Dua bulan kemudian ....
"Papa berangkat ya sayang," ucap Rafin setelah mencium pipi gembul kedua anaknya yang berada di dalam kereta dorong. Tak lupa ia mencium bibir istrinya. Meskipun sudah satu tahun ia menjadi istri Rafin, namun adegan seperti itu nyatanya masih saja membuat Mila merasa malu.
Sebenarnya keadaan pria itu tak terlalu baik, bisnisnya benar-benar mengalami penurunan pendapatan. Seumur-umur baru kali ini ia mengalami hal yang seperti ini, mengalami kerugian secara terus menerus dan bertubi-tubi. Hampir separuh proyeknya gagal dan sisanya tidak mendapatkan keuntungan. Ia berusaha untuk tidak mengatakannya pada Mila, Rafin tak ingin membuat wanitanya khawatir.
Pria itu mengutus Tommy dan Hendra serta Rio untuk menyelidiki apa yang terjadi sebenarnya. Karena ia merasakan ada kejanggalan dengan kemerosotan pendapatan yang sangat signifikan. Insting pebisnisnya mengatakan bahwa ini terlalu
Jarum jam sudah menunjuk ke angka sepuluh, namun seseorang yang dinantikan belum juga datang. Sedangkan nomor orang itu bahkan tak dapat dihubungi sejak beberapa jam yang lalu. Jika harus mencari, ia sungguh tak tau arah mana yang akan ia tuju.KLUNTINGSebuah pesan masuk. Mila segera mengambil benda itu, siapa tau ada kabar dari Rafin suaminya. Oh ... , ternyata bukan. Sebuah pesan gambar dari nomor seseorang yang tak ada dalam kontaknya.DEG!Mila ingin untuk tidak mempercayai apa yang baru saja ia lihat.KLINGsebuah video tanpa suara memperlihatkan sebuah adegan dewasa. Yang membuat air matanya luruh adalah pemeran dalam video itu. Rafin. Terlihat pria itu sedang berada diatas tubuh seorang wanita yang sedang merekamnya dari arah bawah. Video itu dibuat dengan suara yang terputus-putus. Meskipun tampak bahwa pria itu mengatakan s
Rapat pemegang saham telah berlangsung, Rafin ada disana, Tn Arkan Wijaya sendiri yang memimpin rapat di hari itu. Penurunan laba kali ini terasa sangat anjlok. Sebagian pemegang saham menuntut untuk pergantian pimpinan , namun sebagian lainnya masih memberikan kesempatan bagi Rafin untuk memperbaiki semua kekacauan ini. Tak dapat dipungkiri, bahwa selama beberapa tahun di bawah kepemimpinannya, perusahaan itu telah berkembang dengan pesat. Bahkan banyak perusahaan besar yang memutuskan untuk bergabung dengannya.Sementara Rafin yang ditinggalkan oleh istrinya, terlihat tak ada lagi semangat. Bahkan ia kini lebih banyak melamun. Hingga papanya kerap kali memarahinya."Harusnya kau bisa bersikap profesional, mana jiwa kepemimpinan mu? Aku tau, aku tau, kamu sedang bersedih. Tapi harusnya kamu bisa memilah-milah, nasib ribuan karyawan ada ditanganmu. Disana mereka juga memiliki keluarga yang harus dihidupi. Jika kau hanya b
Mila tak ingin terlalu larut dalam kesedihan. Yang ia inginkan hanyalah bangkit dari keterpurukan, dengan keterampilan yang ia punya, ia mencoba peruntungan dengan membuka usaha kue."Kamu yakin gak mau terima suntikan modal dari aku, jangan-jangan karena nominalnya kurang gede ya?" tanya Amel suatu pagi."Sudah cukup Mel, maaf ... , aku tak bermaksud untuk menolak niat baikmu. Aku hanya ingin mencoba peruntungan dulu, takutnya aku nanti malah terlena dengan modal yang besar, biarlah aku berusaha dengan modal yang aku punya saja.""Kamu bisa pakai bangunan di sebelah butikku." Amelia masih berusaha untuk memberikan tawaran bantuan."Gak perlu Mel, orang baru buka awal-awal kok, aku juga belum tahu minat pasar disini gimana, cocok nggak sama daganganku nanti," ujar Mila sambil bermain-main dengan putranya, Azzam."Aku jamin deh Mil, kuemu pa
