Praaangg!
Sebuah gelas hancur berserakan di lantai karena dilempar. Alana menatap mamanya yang sangat murka. Dia sendiri berusaha menahan amarah hingga tubuhnya gemetar.
“Mama ingin menikah dengan siapa itu bukan urusan kamu. Dan kamu tidak berhak untuk melarang mama. Mama tetap akan menikah dengan atau tanpa persetujuan kamu!” Bentak mama Alana.
“Mama tetap akan menikah dengan pria mata keranjang itu?” balas Alana dengan sengit. “Aku tidak tahu apa yang Mama lihat dari pria tua bajingan seperti dia. Aku tidak melarang mama menikah lagi, tetapi bukan dengan pria berengsek seperti dia.”
Plaaak!
Sebuah tamparan mendarat di pipi Alana.
“Kamu tidak berhak berbicara seperti itu tentang calon suami mama. Tarik ucapan kamu dan cepat minta maaf!”
Alana memegangi bekas tamparan di pipi kirinya. Mata gadis itu berkaca-kaca.
“Mama berani nampar aku?” kejut Alana, sembari mengusap-usap pipinya yang pedas memerah. “Aku tidak akan menarik kembali ucapanku. Ya, kalian berdua memang cocok. Aku baru sadar kalau kalian sangat serasi. Mulai sekarang aku tidak akan menghalang-halangi Mama lagi. Silakan Mama melakukan apa pun yang Mama mau karena aku sudah tidak peduli lagi.”
“Apa kamu bilang? Kamu memang anak durhaka dan tidak tahu diuntung. Kamu memang tidak suka melihat Mama bahagia. Dari dahulu kamu memang tidak pernah suka kan, kalau Mama menjalin hubungan dengan Sam?”
Alana sudah pergi meninggalkan mamanya yang masih meneriakkan berbagai makian dan sumpah serapah. Air matanya kini meleleh dan membuat bekas tamparan di pipinya makin perih.
Dengan cepat dia menaiki anak tangga menuju kamarnya. Dan dengan tangan masih gemetaran Alana mengunci pintu kamarnya dan merosot terduduk bersandar pada pintu kamar.
Dia menangkup wajahnya dan mulai menangis sesenggukan. Menumpahkan semua air mata yang sedari tadi dia tahan.
Berada jauh darinya di lantai dasar Alana mendengar barang-barang yang kini pecah dibanting dengan makian yang menyertainya. Mamanya memang temperamental dan kasar.
Dia akan melakukan hal-hal seperti itu jika ada yang membuatnya marah atau kesal. Saat sedang kesal, tidak jarang juga Alana akan menjadi pelampiasan.
Dia tidak segan untuk memarahi bahkan memaki Alana kalau apa yang dilakukannya tidak sesuai dengan keinginan sang mama.
Namun satu hal yang pasti, mamanya tidak pernah melakukan kekerasan fisik terhadap Alana, mau semarah apa pun dia. Hal itu membuat hati Alana makin perih.
Ini untuk pertama kalinya mamanya berani menampar dirinya hanya demi membela Samuel, seorang lelaki genit dan mata keranjang yang menjadi kekasih mamanya selama setahun terakhir.
Lelaki paruh baya itu seringkali menggoda Alana. Dia bahkan beberapa kali sengaja datang ke rumah ketika tahu mamanya sedang tidak ada.
Dia bahkan dengan terang-terangan mengatakan bahwa Alana jauh lebih menarik daripada mamanya. Hal itu membuat Alana sangat ketakutan.
Awalnya Alana diam saja. Sampai akhirnya karena merasa tidak tahan, dia memberanikan diri untuk bercerita pada mamanya. Tentu saja mamanya tidak percaya bahkan menuduh Alana mengarang semua itu.
Dan sekarang Mama malah berniat untuk menikah dengan Samuel? Yang benar saja, pikir Alana. Padahal dia tahu betul pria bajingan itu jelas-jelas hanya mengincar uang mamanya.
