"Apa?"
"Sejak kapan kamu pake parfum laki-laki Sayang?" tanya Andi lagi."Parfum laki-laki?" Ella mengendusi bau di kemejanya.Astaga ... dasar duda genit, sok arogan, sok iyes, kenapa ini bau dia semua batin Ella."Ini parfum terbaru aku, Sayang ... aku beli minggu lalu ada yang nawarin di kantor, emang ini bau parfum laki-laki ya?" Ella balik bertanya untuk menutupi kebohongannya."Sepertinya, udah lah lupain ... ganti baju dulu sana, aku tunggu di ruang tamu ya," ujar Andi tanpa curiga.Ella berlari kecil masuk ke dalam kamarnya, bersandar di balik pintu memejamkan mata, mengingat-ingat kembali kejadian hari ini, sungguh dramatis.Dengan mudahnya dia jatuh ke pelukan lelaki itu, pesona Daru memang luar biasa. Sentuhannya tadi pun membuat Ella tak lagi menapakkan kakinya di bumi.Lumatan lelaki itu membawanya pergi jauh ke angkasa, apalagi rematan pada payudaranya bahkan meninggalkan noda merah di sana.Ella menangkup wajahnya antara senang, sedih, bahagia, ah entah lah rasa itu luar biasa.Kenikmatan ... kenikmatan yang selama ini dia cari dan tak ia dapati dari Andi, calon menantu idaman semua ibu-ibu di dunia."Ah ... rasanya masih terasa, aduuuh aku bisa-bisa gila." Ella menggaruk kepalanya seperti orang gila."Ella ... Nak, itu Andi dari tadi nungguin kamu loh, kamu belum selesai ganti bajunya?" Suara ibu menyadarkan Ella bahwa masih ada Andi yang harus dia temui."Iya Bu, sebentar lagi," jawab Ella."Ibu tinggal ke swalayan sebentar ya," ujar sang ibu.Hanya mengenakan baju terusan dari bahan spandex yang membentuk lekuk tubuhnya, Ella kembali menemui Andi. Mata Andi sudah sangat biasa melihat penampilan Ella yang seperti ini, tapi entah mengapa dia selalu bisa menjaga imannya untuk tidak tergoda.Bentuk payudara gadis itu benar-benar sempurna, kalau pun mereka berciuman Andi berusaha untuk tidak menyentuh dada gadis itu. Adalah hal yang sakral; yang akan ia lakukan nanti jika saatnya sudah tiba."Sini," ujar Andi merentangkan tangannya agar Ella mendekat. "Kamu kenapa sih? mukanya dari pulang sampe sekarang gak enak banget di lihatnya." Andi menatap Ella, mengangkat dagu gadis itu agar memandangnya."Gak kenapa-kenapa, aku cuma capek ... seharian di sekolah, rapat ternyata menguras energi aku," ujar Ella manja bergelayut di pundak Andi."Kalo gitu aku pulang aja ya ... kamu kan capek." Andi merasai payudara itu menyentuh lengannya, ingin rasanya Andi merasai gumpalan itu, melihatnya dengan jelas. Jika pun ia meminta pada Ella, Andi yakin Ella tidak akan menolak."Kenapa?" tanya Ella saat ia sadari mata Andi memandang dua gunung kembarnya."Gak papa, Sayang." Andi mencium sekilas bibir kekasihnya."Lagi ...," rengek Ella."Apa?""Cium aku ... yang lama," pintanya, tangan gadis itu sudah berada di atas paha Andi.Membelai paha itu lembut, Ella menyadari sesak celana Andi mulai terasa."Sayang, cium dong," ucap Ella nakal."Pengen banget ya?" Andi mendekatkan wajahnya, menangkup pipi kekasihnya, melumat lembut bibir merah itu. Menarik dan menggigitnya secara bergantian.Nafas Andi mulai memburu, lidah mereka saling melilit, sementara tangan Ella mulai meraba resleting celana Andi. Sesuatu mengeras di bawah sana, Andi maupun Ella sama-sama menyadarinya.Ciuman yang harusnya dirasakan Ella penuh dengan cinta, namun saat ia kembali rasakan bersama Andi entah mengapa berbeda dengan ciuman yang ia lakukan tadi bersama duda arogan itu. Astaga, bahkan bayangan lelaki yang seharian mencumbunya itu nampak di kelopak matanya.Ella