“Siapa perempuan tadi?”tanya Ella dengan tubuh menggeliat. Ia mencoba mengendurkan kungkungan Daru di tubuhnya.
“Kamu sebenarnya gak berhak cemburu,” balas daru.
“Kalo gitu kamu juga gak berhak maksa aku ada di sini,” sahut Ella. “Kalo terjadi apa-apa denganku, kamu bisa aku tuntut pasal pemerkosaan.” Napas Ella terengah-engah karena emosi cemburunya. Putingnya terasa mengeras menggesek lembut dada Daru yang menempel tanpa penghalang di antara tubuh mereka.
“Padahal aku gak pernah keberatan tiap kamu nyebut-nyebut si LOVE itu.” Daru melepaskan tangan Ella sedikit kasar. “Itu pintu, kamu bisa keluar dan pergi sekarang. Setelah keluar pintu itu, aku gak akan nyari kamu lagi.” Daru bangkit dan duduk di tepi ranjang.
Ella buru-buru bangkit. Ia melihat Daru duduk membelakanginya. Bahu telanjang Daru yang lebar sesaat memaku pandangannya. Ella tak bisa menahan air mata. Bingung. Ia merasa sangat bi
Hai... Untuk visual Handaru, penulis pakai Christian Sugiono ya... dan untuk visual Julella (Ella), penulis pakai Estelle Linden. Ditunggu lanjutannya ya... Salam Sayang dari Munaroh, Maemunah, dan Zaenab :*
"Kamu belum cukup?" tanya Ella bingung, seingatnya badannya sudah ringsek di hajar oleh Daru. Bagian intinya masih sakit bukan main, gundukkan kenikmatan itu masih terasa perih. Daru menahan tawanya saat melihat tatapan Ella yang kebingungan bercampur kaget, wanita di pelukkannya ini memiliki kecantikan yang menggetarkan setiap inci tubuhnya. Payudara Ella yang sempurna dan pas di tangannya benar-benar membuat Daru menggila. "Kamu capek?" Daru mengusap telapak tangannya di bagian puncak dada Ella, astaga ... rasanya nikmat sekali saat telapak tanggannya bergesekkan dengan puting Ella yang hangat. Sebuah gelengan kecil terlihat dari Ella, "Aku nggak capek cuman. Badan aku lengket Daru. Boleh aku mandi dulu?" tanya Ella sambil mencodongkan tubuhnya pada Daru, membuat Daru terbenam di
"Aku kedinginan," ujar Ella dengan nafas yang masih menderu. "Ayo, cepet selesai in mandinya ... nanti aku buatin kamu makanan," kata Daru membelai lembut dada gadis itu. Tiga puluh menit berlalu, Daru sudah duduk di meja makan menunggu gadis yang sudah mengubah dunia nya kembali terasa berbeda. Ella melangkah menuju ke arah Daru hanya menggunakan bathrobe. Kaki jenjang gadis itu menarik perhatian Daru, Daru seakan tak pernah ada kata puas untuk selalu menyentuh gadis itu. "Sini," ujar Daru menepuk paha nya agar Ella duduk di pangkuannya. "Aku mau makan, aku lapar," ujar Ella menarik kursi di dekat Daru, namun dengan cepat Daru meraih tangan gadis itu dan mendudukkan Ella di pangkuannya. "Aku suapin ... kamu pasti capek banget kan," kata Daru mengambil potongan kentang goreng lalu dia siapkan pada Ella. "Banget, aku laper ... ini siapa yang masak?"
