Revita mengerjap mendapati Gavin ada di lift karyawan. Bibir pria itu tersenyum lebar dengan mata fokus hanya padanya. "Pak Gavin kenapa ada di lift karyawan?" Itu bukan pertanyaan yang keluar dari mulut Revita, melainkan dari Arum yang tengah menunggu lift terbuka bersama Revita dan juga Dany. "Lift sebelah mati," dalih Gavin berkilah. Dia sedikit menyingkir memberi mereka ruang untuk masuk. Dengan sengaja Dany dan Arum memberi ruang kosong tepat di sebelah lelaki itu khusus untuk Revita yang masuk terakhir. Keduanya terkikik geli melihat Revita memasang wajah tak terima. "Tumben Pak Gavin pulang sore?" tanya Dany. Jika bukan karena sang CEO kerap menyambangi kantor R n D mana mungkin dia seberani itu berbasa-basi. "Kebetulan sedang longgar," sahut Gavin tersenyum. Kepalanya miring ke arah Revita dan berbisik. "Pulang bareng ya." Revita yang sejak tadi memilih diam sampai terperanjat. Dia tidak berani menjawab karena suaranya pasti didengar oleh dua rekan di sebelahnya. Diam a
Semburat cahaya senja memasuki ruang unit melalui pintu kaca yang terhubung ke area balkon. Indahnya warna jingga membuat Revita beranjak dari sofa dan berjalan mendekat ke arah pintu. Dia menyibak tirai panjang yang setengah menutupi pintu dan dengan mudah menggeser pintu tersebut setelah membuka kuncinya. Wanita itu terpukau melihat betapa indahnya matahari sore berada di sela-sela gedung pencakar langit kota. Dari sini dia bisa menyaksikan megahnya landskap kota. Sejenak Revita terpaku dengan keindahan di depan matanya. Ini untuk pertama kali dia bisa melihat pemandangan memukau dari atas gedung dengan jelas. Namun detik berikutnya dia tersenyum miris dan merasa kecil hati. Dari sini saja dia seharusnya sadar dirinya memang tidak layak bersanding dengan Gavin. Dari dulu memang seperti itu. Dia saja yang tidak tahu diri karena berani memasuki kehidupan pria itu atas nama cinta. Tanpa sadar dua tangan Revita meremas pagar pembatas stainless steel yang mengelilingi balkon. Dirinya m
Kecupan itu berlangsung singkat. Tidak ada waktu untuk menghindar dan kejadiannya begitu cepat. Saat Gavin menjauh bahkan Revita masih mematung di tempat. Seolah telah kehilangan kesadaran selama beberapa saat. Bersamaan dengan itu Revita bisa merasakan wajahnya menghangat. Bagaimana kalau Gavin salah paham dengan reaksinya? "Aku benar-benar harus pulang sekarang," ucap Revita ketika berhasil menemukan kesadarannya kembali. Dia segera beranjak menjauh dan menyambar tasnya yang dia tinggalkan di atas sofa. "Oke, sebentar." Gavin pun segera memasuki kamarnya kembali guna mengambil sesuatu yang ingin dia berikan kepada Reina. Begitu Gavin menghilang dari balik dinding, Revita segera menyentuh dadanya yang bedentam-dentam kencang. Nyaris saja dia kehilangan napas. Revita memejamkan mata dan jatuh terduduk di sofa. Ikut Gavin datang ke apartemen ini ternyata bukan pilihan yang benar. Kepala Revita menoleh ketika Gavin muncul kembali membawa sebuah paper bag besar. Pria itu sudah mengg