melepaskan ciumannya secara mendadak, Andi terkejut berusaha menetralkan suasana jantungnya yang berdetak cepat saat Ella meraba resleting celananya."Kenapa?""Sayang ... maafin aku," ujar Ella.Andi mencium kening gadis itu. "Gak papa ... kita juga salah, maafin aku ya."Jari jemari mereka saling bertaut, seperti itulah Andi. Di saat Ella menginginkan sesuatu yang lebih dari sekedar lumatan maka Andi menahannya agar tidak berlebihan. Di saat Ella ingin merasakan gairah yang luar biasa, maka Andi meredamnya dengan alasan "tunggu nanti."Hati Ella meronta, ia ingin kekasihnya memahami apa yang ia mau, bukan hanya sekedar menabrakkan kedua bibir, saling melumat, saling membelit lidah, tapi Ella ingin lebih, merasai semua yang lelaki itu miliki dan merasai semua yang Ella miliki."Aku pulang ya, Yang ... udah malam, besok aku ada jadwal lagi, kamu gak aku jemput gak papa kan?"Ella mengangguk, sudah biasa pikirnya jika harus pergi dan pulang kerja tanpa jemputan dari Andi, bahkan Ella juga harus siap jika nanti menikah di tinggal mendadak tengah malam karena tugas Andi sebagai seorang dokter."Kamu hati-hati di jalan ya, hubungi aku kalo sudah sampai di apartemen, besok kalo masih ada waktu tersisa ... aku ke apartemen kamu, aku tunggu di sana gak papa kan?""Gak papa." Andi mencium sekilas bibir kekasihnya lalu memberikan pelukan perpisahan yang menjadi ritual mereka."I love you, Sayang," bisik Andi."I love you too," jawab Ella tersenyum.----------------Tepat pukul tiga sore, Ella merapikan semua berkas di meja kerjanya. Ini adalah waktu kerja Ella yang sudah usai. Bersiap dan merapikan penampilannya, Ella meraih tas berwarna putih yang senada dengan kemejanya, mengunci ruangannya dan berjalan di koridor sekolah.Matanya terpaku pada sosok anak lelaki yang duduk di anak tangga depan sekolah. Wajah anak lelaki itu begitu kesal, beberapa kali ia menekan-nekan gawainya dengan sedikit gerutuan."Bayu?" anak lelaki yang di sapa pun hanya mendongakkan kepalanya lalu menunduk lagi. "Kok belum pulang?" tanya Ella lalu duduk di sebelah lelaki tampan berusia 12 tahun itu."Belum di jemput Miss," jawabnya kesal."Kok bisa?""Gak tau ... Papa bilang supir kantor sudah di jalan, tapi itu satu jam yang lalu sampai sekarang belum kelihatan batang hidungnya," masih dengan mode kesal."Sudah hubungi Papa kamu lagi?""Sudah ... tapi gak aktif, aku telpon sekretarisnya juga gak di angkat," ujarnya dengan mata berkaca-kaca."Hhmm ... Miss antar ya," bujuk Ella."Rumah Miss gak searah dengan rumah aku," ujar Bayu."Gak papa, Miss bisa antar Bayu dulu lalu Miss pulang, gimana?""Kalo mau nganterin jangan langsung pulang Miss, gak baik ... eyang bilang, kalo ada tamu harus di jamu, di ajak masuk ke dalam rumah, di layani biar kita selalu baik di mata orang," ujar Bayu."Oke ... Miss bakal mampir sebentar nanti, tapi gak bisa lama ya," ujar Ella lalu memesan taksi online sesuai alamat yang di berikan Bayu padanya.Taksi itu berhenti di sebuah rumah megah berwarna putih, pagar itu terbuka sendiri. Mata Ella takjub melihatnya. Mobil Range Rover berwarna hitam sudah terparkir di sana."Kok Papa di rumah?" tanya Bayu bingung.Bayu menarik tangan Ella untuk mengikutinya masuk ke dalam rumah itu. Terdengar suara lelaki yang sedang memarahi beberapa orang di dalam sana."Kalau mobil tiba-tiba mogok, kan kamu bisa suruh orang bengkel datang ambil mobil, terus kamu jemput Bayu, kalau sampai terlambat begini gimana? Kamu tahu Bayu sendirian di luar sana