"Kukira kau tidur? Lalu kenapa tak menjawab teleponku?" tanya Rafin, namun wanita itu tak kunjung memberi jawaban.
"Jawab aku sayang, aku bertanya padamu," ucap Rafin sambil duduk di sisi ranjang.
"Males," jawab Mila yang mendadak merasa geli dengan panggilan sayang yang baru saja diucapkan oleh Rafin. Pria itu memanggilnya sayang, tapi bergandengan mesra dengan perempuan lain. Cih!
"Mila, apa kau baik-baik saja?" tanya Rafin yang sebenarnya telah melihat bahwa Mila telah berubah sikap.
"Menurutmu?" ujar wanita itu tanpa mengubah posisinya. Tetap enggan memandangnya.
"Dengarkan aku," ucap Rafin sambil berusaha membalikkan tubuh istrinya agar menghadap ke arahnya. Namun rupanya wanita itu menolak.
"Bicaralah, dan aku tetap akan mendengarmu,"ucap Mila dingin. Pria itu akhirnya memilih untuk mengalah.
"Katakan padaku, aku
Anggita membiarkan suara panggilan yang sedari tadi membuat benda kotak pipih itu mengeluarkan nada dering. Bukannya tidak mendengar, tapi ia sengaja melakukannya. Apalagi setelah ia melihat bahwa seseorang yang berada di seberang sana adalah Maya, manajernya.Perempuan itu menutup telinganya dengan bantal. Mencoba untuk cuek. Sebentar kemudian sudah tak terdengar apapun lagi, namun sesaat kemudian dering itu kembali menggema. Anggita sama sekali tak ingin mengangkatnya. Andai ia tahu siapa yang berada dibalik panggilan kedua itu.***"Kemana sih ni anak? Pingsan kali ya?" tanya Maya yang akhirnya menyerah dengan kegiatan konyolnya. Bukan apa-apa, tapi semua yang terjadi pada Anggita otomatis akan berimbas seluruhnya pada Maya. Namun, menjadi manajer gadis itu ternyata sangat sulit. Artisnya suka sekali bertingkah semaunya bahkan kadang diluar kendali.Ia sendiri sebenarnya sudah
Mama, papa dan Riska sudah menunggu Mila di luar ruang bersalin. Tak lama setelahnya datang Pram dan Shella. Rafin sendiri berada di dalam, menemani istrinya. Suasana tampak tegang dan mencekam, tak henti-hentinya mereka merapalkan doa untuk keselamatan ibu dan bayinya.***Mila tampak kepayahan, keringat terus saja mengalir di dahinya. Rafin tak meninggalkan istrinya itu meskipun selangkah. Tangannya mengelus rambut dan genggaman tangan mereka tak pernah terlepas. Kontraksi demi kontraksi terus saja terjadi. Semakin lama semakin sering, dan setiap kali hal itu terjadi, Rafin seakan kehilangan nyawa karena menyaksikan bagaimana Mila menahan sakit.Wanita itu nyaris tak mengeluh sedikitpun, tak ada kata-kata yang keluar dari bibirnya. Setiap kali Rafin bertanya padanya, hanya sebuah senyuman yang ia dapatkan."Katakan sesuatu sayang," bisik Rafin ditelinga istrinya.&nbs
"Boleh aku masuk tante?" tanya Anggita."Oh, tentu. Masuklah, kami juga baru tiba dari Rumah Sakit." Mama yang masih menggendong Azzam duduk di kursi tamu, menemani Anggita."Ih ... , lucu banget. Kembar ya tan, siapa namanya?" Anggita dan mama kemudian terlibat perbincangan basa basi disana.Mila sebenarnya urung untuk meneruskan niatnya beristirahat di kamar. Setidaknya ia ingin menghormati seorang tamu yang datang, setidaknya saat ini ia adalah tuan rumah. Namun, Rafin lebih menginginkan ia untuk beristirahat."Kenapa? Bukankah ia ingin bertamu? Biarkan aku menemuinya, aku kan masih istri dari tuan rumah ini," tanya Mila seakan tak terima dengan larangan suaminya."Iya, sekarang dan sampai kapanpun kamu tetap jadi istriku sayang. Makanya, aku mau kamu istirahat aja. Kamu baru pulang dari rumah sakit," pintanya."Izinka
Dua bulan kemudian ...."Papa berangkat ya sayang," ucap Rafin setelah mencium pipi gembul kedua anaknya yang berada di dalam kereta dorong. Tak lupa ia mencium bibir istrinya. Meskipun sudah satu tahun ia menjadi istri Rafin, namun adegan seperti itu nyatanya masih saja membuat Mila merasa malu.Sebenarnya keadaan pria itu tak terlalu baik, bisnisnya benar-benar mengalami penurunan pendapatan. Seumur-umur baru kali ini ia mengalami hal yang seperti ini, mengalami kerugian secara terus menerus dan bertubi-tubi. Hampir separuh proyeknya gagal dan sisanya tidak mendapatkan keuntungan. Ia berusaha untuk tidak mengatakannya pada Mila, Rafin tak ingin membuat wanitanya khawatir.Pria itu mengutus Tommy dan Hendra serta Rio untuk menyelidiki apa yang terjadi sebenarnya. Karena ia merasakan ada kejanggalan dengan kemerosotan pendapatan yang sangat signifikan. Insting pebisnisnya mengatakan bahwa ini terlalu
