Delapan tahun. Ah tidak. Bahkan lebih Revita tidak pernah melihat lagi adik perempuan Gavin yang seumuran dengannya itu. Demi apa pun sudah banyak perubahan pada putri bungsu keluarga Adhiyaksa itu. Selain terlihat tambah dewasa, Selena juga makin cantik dan mempesona. "Sudah lama banget. Aku beneran pangling," ucap Revita setelah mereka saling berpelukan selama beberapa saat. "Justru aku yang pangling. Kamu beda banget, Re. Pantas saja Mas Gavin ngejar-ngejar kamu terus sampe kepalanya botak dan bocor." Selena mengerling jahil kepada sang kakak. Yang jadi sasaran bully hanya berdecak pelan. "Revita udah mau balik. Kalian kalau mau ngobrol lebih lama lain kali aja." Kembali Gavin meraih tangan Revita. "Pak Eep udah nungguin.""Selena, Sori. Tapi aku beneran harus balik. Kalau enggak orang rumah bisa cemas." "Iya, nggak masalah. Nanti kita atur jadwal temu." Selena beralih menatap Gavin. "Mas, ini makanannya gimana?" "Kamu langsung ke atas aja. Aku mau antar Revita ke depan dulu."
"Sotonya nggak enak?" Gavin mengernyitkan dahi saat melihat Revita menyuap sendok ke mulut lalu bengong. Wanita itu seperti tidak berselera makan. Baiklah Gavin tahu Revita biasa membawa bekal. Hari ini dia yang memaksanya makan siang di luar. Itu pun karena kebetulan dia lagi ada meeting di luar. Pilihannya jatuh ke restoran Indonesia dengan menu andalan Coto Makassar. Gavin pikir Revita bakal suka itu. Mata bulat Revita melirik Gavin yang tengah menatapnya. Wanita itu malah terlihat bingung. Ketika Gavin menunjuk mangkok Sotonya, dia baru sadar bahwa makananya itu tidak berkurang sama sekali. "Kalau sotonya nggak enak. Kita bisa pesan makanan lain." Revita menggeleng cepat. Dia segera menyendok kuah soto kental itu. "Ini enak kok," ucapnya tersenyum sebelum memasukkan sendok ke mulut. "Ada masalah di kantor?" tanya Gavin lagi. "Aku bisa minta Ferdy--" "Nggak ada masalah di kantor. Ini bukan soal kerjaan.""Jadi apa yang bikin kamu bengong?" Revita menunduk. Melihat Gavin hari
"Seandainya kita lebih awal bertemu, apa ada kemungkinan kamu akan menerimaku kembali?" Revita pusing mendengar semua yang keluar dari mulut pria berkumis tipis di sebelahnya. Dia sama sekali belum membuka mulut sejak Mahesa terus mengatakan hal-hal tidak penting itu. "Revita, aku belum mau menyerah." Sinting! Revita memejamkan mata menahan geram. Sebisa mungkin tidak terpancing emosi. Tatapnya bergulir ke atas dan mengumpat dalam hati ketika lift seperti berjalan terlalu lamban. Benar-benar menyebalkan. "Aku janji sama Ibu buat datang sore ini. Apa kamu—" "Mas!" seru Revita kesal. "Apa kamu nggak bisa menghormati keputusanku?" Dia menatap lelaki keras kepala itu tak percaya. Langkahnya sedikit bergeser, memberi jarak. "Tidak ada yang tahu apa yang akan terjadi nanti. Perasaan manusia juga bisa berubah. Hari ini mungkin kamu suka Gavin, belum tentu besok." Mahesa menyeringai. Dan dengan gerakan secepat kilat dia mengurung tubuh Revita, menatap wanita itu tajam. Apa yang Mahesa
"Aku tau, nggak boleh kasih tau nenek kan?" Revita mengulum senyum ketika dirinya hendak mewanti-wanti Reina agar tidak membocorkan soal kedatangan Gavin ke acara sekolah di hari ayah. "Tapi aku nggak mau bohong." Gadis tujuh tahun itu mencebik. "Siapa yang minta kamu bohong? Mama cuma minta kamu nggak kasih tau nenek. Selama nenek nggak tanya aman." Revita menepuk pelan pipi putrinya, lantas menoleh ketika bus jemputan sekolah datang. "Bus kamu udah datang. Mama datang sekitar pukul sepuluh nanti." Dengan senyum secerah matahari pagi, Reina mengangguk penuh semangat. Dia melambaikan tangannya dengan riang lewat jendela bus, saat kendaraan besar itu melaju. Dan baru saja bus sekolah Reina berlalu, kendaraan lain tampak datang mendekat padanya. Wanita yang saat ini mengenakan bando putih kecil pada rambutnya itu mengukir senyum saat melihat mobil tidak asing itu berhenti di dekatnya. Kaca jendela mobil sebelah kiri lantas turun, dan wajah tampan Gavin sontak muncul. "Kenapa pagi
