Ferdy menggeleng melihat kelakuan Rafa. Lelaki itu sangat tahu jika Revita dekat dengan CEO Bumi Indah, berani-beraninya mencari perkara. Manajer pengembangan itu menghela napas panjang mengingat dirinya yang langsung mundur perlahan begitu tahu ada hubungan istimewa antara Revita dan Gavin. Ferdy akui sempat memiliki niatan untuk mendekati wanita itu sebelum tahu semuanya. "Test run buat jam dua nanti udah kamu siapin, Raf?" tanya Ferdy mengingatkan saat dia mencapai pintu ruangannya. "Udah, Pak. Ntar saya ke sana bareng Dany."Ferdy mengangguk, lantas melirik Revita. "Meeting siang ini kamu bisa temani saya, Rev?" "Iya. Bisa, Pak." "Karena Pak Gavin masih belum masuk kemungkinan meeting kita kali ini sama Pak Mahesa."Revita menghentikan gerakan makannya tiba-tiba. Matanya mengerjap pelan mendengar dua kabar itu. Gavin tidak masuk kerja dan meeting sama Mahesa. "Pak Gavin belum masuk? Masih di Palembang?" tanya Rafa, mewakili isi hati Revita. "Nggak. Katanya dia lagi bedrest s
Buntut segala keresahannya sepanjang hari di kantor berakhir seperti ini. Keberanian yang muncul ketika dilanda panik membuat Revita tersesat di sebuah gedung 30 lantai yang terletak di jantung kota. Entah ini tindakan bodoh atau bukan. Yang jelas Revita mendadak bingung dan tertegun saat sudah berdiri di depan unit Gavin. Dia sama sekali belum bergerak dan mendadak ragu. Secara tidak sadar begitu jam kerja usai dia pontang-panting, bergegas lari sambil memesan ojek online. Dan secara impulsif tiba-tiba sudah berada di apartemen Gavin. Padahal hanya tinggal menekan tanggal lahir Reina, maka dia bisa masuk ke unit dengan mudah. Namun, keraguan menyergapnya seketika. Berbagai pertanyaan mulai hinggap di kepala. Meskipun rasa khawatirnya begitu besar, tapi lagi-lagi sesuatu dalam hati berteriak, dan tidak membenarkan eksitensinya saat ini. Revita menarik napas panjang dan pikiran memutar langkah sontak terlintas. Iya, buat apa dia di sini? Namun belum sempat kakinya bergerak pintu di
"Gimana sekolah Nana?" "Baik." "Nggak seperti yang kamu cemaskan kan?" "Iya."Tangan Gavin bergerak naik turun mengusap lembut lengan Revita. Saat ini keduanya berakhir merebah di sofa dengan tubuh saling berpelukan. Revita sedikit menindih pria itu karena lebar sofa tidak bisa menampung tubuh keduanya seutuhnya. "Aku bilang juga apa, Nana itu anak cerdas. Dia pasti bisa membaur dengan cepat di sana bersama teman-teman barunya." Merebah di dada Gavin masih senyaman dulu. Bukan hanya bisa menghidu wanginya yang familiar dan menyejukkan, tapi dengan posisi ini Revita bisa mendengar detak jantung Gavin yang seirama dengan detak jantungnya. Dia tidak mau memikirkan apa yang akan mereka hadapi nanti. Biarkan rasa bahagia ini sejenak memenuhi relung hatinya. Revita merasa lelah berjalan terlalu jauh sendirian. Boleh kan sekali ini dia istrihat barang sekejap? "Ya, dia cerdas kayak kamu. Matanya juga mata kamu. Dia lebih banyak mewarisi gen kamu daripada aku, ibu yang mengandung dan me
