“Kau harus mengandung anakku,” ucap Kenzo dengan sorot tegas. Kedua tangannya meremas erat pundak Kenzie, pertanda lelaki itu benar-benar serius dengan ucapannya.
“Apa?!” teriak Kenzie seraya menggeleng keras. “Tidak” tolaknya cepat.
“Kenapa? Dengan begitu, Mama dan Rhea tidak bisa memisahkan kita,” jelas Kenzo.
Kenzie semakin menggeleng keras. Tidak, dia tidak mau mengandung benih Kenzo, selain belum siap menjadi ibu, risikonya terlalu besar mengingat pernikahan keduanya hanya sebatas kontrak. Terlalu banyak hal-hal negatif yang akan terjadi jika dia mengikuti saran lelaki tersebut.
“Bukankah tujuan awal hanya untuk membongkar semua kebusukan Rhea? Ini tidak ada hubungannya dengan kita!” tekan Kenzie.
Bak ditampar kenyataan, seketika Kenzo mundur dan memalingkan wajah, memutus kontak dengan Kenzie.
“Ya, kau benar, ini tidak ada hubungannya dengan kita,” ulang Kenzo dise
“Aku baru saja mengirimkan foto kebersamaan kita pada Kenzo, Tan,” ujar Rhea saat keduanya sudah selesai melakukan perawatan kuku.“Bagus sekali. Sering-seringlah menunjukkan kedekatan kita untuk menarik perhatiannya,” sahut Lidia dengan mata berbinar.“Tentu,” balas Rhea bersemangat.Pukul tiga sore, mereka selesai dengan perawatan kuku dan wajah masing-masing. Berkali-kali Lidia memuji kecantikan Rhea, pun sebaliknya. Saat hendak meninggalkan salon, tanpa sengaja keduanya bertemu Bara, ia menggandeng seorang gadis yang asing dimata Rhea dan Lidia.“Bara? Apa yang kau lakukan di sini?” tanya Lidia. Sementara Rhea memalingkan wajah, sengaja menghindari kontak mata dengan lelaki itu.“Menemani kekasihku, Tante,” jawab Bara seraya melirik gadis yang masih setia mengapit jemarinya.Pandangan Lidia seketika beralih, menelisik wajah gadis asing tersebut kemudian menggeleng. “Lima d
“Biar aku bantu.” Suara itu mengejutkan Alea, menghentikan gerakannya yang kesulitan menyalakan mesin motor meski sudah dicoba berulang-ulang.Alea mundur, mempersilakan Gala melihat kendala apa yang membuat motornya tak menyala. Lelaki itu berjongkok, mengotak-atik sesuatu yang tidak Alea pahami. Tak berselang lama, Gala berdiri seraya menepuk kedua tangan, menghilangkan debu dan kotoran yang melekat.“Sudah selesai, silakan dicoba,” ujar Gala sembari mencuri-curi pandang pada wanita yang hanya berjarak beberapa senti darinya.Alea tak menyahut, ia hanya mengangguk sekilas seraya menekan starter motor yang kini sudah menyala seperti biasa. “Terima kasih,” ucapnya tanpa melihat Gala.Motor itu melaju tak lama kemudian, dan Alea telah hilang dari pandangan. Sementara Gala masih setia berdiri di tempatnya, menatap kepergian wanita yang dulu begitu antusias saat melihatnya, namun sekarang bersikap bak orang asing.&
Usai mengatakan itu, Kenzo berlalu dari hadapan Kenzie. Jujur, ia merasa sangat malu sekarang. Tak seharusnya dia bicara demikian. Tapi, mau bagaimana lagi, semakin ditahan rasanya semakin menyesakkan. Sedangkan Kenzie, wanita tersebut masih mematung di tempatnya, mencerna kata-kata Kenzo beberapa saat lalu. Dia mengira-ngira, apakah makna ucapan tersebut sama dengan yang ia pikirkan? Tak mau salah paham, ia menggeleng pelan. Sejenak Kenzie lupa akan rasa takutnya pada gelap. Hingga beberapa detik setelahnya, ia sadar dan berlari menyusul Kenzo.“Om, tunggu aku!” Kenzie menggunakan insting, berjalan di tengah gelapnya suasana. Saat itulah Kenzo menghentikan langkah, membuat Kenzie yang berjalan tergesa kontan menabrak punggung kekar miliknya.“Aw!” “Ceroboh!” Kenzo berbalik, mengusap kening sang istri. Situasi itu dimanfaatkan Kenzie untuk mencuri-curi pandang pada Kenzo. Meskipun tak begitu jelas, ia bisa melihat ciptaan Tuhan yang begitu sempurna tengah meniup keningnya. “
Setelah benar-benar yakin sosok berjarak beberapa meter darinya adalah Melati, Alea menepikan sepeda motornya, mendekati wanita yang berada di seberang jalan sembari menatap ke belakang seakan seseorang tengah mengejarnya. “Tante Melati,” panggil Alea hati-hati. Melati yang terlalu fokus melihat ke belakang terlonjak saat mendapati seorang gadis berdiri di hadapannya. Ia tampak waspada. Namun, mendapati wajah familiar itu, Melati perlahan tenang. Rasa takut yang semula begitu kentara berangsur hilang, berganti dengan tatapan sarat permohonan. “Al…Alea,” lirihnya. “Ya, Tante, ini aku. Tante tenang ya, sekarang Tante aman,” jawab Alea lembut, berusaha menenangkan dengan mendekap tubuh ringkih tersebut. Tanpa pikir panjang, Alea segera membawa Melati bersamanya, usai memastikan wanita itu jauh lebih tenang. Ia yakin, Gala dan ibu Alzetta tengah mencari Melati saat ini. Sepanjang perjalanan, Alea tak henti melirik spion guna memastikan wanita di belakangnya dalam
