“Tuan, apakah mungkin. Anda sedang sakit?” tanyanya.Zayden menoleh lagi pada Aara. “Tidak,” jawabnya singkat.“Tapi, Anda terlihat—““Aku bilang tidak, pergi sana!” usirnya kemudian.Mendapat tatapan dingin Zayden yang semakin terlihat jelas, Aara yang merasa takut itu pun akhirnya menurut.Dia berbalik, lalu pergi dari sana. Walaupun hatinya merasa ragu, karena di matanya Zayden tampak begitu pucat.Tapi apa hendak di kata, dia tidak bisa melawan perintah Zayden.Setelah kepergian Aara, Zayden langsung menyandarkan punggung pada kursi kerjanya.Dia memegangi keningnya dengan suara nafasnya yang terdengar memburu.“Kepalaku sakit sekali,” gumamnya.Sementara itu di luar, Aara yang sudah kembali duduk di tempatnya itu tidak bisa mengalihkan pandangannya dari ruangan Zayden.Dari dinding kaca itu, Aara bisa melihat dengan jelas keadaan Zayden saat ini.“Bukankah dia benar-benar terlihat sakit?” gumamnya.Namun, sekali lagi. Walaupun itu benar, Aara tidak bisa melakukan apa
“Duduklah Tuan,” ucapnya.Zayden menurut, dalam diamnya dia pun duduk di kursi kerjanya.Matanya itu terus melihat Aara yang sibuk membuka bungkusan yang tadi dibawanya.Dia mengambil plester penurun panas dan menempelkannya pada Zayden.“Apa ini? Kau pikir aku anak kecil?” tanyanya.“Ini plester penurun panas, dan ini untuk orang dewasa,” jawabnya.Zayden kembali diam. “Saya juga membeli obat untuk Anda. Tapi sebelum itu, Anda harus makan dulu. Saya sudah membelinya di luar tadi,” ucapnya.Aara lalu membuka bungkusan lainnya yang tak lain adalah semangkuk bubur.“Silakan Tuan,” ujarnya.Zayden menatap bubur itu, dilihat dari penampilannya sudah jelas jika bubur ini dia beli di tempat kaki lima.Tapi, sebenarnya dua tidak mempermasalahkan hal itu. Karena sewaktu kecil, dia bersama mamanya juga selalu makan makanan pinggir jalan.Yang menjadi masalahnya adalah, bubur ini dibawa oleh wanita yang amat dibencinya.Zayden mendongak melihat pada Aara. Wanita yang menjadi pelampi
Saat di perjalanan pulang, Aara tampak risih dengan Zayden yang terus menatapnya bahkan teralih sedikit pun.Aara berusaha untuk tetap menunduk, berusaha menghindari tatapan Zayden.Namun, semua itu percuma. Karena Zayden menatapnya terang-terangan hingga membuat Aara menyadarinya walaupun tidak secara langsung melihatnya.‘Dia kenapa sih, kok ngeliatin aku terus? Apa ada yang salah denganku?’ batinnya.Aara terus berusaha menghiraukan hal itu, namun ternyata itu tidak mudah.Dia pun lalu mengangkat wajahnya dan menoleh pada Zayden.“Apa ada sesuatu di wajah saya, Tuan?” tanyanya.“Tidak ada,” jawab Zayden apa adanya.“Lalu, kenapa Anda terus melihat saya?”“Melihatmu?” Zayden mengerutkan keningnya. “Aku melihat jendela di sampingmu,” lanjutnya.Deg!Mendengar itu, seketika Aara pun melihat ke arah jendela di sampingnya. Matanya langsung tertutup, karena rasa malu yang dia rasakan saat ini.‘Kenapa aku bisa berpikir dia melihat ke arahku? Padahal kan itu tidak mungkin, das
Di dalam perjalanan menuju tempat pesta, Aara tampak terus melirik pada Zayden yang hanya melihat lurus ke arah depannya. Dia masih memikirkan apa yang tadi Zayden lakukan padanya. Hatinya terus bertanya-tanya sebenarnya apa maksud Zayden melakukan hal itu. Lalu, kenapa dia juga mengatakan hal seperti itu padanya. ‘Apakah di matanya, saat ini aku sungguh terlihat sempurna?’ batin Aara. Dia kemudian menggeleng, setelah apa yang baru saja dia pikirkan. ‘Tidak mungkin, dia pasti mengatakan itu untuk menggodaku. Dia ingin aku berpikir yang aneh-aneh dan akhirnya hanya mempermalukan diriku sendiri. Bukankah dia iblis, dia tidak mungkin memuji seseorang. Apa lagi aku,’ lanjutnya. Tak lama, Aara merasakan laju mobil yang mulai melambat. Dia lalu melihat ke arah jendela kaca mobil yang ada di sampingnya. Mulutnya terbuka, karena kagum dengan taman yang saat ini dia lewati. “Indah sekali,” gumamnya. Zayden menoleh, karena sebenarnya dia mendengar apa yang baru saja Aara gumamnya. “Jadi