Event hari ayah di sekolah Reina ternyata tidak main-main. Menurut info yang Reina beri katanya tahun ini pertama kalinya sekolah mengadakan acara untuk hari ayah. Selain pentas seni anak, sekolah juga menghadirkan seorang pakar parenting sebagai pembicara. Revita tidak menyangka kedatangannya dan Gavin disambut sangat baik oleh pihak sekolah. Bahkan keduanya mendapat tempat duduk prioritas dengan posisi paling depan seperti tamu kehormatan. "Kenapa kita bisa duduk di sini?" tanya Revita berbisik. "Kita kan tamu istimewa," sahut Gavin asal. Revita berdecak pelan, lalu menatap sekeliling. Baginya ini tidak benar, karena dia melihat wali murid lain duduk di tempat khusus wali murid. "Bukannya kita seharusnya duduk di sana juga, Mas?" tanya Revita lagi. "Nggak, Re. Tempat duduk kita memang di sini. Ini posisi bagus buat liat Nana tampil." Revita tampak pasrah saja. Anggap ini nasib baiknya karena mendapat tempat strategis. Sebelum acara pentas seni anak, ada seminar kecil tentang p
Mata cokelat Reina membelalak hebat ketika Gavin membawa masuk ke unitnya. Anak itu memang kerap melihat gedung tinggi, tapi baru kali ini bisa masuk ke dalamnya. Sejak Gavin menggandeng tangan kecil itu memasuki lobi gedung, tatap bening Reina tidak berhenti mengedar. Menyapukan semua pandangan ke area yang bisa dia jangkau. "Ini rumah Om Gavin?" tanya gadis kecil itu masih dengan rasa takjub. Gavin mengangguk sambil tersenyum. "Ayo, masuk." Setelah serangkaian acara hari ayah di sekolah selesai, Gavin mengajak Reina dan Revita untuk mampir ke apartemennya. Awalnya Revita menolak, tapi berkat Reina merengek lantaran penasaran, serta bujukan Gavin akhirnya wanita itu setuju dengan syarat tidak boleh lama-lama. "Bagus banget!" seru Reina mengitari setiap penjuru unit dengan mata cokelatnya yang bersinar. "Bersih dan kinclong. Om tiap hari bersih-bersih ya?" Gavin tidak bisa menyembunyikan tawanya, lalu dengan gemas mengacak rambut Reina. "Tiap hari ada orang yang bantuin Om buat b
Sudah ada Selena ketika Gavin datang. Adik bungsunya itu terlihat sedang santai menikmati serial TV berbayar sambil mengemil semangkok besar keripik kentang di atas sofa. Sementara putranya sedang sibuk main bersama pengasuhnya di lantai yang dialasi karpet busa. "Enak banget hidup kamu, Nyonya," ujar Gavin sambil menyomot keripik kentang dari belakang Selena. Wanita berambut gelombang itu kontan menegakkan punggung dan menoleh ke belakang. "Loh, Mas tumben banget siang balik ke rumah. Nggak sibuk?" "Sibuk sih sebenarnya." Gavin memutar dan duduk di samping Selena. Sebelumnya dia sempatkan menowel pipi gembil Fio. Meskipun bocah itu tidak bereaksi sama sekali. "Tapi Nyonya Besar nyuruh aku balik. Papa ultah." Mendengar itu Selena kembali menegakkan punggung dan berseru kaget. "Ya Allah! Kok aku bisa lupa ya?!" Di sebelahnya Gavin menaikan alis tinggi-tinggi lantas menggelengkan kepalanya. Dia kembali menyomot keripik kentang. Lantas menghampiri Fio. "Fio, ikut Om, yuk. Ketemu Opa