Dan Mama bilang bahwa itu adalah cinta? Alana benar-benar tidak habis pikir. Alana beranjak dari tempatnya duduk dan melihat bayangan diri sendiri pada cermin meja rias.
Yang tampak di sana asalah sosok seorang gadis yang benar-benar tidak karuan. Rambut panjangnya kusut dan sebagian menempel di wajah yang basah bersimbah air mata.
Pipi kirinya masih memerah dan berdenyut mengingat Mama menampar dengan cukup keras. Matanya juga bengkak serta merah karena terlalu banyak mengeluarkan air mata.
Alana benar-benar tampak kacau. Melihat bayangan dirinya yang berantakan membuat Alana bertambah sedih. Dengan kasar dia menyeka air mata dengan ujung lengan baju.
Gadis itu lantas berbaring di tempat tidur, sambil memeluk boneka beruang miliknya. Sisi kepala boneka tersebut mulai basah karena Alana masih tidak bisa berhenti menangis.
Selama ini Alana mencoba untuk tegar, tetapi malam ini semua kemarahannya seolah tumpah keluar semua.
Selama ini Alana selalu berusaha menuruti semua perkataan sang mama. Karena memang hanya wanita itulah yang dia miliki selama ini. Jadi, dia selalu berusaha untuk menyenangkan mamanya agar berhenti marah-marah dan kesal padanya.
Namun semua apa yang Alana lakukan seolah tidak cukup berarti. Mamanya selalu menuntut lebih dan lebih lagi. Alana lelah menjalani hidup layaknya sebuah boneka. Dia tidak diperbolehkan punya keinginan dan kehendak.
Seolah ada tali kekang tak kasat mata yang selalu melingkari leher Alana, yang membuat dia harus selalu patuh seperti anjing kecil pada majikannya. Kalau dia tidak patuh, maka dia harus dihukum.
Mamanya seringkali memberi hukuman. Mengunci Alana di gudang yang gelap, merampas mainannya ketika dia masih kecil, atau mengguyurnya dengan air hingga Alana megap-megap nyaris kehabisan napas.
Semua itu terjadi hanya karena hal-hal yang sepele. Nilai ulangan Alana yang menurun, terlambat bangun, tidak mau makan tepat waktu, dan banyak hal lainnya.
Di depan semua orang dia adalah ibu yang sempurna dan baik hati. Namun di rumah dia akan melepas semua topengnya.
Tidak heran kalau ayah Alana memilih untuk bercerai dengan wanita itu beberapa tahun silam. Orang tuanya bercerai ketika Alana berumur tujuh tahun, usia yang masih sangat muda.
Alana tahu orang tuanya seringkali ribut. Dia sering mendengarkan malam-malam saat dia terjaga di kamar.
Di depan Alana memang mereka berpura-pura seolah tidak ada yang terjadi, tetapi Alana tahu bahwa keluarga mereka sedang tidak baik-baik saja. Karena itu dia sering menangis diam-diam di balik selimut. Dia tidak ingin orang tuanya berpisah, tetapi dia juga tidak ingin mereka terus bertengkar.
