Arga kembali ke kamar setelah bicara dengan Lanie. Lanie sendiri membuka pintu dan hendak masuk ketika ponselnya berderit. Ia memilih menjawab panggilan yang masuk dengan satu tangan memutar gagang pintu.
"Halo." Lanie menghentikan gerakan tangan, bola matanya membulat lebar ketika mendengar suara dari seberang panggilan. "Tahan dulu, jangan sampai itu menyebar luas. Beli semua informasi yang didapat!" perintah Lanie pada orang yang menghubunginya.
Panggilan itu berakhir, Lanie menoleh sekilas ke arah kamar Arga sebelum pada akhirnya memilih masuk ke ruangannya.
-
-
Ana pergi dari rumah sakit setelah memastikan kalau Mikayla baik-baik saja. Ia mengendarai mobil menuju apartemen, hingga tanpa sengaja melihat dari spion tengah kalau ada sebuah mobil SUV berwarna hitam terlihat membuntuti. Ana berpikir kalau mobil itu searah dengan dirinya, tapi sayangnya itu tidak seperti yang dipikirkan! Saat mobil Ana melambat, mobil SUV
Dio sedikit terkejut ketika Alisya mengakhiri panggilan secara tiba-tiba, menatap pada benda pipih yang ada di tangan. "Ck, tumben dia buru-buru matiiin," gerutu Dio yang seakan masih tidak rela dan ingin bicara lebih lama dengan Alisya."Cie-cie, kenapa tuh muka masam? Habis ditolak cewek, ya!" goda salah satu teman Dio yang sudah merangkul leher pria itu."Mana ada!" sanggah Dio."Ada, tuh nyatanya muka udah masam kek cuka!" ledek temannya.Dio memukul lengan yang melingkar di leher, berjalan cepat untuk menghindar. Selagi Dio yang kebingungan karena Alisya menutup panggilan, Arga kebingungan karena Ana tidak bisa dihubungi, hanya mesin penjawab pesan yang terdengar."Kenapa?" tanya Lanie yang sadar kalau Arga cemas.Arga menatap layar ponsel di mana nama Ana terpampang di sana. "Nomernya tidak bisa dihubungi," jawab Arga yang kemudian menoleh pada Lanie.
Ana sudah sampai di apartemen, mengganti pakaian dan berbaring di atas ranjang. Ia menatap jam dinding, melihat seakan waktu berjalan sangat lambat, kamar itu begitu hening, hanya terdengar suara jarum jam yang berputar. Rasa nyeri begitu menusuk dada, lambat lalun kelopak mata Ana terpejam, rasa lelah dan takut dengan kejadian yang menimpanya, mengantar tidur hingga Ana benar-benar terlelap. Ana tertidur begitu pulas, bahkan sampai tidak menghubungi Arga sebagaimana dengan yang direncanakan. Waktu semakin berjalan, kini jam di dinding sudah menunjukkan pukul 3 pagi, Ana masih tertidur dan belum ada tanda-tanda akan bangun, mungkin efek obat yang diminum sehingga Ana tanpa sadar tertidur pulas. Seseorang terlihat membuka pintu kamar, ruang tengah masih terlihat terang tapi kamar hanya terlihat cahaya lampu yang meremang. Mendekat dan duduk di samping Ana, menyentuh sisi wajah dan membelai lembut. Ana yang merasakan sebuah sentuhan pun se
Semalaman Zidan berpikir tentang Ana yang sudah menikah lagi, di hatinya merasa belum ikhlas kalau Ana sudah dimiliki pria lain. Ia sampai mengusap kasar berulang kali wajah, mencoba menyadarkan diri kalau itu bukanlah sebuah mimpi."Apa dia bahagia? Apa pria itu baik padanya?"Pertanyaan-pertanyaan itu terus berkutat di otak, merasa takut kalau Ana tidak bahagia. Hingga Zidan membuka laci meja kecil samping tempat tidur, mengambil bingkai foto yang semula dalam posisi tertelungkup. Zidan menatap foto dalam bingkai dengan senyum getir di wajahnya."Aku masih tidak percaya kalau kita berpisah, berbulan-bulan mencoba melupakan, tapi aku tidak sanggup. Bahkan untuk membuang fotomu saja rasanya berat."Zidan bicara pada foto yang terdapat dalam bingkai. Itu adalah foto pernikahan dirinya dengan Ana, rasa berat masih terus hadir dalam hati. Zidan sebenarnya masih tidak rela melepas Ana. Hanya agar Ana bah
Sudah tiga hari semenjak ponsel Ana hilang, tapi tidak ada tanda-tanda kalau foto dirinya dan Arga menyebar luas di dunia maya. Namun, meski begitu Ana masih saja khawatir, setiap hari Ana mengecek berita infotaiment lewat ponsel yang baru saja Arga belikan, bahkan televisi di dalam kamar tidak berhenti menyala dan menayangkan chanel berita selama 24 jam penuh. Ana juga tidak ke kafe, meminta karyawan kepercayaannya untuk mengurus sementara dengan alasan dia sedang tidak sehat.Arga masuk dengan secangkir coklat hangat di tangan, meletakkan di atas meja kecil kemudian duduk di samping Ana yang masih menatap layar televisi dan ponsel di tangan dengan wajah cemas.Arga mengambil ponsel dari tangan Ana, membuat wanita itu terkejut. Ana menoleh pada Arga yang sedang meletakkan ponsel ke atas nakas."Ga, mana ponselku? Aku belum mengecek chanel gosip," kata Ana seraya mengulurkan tangan untuk meminta ponsel dari Arga.
