Dalam kelas, tepat sekali ketika jam kosong dimulai setelah Adnan memberitahu jika guru-guru sedang mengadakan rapat penting. Adnan mengatakan rapat itu membahas tentang acara besok, yaitu pertunjukan eskul untuk menyambut kunjungan kepala sekolah SMA Nishida.
Sebab itu, sekarang Aldevan berkumpul bersama dua temannya di ruang properti eskul, Arlan dan Kevin. Seperti biasa, mereka juga termasuk dalam acara.
"Ciah, apa gue katakan. Gue bakal menang." Arlan mendaratkan pantatnya di kursi. Tersenyum kemenangan. "Tapi percuma sih gue nagih taruhan lo, lagi pun lo udah nembak Mery secara terang-terangan, cukup memuaskan bagi seorang Arlan," ucap Arlan, dia menepuk bahu Aldevan sekali. Lalu tertawa pelan.
"Taruhan? Lo bedua taruhan apalagi, kok gue gak diajak?" tanya Kevin, duduk di kursi samping Arlan.
Arlan mencibir. "Percuma geb, gue kasih tau pun lo nolak mentah," katanya. "Jarang emang cowok penakut kayak lo mau taruhan. yang ada udah mundur dulu."
Mungkin, bagi Hana masa lalunya dengan Aldevan itu sesuatu yang sulit dilupa. Buktinya, buku album berisi foto kenangan mereka tertata rapi pada rak khusus samping kasur Hana. Dia meraba tiap lembar halaman album itu, foto masa kecil mereka begitu rapi bahkan tak ada yang usang sedikit pun, masih seperti baru saja dicetak. "Gue kangen lo yang dulu, Aldevan." Hana mendekap album itu, tersirat rasa penyelasan mendalam yang ia pendam karena pernah meninggalkan Aldevan dulu. "Gue sekarang ngerti kenapa lo marah, lo pasti kesel gue tinggalin mendadak gitu." Setetes air mata Hana berhasil jatuh. Rasa sesak timbul di dadanya. "Tapi gue bisa apa, gue kepepet banget waktu itu, gue nggak bisa ngomong panjang lebar sama lo. Ayah bilang kalau gue nggak bisa lama-lama di Indonesia." Masih, kehangatan yang pernah ia rasakan dulu rasanya sulit untuk kembali. Hana hampir saja memukul lengannya sendiri. Meskipun Aldevan berada di hadapannya tetap sulit memastikan Aldeva
Selama perjalanan mereka menuju rumah Mery, Aldevan hanya diam tanpa bicara, tangan Mery memeluk perutnya. Sesekali menempelkan wajahnya ke bahu cowok itu. "Gabut banget. Pengen ngelakuin sesuatu, gelitikin lo aja ya?" tanya Mery tanpa dosa. Dia mendongak sayangnya tidak bisa melihat wajah Aldevan. "Tolol! Kalo gue kehilangan keseimbangan terus jatoh gimana?" ketus Aldevan. "Lagian kita lagi di jalan, ngerti dikit kek. Bego jangan dipelihara lama-lama," katanya lagi. Mery mengerucutkan bibir. Daripada mendengar ketusan Aldevan, Mery memilih melihat-lihat jalanan. Pemandangan sore memang begitu indah, langit mulai berwarna jingga dan burung-burung beterbangan di langit cukup membuat Mery terpana. Dia mengangkat telunjuknya berniat menghitung burung-burung itu. "Satu, dua, tiga, em ... sepuluh. Ada sepuluh burung," kata Mery usai menghitung. Dia mendadak haus, ditepuknya bahu Aldevan sekali. "Gue haus, pengen minum. Ke supermarket deh," ajaknya.