Ella mencengkeram tasnya di depan tubuh. Setengah mengendap ia masuk lewat pintu samping rumah menuju sebuah tangga yang akan membawanya langsung ke kamar. Badannya pegal luar biasa, area sensitifnya terasa sedikit perih tapi lebih baik dari sejak pertama kali …. Setelah menyalakan kran air hangat, Ella duduk di dalam bath tub memeluk kedua lututnya yang terlipat di depan dada. Namun tak seperti adegan seorang gadis yang merayakan kehilangan keperawanannya dengan menangis, Ella malah tersenyum tipis. Pikirannya kembali menyuguhkan pemandangan Daru yang bugil mempertontonkan sesuatu yang baru kali itu dilihatnya langsung. Ella menjulurkan tangan meraba sisi bath tub tempat di mana segala perawatan rambut dan sabun berada. Ia menikmati saat-saat membelai tubuhnya. Kembali mengingat sentuhan Daru di sekujur tubuhnya. Memejamkan matanya dan mengarahkan sponge lembut ke puncak dada yang hampir semalam suntuk dikulum oleh Daru.
Ella menatap lembaran alat test Wartegg di hadapannya. Rasanya pikirannya tidak sinkron dengan hatinya, dari tadi Ella terus menerus melirik ponsel di tangannya. "Ke mana si Brengsek itu? Kenapa dia nggak nelepon aku sih?" tanya Ella sambil melirik ponselnya berharap ada satu saja pesan dari Daru. "Daru ...." Deg .... Mendengar nama Daru saja sudah membuat setiap inci di tubuhnya meremang. Pikirannya kembali melayang saat Daru menyentuh tubuhnya dengan tangan dan bibirnya. Ah ... dia ingin lagi, dia mau lagi, dia ingin Daru lebih lama dan lebih intim. Tanpa sadar Ella meremas alat test di hadapannya langsung berteriak saat menyadarinya. "Astaga ... kok diremes Ella." &n
Bandara Soekarno Hatta pukul tiga sore, "Kamu dimana?" tanya Ibu Yuni pada Renya. "Aku perjalanan ke butik, aku udah telpon Daru untuk ketemu di sana," jawab Renya saat dia baru saja masuk ke dalam sebuah taksi. "Jangan sampai Daru menunggu lama Renya, Mama gak mau kamu mengacaukan ini semua." "Mama tenang aja, aku tau apa yang aku lakukan." Renya mematikan sambungan teleponnya, dia benar-benar kesal hari ini, baru saja beberapa jam yang lalu dia hampir mendapatkan apa yang seharusnya dari dulu ia lakukan. Sekitar 45 menit perjalanan dari Bandara menuju butik yang sudah menjadi tempat mereka bertemu, Renya turun dari taksi. Wanita cantik yang mengenakan dress berwarna merah itu berjalan berlenggok memasuki butik dengan senyum tipis di sambut oleh para pelayan butik. "Mbak Renya," sapa pemilik butik langganan Ibu Yuni itu.
Di Luar Rencana Daru sudah tiba di kantor. Masih sangat pagi. Bahkan Tyas yang biasanya tiba lebih dulu darinya, belum menampakkan diri. Pintu ruangannya terbuka dan seorang petugas cleaning service yang sedang berada di dalam dengan sebuah sapu dan serokan terlihat sedikit berjengit karena kehadiran Daru yang tiba-tiba. Daru meletakkan ponsel dan kunci mobilnya di atas meja. Ia lalu menuju lemari berkas. Ia sebenarnya tak pernah menyentuh lemari berkas itu. Namun Daru merasa tak enak kalau harus meminta Tyas datang lebih awal hanya untuk mencarikannya setumpuk berkas. Kedatangan Daru di pagi buta, ‘hanya’ demi seorang klien berengsek yang telah membuat faktur pajak palsu. Dan hal itu lolos dari pengamatannya. Banyaknya berkas yang bertumpuk di dalam lemari membuat kepalanya langsung pusing. “Pasti udah diurutkan sesuai abjad nama perusahaan.