Taksi online yang ditumpangi Ana sudah sampai di depan kafe. Ana langsung turun dan berjalan cepat masuk ke kafe."Di mana dia?" tanya Ana begitu melihat karyawan yang menghubungi dirinya."Aku suruh nunggu di lantai atas, Bu." Pelayan Ana menunjuk ke lantai atas."Oke, makasih."Ana menaiki anak tangga dengan wajah sedikit panik. "Bu, pak Zidan ke kafe. Ini sudah ke tiga kalinya beliau ke siniKemarin ketika saya bilang Ibu sakit, beliau mengatakan untuk datang lain waktu saja. Karena hari ini saya rasa Ibu sudah membaik, jadi saya memberanikan diri menghubungi. Kata pak Zidan, dia punya sesuatu milik Ibu dan ingin menyerahkan langsung ketika saya bilang untuk menitipkan pada saya." Ucapan karyawan Ana ketika menghubungi dirinya terus terngiang-ngiang, sangat penasaran dengan apa yang ada pada Zidan dan kenapa ingin memberikan langsung?Ana sudah sampai di depan rua
"Jadi, berapa uang yang Mas Zidan kasih? Biar aku ganti," kata Ana seraya membuka tas tangannya.Meski Zidan berkata kalau menebus ponsel Ana, tapi tidak menyebutkan nominalnya, juga tidak mengatakan kalau pemuda itu memberitahu siapa suami Ana."Tidak usah, An!" tolak Zidan ketika melihat Ana sibuk mengambil sesuatu dari tas."Ah jangan, aku tidak enak karena sudah merepotkan mas Zidan," kekeh Ana yang kemudian mengeluarkan dompet. "Aku seharusnya berterima kasih, makanya Mas Zidan jangan menolak."Zidan bangun dan berpindah duduk di sebelah Ana, meraih pergelangan wanita itu hingga membuat Ana terkejut. Ana menatap pada pergelangan tangan yang digenggam Zidan, hingga kemudian menatap wajah mantan suaminya itu."A-ada apa, Mas?" tanya Ana tergagap, jantungnya berdegup dengan sangat cepat."Tidak usah diganti!" kekeh Zidan."Tapi--" Ana i
Arga mengemudikan mobil, meninggalkan area pelataran studio. Ingin rasanya segera pulang dan melihat sang istri. Arga terus memikirkan ucapan Lanie, tidak menyangka kalau sebenarnya Lanie adalah kakak Ana. Arga menutup permukaan bibir dengan telapak tangan sedang satu tangan masih mengontrol kemudi. Sungguh semua yang didengar sangat berada di luar dugaan, ia mengingat setiap kata Lanie."Membahagiakan Ana? Apa maksudmu?" tanya Arga mengernyitkan dahi.Lanie menengok ke arah personil lain yang terlihat sedang bercanda dan bermain, hingga kemudian berbalik menatap pada Arga."Kita bicara di ruangan 'ku!" ajak Lanie yang langsung berdiri.Arga mengikuti langkah Lanie, pergi ke ruangan produsernya sesuai dengan ajakan wanita itu. Lanie meminta Arga duduk, sedangkan Lanie sendiri langsung berjalan ke belakang meja, menarik salah satu laci yang berada di sana. Ia mengeluarkan selembar foto dan menaruh di
"Mas, jarak kita terlalu dekat." Ana berusaha mundur dan menarik tangan dari cengkeraman Zidan, tapi pria itu menahan begitu erat."Katakan padaku, An! Kamu juga mencintaiku, 'kan!" Zidan bersikukuh ingin mendengar kata 'iya' dari mulut Ana.Ana bingung harus menjawab apa, tidak mungkin baginya bilang 'iya' yang sama artinya memberi harapan pada Zidan, jika bilang 'tidak' pria itu juga masih terus memaksa."Itu dulu, Mas. Sekarang tidak." Akhirnya Ana memberi jawaban keduanya.Zidan tersenyum hangat, meski hanya dulu tapi yakin jika sekarang mungkin masih. Tapi, apa sebenarnya yang dipikirkan Zidan, tahu kalau Ana sudah menikah, lalu kenapa masih mengharapkan wanita itu."Meski itu dulu, aku senang kamu mengakuinya," ucap Zidan lirih.Zidan sedikit memiringkan kepala, seakan tengah mencari posisi agar bibir mereka bisa saling bersentuhan. Ana tampak panik dan