Kunyahan Gavin memelan mendengar permintaan wanita di depannya. Dia sengaja memindahkan Revita ke pusat supaya bisa leluasa bertemu dan mendekati wanita itu lagi. Mendekati Revita yang sekarang jauh lebih sulit daripada dulu. Dan di saat sedikit demi sedikit Revita sudah mulai menerima kehadirannya kembali, mana mungkin dia membiarkan wanita itu menjauh lagi? "Ada apa dengan pekerjaanmu sekarang?" tanya Gavin, kembali memotong paha ayam di depannya. "Apa kamu kesulitan beradaptasi di sana atau orang-orang di sana nggak menerima kamu dengan baik?" Revita menggulirkan kembali pandangannya ke kotak bekal yang isinya tinggal sedikit. Tidak mungkin dia memberitahu alasan sebenarnya. "Aku merasa tak pantas saja berada di sini. Semua staf di sini minimal lulusan sarjana. Sementara aku cuma lulusan SMA. Akan lebih pantas kalau aku di pabrik." Gavin meletakkan garpu dan pisau plastik yang dipegangnya lantas membuang napas kasar. Dia kembali menatap Revita. "Kalau begitu masalahnya kamu perl
Revita mengernyit bingung ketika para temannya mengerumuni meja kerjanya. Seperti ada yang menarik di sana. Dengan penasaran, wanita bermata bulat itu mendekat dan ikut melihat apa yang terjadi. "Nah! Ini dia orangnya!" Revita tersentak kaget saat dari belakang Dany menepuk pundaknya. Dia refleks menoleh, begitu pun teman-temannya yang lain. Dona tampak berbinar-binar mendapati Revita dan langsung berdiri menggaet lengan wanita itu. "Rev, liat deh satu kotak cup cake di meja lo. Uuunch, Pak Gavin romantis banget sih pake acara kirim cupcake segala." Secara otomatis pandangan Revita jatuh ke atas mejanya. Dona benar ada beberapa cup cake yang tersimpan cantik di atas kotak transparan. Tidak heran teman-temannya itu bisa melihat isi di dalamnya yang cantik-cantik. "Iya, laki gue aja nggak pernah beli-beli ginian pas baru pendekatan. Paling banter palingan ditraktir seblak," sambut Arum, lantas memonyongkan bibirnya mengingat kelakuan suaminya dulu. Rafa dan Ilham sampai tergelak m
Revita tahu kedatangan Mahesa ke rumahnya malam itu adalah awal. Awal masalah di hidupnya. Haruskah dia lari lagi? Rasanya Revita sudah lelah terus berlari. Tidak bisakah orang-orang seperti Gavin dan Mahesa membiarkan hidupnya tenang? Seperti saat ini. Pagi-pagi sekali Revita terjebak di ruang kerja Gavin. Wanita berambut cokelat kehitaman itu mengerjap saat Gavin menunjukkan sederet brosur tentang universitas. Revita tidak menyangka pria itu akan berbuat sejauh ini. Gavin tidak benar-benar menyuruhnya kuliah kan? "Orang cerdas seperti kamu sayang kalau nggak lanjut sekolah. Kamu bisa pilih sendiri universitasnya," ucap Gavin. Gara-gara mengandung anaknya Revita terpaksa putus sekolah. Gavin ingin menebus semuanya. "Aku nggak punya waktu buat belajar lagi. Yang aku butuhkan sekarang pekerjaan." "Kamu masih bisa tetap kerja sambil kuliah, Honey." Gavin mengambil satu brosur dan menunjukkannya pada Revita. "Universitas ini lumayan bagus. Dia buka kelas malam dan juga kelas eksten
Baru kemarin-kemarin Mahesa memuji Revita. Menyebut wanita itu salah satu mantan karyawannya yang kompeten. Namun sekarang, Gavin mendengar dengan begitu jelas pria itu meremehkan Revita menggunakan anaknya. Terang saja hal itu membuat Gavin kesal bukan main. Meski demikian rasa sedih tiba-tiba hadir. Mungkin Mahesa hanya salah satu. Selama ini entah berapa banyak orang di luar sana yang mungkin juga mencemooh Revita dan putrinya. Gavin mengepalkan tangan, dan lagi-lagi rasa bersalah menghantamnya telak. "Aku harap ini terakhir kalinya aku mendengar Om Mahes merendahkan Revita," ucap Gavin menahan amarahnya, membuat pria matang di depannya itu terkekeh. "Dude, kamu terlalu serius. Aku nggak bermaksud merendahkan Revita. Calm down, Oke?" Gavin menarik napas panjang. Berusaha menekan emosinya yang sempat mencuat naik. "Jadi, apa yang membuat Om Mahes sepagi ini datang ke ruanganku? Aku dengar biasanya Om datang ke kantor nggak pernah kurang dari pukul sepuluh." "Mamamu memintaku me