Renya merangkak di atas tubuh Daru, lelaki angkuh yang tidak pernah mau menyentuhnya sama sekali. Namun, mampu menggetarkan hasratnya di setiap inci tubuhnya. Daru terdiam saat merasakan ada yang merangkak di atas tubuhnya. Kepalanya sakit bukan main, minuman yang tadi Daru minum terus menerus membuat dirinya pusing. "Siapa?" tanya Daru saat merasakan sesuatu menggosok bagian pribadinya, menggodanya. "Maunya siapa?" tanya wanita itu. "Ella?" Tawa Renya langsung terdengar di ruangan itu, ternyata lelaki angkuh yang sulit di sentuh ini sudah memiliki pelabuhan hati lain selain almarhumah istrinya. Dan wanita itu bernama Ella. "R
"Pagi," sapa keluarga Renya pagi itu saat Daru menuruni anak tangga rumah itu menuju meja makan tempat dimana keluarga itu berkumpul. "Gimana Daru? nyenyak tidur nya?" tanya Bramantya. Daru hanya tersenyum, dia menarik kursi yang berada di sebelah Renya. Wanita itu sudah tampil cantik dengan setelan blazer berwarna putih gading. "Teh? atau kopi?" tanya Renya. "Kopi," jawab Daru lalu mengambil satu lembar roti yang berada di hadapannya. "Daru udah coba dua jas yang Mama suruh coba kemarin kan?" Yuni, mama Renya memastikan kalau calon menantunya itu sudah siap dengan baju pilihannya. "Sudah ... Ma." Bohong Daru, menyentuh jas itu saja tidak apalagi berpikir akan memakainya. Keluarga aneh batinnya. "Persiapan untuk minggu depan kalian gak usah banyak mikir, sudah semua Mama dan mama kamu yang handle, kali
Sewaktu kecil Ella tak pernah merasakan bagaimana memiliki seorang ayah. Dia anak yang tumbuh besar dari ibu tunggal yang membesarkannya dengan menyingkir dari kecaman keluarga dan omongan orang terdekat. Sudah tak heran lagi kalau kebanyakan manusia selalu menganggap dirinya yang paling benar dan sempurna. Sehingga merasa lebih mudah untuk menghakimi kehidupan orang lain. Satu perasaan yang selalu Ella syukuri adalah bahwa ia dibesarkan oleh seorang wanita tangguh yang mengorbankan masa muda dan mampu mengalahkan egonya untuk tidak menikah lagi. Dulu Ella tak mengerti. Ia menganggap kalau apa yang dilakukan ibunya memang suatu keharusan. Membesarkannya, merawatnya, memberinya jajan yang cukup, pakaian bagus dan pendidikan mahal. Ella tak pernah bertanya uangnya dari mana. Dan ia tak pernah menyangka kalau sebagian besar apa yang diperolehnya berasal dari seorang pria yang ternyata diam-diam masih bertanggungjawab
Hidup itu selalu tentang pilihan. Tentang baik dan yang buruk, tentang kesulitan dan kemudahan, tentang berjuang atau memasrahkan, juga tentang menjadi baik atau tidak. Semuanya tentang pilihan. Tentu saja semua orang ingin hidupnya berjalan dengan baik. Namun, seringnya yang terjadi malah jauh melenceng dengan yang direncanakan. Begitu pula Andi yang sejak dulu merencanakan memiliki kehidupan rumah tangga yang bahagia bersama Ella. Gadis yang menjadi kekasihnya selama bertahun-tahun, namun hubungan itu kandas karena perselingkuhan yang dilakukan oleh wanita itu. Andi tetaplah manusia biasa. Laki-laki yang jauh dari kata sempurna. Ia marah, murka, membalas, puas, kemudian melampiaskan semuanya dalam satu waktu. Andi yang menjaga dirinya menjadi sosok lelaki berengsek, malah berubah menjadi sosok itu. Bagi Ella, Andi pernah menjadi lelaki berengsek. Bagi Andi, Ella juga pernah menjadi wanita berengsek yang mengkhian
