“Biar aku bantu.” Suara itu mengejutkan Alea, menghentikan gerakannya yang kesulitan menyalakan mesin motor meski sudah dicoba berulang-ulang.
Alea mundur, mempersilakan Gala melihat kendala apa yang membuat motornya tak menyala. Lelaki itu berjongkok, mengotak-atik sesuatu yang tidak Alea pahami. Tak berselang lama, Gala berdiri seraya menepuk kedua tangan, menghilangkan debu dan kotoran yang melekat.
“Sudah selesai, silakan dicoba,” ujar Gala sembari mencuri-curi pandang pada wanita yang hanya berjarak beberapa senti darinya.
Alea tak menyahut, ia hanya mengangguk sekilas seraya menekan starter motor yang kini sudah menyala seperti biasa. “Terima kasih,” ucapnya tanpa melihat Gala.
Motor itu melaju tak lama kemudian, dan Alea telah hilang dari pandangan. Sementara Gala masih setia berdiri di tempatnya, menatap kepergian wanita yang dulu begitu antusias saat melihatnya, namun sekarang bersikap bak orang asing.
&
Usai mengatakan itu, Kenzo berlalu dari hadapan Kenzie. Jujur, ia merasa sangat malu sekarang. Tak seharusnya dia bicara demikian. Tapi, mau bagaimana lagi, semakin ditahan rasanya semakin menyesakkan. Sedangkan Kenzie, wanita tersebut masih mematung di tempatnya, mencerna kata-kata Kenzo beberapa saat lalu. Dia mengira-ngira, apakah makna ucapan tersebut sama dengan yang ia pikirkan? Tak mau salah paham, ia menggeleng pelan. Sejenak Kenzie lupa akan rasa takutnya pada gelap. Hingga beberapa detik setelahnya, ia sadar dan berlari menyusul Kenzo.“Om, tunggu aku!” Kenzie menggunakan insting, berjalan di tengah gelapnya suasana. Saat itulah Kenzo menghentikan langkah, membuat Kenzie yang berjalan tergesa kontan menabrak punggung kekar miliknya.“Aw!” “Ceroboh!” Kenzo berbalik, mengusap kening sang istri. Situasi itu dimanfaatkan Kenzie untuk mencuri-curi pandang pada Kenzo. Meskipun tak begitu jelas, ia bisa melihat ciptaan Tuhan yang begitu sempurna tengah meniup keningnya. “
Setelah benar-benar yakin sosok berjarak beberapa meter darinya adalah Melati, Alea menepikan sepeda motornya, mendekati wanita yang berada di seberang jalan sembari menatap ke belakang seakan seseorang tengah mengejarnya. “Tante Melati,” panggil Alea hati-hati. Melati yang terlalu fokus melihat ke belakang terlonjak saat mendapati seorang gadis berdiri di hadapannya. Ia tampak waspada. Namun, mendapati wajah familiar itu, Melati perlahan tenang. Rasa takut yang semula begitu kentara berangsur hilang, berganti dengan tatapan sarat permohonan. “Al…Alea,” lirihnya. “Ya, Tante, ini aku. Tante tenang ya, sekarang Tante aman,” jawab Alea lembut, berusaha menenangkan dengan mendekap tubuh ringkih tersebut. Tanpa pikir panjang, Alea segera membawa Melati bersamanya, usai memastikan wanita itu jauh lebih tenang. Ia yakin, Gala dan ibu Alzetta tengah mencari Melati saat ini. Sepanjang perjalanan, Alea tak henti melirik spion guna memastikan wanita di belakangnya dalam
“Karena aku mencintaimu, Rhe.”“Bulshit! Simpan saja ungkapan cintamu, aku tak mau mendengarnya!” sinis Rhea. “Lebih baik jelaskan apa yang perlu dijelaskan!” sambungnya. Alih-alih menanggapi ungkapan cinta Bara, Rhea malah meminta lelaki itu menjelaskan sedetail-detailnya perihal perjanjian pernikahan kontrak antara Kenzie dan Kenzo. Menurutnya, hal itu lebih menarik ketimbang membahas soal cinta-cintaan. Bara mendengkus kesal. Andai bisa, ia ingin menghapus perasaan tersebut. Sebab, mencintai Rhea butuh kesabaran setinggi langit dan seluas samudera. Lihat saja, usai bicara jujur, dia sama sekali tak mendapat respons yang berarti. Sepertinya di benak Rhea hanya ada Kenzo, Kenzo, dan Kenzo. Menyebalkan sekali!“Sebelum itu, aku perlu bertanya satu hal dan kau harus menjawabnya,” sahut Bara. “Satu pertanyaan!” balas Rhea malas. “Mengapa Kenzo? Aku tahu kau tidak benar-benar mencintainya,” tanya Bara seraya memicingkan mata. “Benar, kan?” tebaknya saat melihat perubahan raut
“Apa ini, Lid?” tanya Brata saat melihat notifikasi m-banking sang istri. Buru-buru Lidia merampas ponsel dan menjauhkannya dari jangkauan Brata. Ia berusaha bersikap seperti biasa, namun tetap tak mampu menyembunyikan keterkejutannya.“Bukan apa-apa, Mas,” jawab Lidia tenang. “Bukan apa-apa bagaimana? Sepuluh milyar itu nominal yang besar!” ujar Brata tak habis pikir. “Kau ini seperti orang miskin saja, meributkan uang sepuluh milyar!” cibir Lidia. Ia duduk di meja meja rias, menggunakan cream wajah dengan santainya.“Bukan begitu, Sayang, aku hanya ingin tahu, apa yang akan kau lakukan dengan uang sebanyak itu?”Lidia menghentikan aktivitasnya, menatap Brata tak suka. “Jangan campuri urusanku!” sinisnya. Brata menyugar rambut. Bukan perihal uang sepuluh milyar yang dia permasalahkan. Melainkan Lidia yang tidak terbuka, juga terkesan seenaknya. Memang apa yang Lidia lakukan tidak sepenuhnya salah, toh itu uangnya juga. Hanya saja, sangat disayangkan sebab tidak kompromi