Revita terkejut mendapati Gavin melambaikan tangan padanya lengkap dengan senyum menawan ketika dia dan Reina baru keluar dari pagar rumah. Pria itu terlihat tengah bersandar di badan mobil yang terparkir tidak jauh dari rumahnya. "Om Gavin!" Reina yang lebih dulu menyerukan nama pria itu. Bahkan gadis kecil itu langsung berjalan cepat menarik tangan Revita untuk menghampiri pria itu. "Pagi, Cantik. Sudah siap sekolah hari ini?" sapa Gavin sedikit membungkukkan badan, menyambut Reina. "Siap dong, Om." Anak tujuh tahun itu merentangkan tangan, memamerkan seragam baru yang dia pakai. "Aku suka seragam baruku. Keren kan, Om?" tanya gadis itu lagi sembari mengembangkan senyum. Ini adalah hari pertama Reina masuk ke sekolah baru. Anak itu terlihat antusias. Rambutnya yang panjang dan lurus dikuncir tinggi dan dililit pita berwarna biru. Reina benar-benar cantik seperti ibunya. Terlebih mata cokelatnya yang berbinar begitu terang. Melengkapi kecantikannya. "Keren banget!" Sebagai apresi
Revita mengerjap mendapati Gavin ada di lift karyawan. Bibir pria itu tersenyum lebar dengan mata fokus hanya padanya. "Pak Gavin kenapa ada di lift karyawan?" Itu bukan pertanyaan yang keluar dari mulut Revita, melainkan dari Arum yang tengah menunggu lift terbuka bersama Revita dan juga Dany. "Lift sebelah mati," dalih Gavin berkilah. Dia sedikit menyingkir memberi mereka ruang untuk masuk. Dengan sengaja Dany dan Arum memberi ruang kosong tepat di sebelah lelaki itu khusus untuk Revita yang masuk terakhir. Keduanya terkikik geli melihat Revita memasang wajah tak terima. "Tumben Pak Gavin pulang sore?" tanya Dany. Jika bukan karena sang CEO kerap menyambangi kantor R n D mana mungkin dia seberani itu berbasa-basi. "Kebetulan sedang longgar," sahut Gavin tersenyum. Kepalanya miring ke arah Revita dan berbisik. "Pulang bareng ya." Revita yang sejak tadi memilih diam sampai terperanjat. Dia tidak berani menjawab karena suaranya pasti didengar oleh dua rekan di sebelahnya. Diam a
Semburat cahaya senja memasuki ruang unit melalui pintu kaca yang terhubung ke area balkon. Indahnya warna jingga membuat Revita beranjak dari sofa dan berjalan mendekat ke arah pintu. Dia menyibak tirai panjang yang setengah menutupi pintu dan dengan mudah menggeser pintu tersebut setelah membuka kuncinya. Wanita itu terpukau melihat betapa indahnya matahari sore berada di sela-sela gedung pencakar langit kota. Dari sini dia bisa menyaksikan megahnya landskap kota. Sejenak Revita terpaku dengan keindahan di depan matanya. Ini untuk pertama kali dia bisa melihat pemandangan memukau dari atas gedung dengan jelas. Namun detik berikutnya dia tersenyum miris dan merasa kecil hati. Dari sini saja dia seharusnya sadar dirinya memang tidak layak bersanding dengan Gavin. Dari dulu memang seperti itu. Dia saja yang tidak tahu diri karena berani memasuki kehidupan pria itu atas nama cinta. Tanpa sadar dua tangan Revita meremas pagar pembatas stainless steel yang mengelilingi balkon. Dirinya m