“Karena aku mencintaimu, Rhe.”“Bulshit! Simpan saja ungkapan cintamu, aku tak mau mendengarnya!” sinis Rhea. “Lebih baik jelaskan apa yang perlu dijelaskan!” sambungnya. Alih-alih menanggapi ungkapan cinta Bara, Rhea malah meminta lelaki itu menjelaskan sedetail-detailnya perihal perjanjian pernikahan kontrak antara Kenzie dan Kenzo. Menurutnya, hal itu lebih menarik ketimbang membahas soal cinta-cintaan. Bara mendengkus kesal. Andai bisa, ia ingin menghapus perasaan tersebut. Sebab, mencintai Rhea butuh kesabaran setinggi langit dan seluas samudera. Lihat saja, usai bicara jujur, dia sama sekali tak mendapat respons yang berarti. Sepertinya di benak Rhea hanya ada Kenzo, Kenzo, dan Kenzo. Menyebalkan sekali!“Sebelum itu, aku perlu bertanya satu hal dan kau harus menjawabnya,” sahut Bara. “Satu pertanyaan!” balas Rhea malas. “Mengapa Kenzo? Aku tahu kau tidak benar-benar mencintainya,” tanya Bara seraya memicingkan mata. “Benar, kan?” tebaknya saat melihat perubahan raut
“Apa ini, Lid?” tanya Brata saat melihat notifikasi m-banking sang istri. Buru-buru Lidia merampas ponsel dan menjauhkannya dari jangkauan Brata. Ia berusaha bersikap seperti biasa, namun tetap tak mampu menyembunyikan keterkejutannya.“Bukan apa-apa, Mas,” jawab Lidia tenang. “Bukan apa-apa bagaimana? Sepuluh milyar itu nominal yang besar!” ujar Brata tak habis pikir. “Kau ini seperti orang miskin saja, meributkan uang sepuluh milyar!” cibir Lidia. Ia duduk di meja meja rias, menggunakan cream wajah dengan santainya.“Bukan begitu, Sayang, aku hanya ingin tahu, apa yang akan kau lakukan dengan uang sebanyak itu?”Lidia menghentikan aktivitasnya, menatap Brata tak suka. “Jangan campuri urusanku!” sinisnya. Brata menyugar rambut. Bukan perihal uang sepuluh milyar yang dia permasalahkan. Melainkan Lidia yang tidak terbuka, juga terkesan seenaknya. Memang apa yang Lidia lakukan tidak sepenuhnya salah, toh itu uangnya juga. Hanya saja, sangat disayangkan sebab tidak kompromi
Keretakan rumah tangga Lidia dan Brata sedikit banyak mempengaruhi psikis dan psikologis Kenzo. Ia merasa cukup terguncang mendapati kenyataan tidak menyenangkan itu. Pasalnya, tak pernah terpikir dalam benaknya mereka saling mencurangi bahtera rumah tangga yang sudah terjalin bertahun-tahun lama-lamanya. Satu minggu setelah kejadian tersebut, Kenzo menjadi lebih pendiam dari biasanya. Ia memilih menghabiskan waktu di ruang kerja, menyibukkan diri dengan berbagai dokumen guna mengalihkan fokusnya. Tapi tetap saja, hal itu tidak lantas berhasil. Tak jarang, kenangan saat dirinya masih kanak-kanak tiba-tiba menghampiri, membuatnya kembali disadarkan oleh kenyataan, bahwa segalanya telah berubah. Keluarga yang dulu hangat dan membuatnya bangga kini sudah mati. Tok tok tok! Suara ketukan terdengar, saat itu jam yang menggantung menunjuk pada pukul sebelas. Dengan suara seraknya, Kenzo mempersilakan orang di balik pintu masuk. “Buka saja, tidak dikunci.” Derap langkah kaki mendekat. T
“Kenapa?” tanya Kenzie dengan sedikit harap yang masih tersisa. “Aku sudah memutuskan untuk…” Kenzo menggantung ucapannya, menatap wajah Kenzie sekali lagi, sebelum akhirnya mantap dengan keputusan yang sudah dia pikirkan seminggu ke belakang.Kenzie menunggu lanjutan ucapan Kenzo dengan sabar. Pikiran dan perasaannya berkecamuk. Rasa tidak percaya diri akan berlanjutnya hubungan ke arah lebih baik tiba-tiba menjalar. Namun, ditepisnya pikiran itu segera, ia percaya Kenzo tidak mungkin mematahkan hatinya. “Untuk apa?” ujar Kenzie saat Kenzo tak kunjung melanjutkan kalimatnya. “Menikah dengan Rhea,” sahut Kenzo tegas. Tak ada keraguan di matanya saat berucap demikian. Membuat Kenzie sejenak terpaku di tempat. “Mana mungkin!” ujarnya beberapa saat kemudian. “Kenapa tidak?! Aku sudah tidur dengannya, kami pernah menghabiskan malam bersama beberapa kali,” balas Kenzo. “Kau itu terlalu naif dan gampang dibodohi, Zie,” tutupnya seraya terkekeh pelan. Deg!Kenzie menggeleng si