bahaya!" gelegar suara itu."Kamu juga," tunjuk lelaki itu pada seorang wanita berusia 40 tahunan. "Ini jam berapa sampai kamu lupa kalau Bayu belum pulang, saya ke sekolahnya tadi dan dia udah gak ada, kalau ada apa-apa sama anak saya gimana? kalian mau tanggungjawab? hah?!"Daru benar-benar marah, tak habis pikir mengapa ia begitu marahnya pada kedua orang kepercayaannya itu, supir dan pengasuh Bayu sedari kecil."Papa," ujar Bayu yang masih menggandeng tangan Ella."Bayu ... kamu?" Mata Daru yang merah karena marah tiba-tiba berkedip saat melihat wanita dengan kemeja berwarna putih itu mematung memandangnya yang sedang meluapkan emosinya."Bayu pulang sama Miss Ella ... mungkin waktu Papa jemput, kita baru saja jalan menuju rumah," jelas Bayu."Masuk ke kamar, bersihkan diri kamu ... siapkan apa yang harus kamu siapkan untuk pelajaran besok," ujar Daru memberi titah namun tatapan matanya mengarah pada Ella."Surti ... buatkan minum dan beri Bayu susu, saya yakin dia kelaparan menunggu kamu Manto," tunjuknya pada supir anaknya itu. Ketiga nama-nama yang disebutkan tadi meninggalkan Daru dan Ella di ruangan itu.Daru melangkahkan kakinya menuju gadis itu tanpa mengalihkan tatapannya pada Ella. Kemeja putih yang di pakai gadis itu menggelitiknya untuk di goda."Ternyata kamu yang datang ... bukan aku yang menghampiri," bisiknya di telinga gadis itu membuat Ella menegang hanya mendengar suara seksi dan hembusan nafas Daru di belakang telinganya."Apa aku harus menunggu kamu yang menghampiri?" Ella memandang dengan tatapan mata tajam.
By @chida0511"Ternyata kamu yang datang ... bukan aku yang menghampiri." Suara bisikan Daru dan nafas hangat yang sengaja dihembuskan pria itu di tengkuk Ella membuat pori-porinya meremang seketika. Pandangan Ella mengiringi Bayu yang menghilang di balik pintu kamarnya. "Laper?" tanya Daru mengendurkan ikatan dasi di lehernya. Dengan seenaknya Daru meletakkan tangannya di bahu Ella dan menyeret wanita itu masuk ke ruang makan. "Ayo," ajak Daru menarik sebuah kursi dan mendudukkan Ella di sana dengan sedikit paksaan. "Aku masih kenyang," ucap Ella. "Please..." desis Daru membuka piring yang menelungkup di atas meja dan mendekatkannya pada Ella. "Kamu harus makan. Setidaknya biarkan aku berterimakasih karena kamu udah nganterin Bayu." Daru mengangkat alisnya dan memiringkan kepala. "Oke--oke" Ella menghela nafas dan menarik mangkuk nasi yang berada di dekatnya. Dia sendok porsi kecil rasanya sudah cukup untuk memuaskan permintaan orang tua mu
Daru terus menerus mendaratkan kecupannya di leher jenjang Ella, sedangkan tangannya dengan cekatan menyusup ke dalam kemeja Ella, mencari sesuatu yang membuatnya tidak bisa tidur kemarin malam. Sesuatu yang kenyal dan sangat pas di genggaman tangannya.Ella langsung mendesah saat merasakan tangan Daru sudah mencubit puting payudaranya, desahan Ella makin keras saat merasakan cengkraman tangan Daru yang makin kasar. Namun, memabukkan."Say my name Miss Ella, (Panggil nama saya, Miss Ella)" bisik Daru di telinga Ella sambil menggigit cuping Ella.Ella benar-benar kebingungan, seumur hidupnya baru sekarang dia merasakan kenikmatan sebesar ini, lutut Ella sama sekali tidak mampu lagi menopang tubuhnya. Tubuh Ella merosot, dengan sigap Daru menangkap bokong Ella dan meremasnya pelan. Sontak Ella menjerit."Aa....""Say my name Miss Ella (panggil nama saya Miss Ella)." Daru lagi-lagi meminta Ella untuk memanggil namanya, saat ini Daru memintanya dengan