Kecupan itu berlangsung singkat. Tidak ada waktu untuk menghindar dan kejadiannya begitu cepat. Saat Gavin menjauh bahkan Revita masih mematung di tempat. Seolah telah kehilangan kesadaran selama beberapa saat. Bersamaan dengan itu Revita bisa merasakan wajahnya menghangat. Bagaimana kalau Gavin salah paham dengan reaksinya? "Aku benar-benar harus pulang sekarang," ucap Revita ketika berhasil menemukan kesadarannya kembali. Dia segera beranjak menjauh dan menyambar tasnya yang dia tinggalkan di atas sofa. "Oke, sebentar." Gavin pun segera memasuki kamarnya kembali guna mengambil sesuatu yang ingin dia berikan kepada Reina. Begitu Gavin menghilang dari balik dinding, Revita segera menyentuh dadanya yang bedentam-dentam kencang. Nyaris saja dia kehilangan napas. Revita memejamkan mata dan jatuh terduduk di sofa. Ikut Gavin datang ke apartemen ini ternyata bukan pilihan yang benar. Kepala Revita menoleh ketika Gavin muncul kembali membawa sebuah paper bag besar. Pria itu sudah mengg
Mata Reina melirik pintu yang terbuka dari luar. Dia menemukan seutas senyum seseorang yang tidak pernah muncul lagi selama dirinya dirawat. Mahesa. Pria itu datang membawa boneka dan buket berisi cokelat. "Selamat siang, Cantik," sapa Mahesa sembari masuk. Namun reaksi Reina melihat pria itu tampak kurang senang. Dia ingat bagaimana kesalnya pada lelaki itu sesaat sebelum terjadinya kecelakaan. Secara tak langsung pria itu yang membuatnya begini."Gimana keadaanmu, Sayang?" tanya Mahesa ramah, meski disuguhi muka berlipat anak itu. "Baik. Ngapain Om Hesa ke sini?" sahut Reina tidak peduli. Dia kembali sibuk menggambar di tablet yang baru dia dapatkan kemarin. "Jenguk kamu, of course. And they're for you." Bahkan ketika Mahesa memamerkan bawaannya, Reina hanya meliriknya sekilas. "Thank you," sahutnya lirih. "Taroh aja di situ, Om." Mahesa mengangguk-angguk. Senyum di bibirnya tak selebar awal tadi. Dia lantas menuruti permintaan Reina untuk meletakkan hadiahnya di atas nakas.
Kembali Revita terpedaya dan seperti hilang kewarasan. Bahkan dirinya tidak bisa menjelaskan bagaimana semua bisa terjadi. Dia hanya menuruti gerak tubuh yang tidak sinkron dengan isi kepalanya. Pengendalian dirinya sangat payah jika berdekatan dengan Gavin. Haruskah dia menyalahkan Gavin? Seperti sebelumnya, dia mungkin harus tetap menjaga jarak. Gara-gara ini Indila terjebak lama di rumah sakit. Revita merasa tak enak hati membiarkan wanita itu menunggu lama. Saat dirinya datang, wanita itu bahkan sudah jatuh tertidur. Gavin sendiri langsung kembali ke Jakarta setelah mengantarnya ke rumah sakit karena ada hal yang harus lelaki itu urus terkait pekerjaan yang sudah dia tinggal selama beberapa hari ini. "Lo udah datang?" Revita meringis saat Indila terjaga. "Maaf ya udah bikin lo nunggu lama." Bangkit duduk, Indila menguap lalu mengucek matanya. "Sendiri aja? Nggak sama Pak Gavin?" "Dia pulang ke Jakarta ada hal yang harus dia urus." Indila mengangguk-angguk lalu melangkah gont
"Sakit, Na?" Lega luar biasa baru saja Revita dapat saat Reina akhirnya sadar dan dokter sudah memeriksa keadaan anak itu. Gadis kecil itu hanya mengangguk saat ditanya. "Kamu mau sesuatu? Biar Mama ambilkan," tanya Revita lagi. Dan lagi-lagi juga Reina menggeleng. Di saat yang bersamaan, Gavin keluar dari kamar mandi. Wajahnya terlihat begitu segar dan tampan. Dia langsung menyedot perhatian Reina. "Pa, minum," ucap anak itu. Yang membuat Revita di sisi ranjang kontan menaikkan kedua alis. Anak itu mengabaikan tawarannya, tapi begitu Gavin datang minta minum. Revita memejamkan mata lalu berusaha tersenyum, meski hatinya merasa sudah diduakan sang putri. "Ooh, Tuan Putri mau minum. Bentar ya, papa ambilin," sahut Gavin, mengerlingkan sebelah mata dengan genit. Revita sedikit menyingkir untuk memberikan Gavin akses mendekati Reina. Dia bergeser ke ujung tempat tidur memberi ruang pada Gavin duduk di kursinya. Tatapannya terus memperhatikan bagaimana cara Gavin memanjakan Reina.
