Rapat pemegang saham telah berlangsung, Rafin ada disana, Tn Arkan Wijaya sendiri yang memimpin rapat di hari itu. Penurunan laba kali ini terasa sangat anjlok. Sebagian pemegang saham menuntut untuk pergantian pimpinan , namun sebagian lainnya masih memberikan kesempatan bagi Rafin untuk memperbaiki semua kekacauan ini. Tak dapat dipungkiri, bahwa selama beberapa tahun di bawah kepemimpinannya, perusahaan itu telah berkembang dengan pesat. Bahkan banyak perusahaan besar yang memutuskan untuk bergabung dengannya.
Sementara Rafin yang ditinggalkan oleh istrinya, terlihat tak ada lagi semangat. Bahkan ia kini lebih banyak melamun. Hingga papanya kerap kali memarahinya.
"Harusnya kau bisa bersikap profesional, mana jiwa kepemimpinan mu? Aku tau, aku tau, kamu sedang bersedih. Tapi harusnya kamu bisa memilah-milah, nasib ribuan karyawan ada ditanganmu. Disana mereka juga memiliki keluarga yang harus dihidupi. Jika kau hanya b
Mila tak ingin terlalu larut dalam kesedihan. Yang ia inginkan hanyalah bangkit dari keterpurukan, dengan keterampilan yang ia punya, ia mencoba peruntungan dengan membuka usaha kue."Kamu yakin gak mau terima suntikan modal dari aku, jangan-jangan karena nominalnya kurang gede ya?" tanya Amel suatu pagi."Sudah cukup Mel, maaf ... , aku tak bermaksud untuk menolak niat baikmu. Aku hanya ingin mencoba peruntungan dulu, takutnya aku nanti malah terlena dengan modal yang besar, biarlah aku berusaha dengan modal yang aku punya saja.""Kamu bisa pakai bangunan di sebelah butikku." Amelia masih berusaha untuk memberikan tawaran bantuan."Gak perlu Mel, orang baru buka awal-awal kok, aku juga belum tahu minat pasar disini gimana, cocok nggak sama daganganku nanti," ujar Mila sambil bermain-main dengan putranya, Azzam."Aku jamin deh Mil, kuemu pa
Kasto kini sudah tak tinggal lagi dirumah lamanya. Ia memutuskan untuk menjualnya dan memilih untuk hidup berpindah-pindah. Sebuah perasaan bersalah telah menguasai hatinya, sehingga ia kini menjadi seperti orang yang terganggu mentalnya. Selalu dihantui ketakutan dan tak pernah merasa tenang. Uang hasilnya menipu sebagian ia tabung dan sebagian lainnya ia gunakan untuk keperluan hidup. Perjalanan akhirnya membawanya ke suatu tempat di pinggiran kota yang jauh dari hiruk pikuk kesibukan.Langkahnya terhenti di sebuah warung makan yang terlihat sederhana. Rasa lapar dan haus membawanya kesana."Selamat siang pak, mari masuk," ucap seorang pelayan mempersilahkannya untuk mengambil tempat. Sedikit ragu, namun akhirnya ia masuk juga, dorongan rasa lapar membuat kakinya melangkah perlahan dan duduk disebuah kursi kosong."Nasi dengan lauk telur dan tumis sayur saja mbak, minumnya teh hangat,"
Pram masih mengingat saat terakhir kali ia bertemu dengan Mila. Wanita itu tampak memiliki kehidupan yang sempurna. Bahagia dengan suami yang juga mencintainya dan dua anak kembar yang lucu. Nyaris tak ada celah baginya untuk masuk dalam kehidupan mereka. Sepertinya ia memang harus mundur. Tau diri, dan perlahan pergi.Kenyataan bahwa kini Mila pergi tanpa melibatkan dirinya, menambah keyakinan di hatinya bahwa dirinya kini bukanlah apa-apa bagi wanita itu. Mungkin ia akan mencoba berdamai dengan kenyataan bahwa memang Mila bukanlah untuknya.Ada atau tak ada sosok Rafin di antara mereka, tidaklah berpengaruh bagi kehidupannya. Hilang sudah rencana yang pernah ditata dengan begitu rapi, hilang sudah angan-angannya untuk kembali merajut kasih dengan wanita yang hingga kini masih memenuhi ruang di hatinya. Rafin bukanlah tandingan untuknya. Karena nyatanya Mila memilih pergi dan menghilang, tanpa melibatkan apapun darinya. Sedih? Pasti.