Ella berjalan keluar dari gerbang rumah besar itu, sembari menempelkan gawainya untuk menelpon taksi. Di hati Ella terbesit pertanyaan mengapa Daru tidak berlari mengejarnya, lalu meminta maaf atas perkataannya.Sakit sekali hati Ella ketika Daru mengatakan PELACUR pada dirinya, serendah itu kah dia. Padahal yang terjadi adalah Daru yang berusaha meruntuhkan pertahanannya. Jelas sekali bukan Ella yang meminta ia untuk mencumbui tubuhnya.Ella menghapus air matanya, taksi yang ia pesan pun akhirnya datang. Menangis sejadi-jadinya di dalam taksi, merutuki dirinya serendah itu kah dia.Taksi membawanya menuju apartemen Andi, kekasihnya itu masih bekerja. Keluar masuk unit apartemen Andi itu sudah biasa dia lakukan. Memasuki apartemen tipe studio itu, Ella berjalan menuju dapur ia tuangkan secangkir susu coklat dari lemari es untuk menyejukkan hatinya yang sedang pilu.Menuju lemari Andi, diambilnya satu
"Sepertinya kita harus menegaskan satu hal sebelum kita berangkat ke cerita yang lain," sergah Ella menatap mata Daru penuh arti."Aku gak suka kalo kamu--""Kamu gak berhak!" seru Ella memotong perkataan Daru. "Kita bukan siapa-siapa dan baru bertemu beberapa jam," sela Ella.Nafas Ella terengah-engah karena emosinya. Emosi pada pria arogan yang suka memaksakan kehendak di hadapannya itu. Dan celakanya, Ella merasa bodoh karena memaklumi semua sikap laki-laki itu padanya."Aku menyukaimu Ella," ucap Daru."Beberapa hari aja gak akan cukup untuk menyadari perasaan kita ke orang lain. Kamu harus bisa bedakan itu," balas Ella."Aku bisa, kenapa nggak?""Aku nggak bisa. Aku punya Andi. 'LOVE'. Yang kamu olok-olok itu. Andi nggak salah sampai dia harus kamu olok-olok terus. Aku pacarnya. Dan kamu mendekati pasangan orang lain, Pak Daru.""Dan kamu bisa nampar aku kalau kamu rasa aku terlalu lancang nyium kamu waktu itu. Tapi kamu m
"Miss Ella," panggil seseorang dari arah pintu ruang kerja Ella. Dengan cepat Ella membalikkan tubuhnya dan menatap sosok Kepala Sekolah SD tersebut. Lelaki itu tampak menjulang dan tinggi khas lelaki Eropa. "Ah, Mister Edgar. Ada apa?" tanya Ella sambil menyelipkan kartu manis dari Daru. Ella sama sekali tidak ingin timbul skandal di Sekolahnya. "Miss, saya harap anda mengisi jadwal kosong di kelas yang di pojok," ucap Mister Edgar. Ella dengan cepat berjalan kearah Mister Edgar dan melirik ke arah kelas yang dimaksud. Kelas Bayu, batin Ella. "Kenapa, Pak?" "Homeroom Teachernya tidak bisa masuk, katanya sakit. Biasa flu, kamu tahu kan betapa ribetnya parents, bila berhubungan dengan guru yang sakit flu?" tanya Mister Edgar sambil menggaruk dahinya. Ella hanya bisa tersenyum maklum, sekolah Internasional pasti memiliki paren
Jam pelajaran sekolah sudah selesai tepat pukul 2 lebih. Sebagian anak-anak berdiri di depan ruangan Ella mengantri menunggu giliran untuk mendapatkan coklat dan balon, yang dikirimkan duda gila itu pagi tadi.Selesai sudah Ella membagikan semuanya, Bayu yang sedari tadi menunggu Ella akhirnya mendekat."Miss Ella, sudah selesai kan?" Tanya Bayu."Bayu belum pulang?" Ella bertanya balik."Belum, Papa bilang biar sekalian nunggu Miss Ella aja.""Papa? Maksud Bayu, Pak Daru menunggu Miss?""Iya Papa bilang, ada beberapa hal yang akan Papa selesai sama Miss, kata Papa menyangkut aku di sekolah.""Hah?""Ayo Miss, jam 5 Bayu ada private di rumah." Bayu menarik tangan Ella untuk mengikutinya.Daru sudah menunggu di dalam mobil, dia tersenyum saat Ella masuk dengan wajah yang cemberut. Sedangkan Bayu duduk di kursi penumpang di tengah.Selama perjalanan menuju rumah Daru, Ella han