"Oke ... mengejan sekali lagi ya Ibu Ella, sedikit lagi kepalanya sudah kelihatan ya ... siap ya, hitungan ketiga," ujar Dokter Sarah yang membantu persalinan Ella. "Satu ... dua ... tiga ... sekarang Bu Ella," titah sang Dokter. Ella mengejan sekuat tenaga, semampu yang dia bisa. Genggaman tangan Ella semakin erat menggenggam tangan Daru, Daru meringis menahan sakit kala genggaman itu mencengkeram semakin kuat seakan akan mematahkan jari jemari Daru. "Iya ... terus Ibu, bagus ...." Suara tangis bayi memenuhi ruangan persalinan, bayi mungil yang masih ditempeli sisa-sisa plasenta itu menangis begitu keras. "Sempurna, ya ... semua lengkap, perempuan, cantik, berat badan dan tinggi semuanya baik," ucap dokter Sarah. "Selamat Bapak Daru dan Ibu Ella," ujar Dokter Sarah. Ella meneteskan air matanya, saat bayi mungil mereka berada di atas dadanya, mencari-cari puting susu sang Ibu. "Cantik," ujar Daru menatap bayi mereka. "Benar
Daru membuka pintu kamarnya perlahan, dia membawakan susu hangat sesuai permintaan Ella tadi. Istrinya itu sedang duduk bersandar pada headboard, menggulir layar ponselnya. Ya, belakangan ini Ella memang lebih tertarik dengan ponselnya di banding yang lain. Berlama-lama melihat online shop lebih menarik dan menjadi salah satu hobi terbaru Ella. "Susunya di minum dulu, Miss Ella," ujar Daru yang sengaja memanggil Ella dengan sebutan Miss seperti dulu saat mereka pertama kali bertemu. "Terimakasih, Pak Daru." Ella pun tersenyum, menyesap susu yang diberikan oleh Daru. Dari duduk di sebelah istrinya, sambil mengusap-usap perut yang semakin membesar itu. "Kamu pasti belanja baju bayi lagi, ya?" tanya Daru yang melihat Ella sedang memilah-milah jumper untuk bayi mereka. "Lucu-lucu, Mas ... nggak mungkin aku lewatkan." "Iya, tapi kan sayang kalo ke pakenya cuma sebentar, itu yang kemarin kamu belanja sama ibu aja belum ka
Lalu lintas sore itu cukup padat, Arya melirik jamnya berkali-kali khawatir ia terlambat untuk makan di restoran. Tempat yang diminta Arya datangi oleh Papahnya. Sambil menatap lampu merah yang lama, Arya teringat dengan pembicaraan dengan Papanya tiga hari yang lalu. Saat di mana Papanya tiba-tiba memanggilnya dan memberikan satu pertanyaan yang tidak pernah Arya duga sebelumnya. “Arya, bolehkan Papa menikah lagi?” Arya mengenang pertanyaan Ayahnya, pertanyaan yang paling simple, paling to the point dan pertanyaan yang paling tidak di duga oleh dirinya. Mengingat selama dua tahun Papanya menjadi seorang duda, sibuk dengan dunia politik. Papanya tidak pernah membicarakan tentang pendamping hidup semenjak kepergian Ibunya. Arya tahu bahwa orang tuanya dinikahkan melalui jalan perjodohan tapi, selama mereka hidup sebagai pasangan suami istri, mereka adalah rekan, partner, rekan dan sahabat baik. Ibu Arya memang selalu tidak sehat, kesehatannya memang ti