Untuk karya tulisku yang lain bisa intip instagram @irma_sofia.n atau link berikut https://linktr.ee/irma_sofia.n
Sebuah kenangan berkelabat dalam benak Alana. Suatu pagi di hari Minggu saat Alana sedang menonton kartun favoritnya, tiba-tiba papanya datang dan memeluk erat. Dia ingat pada saat itu sedang mengenakan gaun merah jambu bermotif bunga-bunga tanpa lengan. Pakaian favorit Alana sewaktu kecil.Papa memeluk Alana lama dan begitu erat, seakan tidak pernah ingin melepaskan sang puteri. Begitu akhirnya Papa melepaskan pelukan, Alana melihat lelaki itu menangis.Seumur hidup Alana tidak pernah sekali pun melihat papanya menangis.“Papa mengapa menangis?” tanya Alana, sambil mengusap air mata yang melelehi pipi papanya.Papa Alana memeluknya lagi dan berbisik, “Maafkan Papa, Nak. Papa sayang sama Lana.”Pada saat itulah Alana juga ikut menangis. Dia tahu sesuatu yang buruk pada akhirnya benar-benar terjadi. Alana melirik tas bepergian kecil warna hitam yang diletakkan di samping sang papa yang saat itu sedang berlutut di hadapannya.Ada duka yang begitu mendalam di mata papanya dan itu membuat
Gadis itu tidak tahu mengapa hidupnya benar-benar tidak adil. Mengapa dia tidak pernah bahagia? Kini bahkan dia tidak bisa sekadar menjalani hidup dengan tenang.Alana duduk termenung di depan jendela kamar yang terbuka lebar. Dia tidak peduli pada embusan angin malam yang mulai membuatnya menggigil.Dia tahu harus melakukan sesuatu, tetapi apa? Apa yang harus dia lakukan? Dia tidak bisa lagi tinggal di rumah ini, tetapi dia harus ke mana?Alana tidak dekat dengan papanya. Dia bahkan hanya tiga kali bertemu dengan lelaki itu setelah perceraian orang tuanya. Dengan berbagai alasan, Mama selalu melarang Alana untuk bertemu dengan papanya.Dia bahkan mendengar kalau Papa sudah menikah lagi. Hal itu hanya membuat hubungan mereka semakin renggang. Komunikasi di antara mereka pun tidak berjalan dengan baik.Hanya sesekali papanya menghubungi untuk sekadar menanyakan kabar. Sedangkan Alana tidak pernah mencoba untuk menghubungi sang papa sama sekali.Alana tidak memiliki siapa pun selain mam
Mata Alana terbelalak. Gerakannya terhenti karena terkejut.Berdiri tidak jauh dari tempatnya berdiri adalah Samuel, yang tanpa gadis itu ketahui ternyata menginap di rumah mereka. Bagaimana mungkin lelaki sialan itu menginap di rumah calon mempelainya di malam pernikahan mereka? Alana benar-benar tidak habis pikir.“Mengapa kamu membawa koper malam-malam begini? Kamu mau kabur?” tanya Samuel menyelidik.Setelah kesadarannya kembali, Alana bergegas keluar dari rumah. Namun baru sampai teras depan, Samuel sudah berhasil meraih sikunya. Dengan paksa lelaki itu menarik Alana kembali masuk ke dalam rumah.“Lepaskan ... Lepas ...” Alana meronta-ronta berusaha melepaskan cengkraman tangan Samuel, tetapi percuma saja. Koper yang tadi dia pegang bahkan kini sudah tidak ada di tangannya.“Ku bilang lepaskan ...”“Diam kamu!” Bentak Samuel.Alana takut mamanya terbangun karena keributan itu sehingga kemungkinan dia bisa kabur akan semakin mustahil. Dia berusaha menginjak kaki Samuel atau menyik
