Bab 38 Dewa Penolong "Dasar Rico kurang ajar. Dia sudah menghancurkan hidup Dena juga perusahaan papanya." Kedua tangan Ardi mengepal erat di atas meja. Ia bergegas menuju ruang kerjanya setelah menutup meeting singkat tadi. Pikirannya kacau antara mencari Dena juga mengurus perusahaan. Kalau sampai masalah anjloknya saham tidak teratasi, perusahaan Pak Husein mertuanya jadi taruhan. Ardi jelas tidak mau merepotkan papanya, karena perusahaan papanya baru saja menjalin kerja sama dengan kolega dari Surabaya. Di saat pikirannya keruh, ia teringat Hangga mantan cinta pertama Dena. Ya, dia akan meminta bantuan pada Hangga. Gegas ia mengambil ponsel dari sakunya. "Halo, Pak Hangga ini dengan Ardi. Apa hari ini kita bisa ketemu sebentar? Ada hal penting yang ingin saya sampaikan." "Baik, silakan ke kantor saya siang ini. Posisi sekarang saya masih di rumah sakit lalu sebentar lagi mengantar pulang istri dan anak saya." "Baik, Pak Hangga terima kasih banyak." Seulas senyum terbit di b
Bab 39A Tempat baruDi tempat lain, Dena telang menginjakkan kaki di kota Solo. Setelah turun dari kereta, ia mencari penginapan sederhana di pinggiran kota. Ia tidak mau keberadaannya dilacak oleh suaminya. Sebab itu, ia memilih menginap di sebuah wisma."Ada kamar kosong, Mbak?" Dena bertanya kepada petugas serupa resepsionis hotel.""Kebetulan masih ada dua kamar kosong, Mbak. Mau menginap berapa malam?""Sementara dua malam dulu, Mbak. Kalau nanti ada keperluan lagi saya perpanjang.""Baik. Silakan isi dulu formnya." Dena segera menerima kertas dan pulpen yang disodorkan perempuan yang berpakaian hitam putih itu. Sepertinya petugas ini masih magang."Ini, Mbak formnya. Pembayarannya sekarang?" tanya Dena memastikan."Iya, benar. Saya buatkan kuitansi dulu."Setelah melakukan pembayaran, Dena masuk ke sebuah kamar di lantai 1. Kamarnya jauh lebih kecil dibandingkan kamar apartemen maupun kamar di rumah. Namun, Dena bukan mencari luasnya. Ia mencari ketenangan untuk meredam pikirann
Bab 39B Tempat baru"Masih mau memilih atau mengambil sekarang?" tanyanya dengan wajah datar membuat Dena meneguk ludah susah payah. Sejak peristiwa buruk yang menimpanya karena ulah Rico, Dena semakin berhati-hati dengan laki-laki. Dia menjadi susah eprcaya dengan makhluk Adam itu."Silakan duluan!""Hmm."Dena melihat sekilas penampilan sosok yang berdiri di sampingnya memakai kemeja biru muda dan celana hitam, rapi. Sepertinya seorang karyawan kantor."Mas, sudah dapat banyak relawan, ya? Anak saya ternyata lagi KKN di Magelang jadi nggak bisa ikut kegiatannya." Dena mencuri-curi dengar obrolan pemilik warung dengan laki-laki itu."Alhamdulillah sudah, Bu. Tapi kalau masih ada lagi yang bergabung kami tetap menerima. Masih minggu depan mulai terjun ke lapangan soalnya.""Ya, mudah-mudahan acaranya lancar, Mas.""Amin, Bu. Makasih. Saya bawa ya, Bu. Kantor lagi sepi, teman-teman tugas keliling. Saya makan di san
