Anya, “Non itu panggilan sayang om pada Noni, anak angkat om, karena kamu mirip sekali dengan Noni.”“Masak sih om?” tanya Anya dengan tatapannya yang dalam. Aku jelaskan seperti apa hubungan aku dengan Noni pada awalnya. Sampai hubungan cinta terlarang yang sulit dihindari. Anya mendengar dengan antusias, dia sampai membayangkan dirinya berada di posisi Noni. “Jadi, aku beruntung dong om? Bisa menjadi pengganti Noni? Suer.. aku gak nolak om, aku yakin om orang yang baik.”Seketika Anya ingin aku memperlakukan layaknya Noni, dia ingin merasakan berada diposisi Noni. Tapi, aku tidak berkeinginan untuk bercinta dengan Anya. Itu setelah aku menyadari bahwa, perlakuanku pada Noni sudah kelewat batas. “Om akan perlakukan kamu layaknya Noni, Anya,
Ada yang terlupa, aku tidak sempat membawa ponsel Clara. Padahal aku harus menghubungi orang tuanya. Dalam kondisi yang sangat panik aku tidak memikirkan hal yang lainnya, yang ada dibenakku hanya menyelamatkan nyawa Clara. Aku minta Anya untuk kembali ke Paviliun Clara untuk mengambil ponselnya, “Anya.. kamu kalau om minta ke Paviliun Clara bisa gak? Kamu ingat jalannya?”“Tenang aja om.. Aku kan asli Bandung, om.” Anya bergegas kembali ke Paviliun Clara. Saat Anya ke Paviliun Clara, dokter mengajakku bicara, “Bapak orang tuan?” tanya dokte“Bukan dok.. saya orang yang teleponnya sebelum peristiwa ini terjadi. Gimana keadaannya, dok?”“Sampai saat ini kondisinya kritis, tapi masih dalam penanganan. Orang tuanya bisa dipanggil pak?”Aku jelaskan pada dokter, bahwa ponsel Clara sedang diambil ke Paviliun. Aku ceritakan kronologisnya pada dokter, mulai dari saat aku di telepon sampai saat aku temukan Clara dalam keadaan sekarat di dalam kamar mandi. “Sepertinya dia mencoba bunuh di
Dokter memberikan penjelasan kalau Clara butuh donor darah. Aku dan Anya bersedia mendonorkan darah, kalau dianggap memenuhi syarat dan sesuai dengan darah yang dibutuhkan. “Orang tua pasien kira-kira kapan datang pak?” tanya dokter“Saya belum tahu, dokter, karena belum ada kabar lagi dari orang tuanya. Kenapa dokter?” aku balik bertanya“Pasien membutuhkan donor darah, pak, karena pasien banyak mengeluarkan darah sebelumnya.”“Kami bersedia mendonorkan darah, dokter, kalau seandainya memenuhi syarat.”Aku dan Anya diperiksa untuk melihat memenuhi syarat atau tidak. Untungnya Anya tidak keberatan juga untuk mendonorkan darahnya demi Clara, orang yang tidak dia kenal sama sekali. Bagi aku dan Anya saat itu, yang penting bisa menyelamatkan nyawa Clara. Begitulah caraku untuk menjaga hubungan sesama manusia, sedikitpun aku tidak berpikir tentang keselamatan diriku sendiri. Setelah melalui proses pemeriksaan laboratorium, ternyata darah Anya sama dengan Clara dan sangat memenuhi syara
Pukul 3 pagi, Aku dan Anya meninggalkan rumah sakit dan pulang ke rumah. Di tengah rintik hujan dan dinginnya udara pagi, ditambah lagi kurang tidur membuat aku serasa membutuhkan sesuatu. “Om kedinginan gak? Aku gak kuat om, cuacanya dingin sekali.” Anya merapatkan tubuhnya ke tubuhku. Satu tanganku memegang stir, tangan yang satunya lagi memeluk Anya. “Gimana Anya? Masih kedinginan?” tanyaku“Lumayan hangat om.. “Aku khawatir efek dari mendonorkan darahnya, Anya menjadi sensitif tubuhnya. Aku semakin eratkan pelukanku, Anya terlihat mulai nyaman. “Tenang ya.. sebentar lagi kita sampai.” aku terus memacu mobil di tengah rintik hujan dan pagi yang begitu sepi. Situasi itu membuatku sangat bergairah, ditambah lagi aroma wangi tubuh Anya yang khas. Aku tidak tahu perasaan apa yang sedang menerpaku, sehingga aku ingin buru-buru sampai di rumah. Setelah lima belas menit menempuh perjalanan, kami sampai di rumah. Kami segera turun dan Anya membuka pintu rumah, karena dia yang terakh
