Satu minggu kemudianSejak pertemuan Narandra dengan Noni di rumah sakit, aku tahu kalau Narandra menyukai Noni. Itu aku ketahui dari tatapan dan gesture tubuhnya. Hanya saja Narandra tidak pernah mengungkapkannya.Tapi, setiap aku berada di rumah sakit, dengan berbagai alasan Narandra selalu berusaha untuk menemuiku. Seperti hari ini, saat aku menjemput kepulangan Noni dari rumah sakit. Narandra juga ikut menemaniku, alasannya ingin belajar bersosialisasi dengan orang banyak.“Om gak keberatan kan kalau Nara ikut om ke sini?” tanya Nara saat kami menunggu Noni keluar dari ruang perawatan.“Ya gak apa-apa sih, kalau kamu memang punya kepentingan.”“Nara perlu belajar banyak hal dari om Danu, termasuk juga soal bersosialisasi.”Sebagai orang tua, jelas aku tahu kepentingan Nara. Dia ingin mencuri perhatian Noni, dia ingin Noni tahu bahwa dia punya perhatian.”Begitu Noni keluar dari ruang perawatan dan didampingi Widarti dan Jatimin, aku hanya menatapnya. Begitu Noni melihat aku, dia m
Hari demi hari, Narandra terus memperlihatkan sikapnya yang jujur dan apa adanya. Aku menganggap Narandra sebagai seorang pembelajar yang baik. Dia mau belajar banyak dariku, baik dari cara aku memperlakukan orang lain, juga bagaimana aku menuntaskan pekerjaan. Noni pun kerap mengunjungi aku di kantor, kadang sekadar untuk makan siang. Sikap Noni juga sudah banyak berubah, dia semakin dewasa. Suatu ketika Noni bertanya tentang Narandra, itu dia tanyakan saat dia mengunjungiku di kantor, “Pa.. Nara itu angkuh ya? Dia sih gak celamitan, tapi cueknya keterlaluan.”Aku mencoba menggoda Noni, untuk mengetahui perasaannya pada Nara, “Kamu ke sini sengaja menemui Papa, atau mau ketemu Nara?” godaku. “Ya ketemu Papa lah, masak mau ketemu Nara? Ngobrol juga gak pernah, kok!?”Aku jelaskan pada Noni, bahwa Nara itu orangnya apa adanya. Nara bersikap cuek karena terlalu serius dengan pekerjaan. “Yang jelas, Nara itu kurang pergaulan, Non. Dia belum pernah dekat dengan wanita, jadi dia belum
Pulang kerja sehabis mandi aku duduk di ruang tamu sendirian. Rumah fasilitas dari perusahaan terbilang cukup lumayan, karena semua perabotannya sudah terisi, kualitas bangunnya juga cukup baik. Hanya saja aku sendirian di rumah yang cukup besar, karena isteriku belum bisa menemani. Menjelang malam, sebuah mobil masuk ke halaman rumahku. Itu terlihat dari bias cahaya lampu yang menerpa jendela rumah. Aku beranjak ke pintu depan dan membukanya, ternyata Noni datang mengunjungiku, “Malam Pa.. lagi iseng ya sendirian?” tanya Noni sembari berjalan menghampiri. “Kamu juga lagi iseng ya? Buktinya, kamu mengunjungi, Papa?”Noni melabuhkan sebuah ciuman di pipiku, dia memeluk dan mengajakku masuk ke dalam rumah. “Papa udah makan? Kalau belum biar Noni pesan makanan, gimana?”“Papa udah makan, Non.. Gak usah repot-repot.”Aku serba salah, mau tanya ada apa datang malam-malam ke rumahku? Takutnya dia malah tersinggung. Noni agak sensitif, tidak suka kalau apa yang dia lakukan aku pertanyak
Noni menghentikan cumbuannya saat merasa aku tidak memberikan respon semestinya, “Kenapa, Pa? Papa sudah tidak ingin melakukannya denganku? Sudah dapat yang lebih hebat dari aku?” tanya Noni dengan menatap tajam kedua bola mataku. “Bukan karena itu semua, Non. Tapi, karena Papa sangat menyayangi kamu. Papa harus jaga kesehatan kamu.”Noni turun dari pangkuanku dan berdiri membelakangiku, “Papa tahu gak? Penolakan Papa ini, justeru akan membuat aku sakit. Bukan Cuma sakit secara fisik, Pa, tapi juga yang lainnya.” Noni katakan itu dengan lirih dan tetap membelakangiku. Aku berdiri menghampiri Noni, aku peluk dia dari belakang. Tapi, seketika itu juga dia tepis kedua tanganku. Aku menyentuh bahunya dengan kedua tanganku, aku katakan pada Noni, “Non.. kamu jangan salah faham, Papa akan lakukan itu kalau secara fisik kamu bisa menerimanya.”Aku bisa merasakan apa yang sedang Noni rasakan. Tapi, memenuhi keinginannya bukanlah cara terbaik aku menyayanginya. Aku katakan hal itu pada No