Dulu, Diana sangat terkesima dengan sosok Syarif Chalid muda yang begitu gagah dan penuh kharisma. Seorang angkatan bersenjata dengan karir yang cemerlang. Usia mereka bertaut cukup jauh, dan Diana muda yang naif begitu singkat dalam berfikir. “Ella memang lagi di rumah?” tanya Chalid di dalam mobil, menoleh ke arah Diana yang pandangannya mengarah ke luar kaca jendela mobil. “Iya, Ella nunggu hari kelahirannya. Belakangan dia sering nginep di rumah bawa Bayu. Aku juga minta dia di rumah sementara ini. Khawatir ... Daru kerja kadang pulangnya larut malam,” sahut Diana, menoleh sekilas ke arah Chalid kemudian mengembalikan tatapannya ke depan. “Jadi, Bayu juga lagi di rumah?” tanya Chalid lagi. “Iya, Mas. Tadi malah katanya mau ikut kalau dia belum makan. Tapi, kayaknya dia keburu makan sop,” ujar Diana tertawa. Ia menoleh ke arah Chalid dan bertemu pandang sesaat. Tawanya langsung lenyap berg
Diana sudah berdiri di depan kaca selama setengah jam. Wanita 45 tahun itu sudah tiga kali berganti pakaian. Pertama tadi dia hanya mengenakan celana panjang dan kemeja santai. Beberapa langkah keluar pintu kamar, ia kembali ke dalam dan kembali mematut diri.Sekarang Diana telah mengenakan terusan berwarna kuning muda yang menutup hingga ke betisnya. Rasa-rasanya ia sudah sangat lama tidak mengenakan jenis pakaian seperti itu.Alasannya bukan karena tidak suka, tapi lebih ke tidak adanya kesempatan atau tempat yang cocok untuk ia bisa mengenakannya. Tak ada pergaulan yang sangat penting yang terjadi dalam hidupnya setelah ia memiliki Ella.Setelah pernikahan yang amat singkat dengan Chalid, ayah kandung Ella, Diana membelanjai dirinya sendiri dengan memanfaatkan sedikit uang peninggalan orangtuanya. Diana berinvestasi kecil-kecilan di perusahaan temannya. Hasilnya memang tak banyak, tapi setidaknya ia bisa menjaga egony
"Em ... karena—" Ratih tercekat, ternyata nyalinya juga belum cukup kuat untuk mengatakan sejujurnya pada kedua orangtuanya. "Jadi gini, Om ... Tante. Saya dan Ratih, kami ...." Andi menguatkan hatinya. "Kami memohon restu dari Om dan Tante, saya ingin menikahi Ratih putri Om," ujar Andi tegas. "Maksudnya gimana ini, Ibu gak ngerti." Retno duduk di sisi suaminya. "Ratih akan berhenti bekerja, Bu ... kami minta restu dari Ayah sama Ibu, Andi ingin Ratih menjadi istrinya." "Sudah berapa lama?" tanya Ridwan menatap Andi. "Kami kenal sudah enam bulan kurang lebih, Yah." Ratih menjawab cepat. "Ayah tanya pacar kamu." Ekspresi datar dari seorang Ridwan, pensiunan polisi itu. "Enam bulan, Om ... sudah enam bulan." "Pekerjaan kamu?" "Baru selesai ambil spesialis, Om." "Dokter?" "Iya, Om." "Kamu bisa pastikan anak saya bahagia? Dengan latar belakang dia, kehidupan dia bahkan masa lalunya?"
"Oh? Hanya oh?" Ratih berjalan cepat tanpa memikirkan perutnya, troli yang berisi barang belanjaan mereka dia tinggalkan begitu saja. Andi yang serba salah menyusul Ratih hingga meja kasir, wanita hamil itu melenggang begitu saja membiarkan Andi kesusahan membawa barang belanjaan mereka. "Tih ... ya ampun Tih, jangan cepet-cepet jalannya, ingat kamu lagi hamil." Andi meringis melihat Ratih berjalan cepat tanpa menoleh ke belakang. "Buka pintunya," ujar Ratih dengan ekspresi wajah kesal. "Astaga, Tih!" Andi membuka pintu mobilnya. Andi benar-benar harus menahan amarahnya menghadapi Ratih yang selalu sensitif selama masa kehamilannya. Ratih masih dengan mode diamnya, pandangannya dia alihkan keluar jendela mobil. Sementara Andi, merasa kikuk dengan tingkah Ratih yang selalu membuat serba salah. "Maaf ya," ujar Andi yang akhirnya mengalah. Ratih masih terdiam. "Kamu kan tau, hampir tiga bulan ini aku sibuk dengan pro