Kaki Revita seperti sudah tidak menapak bumi lagi ketika tenaga medis menjelaskan tentang kondisi putrinya. Rasa panik dan khawatir berlebih menggumpal di kepala saat mereka bilang harus segera melakukan cito atau operasi gawat darurat. Penjelasan mereka terlalu kabur untuk Revita. Bahkan wanita itu tidak bisa bereaksi apa pun. "Pasien juga perlu melakukan transfusi darah segera, Pak."Revita menatap Gavin dengan segera. Dia sadar golongan darahnya dengan Reina berbeda. Itu artinya Gavinlah--"Golongan darah saya O, Dok. Anda bisa mengambil darah saya sebanyak yang anak saya butuhkan." Lagi-lagi Revita tidak bereaksi. "Baik, silakan Bapak ikut perawat untuk diperiksa lebih dulu." Gavin menghadap Revita begitu dokter kembali memasuki ruang tindakan. Dia sama khawatirnya seperti Revita. Sepanjang perjalanan ke rumah sakit wanita itu terus berlinang air mata. Dan sekarang wajahnya tampak begitu pucat. "Nana akan baik-baik saja," ucap Gavin menenangkan. "Kita percayakan pada medis, d
Bukan kencan atau apa pun. Revita hanya ingin mempertegas semuanya. Jadi, saat Mahesa bilang ingin mengajaknya makan malam secara khusus, dia mengiyakan. Sejujurnya beberapa hari ini Revita sudah tidak nyaman juga merasa tidak enak dengan kemunculan pria itu tiap kali dirinya pulang kerja. Mahesa bukan pengangguran. Pria itu mengaku pulang dari kantor langsung bertolak ke tempat Revita yang letaknya jauh di luar kota. Bertemu hanya sebentar, lalu keesokan paginya sudah kembali ke Jakarta. Empat kali dalam satu Minggu! Itu berlebihan menurut Revita. "Ada tol. Kamu nggak perlu cemas," ujar pria itu membela diri saat Revita komplain soal intensitas kedatangannya."Tapi itu cuma bikin kamu capek, Mas.""Apa aku terlihat seperti orang capek?"Perjuangan pria itu tidak bisa Revita anggap remeh. Kadang tanpa sadar dia jatuh iba dan otaknya berpikir untuk mempertimbangkan pria itu. Namun hatinya jelas menolak, karena pria itu bukanlah orang yang Revita harap menjadi rumahnya. Hingga sampai
Usaha yang tidak mudah bagi Gavin untuk melobi para pemegang saham yang sebagian besar sudah tidak tinggal lagi di dalam negeri. Dan ketika dia berhasil menemui mereka pun tidak segampang itu memersuasi mereka agar mau suka rela memberikan sahamnya. Meski dia menjanjikan waktu berjangka dan kemajuan perusahaan, ternyata itu juga belum cukup meyakinkan mereka. Alhasil Gavin harus rela menghabiskan waktu sedikit lebih lama dari yang dia prediksi. Bahkan ketika Mannaf ikut turun tangan tidak membuat masalah itu cepat selesai. "Setidaknya kamu sudah menggenggam separuhnya. Sementara ibu kamu hanya punya 25 persen. Papa rasa itu sudah lebih dari cukup untuk menurunkan ego dia," ucap Mannaf ketika putra sulungnya itu mengunjungi rumahnya yang ada di Beacon Hill, Boston. Gavin mengangguk. Papanya benar, tinggal usaha untuk membuat perusahaan lebih maju dari sebelumnya. Beberapa pabrik baru sudah mulai beroperasi dan kantor distribusi juga sudah diperluas. Meski tidak memakan biaya yang se