Terkadang aku rapuh, menyembunyikan semua beban dengan senyuman manis yang dilihat semua orang. Namun nyatanya, aku lebih menderita jauh dari pemikiran kalian sekarang.-Mery Theresia- Hal yang menyenangkan bagi Mery jika dapat berkumpul bersama temannya malam ini, Tasya dan Raya senang hati mengiyakan permintaan Mery untuk menginap di rumahnya. Sebab itu saat ini kamar Mery penuh dengan bungkus makanan, Raya seenaknya memakan camilan dan memanfaatkan fasilitas kamar Mery yang tidak lain adalah TV LED. Sementara Tasya, dia terlihat sibuk berkutat dengan macbook Mery. "Emang bokap lo kemana lagi, Ry, Bukannya baru pulang dari Amerika? enak bener bisa bolak-balik seenaknya kayak setrikaan," tanya Raya. Dia menatap ke arah layar yang menampilkan drama Korea sambil memakan camilan. Mery memutar bola matanya malas. Bukan hanya itu, dia juga malas memperhatikan ayahnya. "Gue nggak tau, nggak penting banget, apa emang urusannya sama gue?" sahutnya sekenanya.
"Lo udah nyiapin semuanya, Al ? besok kak Bima minta kita ngumpul sebelum pukul tujuh, menurut gue harus selesai malam ini juga," tanya Kevin. Memutar tubuh menghadap Aldevan. Aldevan menggeleng, malam ini sungguh melelahkan baginya, bukan uring-uringan di kasur dia justru sibuk mempersiapkan pertunjukan eskul besok. Bukan hanya mereka, para anggota OSIS lain juga sibuk mempersiapkan panggung dan sarana lainnya di lapangan sana. Arlan memijit pelipisnya, ia menaruh kardus berisi stick drum ke atas meja. "Menurut gue kita nggak bisa selesain malam ini juga, ada banyak barang terus properti eskul yang belum siap, gue udah capek banget, udah dua jam kita di sini. Mana nggak ada makanan lagi." Benar sekali, Kevin bahkan belum makan mulai siang tadi hingga perutnya yang keroncongan membuat Arlan tertawa renyah. "Haha, cacing lo minta dikasih makan," kata Arlan. "Gimana, Al ? Lo mau di sini sampai kapan?" Aldevan menghela berat, ia tak tau mau
Diangin Sepuluh menit gue nyampeLo tnggu dpn rumah Gk ush bntah Mery berdecak sebal, baru saja ia duduk menghadap cermin Aldevan sudah menchatnya dan mendesaknya dalam sepuluh menit. Ia tak habis pikir mengapa Aldevan memberinya sedikit waktu untuk berdandan. Mungkin dirinya memang terlalu cantik, hingga tak perlu pakai bedak dempul. Ho oh, gue doainlo kempes ban biartelatan dikit. Bodo amat Mery mendengus lagi, ia memilih mengiyakan saja perkataan Aldevan. Toh, ini juga hal yang baik. Berangkat bareng pacar baru. Merasakan angin pagi hari yang sejuk, atau pamer pada teman-temannya plus sama adik kelas biar dia iri gak ketulungan. Mery mengambil bedak di atas meja, mengoleskannya rata pada pipi dan wajahnya yang mulus. Sungguh, ia cukup bersyukur Aldevanugerahi wajah secantik ini. Ia lalu mengoleskan sedikit liptint pink yang cocok untuk warna bibirnya. "Cakep dah. Cantik banget gue ya. Haha."
Sebuah mobil berwarna silver berhenti di depan gerbang SMA Bakti Buana, sosok gadis berambut selengan yang keluar dari mobil itu membuat beberapa pasang mata menoleh. Wajah yang sangat asing, beberapa pasang mata bahkan mengerjap memastikan siapa gadis itu. Namun nihil, tak ada yang mengenalinya, mereka pun kembali pada aktivitas masing-masing. Gadis itu tidak lain adalah Hana, ia mengedar pandang setelah menutup pintu mobil. Ya, ini adalah hari pertamanya sekolah di SMA Bakti Buana. "Gimana menurut kamu? Bagus?" tanya Haris–-ayahnya Hana yang sudah berdiri di sampingnya sambil mengusap turun rambut Hana. "Bagus kok Pa, Hana suka, meski masih bagusan di London sih," jawab Hana. Haris tersenyum. "Iyalah. Ini Indonesia. Bukan London. Kamu mau Papa antar sampai ke kelas?" Hana menggeleng, ia masih kuat berjalan. Toh, apa kata orang-orang nanti jika melihat Haris, bisa-bisa dia disamakan dengan anak SD yang baru masuk sekolah.