Beberapa kali Gavin menciumi tangan Revita dalam genggamannya. Rasa tak rela bergelayut saat Revita akhirnya pamit pulang. Namun yang dilakukan pria itu malah terus menahan, seolah enggan melepas wanita itu pergi."Nana pasti nyariin aku. Aku nggak bilang kalau bakal pulang terlambat." Setelah puas menciumi tangan Revita, Gavin memeluk pinggang wanita itu dan malah merebahkan kepala di dadanya. Persis anak kecil yang takut ditinggal ibunya. "Kapan kalian mau nginap di sini?" Revita meringis mendengar pertanyaan itu. Sesuatu yang tampak mustahil. Apa kata ibunya kalau dia menginap di luar tanpa alasan yang jelas? "Aku nggak mau bikin masalah begitu. Apa kata orang kalau aku dan Nana nginep di sini?" Revita mendorong pelan agar Gavin menjauh darinya. "Orang-orang di sini nggak ada yang resek. Mereka terlalu sibuk sama urusan mereka sendiri.""Oke. Tapi ibuku?" "Jadi, izinkan aku bertemu ibu kamu buat minta maaf sekaligus minta restu." Mendengar itu Revita benar-benar melepas pelu
Delapan tahun. Ah tidak. Bahkan lebih Revita tidak pernah melihat lagi adik perempuan Gavin yang seumuran dengannya itu. Demi apa pun sudah banyak perubahan pada putri bungsu keluarga Adhiyaksa itu. Selain terlihat tambah dewasa, Selena juga makin cantik dan mempesona. "Sudah lama banget. Aku beneran pangling," ucap Revita setelah mereka saling berpelukan selama beberapa saat. "Justru aku yang pangling. Kamu beda banget, Re. Pantas saja Mas Gavin ngejar-ngejar kamu terus sampe kepalanya botak dan bocor." Selena mengerling jahil kepada sang kakak. Yang jadi sasaran bully hanya berdecak pelan. "Revita udah mau balik. Kalian kalau mau ngobrol lebih lama lain kali aja." Kembali Gavin meraih tangan Revita. "Pak Eep udah nungguin.""Selena, Sori. Tapi aku beneran harus balik. Kalau enggak orang rumah bisa cemas." "Iya, nggak masalah. Nanti kita atur jadwal temu." Selena beralih menatap Gavin. "Mas, ini makanannya gimana?" "Kamu langsung ke atas aja. Aku mau antar Revita ke depan dulu."
"Sotonya nggak enak?" Gavin mengernyitkan dahi saat melihat Revita menyuap sendok ke mulut lalu bengong. Wanita itu seperti tidak berselera makan. Baiklah Gavin tahu Revita biasa membawa bekal. Hari ini dia yang memaksanya makan siang di luar. Itu pun karena kebetulan dia lagi ada meeting di luar. Pilihannya jatuh ke restoran Indonesia dengan menu andalan Coto Makassar. Gavin pikir Revita bakal suka itu. Mata bulat Revita melirik Gavin yang tengah menatapnya. Wanita itu malah terlihat bingung. Ketika Gavin menunjuk mangkok Sotonya, dia baru sadar bahwa makananya itu tidak berkurang sama sekali. "Kalau sotonya nggak enak. Kita bisa pesan makanan lain." Revita menggeleng cepat. Dia segera menyendok kuah soto kental itu. "Ini enak kok," ucapnya tersenyum sebelum memasukkan sendok ke mulut. "Ada masalah di kantor?" tanya Gavin lagi. "Aku bisa minta Ferdy--" "Nggak ada masalah di kantor. Ini bukan soal kerjaan.""Jadi apa yang bikin kamu bengong?" Revita menunduk. Melihat Gavin hari
"Seandainya kita lebih awal bertemu, apa ada kemungkinan kamu akan menerimaku kembali?" Revita pusing mendengar semua yang keluar dari mulut pria berkumis tipis di sebelahnya. Dia sama sekali belum membuka mulut sejak Mahesa terus mengatakan hal-hal tidak penting itu. "Revita, aku belum mau menyerah." Sinting! Revita memejamkan mata menahan geram. Sebisa mungkin tidak terpancing emosi. Tatapnya bergulir ke atas dan mengumpat dalam hati ketika lift seperti berjalan terlalu lamban. Benar-benar menyebalkan. "Aku janji sama Ibu buat datang sore ini. Apa kamu—" "Mas!" seru Revita kesal. "Apa kamu nggak bisa menghormati keputusanku?" Dia menatap lelaki keras kepala itu tak percaya. Langkahnya sedikit bergeser, memberi jarak. "Tidak ada yang tahu apa yang akan terjadi nanti. Perasaan manusia juga bisa berubah. Hari ini mungkin kamu suka Gavin, belum tentu besok." Mahesa menyeringai. Dan dengan gerakan secepat kilat dia mengurung tubuh Revita, menatap wanita itu tajam. Apa yang Mahesa