"Kemarin kamu pergi ke NusBang sama Revita, Mas?" tanya Selena pelan. Matanya bergerak mengawasi keadaan sekitar. Takut sang nyonya besar mendengar. "Hm, iya. Ada acara hari ayah." "Gila!" pekik Selena tertahan. "Kalau ketahuan mama gimana? Jadi anak Revita kamu sekolahin di sana." Gavin mengangguk. "Sudah kewajibanku memberinya pendidikan yang terbaik." "Tapi masalahnya, kenapa kamu masukin dia ke sana? Mama sewaktu-waktu bisa nyidak sekolah itu. Sekolah bagus di sini bukan cuma NusBang doang." Selena benar. Tapi dengan beberapa pertimbangan, Gavin memilih Reina sekolah di NusBang. Setidaknya tidak akan ada yang berani mengganggu Reina seperti yang Revita takutkan karena dirinya pemilik yayasan. "Gimana kalau mama cari tau tentang Revita?" "Itu artinya, Mama sudah waktunya tahu tentang Revita, juga Reina." "Reina?" "Anakku." Selena garuk-garuk kepalanya yang tak gatal. Dia sudah bisa membayangkan bagaimana ibunya akan mencak-mencak kalau tahu Revita muncul lagi di kehidupan
Gaun rancangan Hendrik Gunawan membelit indah tubuh ramping Revita pagi ini. Tidak seperti pengantin pada umumnya yang mengenakan kebaya dan sanggul sebagai riasan rambut, Revita hanya mengenakan gaun simpel tapi terlihat sangat elegan dan berkelas. Revita bahkan tidak memanggil MUA terkenal untuk merias wajahnya. Selena dan Adriana-lah yang didapuk menjadi penata riasnya. Adriana menghandle urusan rambut, sementara Selena menangani urusan makeup. "Makeup sederhana saja udah bikin kamu secantik ini, Re," puji Selena sembari memulas pewarna bibir. "Orang kalau udah cantik dari sononya emang gini. Awesome stunning," sambut Adriana. Revita terkekeh pelan. Kedua wanita itu terlalu memuji secara berlebihan. Padahal mereka-lah yang memiliki kecantikan luar biasa. "Liat deh, rambut aja samapai berkilau gini. Kamu perawatan di mana sih?" tanya Adriana yang sudah mulai memegang rambut Revita untuk dia tata. "Aku nggak perawatan. Buang-buang duit aja. Sampo sama conditioner di rumah juga c
"Pulau ini sudah aku booking buat hari ini dan besok." Revita sama sekali tidak diizinkan untuk mengurus soal pernikahan. Entah bagaimana caranya Gavin bisa mempersiapkan semua ini hanya dalam waktu sesingkat itu. Dua Minggu sesuai janjinya. Pria itu bahkan mengaku semua akomodasi sudah siap untuk yang akan datang hari ini dan besok. Karena undangannya bersifat terbatas, jadi tamu harus bisa memilih kapan dia datang. Gavin dan Revita sendiri sudah sampai di pulau sejak kemarin sore. Untuk meninjau semua persiapan. Reina akan menyusul hari ini bersama Indila dan keluarga adik-adik Gavin. "Aku beneran nggak nyangka kamu bisa secepat ini mempersiapkan semua." Rambut Revita yang menjuntai berkibar-kibar tertiup angin pagi laut. Saat ini keduanya sedang menikmati sarapan pagi di balkon vila yang tepat menghadap pantai. "Satu hal lagi yang bikin aku terkejut." "Apa?" Selama beberapa saat keduanya berpandangan. Revita yang tidak bisa menyembunyikan kebahagiaannya sejak sore tersenyum le