"Kampret temen gue, lo habis berantem?" "Bukan urusan lo." Aldevan mendekati Arlan dan mengambil alih kardus besar itu tanpa merasa berat sedikitpun. "Gue ada macet di jalan tadi, lo jangan kira gue telat bangun." Arlan maupun Kevin sama-sama melongo, melihat satu temannya itu mengangkat kardus yang sebelas dua belas dengan berat badan Arlan. Tatapannya, dari sorot cowok itu Kevin telah menyimpulkan sesuatu. "Buset dah, yakin gua lo habis berantem. Setidaknya lo ngomong kalo ada masalah, siapa tahu kita bisa bantu," saran Kevin, lalu melirik sekilas Mery. "Bantuin kaki gue dulu ogeb, seenak jidat lo timpukin tuh kardus ke kaki gue. Sialan!" Arlan mendekat dan menjitak kepala Kevin keras membuat cowok itu meringis sesaat. "Iya nyet iya, entar kita ke UGD." "Kampret!" Kevin menatap Mery, sementara Aldevan berjalan sambil membawa kardus besar tadi ke back stage, banyak pertanyaan yang ia bendung di otak
Sesuai perintah Aldevan, Mery berjalan menuju perpustakaan, tempat yang bahkan tidak pernah sama sekali ia kunjungi itu. Dari dulu, Mery memang malas pergi ke perpustakaan, menurutnya itu hanya membuang waktu apalagi aura nerd berhamburan di sana. Dengan langkah malas, ia melewati koridor sambil sesekali melirik ke samping, tentu saja ia takut ketahuan Bu Martha. Beberapa kelas dengan murid di dalamnya sudah duduk rapi. Meski begitu Mery ogah mempedulikan kelasnya yang kemungkinan melakukan hal sama. Sesampainya di perpustakaan, mata Mery langsung menangkap sosok Aldevan yang duduk pada salah satu kursi sambil fokus membaca buku, saking fokusnya cowok itu tidak menyadari kehadiran Mery. Mery mendengus, apakah Aldevan ingin mengajarkannya sesuatu? Kalau tau begitu sih, mending dia kabur saja. Males bgt gue disuruh belajar, batin Mery. Berniat kabur, Mery berbalik namun deheman seseorang menghentikkan langkahnya. "Ekhem, mau kemana lo?"
ingga saat ini, Nayra tidak bisa meyakinkan hatinya untuk menceritakan kejadian beberapa jam lalu pada Rifdan, meski tak ada luka yang membekas, tetap saja bayangan tragedi tadi melintasi pikirannya. Nayra perlu waktu untuk melupakan semua itu.Nayra berjalan dengan tangan sedikit gemetar, setelah Nickey memberhentikannya tepat di depan pagar, ia meraih handle pintu yang tidak terkunci."Aku pulang."Tidak ada sahutan, kecuali suara detak jam yang menunjukkan pukul 10.15 malam. Lampu ruang tamu juga masih menyala dan sisa bungkus makanan berserakan dimana-mana. Kebiasaan Rifdan seperti ini sungguh membuat Nayra lelah, namun ia tak dapat menyangkal jika ayahnya berubah depresi ringan sepeninggal ibunya.Perubahan perilaku dan emosi ayahnya juga sering dirasakan Nayra.Seperti sekarang perilaku ayahnya yang terkesan kekanakan. Meracau tidak jelas saat tidur dan sesekali menangis di sela tidurnya, sangat menyayat hati Nayra.Andai ibunya
Ketika hati dibutakan oleh cinta, semuanya terasa kelu untuk diucapkan, ketika mereka baru saja bersama dalam waktu sesingkat ini. Apakah Tuhan juga akan memisahkan kurun waktu sesingkat itu juga?Mereka mendekap, saling tenggelam dalam heningnya kejadian beberapa menit lalu sampai akhirnya mereka menyadari suara langkah kaki menggema menuju ruangan yang mereka pijaki.Nayra berusaha menjauhkan tubuhnya dari Nickey saat cowok itu semakin mengeratkan pelukannya. Tangan yang melingkari bahunya terasa menegang menyesakkan dada Nayra.Nayra mendongak sambil mendorong dada bidang Nickey menjauhi dirinya."Aku pengen tau apa maksudnya, mereka bilang kamu cuma bersandiwara, Nickey." Nayra melirih meski hatinya terasa sesak, ia juga perlu penjelasan. Menjelaskan semua pertanyaan di otaknya.Nickey tercekat, lidahnya kelu berucap. Kepala yang menunduk meyakinkan Nayra mengulang lagi pertanyaannya. Namun dengan nada begitu memohon."Tolong jelasin sem