Bab 39C Tempat baru"Masak sih, Mbak masih single? Eh maaf, saya nggak sopan ya tanya begini. Sudahlah, Mbak saya terima sebagai relawan ke 10 yayasan ini." Andi merutuki kekonyolannya sendiri. Wanita paling sensitif jika ditanya soal status perkawinan. Apalagi dirinya juga masih jomblo di usia memasuki kepala tiga."Terima kasih banyak, Mas." Dena mengucap dengan wajah berbinar.Andi mengambil berkas untuk bahan penjelasan kegiatan pada Dena karena relawan yang lain sudah mengikuti briefeng kemarin. Dia menjelaskan panjang lebar, sementara Dena mengangguk paham.Hati Dena mengembang, kegiatan ini menjadi impiannya setelah hatinya terpuruk. Ia merasa ingin mencari ketenangan dengan mengabdikan dirinya ke orang lain yang membutuhkan."Apa saya juga bisa membantu donasi, Mas?" tanya Dena ragu. Ia tidak yakin relawan bisa sekaligus menjadi donasi."Tentu saja, Mbak Kusuma. Mbak boleh menambah donasi, kami sangat senang sekali. Oya
Bab 40A Donatur itu Hari H tiba, Dena sudah bersiap berangkat menuju kota Semarang. Bersama rekan-rekan relawan dan juga Andi yang menyetir mobil, Dena menikmati perjalanan pertamanya. Ia benar-benar merasakan kebahagiaan luar biasa. Seolah tidak ada beban berat di pundaknya. Hanya ada keinginan melihat wajah anak-anak yatim piatu yang berbinar saat mendapatkan bantuan dari yayasan sosial ini."Mbak Kusuma dari tadi senyum terus, ada apa?""Eh, iya Mas. Aku baru sekali ini jalan-jalan bareng. Biasanya kemana-mana sendirian," ungkap Dena dengan wajah sumringah. Andi hanya mengulas senyum lalu fokus kembali dengan jalanan di depannya."Mbak Kusuma nih masih single juga ya?""Tuh, kan. Di sini dilarang tanya status, nanti jadi nggak semangat lho," protes Dena pada laki-laki yang duduk di belakangnya."Eh iya ya, maaf. Kita semua yang di sini single kok ya?" Laki-laki itu meralat ucapannya membuat semua penumpang tertawa karena terhibur. Sementara itu, Dena hanya tersenyum masam teringat
"Tante cantik sekali. Apa ibuku kalau masih hidup juga cantik kayak tante?" Seorang anak kecil yang diketahui Dena berumur 8 tahun mencurahkan hatinya."Hmm, setiap ibu itu cantik, Sayang. Ibu melahirkan anaknya dengan penuh perjuangan. Makanya kita harus menyayanginya juga sepenuh hati." Dena menerangkan dengan hati penuh empati. Ia menatap lekat manik mata gadis kecil yang membalas tatapannya penuh harap."Tapi ibuku sudah nggak ada sejak lahir kata bu panti." Deg, jantung Dena berdetak kencang. Ia menatap haru lawan bicaranya."Hmm, kamu mau tante jadi ibu kamu?" "Hah, beneran tante?" Gadis itu sontak memasang wajah berbinar."Tentu saja, tante akan menjadi ibu asuh anak-anak panti di sini.""Hore, teman-teman kita punya ibu asuh lagi."Anak-anak panti terlonjak kegirangan, sedangkan Dena melihat mereka satu persatu dengan hati mengembang."Terima kasih Mbak Kusuma sudah memberi harapan mereka untuk semangat menghadapi kehidupan dunia yang berat bagi mereka," ucap kepala panti."