"Aku tau, nggak boleh kasih tau nenek kan?" Revita mengulum senyum ketika dirinya hendak mewanti-wanti Reina agar tidak membocorkan soal kedatangan Gavin ke acara sekolah di hari ayah. "Tapi aku nggak mau bohong." Gadis tujuh tahun itu mencebik. "Siapa yang minta kamu bohong? Mama cuma minta kamu nggak kasih tau nenek. Selama nenek nggak tanya aman." Revita menepuk pelan pipi putrinya, lantas menoleh ketika bus jemputan sekolah datang. "Bus kamu udah datang. Mama datang sekitar pukul sepuluh nanti." Dengan senyum secerah matahari pagi, Reina mengangguk penuh semangat. Dia melambaikan tangannya dengan riang lewat jendela bus, saat kendaraan besar itu melaju. Dan baru saja bus sekolah Reina berlalu, kendaraan lain tampak datang mendekat padanya. Wanita yang saat ini mengenakan bando putih kecil pada rambutnya itu mengukir senyum saat melihat mobil tidak asing itu berhenti di dekatnya. Kaca jendela mobil sebelah kiri lantas turun, dan wajah tampan Gavin sontak muncul. "Kenapa pagi
Suara orang mengaji masih bisa Revita dengar sayup-sayup, dikalahkan berbagai pikiran yang berkecamuk di kepalanya. Wanita itu masih duduk terpekur dengan Reina yang terus menangis sesenggukan di atas pangkuannya, menemani jasad yang terbujur kaku di depan mereka. Ini bagaikan mimpi buruk. Tidak terlintas dalam benak Revita ibunya akan meninggalkannya seperti ini. Semalam dia masih yakin Ayun hanya terjatuh di kamar mandi dan akan baik-baik saja. Bahkan saat membawanya ke rumah sakit dengan taksi yang dia pesan, Revita masih merasakan genggaman tangan sang ibu. Namun, keadaan dengan cepat berbalik ketika Ayun mendapat tindakan medis dan tak berapa lama dokter mengatakan bahwa pasien sudah mengembuskan napas terakhir saat masih dalam perjalanan. Meski rasanya tidak percaya karena kejadiannya begitu tiba-tiba, Revita berusaha menerima kenyataan. Tuhan lebih sayang ibunya. Tidak akan ada lagi seseorang yang mengeluhkan betapa banyak obat yang harus diminum. Tuhan langsung mengangkat sa
Reina tertegun di tempat saat melihat Revita duduk di tepi ranjang sambil mengusap air mata. Dia yang berencana menunjukkan hasil gambarnya urung melihat kesedihan di wajah sang ibu. Gadis kecil itu menggigit bibir, dan memutuskan mendekat setelah menimbang-nimbang. "Mama kenapa?" Revita terkesiap, dan kontan mengusap pipinya yang basah. Dia buru-buru mengubah ekspresi dan menatap Reina sembari tersenyum. "Hei, kamu kok belum tidur?" Perlahan Reina duduk di sebelah Revita, mata cokelatnya terus mengamati raut sang ibu. "Om Gavin nyakitin Mama?" tanyanya hati-hati. "Hah? E-enggak kok," elak Revita menggeleng. Bibirnya masih terus berusaha melengkung. Namun itu jelas tidak bisa Reina percaya begitu saja. Meskipun masih kecil, dia tidak mudah dibohongi. Gadis kecil itu mendesah, tatapnya melirik ke tablet yang dia bawa. "Kupikir Om Gavin benar-benar suka sama Mama dan nggak akan nyakitin Mama. Kalau tahu dia bikin mama sedih begini, aku nggak akan pernah kasih izin dia buat deketin