"Anterin Talia pulang ya, Vin. Tadi dia datang ke sini sama mama jadi nggak bawa mobil. Sekalian kamu jalan pulang."Gavin mendesah mendengar permintaan sang mama. Sudah bisa Gavin tebak bakal berakhir begini. Dan tentu saja dia tidak akan diberi kesempatan menolak. Dan tepat saat Talia dan Gavin pamit pulang, Mahesa datang bersama putranya. "Wah, siapa ini?" tanya duda itu saat menyambut uluran tangan Talia. Pria itu melirik Gavin sambil tersenyum simpul. "Saya Talia. Anda pasti Om Mahesa. Tante udah cerita kalau punya adik yang baru pulang dari Surabaya," sahut Talia memasang senyum semanis mungkin. Mahesa terkekeh pelan dan melirik Gavin dengan tatapan menggoda. "Ternyata saya sudah dikenal. Kamu pacar Gavin?" Gavin memutar bola mata mendengar pertanyaan pamannya itu. Dia tahu Mahesa sengaja memancing perkara. "Maunya sih gitu." Talia tampak malu-malu sambil melirik Gavin. "Tapi Gavinnya belum nembak aku, Om." "Kamu harus berjuang lebih gigih lagi kalau begitu. Tenang, Om duk
Seperti yang Revita janjikan, dia membawa dua kotak bekal dengan menu sederhana. Anggap saja itu sebagai ungkapan terima kasihnya. Meski pikiran jahat Revita menjerit, untuk apa melakukan ini?! Bukankah semua yang Gavin beri belum cukup untuk menggantikan penderitaannya selama ini? Namun segera mungkin dia menggeleng tegas. Lalu meyakinkan diri bahwa Gavin juga korban seperti dirinya. Revita menghela napas dan meletakkan dua kotak bekalnya di atas meja. Workstation sudah sangat sepi. Semua temannya sudah pergi beberapa menit lalu menuju kantin di belakang gedung. Tinggal Revita sendiri menunggu batang hidung Gavin yang belum juga muncul. Aneh. Biasanya sebelum jam makan siang pria itu akan menyambangi divisinya. Namun beberapa menit berlalu belum ada tanda-tanda kedatangannya. Revita baru akan beranjak dari kursinya ketika mendengar suara langkah seseorang mendekat. Dia memutuskan duduk kembali dan pura-pura sibuk di depan komputer untuk menutupi kegugupannya. Sejujurnya Revita mas
Sudah lebih dari seminggu Gavin tidak pernah muncul lagi di hadapan Revita. Seharusnya itu menjadi kabar baik buat wanita itu. Tapi kenyataanya dia gelisah dan bertanya-tanya. Sempat terbersit keinginan untuk menanyakan kabar pria itu kepada Vania, tapi dia tidak cukup memiliki keberanian melakukannya. Sepuluh menit lagi masuk jam makan siang. Revita melirik pintu divisi dengan dada berdebar. Biasanya Gavin tiba-tiba muncul dari sana dengan senyum manis yang selalu menyedot perhatian. Akankah hari ini Revita menemukan kekosongan seperti hari-hari kemarin?"Soto ayam!" "Nasi rames!" "Enakkan juga ayam geprek!" Teman satu divisinya sudah mulai ribut mempermasalahkan menu makan siang mereka. Dan Revita malah masih bertahan memelototi pintu divisi. "Re, lo bawa bekal atau mau makan bareng kita?" tanya Arum, menyadarkan Revita. Wanita berambut kecoklatan itu mengalihkan perhatian segera. "Gue bawa bekal kok, Mbak." "Gue juga bawa! Kita makan bareng ntar, Rev!" seru Rafa mengangkat t
Ferdy menggeleng melihat kelakuan Rafa. Lelaki itu sangat tahu jika Revita dekat dengan CEO Bumi Indah, berani-beraninya mencari perkara. Manajer pengembangan itu menghela napas panjang mengingat dirinya yang langsung mundur perlahan begitu tahu ada hubungan istimewa antara Revita dan Gavin. Ferdy akui sempat memiliki niatan untuk mendekati wanita itu sebelum tahu semuanya. "Test run buat jam dua nanti udah kamu siapin, Raf?" tanya Ferdy mengingatkan saat dia mencapai pintu ruangannya. "Udah, Pak. Ntar saya ke sana bareng Dany."Ferdy mengangguk, lantas melirik Revita. "Meeting siang ini kamu bisa temani saya, Rev?" "Iya. Bisa, Pak." "Karena Pak Gavin masih belum masuk kemungkinan meeting kita kali ini sama Pak Mahesa."Revita menghentikan gerakan makannya tiba-tiba. Matanya mengerjap pelan mendengar dua kabar itu. Gavin tidak masuk kerja dan meeting sama Mahesa. "Pak Gavin belum masuk? Masih di Palembang?" tanya Rafa, mewakili isi hati Revita. "Nggak. Katanya dia lagi bedrest s