Dia terdiam, dan melihat kedua orang tuanya yang memang baru saja masuk ke aula pesta.‘Akhirnya, tamu yang kutunggu-tunggu datang juga. Aku ingin tahu, apa reaksinya. Jika dia tahu wanita simpanannya ini ada di sini. Apakah dia akan tetap bersikap tidak tahu malu. Atau justru, dia akan lebih mengutamakan harga dirinya. Tapi, tentu saja aku tidak akan membiarkan mama sakit hati,’ batinnya seraya melihat kepada mamanya yang berjalan di samping papanya.Ekor mata Zayden tampak melirik pada Aara yang juga hendak melihat ke arah pintu masuk.Namun, tentu saja Zayden tidak membiarkannya. Dia langsung menyentuh bahu Aara, dan menempatkannya kembali ke arah depan.“Kalai begitu, kami akan menemui tamu lainnya,” ujar Zayden yang dijawab anggukan oleh Rain.Aara yang masih terlihat bingung dengan tingkah Zayden itu pun, hanya bisa mengikuti Zayden dengan raut kebingungan di wajahnya.“Tuan, tunggu sebentar. Anda menarik saya terlalu kuat. Tangan saya sakit!”Mendengar itu, Zayden pun la
“Jika mama tahu siapa dia, maka mama tidak akan berlaku selembut itu padanya, apa lagi membelanya,” gumamnya. Zayden lalu melihat mamanya itu yang pergi meninggalkan Aara. Tampak Aara yang tersenyum, seraya terus melihat kepergian Alya. Tak membuang waktu, Zayden kembali melanjutkan langkahnya menghampiri Aara. Dia langsung memegang tangan Aara dan menariknya pergi dari sana. Di mana apa yang Zayden lakukan itu tentu saja membuat Aara terkejut. “Tu-tuan, Anda mau membawa saya ke mana?” tanyanya. Zayden tidak menjawab, dia hanya terus menarik paksa Aara dan membawanya ke tempat di mana tidak ada satu pun tamu yang ada di sana. Dia melepaskan kasar tangan Aara, lalu mendorongnya dengan kasar pula hingga Aara mundur dan menabrak tembok di belakangnya. “Aahh,” ringisnya saat merasakan sakit yang bukan hanya pada tangannya tapi juga pada punggungnya. “Tuan?” tanyanya yang tidak mengerti dengan perlakuan Zayden yang tiba-tiba ini. Pugh! Zayden menempelkan kedua tangannya pada kedua
“Itu bagus, setidaknya pekerjaan itu lebih baik untukmu. Tapi, di perusahaan mana kau bekerja?”“Itu, saya—““Pak Zion.”Ucapan Aara seketika tercekat, kala seseorang dari arah belakang mereka datang dan memanggil Zion.Mereka pun lantas menoleh. “Oh Pak Rain,” ujar Zion.“Masih ada hal yang ingin saya bicarakan dengan Anda, bisakah kita berbicara sebentar?” tanyanya.“Tentu saja, ayo,” ajaknya.Zion pun pamit pada Aara, yang hanya dijawab anggukan oleh Aara. Dia menatap kepergian Zion dan Rain dengan tatapan sendunya.Karena ketika melihat Zion, dia menjadi ingat dengan ibunya yang masih berada di rumah sakit.Seketika, wajahnya itu kembali memperlihatkan kemurungan. Aara menunduk, karena besok adalah hari operasi ibunya.Tapi, melihat situasi saat ini, sepertinya dia memang tidak akan bisa datang ke sana.Aara mendongak, melihat langit malam yang begitu indah dengan sinar bulan yang begitu terang. Namun, sayangnya bulan itu tidak bisa menyinari hatinya yang begitu gelap
“Aland?”Ujaran Zayden itu seketika membuat Aara dan pria itu menoleh.Aara terlihat kaget, namun tidak dengan pria itu. Dia justru menunjukkan senyumnya, kala melihat Zayden.Tampak Zayden yang melangkah dengan tatapannya yang terus lurus mengarah pada Aland.Matanya menyipit, kala memperhatikan Aland yang juga bergerak, mendekat padanya. Dengan senyum yang terus mengembang di bibirnya.“Hallo Zay, lama tidak bertemu,” ucapnya seraya mengulurkan tangannya pada Zayden.Zayden menurunkan pandangannya, melihat pada tangan Aland. Namun, bukannya menyambutnya. Dia malah mengangkat kembali wajahnya, menatap Aland dengan tatapannya yang begitu tajam.Aland yang melihat itu pun, lantas menarik kembali tangannya itu seraya menunjukkan senyumnya.“Ups, sepertinya kau tidak mau bersentuhan denganku,” ucapnya.“Mau apa kau kemari?” tanya Zayden dingin.“Aku? Tentu saja aku menghadiri pesta ini, kau pikir untuk apa lagi aku ada di sini?” tanyanya balik. “Apa kau lupa? Aku juga punya per