Tidak ada cara yang lebih baik untuk memotivasi orang lain, selain dari memberikan teladan yang baik. Selama aku masih menggaulinya, aku tidak akan bisa memotivasi Noni untuk menjadi lebih baik. Membuat jarak dengan Noni, tidak berarti aku mengurangi perhatian terhadapnya. Sebelum aku memotivasi Noni, aku mengubah sikapku terhadapnya. Upaya ini kelihatannya membuahkan hasil, Noni sekarang lebih giat dan fokus untuk kuliah. Jarangnya Noni bertamu ke kantor membuat Narandra bertanya, saat dia menghadapku di ruang kerjaku Narandra menanyakan Noni. “Maaf om.. pertanyaanku agak di luar konteks pekerjaan. Noni kok jarang ke sini sekarang?” Nara tanyakan itu dengan antusias. “Dia mulai sibuk kuliah, Nara, dia punya cita-cita harus menyelesaikan S1. Kenapa? Kamu kangen ya sama Noni?” “Eehhmm.. ya gitu deh om, tepatnya.. saya merasa kehilangan dia.”“Coba aja kamu bertamu ke rumahnya.. Kalau pun tidak bertemu dia, minimal bisa ngobrol sama orang tuanya.”Aku katakan pada Nara, bersilatura
Sekarang cerita tentang Noni tidak saja bisa aku dapatkan dari Noni atau Widarti, tapi juga dari Nara. Pendekatannya terhadap Noni semakin intens, meskipun Noni belum membuka pintu hatinya pada Nara. Kadang ada kerinduanku terhadap Noni. Tapi, aku harus kalahkan demi masa depan Noni. Kalau dulu aku sengaja hunting untuk mencari ABG yang bisa aku kencani, sekarang tidak lagi aku lakukan itu. Tapi, seperti rezeki yang datang. Kalau memang ditakdirkan dipertemukan dan memang memungkinkan, maka aku tidak akan menolaknya. Saat hari libur, isteri juga anakku belum bisa menemani aku di Bandung. Aku mencari hiburan dengan Window shopping di sebuah Mall. Di sebuah Coffee Shop, aku melihat seorang gadis cantik yang duduk sendirian dengan sebuah laptopnya. Dari jauh aku sudah menduga itu Clara, untuk memastikan penglihatan aku hampiri gadis itu. Aku duduk di hadapannya dan Clara kaget, “Om Danu? Kirain siapa tadi, om. Lagi di Bandung ya?” sapa Clara. “Om tadi ragu mau hampiri kamu, karena
Kali ini Clara tidak seperti biasanya, penuh hasrat dan rasa. Menit demi menit keintiman dinikmatinya dengan segenap rasa, itu sangat bisa aku rasakan. Sejenak, aku merasa menikmatinya. Tapi, juga merasa takut bila Clara tidak lagi bisa aku lepaskan. Aku menuntun Clara menuju puncak pelepasan, dia sangat terpuaskan. “Om.. Kali ini berbeda sekali, aku semakin tidak ingin kehilangan om,”ucap Clara di sela nafasnya yang masih tersengal. Aku tidak terlalu menghiraukan ucapannya, karena sekujur persendianku terasa lemas. Begitu juga dengan nafasku tak henti tersengal. “Om.. gak dengar ya?” tanya Clara sembari bangun dan menatapku. “Kamu terlalu terbawa perasaan, Clara. Have fun aja, ini hanya sekadar kesenangan, Clara.”“Aku gak bisa, om, karena aku sangat menikmatinya.. Makanya aku tidak akan mengubah seleraku.”Clara sepertinya terhalu berharap banyak dengan hubungan yang kami lakukan. “Harus bisa, Clara, om tidak ingin kamu terlalu berharap banyak dengan hubungan kita.”Clara sep
“Selamat pagi om.. “ sapa Narandra pagi itu. Narandra terlihat begitu charming, banyak sekali perubahan yang terjadi dengan dirinya. “Pagi Nara.. tumben kamu pagi-pagi sudah menemui om. Ada apa nih?” tanyaku sambil mempersilahkan dia duduk. “Silahkan duduk, Nara.”“Ternyata saya berguru kepada yang berpengalaman, gak sia sia.. ““Ada apa nih? Ilmu apa yang sudah kamu terapkan?”Nara ceritakan tentang proses pendekatannya dengan Noni dan keluarganya. Dia merasa perubahan sikap Noni terhadapnya semakin menaruh harapan. “Sampai saat ini Noni masih belum membuka diri, om. Tapi, saya sangat optimis..”“Apa yang membuat kamu tetap optimis? Apakah sikap Noni menjanjikan sesuatu pada kamu?” aku mencoba menyelidik.“Noni sepertinya menguji perjuangan saya, om, dia tahu kalau saya seorang pejuang yang tangguh.”Nara katakan itu dengan sangat optimis dan percaya diri. Aku senang dengan apa yang diperlihatkan Nara, dia sangat tahu bagaimana memperjuangkan keinginannya. “Nara.. Noni itu sepert