"Iya gue. Danu, penyelamat lo waktu itu."Kalimat itu terdengar untuk kedua kalinya. Nayra mengerjapkan matanya berkali-kali memastikan sosok di hadapannya.Dia yang dianggap baik hanya ilusi belaka. Meski Nayra jarang bertemu lelaki itu. Ia masih tak percaya faktanya. Memang benar, sesuatu yang baik di luar belum tentu baik di dalam. Hanya sandiwara semata.Nayra menghela dalam dan menghembuskan nafasnya perlahan. Tangan dan kakinya masih diikat sehingga ia tak bisa bergerak. Bagaimanapun nanti ia harus bisa keluar dari sini."Lepaskan aku! Emang kamu mau apa?" Nayra menggeram. "Bukannya kamu teman Friska. Kenapa kamu ngelakuin ini?"Danu mendekatkan wajahnya setelah tersenyum sinis, sedikit berjongkok dan menatap lekat-lekat kedua bola mata Nayra. Dengan tangan mencekal dagu Nayra dan mendongakkannya, Danu mencoba menakuti gadis itu."Teman? i not believe friends. Itu cuma omong kosong."Danu menghempas kasar dagu Nayra,
Cowok dengan wajah khawatir berulang kali menekan nomor yang sama. Berkali-kali pula ia memanggil nama itu. Berharap yang dipanggil akan mendengar. Dari kampus yang sepi ini ia tidak melihat siapapun.Pula, berulang kali Nickey memanggilnya. "NAYRA!!"Teriakan itu kembali terdengar di suatu lorong yang sempit. Di belakang kampus. Ia mengenyahkan ketakutannya menelusuri tiap sudut universitas itu. Berkali-kali ia mengerjapkan mata memastikan ada tidaknya keberadaan seseorang di sana.Namun harapan itu pupus ketika ia hanya melihat untaian daun kering bergelantungan diatasnya. Sekali lagi ia mencoba mencari. Tetes demi tetes keringat mengalir di pelipisnya.Nickey yakin gadis itu ada di sini saat suara hentakan dari lantai atas menusuk telinganya.Gedebug gedebugSuara boriton itu membuat Nickey menautkan kedua alisnya. Ia berlari kearah tangga sumber suara.Namun hasilnya tetap sama, ia tak menemukan apapun kecuali satpam y
"Kamu mau pesen yang mana?" Nickey menyodorkan daftar menu pada Nayra.Tidak ada alasan khusus, hanya saja ia ingin menghabiskan setidaknya sedikit waktu saja bersama Nayra. Dan kini mereka berada di salah satu kafe es krim, tidak jauh dari pertigaan jalan menuju rumah Nayra.Nayra mengerjap sekali, menatap daftar menu yang sangat asing di matanya. Yang ia tahu, rasa es krim itu hanya ada dua, coklat dan stoberi. Kolot memang."Atau mau gue pilihin?"Oleh Nickey tangan Friska ditepis, sesaat ingin menjangkau daftar menunya. "Sibuk, biar Nayra yang milih," titah Nickey.Friska mengerucutkan bibir."Apasih lo, gue sahabatnya, yajelas gue paling tau."Nickey hanya memutar bola mata, sedangkan Nayra berdecak berkali-kali."Kalian nggak bisa nggak ribut kalau sehari aja. Itu nggak baik lo kata ayah, harus akur."Senyum Nayra membuat Friska terpaksa menutup mulut rapat-rapat, sementara Nickey tertawa kecil, lalu menatap Na