Bab 41A Dia"Yaah, padahal acaranya sudah dirancang. Kasian anak-anak panti, Ndi. Mereka antusias banget ingin bertemu sang donatur yang kerap memberikan bantuan mereka.""Iya, Mbak. Tapi mau bagaimana lagi. Beliau benar-benar sibuk dan tidak berniat mengirimkan perwakilan dari perusahaan. Beliau ingin terjun sendiri.""Oh, begitu." Dena menghela napas panjang. Ia paham betul seseorang yang mengurus perusahaan seperti papanya dulu sangat sibuk. Sampai-sampai untuk meluangkan waktu sangat sulit. Alhasil, papanya yang jarang berkumpul dengan keluarga, sekali bisa berkumpul langsung memanfaatkan waktunya dengan maksimal."Biar aku yang jelasin ke kepala panti saja, Ndi. Kamu bilang panitia supaya bersiap memulai acara pembukaan.""Baik, Mbak." Setelah Andi berlalu, Dena mendekati kepala panti dan juga Rahmat yang tidak melewatkan momen menatap intens wajah teduh Dena."Gimana, Mbak?" seru Rahmat antusias untuk menunjukkan keaktifan
"Kata papa jika kita selalu mengutamakan orang lain, maka itu akan membuat hidup kita menjadi tenang, bukan?"Sontak saja mata Pak Barata berkaca-kaca. Ia terharu sekaligus terpukau putra yang dipandangnya sebagai badboy ternyata peka terhadap kondisi sekitar. Memang kita tidak boleh menjudge orang dari luar. Kenyataan hati Ardi memang lembut. Perhatiaannya pada anak yatim piatu sangat besar meneladani apa yang dilakukannya selama ini."Semoga Allah mudahkan kamu mencari istrimu, Ar!""Iya, Pa. Amin."Ardi melajukan mobilnya menuju kediaman Bu Sinta. Ia hendak pamit bepergian ke Semarang dilanjutkan ke Solo sekitar seminggu untuk mencari Dena."Sudah pulang, Ar? Kenapa cepat sekali?"Bu Sinta menghentikan kegiatannya menyiram tanaman anggrek yang menggantung di dinding teras samping kanan. Kegiatan baru ini membuat wanita paruh baya itu terhibur setelah kehilangan sosok suami."Iya, Ma. Ardi mau membereskan barang buat dibawa ke Semar
"Mas, di mana?" Suara Raihan terdengar dari seberang."Siapa, Mas." tanya Dena penasaran."Astaga, Mas Ardi di mana? Ingat Mas, Mbak Dena belum ketemu kenapa Mas Ardi sama perempuan lain. Suara siapa perempuan tadi?" teriak Raihan memaksa Ardi menjauhkan ponselnya. "Pakai baju, Sayang. Ada Raihan."Ardi lalu mengubah panggilan Raihan menjadi videocall."Ada apa, Rai?""Mas apa-apaan nggak pakai baju gitu. Mas tidur sama...""Hush, jangan sembarangan. Ini Mas sama Mbak Dena.""Hah?!" Dena menyunggingkan senyum di depan layar ponsel. "Dena! Mana Dena putriku?""Mama!" jerit Dena saat melihat wajah mama Ardi dan mamanya ada di layar menggantikan Raihan yang sudah memberi ruang bagi kedua wanita paruh baya itu. Sorot mata sendu terutama terlukis di wajah Bu Sinta--mama Dena. Mamanya beberapa hari menginap di rumah sahabatnya sekaligus besannya itu. Ia tidak tahan sendirian di rumah kare
"Na, tolong dengarkan aku! Semua bisa diselesaikan dengan baik-baik. Jangan gegabah. Jangan berpikiran sempit. Kamu tidak sendiri, Sayang. Ada aku, mama, papa, teman-teman. Kumohon, buka pintunya, Na!"Teriakan memohon dari Ardi sebagai usaha terakhir setelah dengan kalimat lembut tidak mempan, akhirnya membuahkan hasil.Cklek, Ardi bersyukur Dena mau membuka pintu. Namun, begitu ia masuk kamar mandi, Dena masih terisak. Tubuhnya menggigil karena terlalu lama mengguyur dengan air dari shower."Ya Allah, Dena! Apa yang terjadi? Kenapa kamu jadi begini?!"Ardi meraih handuk lalu mengganti baju Dena dengan bathrope. Ia memapah Dena keluar kamar mandi. Hening, tidak ada yang mau memulai pembicaraan. Ardi membiarkan istrinya tenang dengan memberi segelas teh panas buatannya."Minumlah untuk menghangatkan badanmu, Na!" Ardi memberi ruang pada Dena untuk berpikir dingin supaya tenang hatinya.Tidak berselang lama, Dena justru