Jarum jam sudah menunjuk ke angka sepuluh, namun seseorang yang dinantikan belum juga datang. Sedangkan nomor orang itu bahkan tak dapat dihubungi sejak beberapa jam yang lalu. Jika harus mencari, ia sungguh tak tau arah mana yang akan ia tuju.KLUNTINGSebuah pesan masuk. Mila segera mengambil benda itu, siapa tau ada kabar dari Rafin suaminya. Oh ... , ternyata bukan. Sebuah pesan gambar dari nomor seseorang yang tak ada dalam kontaknya.DEG!Mila ingin untuk tidak mempercayai apa yang baru saja ia lihat.KLINGsebuah video tanpa suara memperlihatkan sebuah adegan dewasa. Yang membuat air matanya luruh adalah pemeran dalam video itu. Rafin. Terlihat pria itu sedang berada diatas tubuh seorang wanita yang sedang merekamnya dari arah bawah. Video itu dibuat dengan suara yang terputus-putus. Meskipun tampak bahwa pria itu mengatakan s
Rapat pemegang saham telah berlangsung, Rafin ada disana, Tn Arkan Wijaya sendiri yang memimpin rapat di hari itu. Penurunan laba kali ini terasa sangat anjlok. Sebagian pemegang saham menuntut untuk pergantian pimpinan , namun sebagian lainnya masih memberikan kesempatan bagi Rafin untuk memperbaiki semua kekacauan ini. Tak dapat dipungkiri, bahwa selama beberapa tahun di bawah kepemimpinannya, perusahaan itu telah berkembang dengan pesat. Bahkan banyak perusahaan besar yang memutuskan untuk bergabung dengannya.Sementara Rafin yang ditinggalkan oleh istrinya, terlihat tak ada lagi semangat. Bahkan ia kini lebih banyak melamun. Hingga papanya kerap kali memarahinya."Harusnya kau bisa bersikap profesional, mana jiwa kepemimpinan mu? Aku tau, aku tau, kamu sedang bersedih. Tapi harusnya kamu bisa memilah-milah, nasib ribuan karyawan ada ditanganmu. Disana mereka juga memiliki keluarga yang harus dihidupi. Jika kau hanya b
Mila tak ingin terlalu larut dalam kesedihan. Yang ia inginkan hanyalah bangkit dari keterpurukan, dengan keterampilan yang ia punya, ia mencoba peruntungan dengan membuka usaha kue."Kamu yakin gak mau terima suntikan modal dari aku, jangan-jangan karena nominalnya kurang gede ya?" tanya Amel suatu pagi."Sudah cukup Mel, maaf ... , aku tak bermaksud untuk menolak niat baikmu. Aku hanya ingin mencoba peruntungan dulu, takutnya aku nanti malah terlena dengan modal yang besar, biarlah aku berusaha dengan modal yang aku punya saja.""Kamu bisa pakai bangunan di sebelah butikku." Amelia masih berusaha untuk memberikan tawaran bantuan."Gak perlu Mel, orang baru buka awal-awal kok, aku juga belum tahu minat pasar disini gimana, cocok nggak sama daganganku nanti," ujar Mila sambil bermain-main dengan putranya, Azzam."Aku jamin deh Mil, kuemu pa
Kasto kini sudah tak tinggal lagi dirumah lamanya. Ia memutuskan untuk menjualnya dan memilih untuk hidup berpindah-pindah. Sebuah perasaan bersalah telah menguasai hatinya, sehingga ia kini menjadi seperti orang yang terganggu mentalnya. Selalu dihantui ketakutan dan tak pernah merasa tenang. Uang hasilnya menipu sebagian ia tabung dan sebagian lainnya ia gunakan untuk keperluan hidup. Perjalanan akhirnya membawanya ke suatu tempat di pinggiran kota yang jauh dari hiruk pikuk kesibukan.Langkahnya terhenti di sebuah warung makan yang terlihat sederhana. Rasa lapar dan haus membawanya kesana."Selamat siang pak, mari masuk," ucap seorang pelayan mempersilahkannya untuk mengambil tempat. Sedikit ragu, namun akhirnya ia masuk juga, dorongan rasa lapar membuat kakinya melangkah perlahan dan duduk disebuah kursi kosong."Nasi dengan lauk telur dan tumis sayur saja mbak, minumnya teh hangat,"