Semua orang terlihat bahagia, kecuali Alana. Semua tamu terlihat rapi, bahkan Claudia terlihat cantik dengan kebaya berwarna putih gading.Alana melihat Claudia sangat bahagia. Ini akan menjadi hari yang sempurna seandainya pria yang bersanding dengan mamanya itu bukanlah Samuel, pria yang kini sangat Alana benci.Sepasang mata Alana terus memerhatikan, sembari berdiri di samping pintu masuk untuk menyambut para tamu yang datang. Dia harus tersenyum bahagia, tidak peduli sepedih apa hatinya.Semua tamu memuji betapa cantik dan anggunnya Alana dengan kebaya berwarna gold yang kini dia kenakan. Padahal baju itu hanya semakin membuatnya sesak napas.Seharusnya pada saat ini Alana sedang berada di pesawat yang sebentar lagi akan mendarat, bukannya berdiri di tempat ini dan terus tersenyum seperti orang bodoh.Pagi-pagi sekali hari itu, Claudia membuka pintu kamar Alana dan membangunkannya. Dia menyuruh Alana mandi untuk kemudian dirias. Alana hanya bisa berjalan patuh seperti sebuah raga
Sudah satu jam dan Alana masih berjalan tidak tahu arah. Sudah lewat tengah hari ketika dia pergi meninggalkan rumah, dengan tidak membawa apa pun kecuali sepasang baju yang melekat di badan.Alana pergi begitu saja dari rumah tanpa rencana apa pun. Apa yang dilakukan Samuel membuatnya sangat ketakutan, hingga tanpa sadar Alana melukai pria tua bajingan itu sehingga terluka cukup parah.Dia hanya berniat membela diri. Di saat dia ketakutan, insting bertahan dirinyalah yang mengambil alih. Pada satu sisi dia sangat berharap Samuel mati, tetapi pada satu sisi lainnya dia tidak ingin menjadi seorang pembunuh.“Sekarang, apa yang harus aku lakukan?” Alana berbisik lirih pada dirinya sendiri, sambil menggigil ketakutan. Sekarang pasti Claudia sudah tahu apa yang dia lakukan pada suami bejatnya.Maka dari itu Alana sengaja menghindari jalanan besar untuk bersembunyi dari Claudia yang kemungkinan sedang mencarinya. Atau bahkan lebih buruk lagi, melapor pada polisi.Claudia tidak akan percaya
“Kereta kelas ekonomi paling cepat jadwalnya besok pagi, jam enam. Kalau yang sekarang adanya hanya untuk kelas bisnis dan eksekutif.” Seorang petugas loket menginformasikan pada Alana.“Kalau begitu, saya ambil jadwal yang paling cepat,” jawab Alana setelah mengambil keputusan.Alana terpaksa naik kereta kelas eksekutif karena itu adalah kereta dengan jadwal keberangkatan paling cepat yang bisa dia dapat pada saat itu.Padahal tadinya Alana berencana untuk mengambil tiket yang paling murah demi menghemat uang, juga sebagai antisipasi jika terjadi sesuatu hal yang tidak diinginkan. Namun jika menunggu terlalu lama di stasiun, Alana khawatir seseorang akan berhasil menemukannya. Maka makin cepat dia pergi, itu akan semakin baik.Alana duduk di bangku peron paling sudut, jauh dari pintu masuk. Dia mengamati setiap orang yang berlalu-lalang dengan perasaan was-was.Semoga tidak ada yang menemukanku, batin Alana.Hari mulai malam dan badannya sedikit menggigil karena saat itu hanya menge
“Ini neng, silakan diminum tehnya. Tolong maafkan bapak ya, neng. Bapak benar-benar menyesal. Bapak benar-benar tidak tahu tadi”“Iya pak, tidak apa-apa”, jawab Alana yang sebenarnya masih kesal.Alana sadar kalau satpam tersebut yang ternyata bernama Pak Anwar, hanya melakukan tugasnya. Sebenarnya dia bukan orang yang jahat.Siapa pun pasti akan mengiranya penipu dalam situasi seperti itu. Terlebih seorang satpam memang sealu dituntut untuk selalu awas dan waspada.Perlu waktu bagi Alana untuk meyakinkan bahwa dia bukan penipu. Perlu beberapa waktu untuk menjelaskan situasinya pada saat itu, hingga kedatangannya di waktu dan dalam keadaan yang tidak seharusnya.Pria itu mencoba mengetesnya dengan beberapa pertanyaan mengenai Alana dan juga papanya yang dengan mudah dicocokkan dengan berbagai fakta yang satpam itu ketahui.Setelah yakin bahwa Alana bukanlah penipu, pria itu berubah menjadi sangat ramah. Terlalu ramah malah.Sepertinya dia merasa bersalah dengan sikapnya sebelumnya. At