Hari ini Pak Sutomo mengajak Dodit ke kota, ia ingin memberikan sedikit kesenangan pada pemuda itu. Meskipun terlihat ragu, namun terlihat bahwa ia sangat antusias dengan rencana Pak Tomo. Dengan senandung kecil yang kadang kala ia perdengarkan, Dodit segera menyudahi aktivitas mandinya, lekas berganti dengan pakaian terbaik dan bersiap untuk pergi kemanapun.Mereka berjalan cukup jauh, hingga sampai di sebuah pangkalan ojek."Pasar ya dek," ucap Pak Sutomo. Tak lama kemudian, keduanya telah melaju dengan dua buah sepeda motor milik pak ojek.Pasar disana letaknya di kota. Cukup jauh dari tempat yang mereka tinggali. Butuh waktu lebih dari setengah jam untuk sampai ditempat itu.Wajah Dodit berbinar saat mereka turun dari ojek."Ini dek, ambil kembaliannya. Dibagi dua ya … " ujar Pak Sutomo sambil memberikan dua lembar uang kertas merah pada salah seorang tukan
Kasto kini tinggal disebuah rumah sederhana di pinggiran desa. Rumah yang bahkan langsung dibeli saat ada seseorang yang menawarkan kepadanya. Entahlah. Ia merasa nyaman berada di desa ini, dan kebetulan saat ia sedang beristirahat di pos ronda, datanglah seorang ibu-ibu yang basa basi bertanya padanya."Sedang menunggu siapa pak?""Tidak menunggu siapapun bu, cuma mau cari rumah kontrakan aja. Kira-kira ibu punya infonya gak ya, kontrakan daerah sini?" tanya Kasto.Wanita setengah baya itu terlihat terkejut dan wajahnya berbinar."Bapak tunggu sebentar disini ya, jangan kemana-mana. Saya ada info tentang rumah yang akan dijual, semoga saja masih menjadi rezekinya ya pak," ucap ibu-ibu itu dan langsung di iyakan oleh Kasto.Benar, tak lama setelahnya, ibu-ibu tadi kembali dengan membawa seseorang lainnya."Jadi begini pak Bono, bapak ini ingin m
Dodit tak tak henti-hentinya tersenyum lebar. Ia terlihat sangat bahagia. Bagaimana tidak? Sebuah motor baru telah terparkir di halaman rumahnya."Terimakasih banyak pak," ucap Dodit."Iya, kamu sudah ucapkan itu ribuan kali. Jadi kasihanilah orang tua ini. Tolong jangan ucapkan itu lagi." Baik Dodit maupun Pak Sutomo akhirnya tertawa bersama."Wah, Dit … , hebat bener kamu Dit. Kaya kamu sekarang ya, udah mirip sama anak-anak kota yang pake motor keren," ucap seorang tetangga yang kebetulan lewat di depan pekarangan rumah mereka."Ah pak, bisa aja …." ucapnya mengambang"Itu hasil dari tabungan Dodit sendiri lho pak, hasil dari jual ikan di kolam kemarin," potong Pak Sutomo yang membuat Dodit paham bahwa beliau tak ingin ada yang tau jika motor itu adalah pemberian darinya. Ia hanya tersenyum paham." Wah, hebat kamu D
"Jangan pulang jika tak mendapatkan setidaknya dua informasi penting untukku." Rafin memutus sambungan telepon secara sepihak, membuat Tommy dan Hendra menahan geram, untung saja bos sekaligus sahabatnya itu mengirimkan uang yang tak sedikit sebagai bekal untuk hidup dikota ini. Sebenarnya bisa saja mereka mengirimkan orang-orang kepercayaannya seperti yang biasa ia lakukan. Namun kali ini Rafin menginginkan agar kedua sahabatnya itu yang memastikan keberadaan mertuanya di kota ini. Berapapun uang yang akan ia habiskan untuk hal ini, ia tak peduli. Baginya kini, menepati janjinya pada Mila adalah mutlak hukumnya."Gila nih, bos kamu. Emangnya gampang nyari info. Mintanya minimal dua lagi, satu aja belum jelas. Minta dua!" Hendra ngomel saat panggilan Rafin sudah terputus, obrolan itu di loudspeaker oleh Tommy, sehingga ia dengan mudah bisa ikut mendengarkan perintah keras dari sahabatnya itu tadi."Udah, gak usah dibuat tegang
Dodit dengan keterampilan yang sudah tak diragukan mencoba peruntungannya dalam mengembangkan usahanya dalam bidang ternak ikan. Ia mulai melobi para tengkulak yang berkemungkinan akan membeli hasil usahanya. Paktama seperti mendapatkan kebahagiaan saat melihat Dodit mulai merintis usahanya. Penilaiannya terhadap pemuda ini sungguh tepat, maka tak salah jika ia memperlakukannya seperti anak sendiri.***Daffa mengambil alih Azzam dari dalam gendongan baby sitter. Bayi itu terlihat sama sekali tidak menolak. Bahkan bocah itu terlonjak kegirangan saat ada banyak balon yang terlihat disana, namun saat pria itu berniat untuk membelikannya, Mila menolak."Jangan nak, kasihan mbak Veni nanti yang repot bawanya, nanti aja belinya pas mau pulang ya … ," ucapnya sambil mengusap sayang rambut anaknya. Sepertinya bocah itu paham dengan apa yang dikatakan oleh mamanya, ia hanya tertawa-tawa saja saat melewati ku