Dena berniat menuju restoran untuk menikmati makan malam karena Ardi sudah mengirim pesan agak terlambat datang. Ia sudah merasa lapar, karena Ardi tidak kunjung tiba. Sampai di restoran hotel. Dena berjalan pelan hingga tubuhnya terpaku di pintu masuk restoran. Netranya memicing ke arah sosok yang dilihatnya mirip Ardi.Deg,"Ardi? Kenapa dia malah makan malam sendiri?" Dilihatnya Ardi hanya duduk sendiri menikmati makan dan minuman. Namun, Dena baru mau melangkah terlihat seorang wanita berjalan menuju kursi di seberang Ardi."Hah, siapa wanita itu?" Dena melihat pakaian wanita itu rapi, rambutnya digelung ke atas. Keduanya terlihat akrab saat menikmati makan.Dena merasakan setitik nyeri di dada, pun rasa sesak menyeruak hingga membuatnya susah bernapas."Kenapa kamu melakukan ini padaku, Ar? Apa karena semalam aku menolakmu." Berbagai spekulasi menari-nari di otak Dena hingga membuat kepalanya pening. Ia masih setia berdiri
Bab 49 Bangkit"Suami? Istri? Astaghfirullah." Dena menepuk jidatnya berkali-kali setelah ingat kalau mereka sudah menikah."Iya kamu istriku, tapi belum istri yang sesungguhnya karena belum melakukan ini.""Ardi?!" Dena sudah menjerit akibat sentuhan lembut dan dingin mengejutkan dari Ardi terasa di bibirnya. Dekapan erat pun menyusul menghangatkan tubuhnya, hingga keduanya bersiap melakukan ibadah yang dinantikan selama ini."Aargh. Jangan sentuh aku. Pergi!"Dena berteriak sekencang-kencangnya saat Ardi hendak memberikan sentuhan penuh cinta. Sontak saja Ardi terkejut luar biasa, ternyata istrinya masih trauma. Ia segera mendekap erat Dena yang tubuhnya masih gemetaran. Bahkan istrinya itu meronta-ronta saat ia ingin melakukan lebih jauh."Maafkan aku, Sayang. Aku tidak akan memaksamu. Tenanglah! Aku di sini melindungimu."Dena masih sesenggukan dengan kepala merebah di dada bidang suaminya. Ia bisa merasakan suaminya mendesah pelan seolah menahan sesuatu. Raut kecewa jelas terlukis
Bab 48"Mbak Kusuma ayo pulang!""Tidak! Tolong pergi! Jangan ikuti saya!" Teriakan histeris Dena semakin membuat Pak Rahmat panik. Ia tidak tahu kejadian tak terduga itu. Bahkan Dena mendadak pingsan karena teriakan disusul tangisannay yang kencang."Mbak, Mbak Kusuma, Bangun!"Pak Rahmat menepuk-nepuk lengan lalu pipi Dena tetapi tidak ada respon."Astaga! Kenapa jadi begini. Kalau terjadi apa-apa bagaimana ini."Pak Rahmat bergegas membobong Dena ke mobil. Pakaian keduanya sudah mulai basah terkena air hujan terutama Pak Rahmat. Setelah dibaringkan di kursi belakang, Pak Rahmat mencari apa saja yang bisa untuk menutupi tubuh Dena supaya tidak kedinginan. Lama mengobrak abrik bagasi hingga akhirnya Pak Rahmat menemukan sebarang kain.Pak Rahmat merasa lega, lalu berniat keluar dari mobil dan harus segera membawa Dena ke rumah sakit. Namun, baru saja hendak keluar, ia dikejutkan oleh sebuah tarikan pada kerahnya.