Alana menyeka kedua tangannya yang kini mulai berkeringat. Dia bersiap untuk menghadapi kemungkinan terburuk, apa pun itu.Mereka masuk ke dalam rumah yang terasa sejuk. Gadis itu menatap sekeliling ruangan yang terlihat bersih dan berkilau. Tidak ada setitik pun debu di sana.Dia memandangi patulan dirinya di sebuah lemari pajang berisi hiasan kristal. Bayangan dirinya terlihat sangat lusuh dan berantakan. Tiba-tiba dia merasa sangat kotor berada dalam ruangan yang begitu bersih itu.“Sherly ... Kami sudah pulang,” Steve berteriak memanggil istrinya.Alana semakin gugup. Menantikan wanita asing yang adalah istri ayahnya, ibu tirinya. Seperti apakah dia? Akankah wanita itu membencinya?“Kalian sudah pulang?”Alana menoleh dan menatap wanita itu dari seberang ruangan.“Lana ... ” Alana mendapati seorang wanita cantik berdiri di hadapannya. Dia menghambur dan memeluk Alana dengan erat.“Senang sekali akhirnya bisa bertemu kamu,” wanita itu menagkup wajah Alana dan mengecup kedua pipinya
Adrian hanya bisa terdiam, saat mendapati bukti-bukti perselingkuhan kekasihnya. Namun, meski semua bukti itu terpampang nyata, pemuda itu masih menolak untuk memercayainya. Dia harus memastikan hal itu secara langsung. Dia harus menemui Greta.Pemuda itu mencari Greta di tempat kerjanya, dan mendapati bahwa gadis itu sedang libur. Dari sini, perasaan Adrian sudah berubah tidak nyaman. Kemudian Adrian pergi menuju rumah gadis itu, berharap dia akan bertemu Greta di sana.Dan betapa hancur hati Adrian, saat mendapati kekasihnya tengah bersama seorang laki-laki yang dilihatnya dalam foto. “A-Adrian!” Greta terkejut dengan kedatangan pemuda itu yang tiba-tiba.“Kau tidak bekerja?” tanya Adrian, masih mencoba untuk berpikir positif.“Aku baru saja pulang,” jawab gadis itu.“Benarkah? Aku baru saja dari tempat kerjamu. Dan mereka bilang hari ini kau sedang libur.”“Ah, i-itu..” Greta menjawab dengan gugup. “Aku—““Siapa kau? Ada perlu apa kau dengan kekasihku?” pria di samping Greta berta
Alana dan Braden mampir ke sebuah tempat yang menjadi pusat street food sebelum pulang. Meski Alana bilang sedang ingin diet, nyatanya mata gadis itu seketika melebar saat melihat aneka jajanan serta mengendus aroma makanan yang menguar di udara sekitar mereka.“Waah, semuanya terlihat enak.” Alana menatap sekelilingnya dengan mata berbinar.“Bukankah tadi kau bilang sedang ingin diet?” Sindir Braden.“Kita kan sudah terlanjur sampai di sini. Jadi, ayo kita keliling,” Alana berjalan di depan dengan diikuti Braden yang membawakan bonekanya.Alana bingung menentukan pilihan, karena semua makanan terlihat sama enaknya. Setelah berkeliling dan melihat sana-sini, akhirnya gadis itu menjatuhkan pilihan pada corndog isi sosis dan keju berukuran besar, souffle cake mini dengan aneka toping, dan segelas boba cokelat.Mereka berjalan sambil menyesap minuman dingin, sedang mencari tempat duduk untuk makan. “Sepertinya itu Kak Greta. Apa aku salah lihat?” Alana berhenti untuk memperhatikan seoran
