Baru kemarin-kemarin Mahesa memuji Revita. Menyebut wanita itu salah satu mantan karyawannya yang kompeten. Namun sekarang, Gavin mendengar dengan begitu jelas pria itu meremehkan Revita menggunakan anaknya. Terang saja hal itu membuat Gavin kesal bukan main. Meski demikian rasa sedih tiba-tiba hadir. Mungkin Mahesa hanya salah satu. Selama ini entah berapa banyak orang di luar sana yang mungkin juga mencemooh Revita dan putrinya. Gavin mengepalkan tangan, dan lagi-lagi rasa bersalah menghantamnya telak. "Aku harap ini terakhir kalinya aku mendengar Om Mahes merendahkan Revita," ucap Gavin menahan amarahnya, membuat pria matang di depannya itu terkekeh. "Dude, kamu terlalu serius. Aku nggak bermaksud merendahkan Revita. Calm down, Oke?" Gavin menarik napas panjang. Berusaha menekan emosinya yang sempat mencuat naik. "Jadi, apa yang membuat Om Mahes sepagi ini datang ke ruanganku? Aku dengar biasanya Om datang ke kantor nggak pernah kurang dari pukul sepuluh." "Mamamu memintaku me
Revita terkejut mendapati Gavin melambaikan tangan padanya lengkap dengan senyum menawan ketika dia dan Reina baru keluar dari pagar rumah. Pria itu terlihat tengah bersandar di badan mobil yang terparkir tidak jauh dari rumahnya. "Om Gavin!" Reina yang lebih dulu menyerukan nama pria itu. Bahkan gadis kecil itu langsung berjalan cepat menarik tangan Revita untuk menghampiri pria itu. "Pagi, Cantik. Sudah siap sekolah hari ini?" sapa Gavin sedikit membungkukkan badan, menyambut Reina. "Siap dong, Om." Anak tujuh tahun itu merentangkan tangan, memamerkan seragam baru yang dia pakai. "Aku suka seragam baruku. Keren kan, Om?" tanya gadis itu lagi sembari mengembangkan senyum. Ini adalah hari pertama Reina masuk ke sekolah baru. Anak itu terlihat antusias. Rambutnya yang panjang dan lurus dikuncir tinggi dan dililit pita berwarna biru. Reina benar-benar cantik seperti ibunya. Terlebih mata cokelatnya yang berbinar begitu terang. Melengkapi kecantikannya. "Keren banget!" Sebagai apresi
Revita mengerjap mendapati Gavin ada di lift karyawan. Bibir pria itu tersenyum lebar dengan mata fokus hanya padanya. "Pak Gavin kenapa ada di lift karyawan?" Itu bukan pertanyaan yang keluar dari mulut Revita, melainkan dari Arum yang tengah menunggu lift terbuka bersama Revita dan juga Dany. "Lift sebelah mati," dalih Gavin berkilah. Dia sedikit menyingkir memberi mereka ruang untuk masuk. Dengan sengaja Dany dan Arum memberi ruang kosong tepat di sebelah lelaki itu khusus untuk Revita yang masuk terakhir. Keduanya terkikik geli melihat Revita memasang wajah tak terima. "Tumben Pak Gavin pulang sore?" tanya Dany. Jika bukan karena sang CEO kerap menyambangi kantor R n D mana mungkin dia seberani itu berbasa-basi. "Kebetulan sedang longgar," sahut Gavin tersenyum. Kepalanya miring ke arah Revita dan berbisik. "Pulang bareng ya." Revita yang sejak tadi memilih diam sampai terperanjat. Dia tidak berani menjawab karena suaranya pasti didengar oleh dua rekan di sebelahnya. Diam a
Semburat cahaya senja memasuki ruang unit melalui pintu kaca yang terhubung ke area balkon. Indahnya warna jingga membuat Revita beranjak dari sofa dan berjalan mendekat ke arah pintu. Dia menyibak tirai panjang yang setengah menutupi pintu dan dengan mudah menggeser pintu tersebut setelah membuka kuncinya. Wanita itu terpukau melihat betapa indahnya matahari sore berada di sela-sela gedung pencakar langit kota. Dari sini dia bisa menyaksikan megahnya landskap kota. Sejenak Revita terpaku dengan keindahan di depan matanya. Ini untuk pertama kali dia bisa melihat pemandangan memukau dari atas gedung dengan jelas. Namun detik berikutnya dia tersenyum miris dan merasa kecil hati. Dari sini saja dia seharusnya sadar dirinya memang tidak layak bersanding dengan Gavin. Dari dulu memang seperti itu. Dia saja yang tidak tahu diri karena berani memasuki kehidupan pria itu atas nama cinta. Tanpa sadar dua tangan Revita meremas pagar pembatas stainless steel yang mengelilingi balkon. Dirinya m