"Aku antar kamu sekarang," ucap Daru menambah kecepatan mobilnya.Ella mengangguk pelan tanpa jawaban. Wajah Daru berubah menjadi sangat serius. Apa yang dikatakan ibu laki-laki itu? Ella semakin penasaran."Makasih udah dianterin, aku masuk dulu." Ella tersenyum meraih pegangan pintu mobil.Tiba-tiba Daru meraup wajah wanita itu dan membenamkan ciuman kasar. Ella sedikit terkejut tapi ikut memejamkan matanya. Ciuman itu lama. Daru membelai rambut Ella dan menyusuri lengkung tulang belakang perempuan itu dan berdiam di pinggang.Tarikan nafas mereka berganti menjadi sebuah desahan pendek. Setelah menit yang panjang, Daru melepaskan ciumannya.Laki-laki itu memandang Ella lekat-lekat. Tangannya mengangkat lembaran rambut yang berdiam di pipi wanita itu. Sorot matanya sendu tapi juga dingin. Beberapa menit berlalu sejak telepon dari ibunya dan pria itu berubah. "Ya udah, turun sana!" pinta Daru dengan nada suara yang sama sekali berbeda. Ella
Anneke tampak berlalu lalang berjalan di depan pekarangan rumahnya. Tangannya tampak memilin-milin bagian bawah blouse pink miliknya, pikiran dan hatinya galau. Bagaimana tidak, dia benar-benar membutuhkan kepastian dari Daru.Daru anaknya itu belum memberikan jawaban pasti akan keinginannya, iya ... keinginannya untuk Daru menikahi wanita yang pantas, tak lain dan tak bukan Renya. Renya lebih dari pantas untuk menikahi Daru, anak hakim agung, cantik, terpelajar dan pastinya tidak akan membuat Anneke malu bila Ia kenalkan ke teman-temannya nanti."Bu ... pak Daru sudah datang," ucap salah satu assisten rumah tangganya."Suruh ketemu saya, segera." Anneke langsung berjalan ke arah sofa, mencoba menenangkan dirinya setenang mungkin. Berbicara dengan seorang Daru membutuhkan ketenangan tingkat tinggi.Tak berapa lama Anneke melihat Daru memasuki ruangan. Seperti biasa, anaknya itu tampak gagah dan rapi."Hai Ma," ucap Daru sambil mengecup pipi Anneke."Oma," jerit Bay
Sewaktu kecil Ella tak pernah merasakan bagaimana memiliki seorang ayah. Dia anak yang tumbuh besar dari ibu tunggal yang membesarkannya dengan menyingkir dari kecaman keluarga dan omongan orang terdekat. Sudah tak heran lagi kalau kebanyakan manusia selalu menganggap dirinya yang paling benar dan sempurna. Sehingga merasa lebih mudah untuk menghakimi kehidupan orang lain. Satu perasaan yang selalu Ella syukuri adalah bahwa ia dibesarkan oleh seorang wanita tangguh yang mengorbankan masa muda dan mampu mengalahkan egonya untuk tidak menikah lagi. Dulu Ella tak mengerti. Ia menganggap kalau apa yang dilakukan ibunya memang suatu keharusan. Membesarkannya, merawatnya, memberinya jajan yang cukup, pakaian bagus dan pendidikan mahal. Ella tak pernah bertanya uangnya dari mana. Dan ia tak pernah menyangka kalau sebagian besar apa yang diperolehnya berasal dari seorang pria yang ternyata diam-diam masih bertanggungjawab
Hidup itu selalu tentang pilihan. Tentang baik dan yang buruk, tentang kesulitan dan kemudahan, tentang berjuang atau memasrahkan, juga tentang menjadi baik atau tidak. Semuanya tentang pilihan. Tentu saja semua orang ingin hidupnya berjalan dengan baik. Namun, seringnya yang terjadi malah jauh melenceng dengan yang direncanakan. Begitu pula Andi yang sejak dulu merencanakan memiliki kehidupan rumah tangga yang bahagia bersama Ella. Gadis yang menjadi kekasihnya selama bertahun-tahun, namun hubungan itu kandas karena perselingkuhan yang dilakukan oleh wanita itu. Andi tetaplah manusia biasa. Laki-laki yang jauh dari kata sempurna. Ia marah, murka, membalas, puas, kemudian melampiaskan semuanya dalam satu waktu. Andi yang menjaga dirinya menjadi sosok lelaki berengsek, malah berubah menjadi sosok itu. Bagi Ella, Andi pernah menjadi lelaki berengsek. Bagi Andi, Ella juga pernah menjadi wanita berengsek yang mengkhian