Bab 47 Trauma itu"Jadi, Bapak tinggalkan mereka berdua?! Kalau terjadi apa-apa dengan istri saya bagaimana?! Siapa yang bertanggung jawab, hah?!" Ardi sudah tidak bisa mengontrol emosinya. Semua mata tercengang mendengar ucapan mengejutkan Ardi."Istri?" lirih Andi."Ya, Dena Artha Kusuma adalah istri saya.""Apa?!" Semua saling pandang dengan wajah dipenuhi penyesalan.Gegas Ardi menarik Andi menuju mobil yayasan untuk mencari Dena."Ya Allah, semoga Dena baik-baik saja."Ardi tidak mempedulikan hujan lebat yang mengguyur, bahkan petir pun terdengar bersahutan. Ia menarik lengan Andi dan bergegas mencari Dena juga Pak Rahmat."Saya ikut juga, Pak!" Suara Pak RT terdengar lantang. Karena merasa bersalah telah meninggalkan mobil Pak Rahmat yang membawa Dena bersamanya."Mari, Pak!" ucap Andi karena Ardi sudah tidak sempat membalas. Akhirnya mobil itu berisi empat orang, bu kepala panti pun turut kembali mencari Dena. Ia khawatir terjadi apa-apa pada salah satu relawan yang terlihat pal
Bab 46B Kepanikan"Yang ini bagus, Mbak Tantri," sahut Ardi sambil melirik ke arah istrinya yang berdecak kesal."Dasar suami berondong. Awas saja kalau besok sampai rumah." Dena melanjutkan kegiatannya sambil sesekali mencuri pandang ke arah suaminya, manatahu suaminya tebar pesona hingga membuat Tantri salah mengartikan.Sampai waktu menjelang senja, beberapa pengunjung telah kembali pulang. Ardi dan Andi serta tim relawan membantu anak panti membawa beberapa barang kembali ke rumah panti. Namun, Dena masih membereskan tempat pameran bersama Tantri, Pak Rahmat, kepala panti dan juga anak-anak."Bu, ada info rombongan dari sekolah SD mobilnya macet di dekat hutan. Apa bisa kita beri pertolongan?" ucap Tantri dengan wajah sedikit khawatir, tangannya memegang ponsel yang baru saja menyala."Ada apa, Mbak?" Dena mendekati Tantri yang mengobrol serius dengan kepala panti."Ada mobil pengunjung yang membawa anak-a
Bab 46A KepanikanPagi itu suasana panti ramai oleh hiruk pikuk anak-anak yang semangat menyiapkan karya mereka yang akan dipamerkan di hari terkahir. Andi sudah bangun awal dan bersiap dengan seragam kaosnya. Pikirannya masih terngiang percakapan semalam dengan Ardi di kamar."Hmm, maaf nih Pak Ardi kalau saya lancang.""Ya, Mas.""Tadi...hmm, saya lihat Pak Ardi keluar dari kamar Mbak Kusuma."Uhuk, uhuk."Pak Ardi nggak apa-apa?""Nggak, Mas. Saya tadi kebetulan lewat depan kamarnya. Ada suara jeritan dari dalam. Katanya sih kecoa. Ya, saya bantu ngusir.""Oh."Andi masih belum percaya, tetapi pikiran aneh-anehnya segera terhempas begitu saja. Ia harus membantu persiapan hari ini."Mbak Kusuma, di mana?" tanya Andi sambil mengangkat dus berisi karya anak-anak panti. Teman relawan yang kebetulan lewat mengambil dus snack pun menjawab."Itu pergi sama Pak Rahmat dan bu kepala panti untuk menjemput rombongan siswa dari sekolah yang ingin kemari, Mas.""Oh, oke. Makasih infonya. Ayo k
Bab 45B Salah Sangka"Sttt!" Dena merapat dengan sigap tangannya menutup mulut Ardi. Tanpa sadar keduanya saling menatap,menyelami manik mata masing-masing. Ada kerinduan yang ingin disampaikan lewat tatapan mata.Ardi mengikis jarak hingga kening keduanya menempel."Aku mencintaimu, Na. Izinkan aku menyelami hatimu hingga tidak ada lagi lara yang tertinggal di sana. Hanya ada kamu dan aku yang akan mengukir masa depan. Menghadirkan keramaian anak-anak kita nantinya."Memilih diam mencerna setiap kata lembut yang keluar dari mulut suaminya, Dena tenggelam dalam pusaran kerinduan yang terobati dengan sentuhan. Hingga tak terasa keduanya merasakan puncak kebahagiaan dengan sentuhan. Dena menarik diri karena harus menghirup oksigen banyak-banyak. Kedua tangannya reflek menutup bibir bahkan mukanya yang sudah memerah seperti buah Cherry."Kamu cantik sekali kalau seperti ini, Na. Kita lanjutkan besok pulang dari sini ya, sekalian ho