*WARNING*BACA KALAU UDAH BUKA PUASA, GAES. ======================Tak pernah terpikirkan bahwa dia akan mengancam ibunya sendiri. Gavin menarik napas panjang, begitu Melinda hilang dari pandangan. Tapi dia benar-benar lelah dengan semua yang sudah ibunya lakukan. Jangan salahkan dirinya kalau saat ini berbuat sedikit lebih kejam. Seandainya saja sang mama mau berkompromi, tentu wanita itu akan tetap menjadi satu-satunya orang yang dia hormati sekaligus sayangi. Perlahan tangan Gavin mendorong pintu kamar. Di saat bersamaan, Revita yang duduk dengan menekuk kaki di atas tempat tidur mendongak. Keadaan wanita itu masih kacau. Hanya saja saat ini dia sudah mengenakan kaus lagi. Tepatnya kaus milik Gavin. Revita melempar senyum kecil saat Gavin terlebih dulu memberinya senyum. "Mama kamu sudah pulang?" tanya Revita saat Gavin melangkah mendekat. Pria itu mengangguk lantas beranjak duduk di depan Revita. "Udah.""Dia tahu aku di sini?"Kepala Gavin menggeleng. Melihat wajah Revita yan
Keduanya saling mendesahkan nama satu sama lain. Sesekali mengerang ketika rasa nikmat itu menyerang. Peluh yang menetes seakan menjadi bukti panasnya permainan mereka saat ini. Kata-kata cinta terus berhamburan dari bibir Gavin tiap tatapannya beradu dengan tatapan Revita. Bergulung bersama hasrat, keduanya saling memberi dan menerima. Namun sedang nikmat-nikmatnya mereguk kasih, suara bel pintu terdengar. Bel yang tentu menghentikan kegiatan mereka selama beberapa saat. Gavin dan Revita saling tatap. "Siapa, Mas?" tanya Revita sedikit melebarkan mata. Ekpresi nikmatnya beberapa saat lalu berganti dengan ekspresi terkejut. "Nggak tau, mungkin maintenance," sahut Gavin mengedikkan bahu, lalu kembali menggerakkan pinggul. Namun di bawahnya, Revita tampak tak berhasrat lagi. Terlebih ketika bunyi bel kedua terdengar. Dia langsung memukul pelan bahu Gavin yang cuek dan malah terus mengerang sambil memejamkan mata menikmati kegiatannya. "Mas, itu lihat dulu. Kayaknya bukan maintenanc
"Ya Tuhan, yang mau nikah siapa yang repot siapa." Sebuah keluhan meluncur dari seorang wanita yang selalu tampil cantik di kantor pusat Bumi Indah. Dia sekretaris Gavin yang sejak satu minggu lalu ditugaskan untuk mengurus segala tetek bengek pernikahan bosnya. Orens jus dingin mendekat ke arahnya karena dorongan tangan seorang lelaki yang sejak tadi mendengar curhatannya. "Minum dulu. Biar kepala lo lebih fresh." "Thanks ya, Dan." Dengan segera Vania menyeruput es dingin itu. "Emang siapa sih yang mau nikah. Kok lo yang sibuk?" Pria di depan Vania yang tak lain dan tak bukan adalah Dany eks rekan kerja Revita, bertanya. Ya setelah sekian lama, akhirnya dia memiliki kesempatan untuk pedekate dengan sekretaris Gavin tersebut. "Bos guelah! Siapa lagi yang hobinya nyusahin orang selain dia.""Bos lo? Pak Gavin? Pak Gavin mau nikah sama siapa?" "Temen lo-lah. Siapa lagi? Dia kan cinta mati sama temen lo." Otak Dany otomatis nyambung ke Revita. Tapi bukankah mereka sudah lama pisah
Mata Reina melirik pintu yang terbuka dari luar. Dia menemukan seutas senyum seseorang yang tidak pernah muncul lagi selama dirinya dirawat. Mahesa. Pria itu datang membawa boneka dan buket berisi cokelat. "Selamat siang, Cantik," sapa Mahesa sembari masuk. Namun reaksi Reina melihat pria itu tampak kurang senang. Dia ingat bagaimana kesalnya pada lelaki itu sesaat sebelum terjadinya kecelakaan. Secara tak langsung pria itu yang membuatnya begini."Gimana keadaanmu, Sayang?" tanya Mahesa ramah, meski disuguhi muka berlipat anak itu. "Baik. Ngapain Om Hesa ke sini?" sahut Reina tidak peduli. Dia kembali sibuk menggambar di tablet yang baru dia dapatkan kemarin. "Jenguk kamu, of course. And they're for you." Bahkan ketika Mahesa memamerkan bawaannya, Reina hanya meliriknya sekilas. "Thank you," sahutnya lirih. "Taroh aja di situ, Om." Mahesa mengangguk-angguk. Senyum di bibirnya tak selebar awal tadi. Dia lantas menuruti permintaan Reina untuk meletakkan hadiahnya di atas nakas.