"Oke ... mengejan sekali lagi ya Ibu Ella, sedikit lagi kepalanya sudah kelihatan ya ... siap ya, hitungan ketiga," ujar Dokter Sarah yang membantu persalinan Ella. "Satu ... dua ... tiga ... sekarang Bu Ella," titah sang Dokter. Ella mengejan sekuat tenaga, semampu yang dia bisa. Genggaman tangan Ella semakin erat menggenggam tangan Daru, Daru meringis menahan sakit kala genggaman itu mencengkeram semakin kuat seakan akan mematahkan jari jemari Daru. "Iya ... terus Ibu, bagus ...." Suara tangis bayi memenuhi ruangan persalinan, bayi mungil yang masih ditempeli sisa-sisa plasenta itu menangis begitu keras. "Sempurna, ya ... semua lengkap, perempuan, cantik, berat badan dan tinggi semuanya baik," ucap dokter Sarah. "Selamat Bapak Daru dan Ibu Ella," ujar Dokter Sarah. Ella meneteskan air matanya, saat bayi mungil mereka berada di atas dadanya, mencari-cari puting susu sang Ibu. "Cantik," ujar Daru menatap bayi mereka. "Benar
Daru membuka pintu kamarnya perlahan, dia membawakan susu hangat sesuai permintaan Ella tadi. Istrinya itu sedang duduk bersandar pada headboard, menggulir layar ponselnya. Ya, belakangan ini Ella memang lebih tertarik dengan ponselnya di banding yang lain. Berlama-lama melihat online shop lebih menarik dan menjadi salah satu hobi terbaru Ella. "Susunya di minum dulu, Miss Ella," ujar Daru yang sengaja memanggil Ella dengan sebutan Miss seperti dulu saat mereka pertama kali bertemu. "Terimakasih, Pak Daru." Ella pun tersenyum, menyesap susu yang diberikan oleh Daru. Dari duduk di sebelah istrinya, sambil mengusap-usap perut yang semakin membesar itu. "Kamu pasti belanja baju bayi lagi, ya?" tanya Daru yang melihat Ella sedang memilah-milah jumper untuk bayi mereka. "Lucu-lucu, Mas ... nggak mungkin aku lewatkan." "Iya, tapi kan sayang kalo ke pakenya cuma sebentar, itu yang kemarin kamu belanja sama ibu aja belum ka
Lalu lintas sore itu cukup padat, Arya melirik jamnya berkali-kali khawatir ia terlambat untuk makan di restoran. Tempat yang diminta Arya datangi oleh Papahnya. Sambil menatap lampu merah yang lama, Arya teringat dengan pembicaraan dengan Papanya tiga hari yang lalu. Saat di mana Papanya tiba-tiba memanggilnya dan memberikan satu pertanyaan yang tidak pernah Arya duga sebelumnya. “Arya, bolehkan Papa menikah lagi?” Arya mengenang pertanyaan Ayahnya, pertanyaan yang paling simple, paling to the point dan pertanyaan yang paling tidak di duga oleh dirinya. Mengingat selama dua tahun Papanya menjadi seorang duda, sibuk dengan dunia politik. Papanya tidak pernah membicarakan tentang pendamping hidup semenjak kepergian Ibunya. Arya tahu bahwa orang tuanya dinikahkan melalui jalan perjodohan tapi, selama mereka hidup sebagai pasangan suami istri, mereka adalah rekan, partner, rekan dan sahabat baik. Ibu Arya memang selalu tidak sehat, kesehatannya memang ti