Satu bulan kemudianSaat makan siang di Restoran di dekat kantor, Noni dan Nara tidak lagi segan memperlihatkan kedakatan mereka. Memang tidak banyak yang aku ketahui tentang hubungan mereka akhir-akhir ini. Yang aku tahu, Nara kinerjanya di kantor semakin bagus. Rupanya Noni selalu memperhatikan dan memotivasi Nara, begitu. Juga sebaliknya. “Maaf ya Pa.. Akhir-akhir ini aku jarang komunikasi sama Papa, waktu aku banyak habis untuk lelaki ini.” ucap Noni sembari menunjuk Nara yang ada di sisinya dengan jempolnya. Nara merespon ucapan Noni itu dengan senyumnya, “Noni maunya diperhatikan dan disayang om, jadi mau tak mau saya harus merebut semuanya.” “Gak apa-apa sih.. itukan bagus buat hubungan kalian ke depan.”Noni banyak cerita tentang perkembangan dirinya, kuliahnya semakin intens dan dia pun sudah mulai aktif di perusahaan Jatimin—Papanya. Bagi aku itu sebuah perubahan yang positif dari Noni. Bahkan aku sangat berharap hubungan Noni dan Nara langgeng. “Non.. itu semua kesemp
Setelah Noni pulang, aku merenung sendiri di ruang kerjaku. Betapa waktu cepat berlalu, perubahan demi perubahan pun tidak dapat dihindari. Noni yang tadinya begitu aku rindukan harus mengikuti jalan hidupnya. Tidak aku duga ternyata jodoh Noni bukanlah Supriatna, melainkan Narandra. Seorang eksekutif muda yang masa depannya cemerlang. Tuhan berikan lelaki yang sepadan dan lebih baik untuk Noni. Aku mengenang kembali kebersamaanku dengan Noni, gadis yang begitu hangat dan selalu aku rindukan, “Om pernah janji untuk menikahi aku, tapi.. aku sadar itu tidak mungkin. Biarlah om tetap ada di hati aku.” Itu dikatakan Noni saat aku belum menduga dia adalah anakku. Ucapannya itu membuatku semakin simpati pada Noni, “Non.. om terima kasih atas pengertian kamu, karena om sendiri tidak mengerti bagaimana melaksanakan janji itu.”Bagi Noni, tidak bisa memiliki aku seutuhnya tidak masalah. Tapi, yang penting aku selalu ada untuk dirinya. Bahkan saat aku menduga dia adalah anak dari buah hub
Aku merenung sejenak untuk mempertimbangkan, apakah aku harus membela kepentingan sendiri bertemu dengan Anya. Atau aku harus membela Noni dan Nara? Dengan Anya aku sudah terlanjur mengiyakan permintaannya. Sementara, dengan Noni aku masih bisa mempertimbangkannya. Akhirnya, aku putuskan untuk mempersilahkan Noni dan Nara datang ke rumahku, “Bisa Non, Papa tunggu malam ini ya.” Itulah keputusanku. “Kok mau bilang bisa aja lama banget, Pa? Keberatan ya menerima kedatangan aku dan mas Nara?” “Bukan gitu Non, tadi Papa udah kandung janji sama teman, tapi Papa lebih memilih untuk bertemu kalian.”Noni senang sekali mendengar aku lebih membela kepentingannya, dia sangat berterima kasih. Aku berpikir, urusan ketemu dengan Anya bisa saja aku lakukan setelah Noni dan Nara pulang. “Noni semakin sayang sama Papa, ternyata Papa gak berubah sama Noni.”“Kenapa Papa harus berubah pada orang yang Papa cintai dan sayangi, Non? Kamu itu sudah menjadi separuh dari hidup Papa.”Noni semakin tersan
Di tempat tidur kami tidak langsung memadu keintiman, Anya kembali cerita tentang Papa Clara yang selalu menggodanya. “Anya baru tahu om kalau Papa Clara itu Sugar Daddy, bisa cerita gak dari mana om tahu?”“Sebetulnya, dari penampilannya aja kamu bisa lihat. Dia sangat dandy dan matanya celamitan.”Anya terbahak-bahak mendengar ceritaku, “Hak hak hak.. Bisa aja nih om Danu, om juga selalu dandy, tapi bukan Sugar Daddy kok?”“Om modalnya tipis, Anya, kalau banyak modal, pastinya sudah jadi Sugar Daddy juga.” candaku. Anya katakan padaku bahwa, dia ditawari sebuah apartemen dan juga uang bulanan yang cukup. Selain itu, Anya juga akan diajak jalan-jalan keluar negeri untuk shopping. Anya sempat tergiur, tapi dia takut menjadi pelakor. Khawatir ketahuan sama orang tuanya, Anya bilang padaku kalau dia lebih senang hubungan tanpa beban. Cukup ‘Hit and run’ tanpa terikat. “Nah! Karena kamu cerita itu, om akan cerita pengalaman yang sama dialami Sinta, teman om.”“Waduh! Siapa lagi tuh o