“Alana―” Braden menyaksikan mata Alana berkilat saat gadis itu menatap Leona dengan tajam. Leona mendongak, menatap Alana tidak kalah sengit. Melihat itu Braden buru-buru berdiri dan menempatkan dirinya di antara kedua gadis itu. “Lana, ayo kita pergi saja. Aku baru ingat ada kedai es krim yang lebih enak.” Alana menepis tangan Braden yang tengah memegangi lengannya. “Kenapa kita harus pergi? Kita duluan yang menempati meja ini. Kalau ada yang harus pergi, itu adalah dia!” Alana menunjuk Leona. “Bagaimana kalau aku tidak mau pergi?” Leona menyialngkan kaki dan mengibaskan rambutnya yang kini pendek sebahu. “Ayo kita cari meja lain.” Braden membujuk. “TIDAK!” Kata Alana tegas, masih sambil menatap Leona tanpa berkedip. Will menyadari ketegangan yang mulai terbentuk. “Leona, ayo kita kembali ke meja kita.” “Meja kita sudah ditempati oleh orang lain. Lagi pula aku lebih suka duduk di sini.” Leona berbicara tanpa repot-repot menoleh pada Will. Alana tersenyum miring. “Baiklah kala
Braden sangat kesal ketika melihat Alana yang terus saja tersipu saat mereka makan bersama malam itu. Gadis itu mengaduk-aduk makanan di piringnya dengan pandangan mata menerawang, dengan senyum samar yang terus saja tersungging di wajahnya.“Lana, jangan mainkan makananmu.” Tegur Sherly, membuat Lana bergegas menghabiskan sisa makanannya.‘Apa yang sudah dilakukan bajingan tengik itu? Dia pasti sudah mencekoki Alana dengan omong kosongnya!’ Braden membatin dengan kesal.Saat akhirnya kembali ke kamarnya, Braden menjadi makin kesal. Senyum konyol Alana benar-benar mengganggunya. “Argh, sialan!” Braden mengacak rambutnya. Dia benar-benar ingin menghajar Eric.Dia keluar dan pergi ke kamar Alana. Dia masuk begitu saja tanpa mengetuk pintu. Didapatinya gadis itu mendongak terkejut dengan kedatangannya. “Kenapa kau tidak mengetuk pintu? Benar-benar kebiasan!” Alana tengah duduk di meja belajarnya sambil memangku boneka beruang bertuksedo pemberian Eric.Braden melirik boneka itu dengan ke
“Kenapa kau terus memandangiku?” tanya Alana, karena Eric berkali-kali mencuri pandang ke arahnya.Pemuda itu hanya tersenyum. “Aku hanya senang karena akhirnya bisa pergi denganmu.”Alana jadi salah tingkah. “Fokuslah mengemudi. Kau harus memperhatikan jalan dengan baik.”Akhirnya Eric menuruti apa kata Alana. Alana memperhatikan Eric yang sedikit tegang, berbeda dari biasanya. “Eric, apa kau baik-baik saja? Kau tampak tegang.”“Hahaha. Aku baik-baik saja.” Eric melirik Alana kembali. “Emm, Lana. Bisakah kau bukakan laci itu untukku?” Eric menunjuk laci dashboard yang berada tepat di depan Alana.“Yang ini?” Alana menunjuk.“Ya, benar. Yang itu. Bukalah.”Alana membukanya, dan menemukan sebatang cokelat dengan hiasan pita pink. Alana menatap Eric dengan pandangan bertanya. “Itu untukmu.” Ucap Eric, tanpa berani menatap Alana kali ini.Seketika Alana merasakan panas yang menjalar di leher dan wajahnya. Dia merasa kepanasan, padahal AC tengah menyala. ‘Astaga, ini cuma cokelat. Ada apa
Saat sampai di rumah, Alana menumpahkan kekesalannya pada boneka beruang pemberian Adrian. Alana memukul-mukul kepala beruang malang itu, kemudian menutupnya dengan kantong keresek agar mukanya yang imut itu tidak terlihat oleh pandangan matanya.“Kau memang menyebalkan! Mudah sekali kau meminta maaf. Kau pikir aku bisa melupakannya begitu saja?” Alana meninju beruang itu beberapa kali lagi hingga dia merasa puas. Sebenarnya dia merasa kasihan pada si beruang, tetapi benda itu selalu saja mengingatkannya pada Adrian.Seperti yang dijanjikan pemuda itu, keesokan harinya Greta benar-benar datang ke rumah dan meminta maaf pada Alana. “Maafkan aku, Lana. Aku menyesal, sungguh.” Permintaan maaf Greta tampak tulus, tetapi kini Alana tidak akan tertipu lagi.“Bisakah kita memulai semua kembali dari awal? Sebagai sahabat?” Greta tersenyum manis, seakan mereka berdua benar-benar bisa menjadi sahabat.‘Apa? Sahabat? Cuiih...’ Batin Alana. Dia menduga-duga, pasti Adrian harus menyuap Greta denga