Keretakan rumah tangga Lidia dan Brata sedikit banyak mempengaruhi psikis dan psikologis Kenzo. Ia merasa cukup terguncang mendapati kenyataan tidak menyenangkan itu. Pasalnya, tak pernah terpikir dalam benaknya mereka saling mencurangi bahtera rumah tangga yang sudah terjalin bertahun-tahun lama-lamanya. Satu minggu setelah kejadian tersebut, Kenzo menjadi lebih pendiam dari biasanya. Ia memilih menghabiskan waktu di ruang kerja, menyibukkan diri dengan berbagai dokumen guna mengalihkan fokusnya. Tapi tetap saja, hal itu tidak lantas berhasil. Tak jarang, kenangan saat dirinya masih kanak-kanak tiba-tiba menghampiri, membuatnya kembali disadarkan oleh kenyataan, bahwa segalanya telah berubah. Keluarga yang dulu hangat dan membuatnya bangga kini sudah mati. Tok tok tok! Suara ketukan terdengar, saat itu jam yang menggantung menunjuk pada pukul sebelas. Dengan suara seraknya, Kenzo mempersilakan orang di balik pintu masuk. “Buka saja, tidak dikunci.” Derap langkah kaki mendekat. T
“Kenapa?” tanya Kenzie dengan sedikit harap yang masih tersisa. “Aku sudah memutuskan untuk…” Kenzo menggantung ucapannya, menatap wajah Kenzie sekali lagi, sebelum akhirnya mantap dengan keputusan yang sudah dia pikirkan seminggu ke belakang.Kenzie menunggu lanjutan ucapan Kenzo dengan sabar. Pikiran dan perasaannya berkecamuk. Rasa tidak percaya diri akan berlanjutnya hubungan ke arah lebih baik tiba-tiba menjalar. Namun, ditepisnya pikiran itu segera, ia percaya Kenzo tidak mungkin mematahkan hatinya. “Untuk apa?” ujar Kenzie saat Kenzo tak kunjung melanjutkan kalimatnya. “Menikah dengan Rhea,” sahut Kenzo tegas. Tak ada keraguan di matanya saat berucap demikian. Membuat Kenzie sejenak terpaku di tempat. “Mana mungkin!” ujarnya beberapa saat kemudian. “Kenapa tidak?! Aku sudah tidur dengannya, kami pernah menghabiskan malam bersama beberapa kali,” balas Kenzo. “Kau itu terlalu naif dan gampang dibodohi, Zie,” tutupnya seraya terkekeh pelan. Deg!Kenzie menggeleng si
Bus tujuan Yogyakarta akan berangkat dalam beberapa menit. Kenzie sudah duduk di ruang tunggu, sembari menatap secarik kertas di tangannya. Beberapa jam lalu, ia membuat keputusan untuk lari sejenak, menjauh dari hiruk pikuknya kehidupan. Beruntungnya, Alea dan Amanda tak banyak tanya, mereka mengizinkan saat Kenzie mengatakan akan pergi beberapa waktu, dan meminta keduanya tak mencari. Akan tetapi, dia tak lantas pergi begitu saja. Bermodalkan uang pemberian Kenzo, ia memberi sejumlah uang pada kedua adiknya, guna membiayai kebutuhan mereka selama dirinya tak ada. Tak lupa, Kenzie juga berpesan untuk tidak memberitahu siapapun perihal keberadaannya. Meskipun mulanya keputusan tersebut mengundang tanya dan rasa penasaran, Kenzie cukup pandai memberi pengertian mengapa ia pergi seorang diri. Alhasil, di sini lah dia sekarang, duduk sendirian dengan selembar tiket di tangan. Ya, begitulah, kadang-kadang kita memang perlu waktu untuk menenangkan diri, dan berdamai dengan kenyataan
Di tengah persiapan pernikahan yang cukup melelahkan, Rhea juga harus menghadapi drama orang tua yang tak berkesudahan. Rianti dan Yudha terus saja berdebat, meributkan hal-hal yang membuat Rhea muak. Disaat bersamaan, dia pun mendapat terror dari orang tak dikenal. Sungguh, kepalanya serasa mau pecah.“Mami, Papi, stop! Apa sih yang kalian ributkan?!” pekik Rhea saat kedua orang tuanya kembali bertengkar. Seharian ini dia disibukkan dengan berbagai hal, darah siapa yang tidak naik ketika baru menginjakkan kaki, melihat pemandangan tidak menyenangkan. Ya, apalagi jika bukan pertengkaran. “Masuk, Rhea! Tidak usah ikut campur!” titah Yudha. Berbeda dengan Yudha yang tak mau Rhea ikut campur, Rianti malah sebaliknya. Ia meminta sang putri duduk. “Duduk! Mami perlu bicara.”Dengan wajah masam, Rhea mendaratkan bokongnya di sofa panjang, menatap keduanya malas. “Mami dan Papi akan bercerai!” ucap Rianti. “Ri!” bentak Yudha. “Aku sudah tidak tahan hidup berdampingan dengan la