Buntut segala keresahannya sepanjang hari di kantor berakhir seperti ini. Keberanian yang muncul ketika dilanda panik membuat Revita tersesat di sebuah gedung 30 lantai yang terletak di jantung kota. Entah ini tindakan bodoh atau bukan. Yang jelas Revita mendadak bingung dan tertegun saat sudah berdiri di depan unit Gavin. Dia sama sekali belum bergerak dan mendadak ragu. Secara tidak sadar begitu jam kerja usai dia pontang-panting, bergegas lari sambil memesan ojek online. Dan secara impulsif tiba-tiba sudah berada di apartemen Gavin. Padahal hanya tinggal menekan tanggal lahir Reina, maka dia bisa masuk ke unit dengan mudah. Namun, keraguan menyergapnya seketika. Berbagai pertanyaan mulai hinggap di kepala. Meskipun rasa khawatirnya begitu besar, tapi lagi-lagi sesuatu dalam hati berteriak, dan tidak membenarkan eksitensinya saat ini. Revita menarik napas panjang dan pikiran memutar langkah sontak terlintas. Iya, buat apa dia di sini? Namun belum sempat kakinya bergerak pintu di
Suara orang mengaji masih bisa Revita dengar sayup-sayup, dikalahkan berbagai pikiran yang berkecamuk di kepalanya. Wanita itu masih duduk terpekur dengan Reina yang terus menangis sesenggukan di atas pangkuannya, menemani jasad yang terbujur kaku di depan mereka. Ini bagaikan mimpi buruk. Tidak terlintas dalam benak Revita ibunya akan meninggalkannya seperti ini. Semalam dia masih yakin Ayun hanya terjatuh di kamar mandi dan akan baik-baik saja. Bahkan saat membawanya ke rumah sakit dengan taksi yang dia pesan, Revita masih merasakan genggaman tangan sang ibu. Namun, keadaan dengan cepat berbalik ketika Ayun mendapat tindakan medis dan tak berapa lama dokter mengatakan bahwa pasien sudah mengembuskan napas terakhir saat masih dalam perjalanan. Meski rasanya tidak percaya karena kejadiannya begitu tiba-tiba, Revita berusaha menerima kenyataan. Tuhan lebih sayang ibunya. Tidak akan ada lagi seseorang yang mengeluhkan betapa banyak obat yang harus diminum. Tuhan langsung mengangkat sa
Reina tertegun di tempat saat melihat Revita duduk di tepi ranjang sambil mengusap air mata. Dia yang berencana menunjukkan hasil gambarnya urung melihat kesedihan di wajah sang ibu. Gadis kecil itu menggigit bibir, dan memutuskan mendekat setelah menimbang-nimbang. "Mama kenapa?" Revita terkesiap, dan kontan mengusap pipinya yang basah. Dia buru-buru mengubah ekspresi dan menatap Reina sembari tersenyum. "Hei, kamu kok belum tidur?" Perlahan Reina duduk di sebelah Revita, mata cokelatnya terus mengamati raut sang ibu. "Om Gavin nyakitin Mama?" tanyanya hati-hati. "Hah? E-enggak kok," elak Revita menggeleng. Bibirnya masih terus berusaha melengkung. Namun itu jelas tidak bisa Reina percaya begitu saja. Meskipun masih kecil, dia tidak mudah dibohongi. Gadis kecil itu mendesah, tatapnya melirik ke tablet yang dia bawa. "Kupikir Om Gavin benar-benar suka sama Mama dan nggak akan nyakitin Mama. Kalau tahu dia bikin mama sedih begini, aku nggak akan pernah kasih izin dia buat deketin