“Tidak―” Braden menjatuhkan handphonenya, membuat Adrian makin panik.“Braden, Braden ada apa? Apa Alana baik-baik saja? Halo? Braden, jawab Aku!” Adrian terus berteriak menuntut jawaban, tetapi kini dia sudah diabaikan sepenuhnya oleh sang adik.Braden berlari menyeberangi ruangan, tempat Alana terbaring di lantai dengan muka pucat. Kini ketakutannya benar-benar menjadi nyata. Hal seperti inilah yang dia takutkan sejak awal.“Lana! Lana, bangun!” Braden mengguncang tubuh lemas Alana dengan putus asa dan air mata tertahan. “Kumohon, bangunlah! Lana!”Braden sudah menyelipkan sebelah lengan ke punggung gadis itu dan bersiap mengangkatnya saat Alana membuka mata dan melotot, membuat Braden terperanjat kaget. “Apa yang kau lakukan?” Alana duduk dan menggeliat, kemudian melepas headshet yang menempel di telinganya.“K-Kau tidak pingsan?”“Kau pikir aku pingan? Aku baik-baik saja.”“Astaga, kau membuatku khawatir! Kau tidak tahu betapa khawatirnya aku tadi. Jantungku hampir lepas saat meli
“Apa? Minta maaf?” Alana tertawa. “Dia yang salah kenapa aku yang harus meminta maaf?”“Berhentilah bersikap kekanak-kanakan!”“Kakak menyebutku kekanak-kanakan? Kekasih Kakak yang tidak tahu diri itulah yang bersikap kekanakan. Dia tidak bisa bersikap layaknya orang dewasa! Asal Kakak tahu saja, dia tidak sebaik yang Kakak kira. Kakak hanya sudah terperdaya oleh perangkap busuknya, sehingga tidak bisa melihat seperti apa dirinya yang sesungguhnya!”“Hentikan, Lana. Cukup! Aku tidak akan membiarkan siapa pun berbicara buruk mengenai Greta. Bahkan jika itu adalah kau!”Alana tersentak. Tidak pernah sekali pun Adrian membentaknya. Adrian yang begitu lembut dan baik hati, kini membentak Alana demi membela gadis seperti Greta.“Aku akan mengatakannya sekali lagi padamu. Kau harus meminta maaf pada Greta. Kau harus meminta maaf atas semua tuduhanmu dan karena kau sudah membuat dia menangis karena keisenganmu.”“Tidak!” kata Alana. “Aku tidak akan pernah meminta maaf padanya!”Adrian terlih
Mereka pergi ke sebuah restoran seafood yang berada di tepi pantai. Mereka semua bergembira, menikmati makanan enak serta pemandangan laut yang indah. Bahkan untuk sekali ini Steve tidak mempedulikan tingginya kandungan kolestrol dalam makanannya.Semua orang senang kecuali Greta. Gadis itu makan dalam diam, tampak tidak antusias seperti yang lainnya. Dia juga sesekali melirik Alana dengan penuh kebencian, namun tidak mengatakan apa pun. Setelah makan, mereka mengunjungi dermaga kecil yang berada tidak jauh dari sana.Mengabadikan momen dengan berfoto dan menikmati semilir angin yang sejuk di hari yang cerah itu. “Sayang, bajumu kotor. Kau pasti bersandar entah di mana tadi.” Sherly berusaha menghilangkan noda di baju putih Greta yang bagian punggungnya kotor.“Ah, biar saja Tante. Mungkin karena aku baru saja bersandar di pagar.” Greta tersenyum pada Sherly, tetapi saat dia kembali sendirian, Greta kembali menunjukkan kekesalannya.Mereka kembali ke villa ketika hari sudah malam. Mer