Kembali Revita terpedaya dan seperti hilang kewarasan. Bahkan dirinya tidak bisa menjelaskan bagaimana semua bisa terjadi. Dia hanya menuruti gerak tubuh yang tidak sinkron dengan isi kepalanya. Pengendalian dirinya sangat payah jika berdekatan dengan Gavin. Haruskah dia menyalahkan Gavin? Seperti sebelumnya, dia mungkin harus tetap menjaga jarak. Gara-gara ini Indila terjebak lama di rumah sakit. Revita merasa tak enak hati membiarkan wanita itu menunggu lama. Saat dirinya datang, wanita itu bahkan sudah jatuh tertidur. Gavin sendiri langsung kembali ke Jakarta setelah mengantarnya ke rumah sakit karena ada hal yang harus lelaki itu urus terkait pekerjaan yang sudah dia tinggal selama beberapa hari ini. "Lo udah datang?" Revita meringis saat Indila terjaga. "Maaf ya udah bikin lo nunggu lama." Bangkit duduk, Indila menguap lalu mengucek matanya. "Sendiri aja? Nggak sama Pak Gavin?" "Dia pulang ke Jakarta ada hal yang harus dia urus." Indila mengangguk-angguk lalu melangkah gont
"Sakit, Na?" Lega luar biasa baru saja Revita dapat saat Reina akhirnya sadar dan dokter sudah memeriksa keadaan anak itu. Gadis kecil itu hanya mengangguk saat ditanya. "Kamu mau sesuatu? Biar Mama ambilkan," tanya Revita lagi. Dan lagi-lagi juga Reina menggeleng. Di saat yang bersamaan, Gavin keluar dari kamar mandi. Wajahnya terlihat begitu segar dan tampan. Dia langsung menyedot perhatian Reina. "Pa, minum," ucap anak itu. Yang membuat Revita di sisi ranjang kontan menaikkan kedua alis. Anak itu mengabaikan tawarannya, tapi begitu Gavin datang minta minum. Revita memejamkan mata lalu berusaha tersenyum, meski hatinya merasa sudah diduakan sang putri. "Ooh, Tuan Putri mau minum. Bentar ya, papa ambilin," sahut Gavin, mengerlingkan sebelah mata dengan genit. Revita sedikit menyingkir untuk memberikan Gavin akses mendekati Reina. Dia bergeser ke ujung tempat tidur memberi ruang pada Gavin duduk di kursinya. Tatapannya terus memperhatikan bagaimana cara Gavin memanjakan Reina.
Kaki Revita seperti sudah tidak menapak bumi lagi ketika tenaga medis menjelaskan tentang kondisi putrinya. Rasa panik dan khawatir berlebih menggumpal di kepala saat mereka bilang harus segera melakukan cito atau operasi gawat darurat. Penjelasan mereka terlalu kabur untuk Revita. Bahkan wanita itu tidak bisa bereaksi apa pun. "Pasien juga perlu melakukan transfusi darah segera, Pak."Revita menatap Gavin dengan segera. Dia sadar golongan darahnya dengan Reina berbeda. Itu artinya Gavinlah--"Golongan darah saya O, Dok. Anda bisa mengambil darah saya sebanyak yang anak saya butuhkan." Lagi-lagi Revita tidak bereaksi. "Baik, silakan Bapak ikut perawat untuk diperiksa lebih dulu." Gavin menghadap Revita begitu dokter kembali memasuki ruang tindakan. Dia sama khawatirnya seperti Revita. Sepanjang perjalanan ke rumah sakit wanita itu terus berlinang air mata. Dan sekarang wajahnya tampak begitu pucat. "Nana akan baik-baik saja," ucap Gavin menenangkan. "Kita percayakan pada medis, d