Revita bergegas mengayunkan langkah menuju kosan ketika melihat mobil milik Gavin terparkir di tanah lapang. Dia yang baru pulang dari pabrik mengernyit bingung. Jika weekend dia akan maklum dengan keberadaan lelaki itu di sini. Masalahnya sekarang hari kerja, dan masih pukul empat sore. Kenapa pria itu ada di sini? Mendekati kamar kosan, Revita melihat sepatu pria itu yang tergeletak rapi di dekat pintu. Tanpa alasan yang jelas hatinya berdesir, bahkan Revita merasa tubuhnya merinding. Dia kembali melangkah mendekat hingga suara tawa Reina dan Gavin masuk ke pendengarannya. Dia sengaja tidak langsung masuk dan hanya berdiri di teras kosan. "Kapan, Pa?" "Sabtu ini. Ada yang harus papa selesaikan." "Lama enggak?" "Uhm, papa nggak tau. Mudah-mudahan kerjaan di sana cepat beres jadi papa bisa segera pulang." Dari percakapan itu Revita bisa menyimpulkan jika Gavin akan pergi. Tapi ke mana? "Boston itu jauh, Pa?" Boston. Pria itu akan pergi ke Boston. Negara yang sama saat dulu Gav
Melihat kedatangan Mahesa membuat Revita merasa menjadi umpan yang tanpa sengaja tercebur ke kolam ikan. Pasalnya saat ini ada Gavin di kosan yang tengah sibuk mempersiapkan perlengkapan piknik. Entah dapat ide dari mana, mereka, Reina, Gavin, dan Indila tiba-tiba ingin pergi piknik. Sebenarnya Revita malas ikut. Daripada menghabiskan waktu di luaran, jujur dia lebih butuh tidur. Mengingat jadwal kerja tiap hari menyita waktu tidurnya. Namun, tentu saja putrinya yang cantiknya sekolong langit tak mungkin membiarkan itu terjadi. "Biar aku sama papa deh yang nyiapin bekal, mama tinggal duduk manis aja," ucap Reina ketika Revita menolak untuk ikut. "Jangan lupakan aku," seru Indila sambil mengacungkan keranjang makanan. "Ah iya, sama Tante Indi.""Ikut aja, Re. Kalau pun ntar di sana kamu tidur nggak apa-apa kok," imbuh Gavin, tangannya sibuk mengepak berbagai macam makanan. Kalau sudah begitu Revita bisa apa? Lalu ketika mereka bersiap pergi Mahesa muncul. Kening pria itu berkerut
Revita sedang menjemur pakaian yang baru dicuci saat dari kejauhan melihat dua orang tengah lari bersama. Dua orang lelaki dan perempuan itu sedikit menyedot perhatiannya sampai Revita menyipitkan mata untuk memastikan penglihatannya. Pangkal alisnya menyatu saat tahu ternyata mereka itu Gavin dan Indila. Keduanya jogging bersama? Keduanya terlihat lari bersamaan sambil ngobrol. Entah apa yang mereka bicarakan sampai saling melempar tawa begitu. Di posisinya Revita tidak melepas pandangannya. Dia malah makin menatap keduanya dengan tajam. Wanita itu baru tahu jika tetangga kosannya itu ternyata akrab dengan Gavin. Bibirnya berkerut tak senang tahu fakta itu. Namun tiba-tiba Revita terperanjat sendiri. "Kenapa aku mesti nggak senang?" tanyanya pada diri sendiri lalu kepalanya menggeleng cepat. "Bodo amat dia mau akrab sama siapa," ujarnya lagi bersikap sok tak peduli lalu melanjutkan kegiatan menjemur baju, tapi lagi-lagi tanpa sadar matanya bergerak mengintip dari balik kain jemuran