"Makasih ya, Pak! Sering-sering aja begini!" Lalu tawa berderai diikuti satu per satu langkah memasuki lobi. "Doakan saja saya banyak rezeki." "Oh pasti dong, Pak!" Gavin menoleh sejenak ke arah rombongan staf yang baru saja masuk. Dirinya dan beberapa orang-orangnya yang tengah sibuk dengan klien penting sedikit terdistraksi oleh suara-suara tersebut. Tatap cokelatnya melihat rombongan staf RnD yang tengah berjalan sambil bercanda. Terlihat Revita berada juga di antara mereka. Namun yang membuat matanya lantas menyipit, ada Mahesa di belakang wanita itu sejajar dengan langkah Ferdy. "Eh, itu Pak Gavin," seru salah seorang dari mereka. Itu suara Dany, pria yang sampai saat ini gigih mengajak Vania kencan, meski belum ada hasil. "Jangan ribut woy. Kalem, suara lo pada, bisa ganggu," cetus Ilham memperingatkan. "Rev..." Arum di sisi Revita menyikut lengan wanita itu. "Pak Gavin," bisiknya. "kok sekarang dia jarang ke kantor kita?" Revita melirik sejenak ke arah rombongan Gavin d
"Ma?" Wanita dengan tatanan rambut rapi itu menoleh dengan wajah cemas saat Gavin datang. Ada kekhawatiran yang tercetak kental di matanya. "Ada apa?" tanya Gavin sembari mendekat. Tidak biasanya dia melihat ibunya gelisah. Melinda seorang wanita angkuh yang tidak takut apa pun. "Mama hampir tak percaya ini," ucap Melinda. "Rencanaku bisa kacau kalau berita ini menyebar." Gavin menyipitkan mata. Tidak mengerti maksud ucapan Nyonya Besar keluarga Adhiyaksa itu. "Kamu sengaja menutupi ini dari mama kan?" Kali ini mata berbulu lentik itu menyorot Gavin tajam. Sorot kegelisahan itu berubah dalam sekejap menjadi sorot penuh amarah. "Apa yang Mama bicarakan?" tanya Gavin bingung. Namun detik berikutnya dia cukup terkesiap saat Melinda melempar sebuah dokumen ke arahnya. Dahi Gavin mengernyit, menatap dokumen itu. Akan tetapi sejurus kemudian dia langsung paham apa yang terjadi. Gavin tidak menyangka sang mama bisa secepat ini mendapat informasi tentang Reina. "Wanita itu pasti senga
"Kamu nggak mau main itu? Mumpung sepi loh." Reina menyorot indoor playground yang tak jauh dari tempatnya duduk dengan alis mengerut. "Plese deh, Om. Aku udah tujuh tahun dan mau delapan tahun. Masa disuruh main playground? Memangnya aku anak Tk?" sahut Reina dengan bibir maju. Membuat Gavin serta merta tertawa melihat wajah lucu gadis itu. Saat ini keduanya berada di salah satu restoran keluarga yang juga menyediakan arena playground. Gavin memesan chicken steak dengan lelehan saus pedas di atasnya. Sementara Reina memilih mix plate karena dia bilang perutnya masih kenyang. "Om lupa kalau kamu udah besar. Jadi sekarang kamu sukanya apa?" tanya Gavin sembari memotong steak di depannya. "Uhm, aku sekarang lagi belajar menggambar digital, Om." "It sounds great. Pakai media apa?" Reina mencomot sosis dan mencoleknya ke wadah saus tomat. "Di sekolah pake tablet. Tapi kalau di rumah pinjam HP mama." "Pake HP kurang maksimal dong." Reina mengangguk. "Tapi cuma itu yang ada di
"Pak, ponselnya geter terus tuh!" Suara Vania membuyarkan lamunan Gavin. Pria bermata cokelat itu melirik sekilas ponsel yang tergeletak di meja. Lantas menghela napas ketika tahu yang melakukan panggilan telepon ibunya. "Hari ini ada meeting penting lagi yang harus saya hadiri, Van?" tanya Gavin, mengabaikan panggilan telepon itu. "Pukul dua siang ntar ada rapat bersama tim marketing membahas tentang pencapaian promo yang sedang berjalan, Pak. Bisa diundur kalau Anda ada keperluan lain," sahut Vania. Beberapa hari belakangan bosnya itu seperti orang yang kehilangan gairah. Meski tidak pernah melakukan kesalahan dalam tugas, tapi ekspresi pria itu benar-benar terlihat suram. Gavin mengangguk lantas menutup pena setelah menandatangani halaman terakhir sebuah dokumen yang dia pekuri. "Oke. Pending sampai besok. Saya harus pergi sekarang," ujarnya lantas berdiri dan menyambar jasnya di hanging stand yang terletak di belakang kursi. "Anda mau pergi bersama Revita?" tanya Vania lagi.