Dulu, Diana sangat terkesima dengan sosok Syarif Chalid muda yang begitu gagah dan penuh kharisma. Seorang angkatan bersenjata dengan karir yang cemerlang. Usia mereka bertaut cukup jauh, dan Diana muda yang naif begitu singkat dalam berfikir. “Ella memang lagi di rumah?” tanya Chalid di dalam mobil, menoleh ke arah Diana yang pandangannya mengarah ke luar kaca jendela mobil. “Iya, Ella nunggu hari kelahirannya. Belakangan dia sering nginep di rumah bawa Bayu. Aku juga minta dia di rumah sementara ini. Khawatir ... Daru kerja kadang pulangnya larut malam,” sahut Diana, menoleh sekilas ke arah Chalid kemudian mengembalikan tatapannya ke depan. “Jadi, Bayu juga lagi di rumah?” tanya Chalid lagi. “Iya, Mas. Tadi malah katanya mau ikut kalau dia belum makan. Tapi, kayaknya dia keburu makan sop,” ujar Diana tertawa. Ia menoleh ke arah Chalid dan bertemu pandang sesaat. Tawanya langsung lenyap berg
Diana sudah berdiri di depan kaca selama setengah jam. Wanita 45 tahun itu sudah tiga kali berganti pakaian. Pertama tadi dia hanya mengenakan celana panjang dan kemeja santai. Beberapa langkah keluar pintu kamar, ia kembali ke dalam dan kembali mematut diri.Sekarang Diana telah mengenakan terusan berwarna kuning muda yang menutup hingga ke betisnya. Rasa-rasanya ia sudah sangat lama tidak mengenakan jenis pakaian seperti itu.Alasannya bukan karena tidak suka, tapi lebih ke tidak adanya kesempatan atau tempat yang cocok untuk ia bisa mengenakannya. Tak ada pergaulan yang sangat penting yang terjadi dalam hidupnya setelah ia memiliki Ella.Setelah pernikahan yang amat singkat dengan Chalid, ayah kandung Ella, Diana membelanjai dirinya sendiri dengan memanfaatkan sedikit uang peninggalan orangtuanya. Diana berinvestasi kecil-kecilan di perusahaan temannya. Hasilnya memang tak banyak, tapi setidaknya ia bisa menjaga egony
"Em ... karena—" Ratih tercekat, ternyata nyalinya juga belum cukup kuat untuk mengatakan sejujurnya pada kedua orangtuanya. "Jadi gini, Om ... Tante. Saya dan Ratih, kami ...." Andi menguatkan hatinya. "Kami memohon restu dari Om dan Tante, saya ingin menikahi Ratih putri Om," ujar Andi tegas. "Maksudnya gimana ini, Ibu gak ngerti." Retno duduk di sisi suaminya. "Ratih akan berhenti bekerja, Bu ... kami minta restu dari Ayah sama Ibu, Andi ingin Ratih menjadi istrinya." "Sudah berapa lama?" tanya Ridwan menatap Andi. "Kami kenal sudah enam bulan kurang lebih, Yah." Ratih menjawab cepat. "Ayah tanya pacar kamu." Ekspresi datar dari seorang Ridwan, pensiunan polisi itu. "Enam bulan, Om ... sudah enam bulan." "Pekerjaan kamu?" "Baru selesai ambil spesialis, Om." "Dokter?" "Iya, Om." "Kamu bisa pastikan anak saya bahagia? Dengan latar belakang dia, kehidupan dia bahkan masa lalunya?"
"Oh? Hanya oh?" Ratih berjalan cepat tanpa memikirkan perutnya, troli yang berisi barang belanjaan mereka dia tinggalkan begitu saja. Andi yang serba salah menyusul Ratih hingga meja kasir, wanita hamil itu melenggang begitu saja membiarkan Andi kesusahan membawa barang belanjaan mereka. "Tih ... ya ampun Tih, jangan cepet-cepet jalannya, ingat kamu lagi hamil." Andi meringis melihat Ratih berjalan cepat tanpa menoleh ke belakang. "Buka pintunya," ujar Ratih dengan ekspresi wajah kesal. "Astaga, Tih!" Andi membuka pintu mobilnya. Andi benar-benar harus menahan amarahnya menghadapi Ratih yang selalu sensitif selama masa kehamilannya. Ratih masih dengan mode diamnya, pandangannya dia alihkan keluar jendela mobil. Sementara Andi, merasa kikuk dengan tingkah Ratih yang selalu membuat serba salah. "Maaf ya," ujar Andi yang akhirnya mengalah. Ratih masih terdiam. "Kamu kan tau, hampir tiga bulan ini aku sibuk dengan pro