Kasto kini sudah tak tinggal lagi dirumah lamanya. Ia memutuskan untuk menjualnya dan memilih untuk hidup berpindah-pindah. Sebuah perasaan bersalah telah menguasai hatinya, sehingga ia kini menjadi seperti orang yang terganggu mentalnya. Selalu dihantui ketakutan dan tak pernah merasa tenang. Uang hasilnya menipu sebagian ia tabung dan sebagian lainnya ia gunakan untuk keperluan hidup. Perjalanan akhirnya membawanya ke suatu tempat di pinggiran kota yang jauh dari hiruk pikuk kesibukan.Langkahnya terhenti di sebuah warung makan yang terlihat sederhana. Rasa lapar dan haus membawanya kesana."Selamat siang pak, mari masuk," ucap seorang pelayan mempersilahkannya untuk mengambil tempat. Sedikit ragu, namun akhirnya ia masuk juga, dorongan rasa lapar membuat kakinya melangkah perlahan dan duduk disebuah kursi kosong."Nasi dengan lauk telur dan tumis sayur saja mbak, minumnya teh hangat,"
Pram masih mengingat saat terakhir kali ia bertemu dengan Mila. Wanita itu tampak memiliki kehidupan yang sempurna. Bahagia dengan suami yang juga mencintainya dan dua anak kembar yang lucu. Nyaris tak ada celah baginya untuk masuk dalam kehidupan mereka. Sepertinya ia memang harus mundur. Tau diri, dan perlahan pergi.Kenyataan bahwa kini Mila pergi tanpa melibatkan dirinya, menambah keyakinan di hatinya bahwa dirinya kini bukanlah apa-apa bagi wanita itu. Mungkin ia akan mencoba berdamai dengan kenyataan bahwa memang Mila bukanlah untuknya.Ada atau tak ada sosok Rafin di antara mereka, tidaklah berpengaruh bagi kehidupannya. Hilang sudah rencana yang pernah ditata dengan begitu rapi, hilang sudah angan-angannya untuk kembali merajut kasih dengan wanita yang hingga kini masih memenuhi ruang di hatinya. Rafin bukanlah tandingan untuknya. Karena nyatanya Mila memilih pergi dan menghilang, tanpa melibatkan apapun darinya. Sedih? Pasti.
Hari ini Pak Sutomo mengajak Dodit ke kota, ia ingin memberikan sedikit kesenangan pada pemuda itu. Meskipun terlihat ragu, namun terlihat bahwa ia sangat antusias dengan rencana Pak Tomo. Dengan senandung kecil yang kadang kala ia perdengarkan, Dodit segera menyudahi aktivitas mandinya, lekas berganti dengan pakaian terbaik dan bersiap untuk pergi kemanapun.Mereka berjalan cukup jauh, hingga sampai di sebuah pangkalan ojek."Pasar ya dek," ucap Pak Sutomo. Tak lama kemudian, keduanya telah melaju dengan dua buah sepeda motor milik pak ojek.Pasar disana letaknya di kota. Cukup jauh dari tempat yang mereka tinggali. Butuh waktu lebih dari setengah jam untuk sampai ditempat itu.Wajah Dodit berbinar saat mereka turun dari ojek."Ini dek, ambil kembaliannya. Dibagi dua ya … " ujar Pak Sutomo sambil memberikan dua lembar uang kertas merah pada salah seorang tukan
Kasto kini tinggal disebuah rumah sederhana di pinggiran desa. Rumah yang bahkan langsung dibeli saat ada seseorang yang menawarkan kepadanya. Entahlah. Ia merasa nyaman berada di desa ini, dan kebetulan saat ia sedang beristirahat di pos ronda, datanglah seorang ibu-ibu yang basa basi bertanya padanya."Sedang menunggu siapa pak?""Tidak menunggu siapapun bu, cuma mau cari rumah kontrakan aja. Kira-kira ibu punya infonya gak ya, kontrakan daerah sini?" tanya Kasto.Wanita setengah baya itu terlihat terkejut dan wajahnya berbinar."Bapak tunggu sebentar disini ya, jangan kemana-mana. Saya ada info tentang rumah yang akan dijual, semoga saja masih menjadi rezekinya ya pak," ucap ibu-ibu itu dan langsung di iyakan oleh Kasto.Benar, tak lama setelahnya, ibu-ibu tadi kembali dengan membawa seseorang lainnya."Jadi begini pak Bono, bapak ini ingin m
Dodit tak tak henti-hentinya tersenyum lebar. Ia terlihat sangat bahagia. Bagaimana tidak? Sebuah motor baru telah terparkir di halaman rumahnya."Terimakasih banyak pak," ucap Dodit."Iya, kamu sudah ucapkan itu ribuan kali. Jadi kasihanilah orang tua ini. Tolong jangan ucapkan itu lagi." Baik Dodit maupun Pak Sutomo akhirnya tertawa bersama."Wah, Dit … , hebat bener kamu Dit. Kaya kamu sekarang ya, udah mirip sama anak-anak kota yang pake motor keren," ucap seorang tetangga yang kebetulan lewat di depan pekarangan rumah mereka."Ah pak, bisa aja …." ucapnya mengambang"Itu hasil dari tabungan Dodit sendiri lho pak, hasil dari jual ikan di kolam kemarin," potong Pak Sutomo yang membuat Dodit paham bahwa beliau tak ingin ada yang tau jika motor itu adalah pemberian darinya. Ia hanya tersenyum paham." Wah, hebat kamu D