"Makasih ya, Pak! Sering-sering aja begini!" Lalu tawa berderai diikuti satu per satu langkah memasuki lobi. "Doakan saja saya banyak rezeki." "Oh pasti dong, Pak!" Gavin menoleh sejenak ke arah rombongan staf yang baru saja masuk. Dirinya dan beberapa orang-orangnya yang tengah sibuk dengan klien penting sedikit terdistraksi oleh suara-suara tersebut. Tatap cokelatnya melihat rombongan staf RnD yang tengah berjalan sambil bercanda. Terlihat Revita berada juga di antara mereka. Namun yang membuat matanya lantas menyipit, ada Mahesa di belakang wanita itu sejajar dengan langkah Ferdy. "Eh, itu Pak Gavin," seru salah seorang dari mereka. Itu suara Dany, pria yang sampai saat ini gigih mengajak Vania kencan, meski belum ada hasil. "Jangan ribut woy. Kalem, suara lo pada, bisa ganggu," cetus Ilham memperingatkan. "Rev..." Arum di sisi Revita menyikut lengan wanita itu. "Pak Gavin," bisiknya. "kok sekarang dia jarang ke kantor kita?" Revita melirik sejenak ke arah rombongan Gavin d
"Ma?" Wanita dengan tatanan rambut rapi itu menoleh dengan wajah cemas saat Gavin datang. Ada kekhawatiran yang tercetak kental di matanya. "Ada apa?" tanya Gavin sembari mendekat. Tidak biasanya dia melihat ibunya gelisah. Melinda seorang wanita angkuh yang tidak takut apa pun. "Mama hampir tak percaya ini," ucap Melinda. "Rencanaku bisa kacau kalau berita ini menyebar." Gavin menyipitkan mata. Tidak mengerti maksud ucapan Nyonya Besar keluarga Adhiyaksa itu. "Kamu sengaja menutupi ini dari mama kan?" Kali ini mata berbulu lentik itu menyorot Gavin tajam. Sorot kegelisahan itu berubah dalam sekejap menjadi sorot penuh amarah. "Apa yang Mama bicarakan?" tanya Gavin bingung. Namun detik berikutnya dia cukup terkesiap saat Melinda melempar sebuah dokumen ke arahnya. Dahi Gavin mengernyit, menatap dokumen itu. Akan tetapi sejurus kemudian dia langsung paham apa yang terjadi. Gavin tidak menyangka sang mama bisa secepat ini mendapat informasi tentang Reina. "Wanita itu pasti senga
"Kamu nggak mau main itu? Mumpung sepi loh." Reina menyorot indoor playground yang tak jauh dari tempatnya duduk dengan alis mengerut. "Plese deh, Om. Aku udah tujuh tahun dan mau delapan tahun. Masa disuruh main playground? Memangnya aku anak Tk?" sahut Reina dengan bibir maju. Membuat Gavin serta merta tertawa melihat wajah lucu gadis itu. Saat ini keduanya berada di salah satu restoran keluarga yang juga menyediakan arena playground. Gavin memesan chicken steak dengan lelehan saus pedas di atasnya. Sementara Reina memilih mix plate karena dia bilang perutnya masih kenyang. "Om lupa kalau kamu udah besar. Jadi sekarang kamu sukanya apa?" tanya Gavin sembari memotong steak di depannya. "Uhm, aku sekarang lagi belajar menggambar digital, Om." "It sounds great. Pakai media apa?" Reina mencomot sosis dan mencoleknya ke wadah saus tomat. "Di sekolah pake tablet. Tapi kalau di rumah pinjam HP mama." "Pake HP kurang maksimal dong." Reina mengangguk. "Tapi cuma itu yang ada di
"Pak, ponselnya geter terus tuh!" Suara Vania membuyarkan lamunan Gavin. Pria bermata cokelat itu melirik sekilas ponsel yang tergeletak di meja. Lantas menghela napas ketika tahu yang melakukan panggilan telepon ibunya. "Hari ini ada meeting penting lagi yang harus saya hadiri, Van?" tanya Gavin, mengabaikan panggilan telepon itu. "Pukul dua siang ntar ada rapat bersama tim marketing membahas tentang pencapaian promo yang sedang berjalan, Pak. Bisa diundur kalau Anda ada keperluan lain," sahut Vania. Beberapa hari belakangan bosnya itu seperti orang yang kehilangan gairah. Meski tidak pernah melakukan kesalahan dalam tugas, tapi ekspresi pria itu benar-benar terlihat suram. Gavin mengangguk lantas menutup pena setelah menandatangani halaman terakhir sebuah dokumen yang dia pekuri. "Oke. Pending sampai besok. Saya harus pergi sekarang," ujarnya lantas berdiri dan menyambar jasnya di hanging stand yang terletak di belakang kursi. "Anda mau pergi bersama Revita?" tanya Vania lagi.