Bisa dicap hari ini, hari paling berkesan bagi Nayra. Ia baru saja mendapatkan hasil kerja kerasnya, lebih tepatnya hasil dari penjualan kue yang ia buat. Ternyata benar apa kata orang, hasil tidak akan mengkhianati perjuangan. Apalagi perjuangan itu diiringi dengan niat, maka hasilnya pasti lebih sempurna.Perjuangan Nayra yang rela begadang demi membuat kue hingga larut malam. Sebab itu sekarang ia mulai menguap, rasa kantuk dan matanya terasa sangat berat untuk membuka, menemani perjalanan pulangnya dari kampus. Ia sudah lama menahan hal ini terutama saat pelajaran bu Antik, harus sepenuhnya sadar agar tidak dikenai hukuman beliau.Seperti biasa, Friska juga menemaninya sekarang. Cewek itu memainkan ponsel, meski sesekali tertinggal karena harus mengimbangi langkah Nayra yang lumayan cepat."Jalannya cepetin dikit dong Nay, kaki gue jadi pegel kalo lambat gini," keluh Friska yang berada di depan.Nayra menoleh sambil tersenyum, berusaha menyadarkan dir
Mungkin baru kali ini, Nickey terpaku pada seorang gadis yang tengah memungut sampah di sekitar area kelas. Pemandangan itu membuat Nickey yang baru saja melangkah di ambang pintu kelas mengerutkan keningnya beberapa saat.Tidak seperti biasanya, walaupun Nickey mengetahui hari ini jadwal Nayra piket kelas, setidaknya pekerjaan semacam itu tidak cocok dilakukan perempuan.Biasanya ia mendapati Wira atau Erik yang melakukan itu.Nickey menghampiri. "Ngapain ngelakuin itu sih, Nay? Udah tinggalin. Itu tugas Erik sama Wira."Sepertinya Nickey kesal, ia langsung merebut sampah plastik itu dari tangan Nayra kemudian membuangnya sembarang. Nayra pun menatap Nickey heran. Apa salahnya jika ia melakukan hal itu?"Nickey." Nayra beranjak untuk mengambil sampah itu, tapi tangan Nickey menahannya."Aku bilang nggak usah.""Tapi aku nggak masalah. Sekali-kali dong gantian, mereka juga bosan ngelakuin itu terus."Nickey berdecak, ia t
Sejak dua puluh menit yang lalu, tepatnya setelah Nayra menghabiskan makannya, tangan Rifdan terus berada dalam genggamannya. Nayra berharap Rifdan segera sadar, walau tadi dokter sempat mengatakan Rifdan tengah tidur. Kemungkinan akan bangun sekitar satu jam lagi. Itupun hanya perkiraan, selebihnya Tuhan yang menentukan.Bersama Nickey yang berada di sampingnya, duduk menopang dagu. Sesekali mengusap bahu Nayra."Sabar, ayah pasti sadar," ucap Nickey menenangkan. Tetapi jauh di relung hatinya, Nickey mengkhawatirkan sesuatu yang membuatnya ingin lekas pergi dari tempat ini.Nayra mengangguk halus, tangannya tetap setiap mengusap punggung tangan Rifdan sesekali menciumnya. Rifdan selalu mengatakan kalau sentuhan adalah cara paling ampuh untuk berinteraksi dengan seseorang, meski orang itu sedang tidak sadar.Dan benar saja, beberapa menit kemudian jari Rifdan melakukan pergerakan kecil, yang mungkin tidak disadari mereka yang berada lumayan jauh dar
"Permisi."Suara milik dokter itu lantas membangunkan dua orang yang tengah terlelap. Nickey menegakkan punggung, bangun dari sandaran kursinya meski belum sepenuhnya sadar. Sedangkan mata Nayra perlahan membuka, mengucek-nguceknya sebentar kemudian menatap dokter."Maaf mengganggu," ujar dokter itu. Tampak tidak nyaman karena mengganggu tidur mereka.Nayra ikut berdiri. "Nggak papa dok. Terus keadaan ayah gimana?""Ayah kamu baik-baik saja. Tapi jangan sampai telat memeriksa kesehatannya. Maaf lambat memberitahu, saya tidak tega membangunkan kalian tadi.""Nggak masalah dok," jawab Nickey yang sudah berdiri di samping dokter itu. "Terus kapan ayah Nayra bisa pulang?""Sekitar beberapa hari lagi, kami ingin memantau kesehatannya dulu. Dan Nayra, apa ayah kamu selalu teratur minum obat?"Nayra menggeleng. "Ayah sering lupa, obatnya sekarang juga lagi habis."Dokter itu hanya ber-oh sesaat. "Kalo gitu obatnya dokter s