Revita menarik napas panjang beberapa kali. Mencoba menekan kesedihannya. Berulang kali dia merapal dalam hati, meyakinkan dirinya bahwa semua akan baik-baik saja. Meski ucapan Gavin masih terus terngiang dan bikin hatinya berdenyut nyeri. Dari awal dirinya tahu resiko ini. Revita hanya tidak menyangka saja pikiran Gavin padanya sesempit itu. Revita baru akan membuka aplikasi taksi online ketika sebuah mobil tampak menepi, secara refleks kakinya mundur. Dahinya mengernyit saat mobil berjenis sedan itu akhirnya berhenti tepat di depan tempatnya berdiri. Saat kaca mobil itu turun, lampu penerangan dalam mobil membuatnya tahu wajah seseorang di balik kemudi. "Revita, kamu ngapain malam-malam sendirian di sini?" tanya pria berkacamata yang tak lain adalah manajernya, Ferdy. "Pak Ferdy?" "Ayo masuk. Saya antar kamu balik. Bahaya perempuan malam-malam sendirian.""Tapi saya mau pesan taksi online.""Lebih aman ikut mobil saya, Revita."Wanita itu tercenung sejenak sebelum akhirnya memut
Revita meremas tangannya dengan pandangan menunduk. Gavin sudah tahu semua sebelum dia menjelaskan. Ada sesuatu yang terasa meremas hati Revita, mendapat pandangan dingin dari pria yang dia cintai. Revita sadar dirinya bukan orang suci, hanya saja mendapat tatapan penghakiman dari orang yang dia percaya, hatinya terasa begitu nyeri. "Aku bisa menjelaskan," ucap Revita, menelan ludah. Dia tahu segalanya tidak akan berakhir baik. "Menjelaskan kalau kamu pernah menjalin hubungan dengan pria beristri yang ternyata pamanku?" tukas Gavin cepat. "Demi Tuhan aku nggak pernah tahu kalau dia lelaki beristri. Kalau aku tahu aku nggak akan pernah menerimanya." Terlepas dari itu, rasa cemburu terus mengganggu Gavin. Tahu bahwa Revita mau membuka hati lagi untuk pria lain itu artinya wanita itu sudah sukses melupakannya. Tidak seperti dirinya yang terjebak perasaannya sendiri selama delapan tahun ini. "Do you love him?" tanya Gavin dengan suara lirih. "Jangan bilang tidak. Satu tahun kamu bers
BEBERAPA HARI LALU==============Mendadak Gavin muak dengan senyum yang Mahesa tunjukkan. Siang ini dia menyambangi ruangan pamannya itu. Dan sepertinya pria berkumis tipis itu tahu tujuan Gavin mendatanginya. Mahesa tetap terlihat ramah seperti biasa. Seolah tidak sedang melakukan sesuatu yang membuat Gavin jengkel. "Ada yang bisa aku bantu, Keponakan?" tanya Mahesa, lalu mempersilakan Gavin duduk di sofanya. Dia sendiri langsung duduk menyilangkan kaki, menatap sang ponakan sambil terus mempertahankan senyum ramah. "Apa hubungan Om Mahes dan Revita?" tanya Gavin to the point. "Jangan bilang cuma mantan atasan dan bawahan." Senyum Mahesa surut secara perlahan. Dia sudah menduga, Gavin akan menanyakan tentang Revita cepat atau lambat. Dan Mahesa tidak berniat menyembunyikan apa pun lagi. "Revita pacarku saat dia di Surabaya." Mahesa mengucapkan itu dengan nada tenang. Meski begitu dia bisa melihat dua tangan Gavin tampak mengepal erat. "Revita sudah tiga tahun ini di Jakarta. It