Revita menarik napas panjang beberapa kali. Mencoba menekan kesedihannya. Berulang kali dia merapal dalam hati, meyakinkan dirinya bahwa semua akan baik-baik saja. Meski ucapan Gavin masih terus terngiang dan bikin hatinya berdenyut nyeri. Dari awal dirinya tahu resiko ini. Revita hanya tidak menyangka saja pikiran Gavin padanya sesempit itu. Revita baru akan membuka aplikasi taksi online ketika sebuah mobil tampak menepi, secara refleks kakinya mundur. Dahinya mengernyit saat mobil berjenis sedan itu akhirnya berhenti tepat di depan tempatnya berdiri. Saat kaca mobil itu turun, lampu penerangan dalam mobil membuatnya tahu wajah seseorang di balik kemudi. "Revita, kamu ngapain malam-malam sendirian di sini?" tanya pria berkacamata yang tak lain adalah manajernya, Ferdy. "Pak Ferdy?" "Ayo masuk. Saya antar kamu balik. Bahaya perempuan malam-malam sendirian.""Tapi saya mau pesan taksi online.""Lebih aman ikut mobil saya, Revita."Wanita itu tercenung sejenak sebelum akhirnya memut
Revita meremas tangannya dengan pandangan menunduk. Gavin sudah tahu semua sebelum dia menjelaskan. Ada sesuatu yang terasa meremas hati Revita, mendapat pandangan dingin dari pria yang dia cintai. Revita sadar dirinya bukan orang suci, hanya saja mendapat tatapan penghakiman dari orang yang dia percaya, hatinya terasa begitu nyeri. "Aku bisa menjelaskan," ucap Revita, menelan ludah. Dia tahu segalanya tidak akan berakhir baik. "Menjelaskan kalau kamu pernah menjalin hubungan dengan pria beristri yang ternyata pamanku?" tukas Gavin cepat. "Demi Tuhan aku nggak pernah tahu kalau dia lelaki beristri. Kalau aku tahu aku nggak akan pernah menerimanya." Terlepas dari itu, rasa cemburu terus mengganggu Gavin. Tahu bahwa Revita mau membuka hati lagi untuk pria lain itu artinya wanita itu sudah sukses melupakannya. Tidak seperti dirinya yang terjebak perasaannya sendiri selama delapan tahun ini. "Do you love him?" tanya Gavin dengan suara lirih. "Jangan bilang tidak. Satu tahun kamu bers
BEBERAPA HARI LALU==============Mendadak Gavin muak dengan senyum yang Mahesa tunjukkan. Siang ini dia menyambangi ruangan pamannya itu. Dan sepertinya pria berkumis tipis itu tahu tujuan Gavin mendatanginya. Mahesa tetap terlihat ramah seperti biasa. Seolah tidak sedang melakukan sesuatu yang membuat Gavin jengkel. "Ada yang bisa aku bantu, Keponakan?" tanya Mahesa, lalu mempersilakan Gavin duduk di sofanya. Dia sendiri langsung duduk menyilangkan kaki, menatap sang ponakan sambil terus mempertahankan senyum ramah. "Apa hubungan Om Mahes dan Revita?" tanya Gavin to the point. "Jangan bilang cuma mantan atasan dan bawahan." Senyum Mahesa surut secara perlahan. Dia sudah menduga, Gavin akan menanyakan tentang Revita cepat atau lambat. Dan Mahesa tidak berniat menyembunyikan apa pun lagi. "Revita pacarku saat dia di Surabaya." Mahesa mengucapkan itu dengan nada tenang. Meski begitu dia bisa melihat dua tangan Gavin tampak mengepal erat. "Revita sudah tiga tahun ini di Jakarta. It