Kecupan itu berlangsung singkat. Tidak ada waktu untuk menghindar dan kejadiannya begitu cepat. Saat Gavin menjauh bahkan Revita masih mematung di tempat. Seolah telah kehilangan kesadaran selama beberapa saat. Bersamaan dengan itu Revita bisa merasakan wajahnya menghangat. Bagaimana kalau Gavin salah paham dengan reaksinya? "Aku benar-benar harus pulang sekarang," ucap Revita ketika berhasil menemukan kesadarannya kembali. Dia segera beranjak menjauh dan menyambar tasnya yang dia tinggalkan di atas sofa. "Oke, sebentar." Gavin pun segera memasuki kamarnya kembali guna mengambil sesuatu yang ingin dia berikan kepada Reina. Begitu Gavin menghilang dari balik dinding, Revita segera menyentuh dadanya yang bedentam-dentam kencang. Nyaris saja dia kehilangan napas. Revita memejamkan mata dan jatuh terduduk di sofa. Ikut Gavin datang ke apartemen ini ternyata bukan pilihan yang benar. Kepala Revita menoleh ketika Gavin muncul kembali membawa sebuah paper bag besar. Pria itu sudah mengg
"Anterin Talia pulang ya, Vin. Tadi dia datang ke sini sama mama jadi nggak bawa mobil. Sekalian kamu jalan pulang."Gavin mendesah mendengar permintaan sang mama. Sudah bisa Gavin tebak bakal berakhir begini. Dan tentu saja dia tidak akan diberi kesempatan menolak. Dan tepat saat Talia dan Gavin pamit pulang, Mahesa datang bersama putranya. "Wah, siapa ini?" tanya duda itu saat menyambut uluran tangan Talia. Pria itu melirik Gavin sambil tersenyum simpul. "Saya Talia. Anda pasti Om Mahesa. Tante udah cerita kalau punya adik yang baru pulang dari Surabaya," sahut Talia memasang senyum semanis mungkin. Mahesa terkekeh pelan dan melirik Gavin dengan tatapan menggoda. "Ternyata saya sudah dikenal. Kamu pacar Gavin?" Gavin memutar bola mata mendengar pertanyaan pamannya itu. Dia tahu Mahesa sengaja memancing perkara. "Maunya sih gitu." Talia tampak malu-malu sambil melirik Gavin. "Tapi Gavinnya belum nembak aku, Om." "Kamu harus berjuang lebih gigih lagi kalau begitu. Tenang, Om duk
Seperti yang Revita janjikan, dia membawa dua kotak bekal dengan menu sederhana. Anggap saja itu sebagai ungkapan terima kasihnya. Meski pikiran jahat Revita menjerit, untuk apa melakukan ini?! Bukankah semua yang Gavin beri belum cukup untuk menggantikan penderitaannya selama ini? Namun segera mungkin dia menggeleng tegas. Lalu meyakinkan diri bahwa Gavin juga korban seperti dirinya. Revita menghela napas dan meletakkan dua kotak bekalnya di atas meja. Workstation sudah sangat sepi. Semua temannya sudah pergi beberapa menit lalu menuju kantin di belakang gedung. Tinggal Revita sendiri menunggu batang hidung Gavin yang belum juga muncul. Aneh. Biasanya sebelum jam makan siang pria itu akan menyambangi divisinya. Namun beberapa menit berlalu belum ada tanda-tanda kedatangannya. Revita baru akan beranjak dari kursinya ketika mendengar suara langkah seseorang mendekat. Dia memutuskan duduk kembali dan pura-pura sibuk di depan komputer untuk menutupi kegugupannya. Sejujurnya Revita mas
Sudah lebih dari seminggu Gavin tidak pernah muncul lagi di hadapan Revita. Seharusnya itu menjadi kabar baik buat wanita itu. Tapi kenyataanya dia gelisah dan bertanya-tanya. Sempat terbersit keinginan untuk menanyakan kabar pria itu kepada Vania, tapi dia tidak cukup memiliki keberanian melakukannya. Sepuluh menit lagi masuk jam makan siang. Revita melirik pintu divisi dengan dada berdebar. Biasanya Gavin tiba-tiba muncul dari sana dengan senyum manis yang selalu menyedot perhatian. Akankah hari ini Revita menemukan kekosongan seperti hari-hari kemarin?"Soto ayam!" "Nasi rames!" "Enakkan juga ayam geprek!" Teman satu divisinya sudah mulai ribut mempermasalahkan menu makan siang mereka. Dan Revita malah masih bertahan memelototi pintu divisi. "Re, lo bawa bekal atau mau makan bareng kita?" tanya Arum, menyadarkan Revita. Wanita berambut kecoklatan itu mengalihkan perhatian segera. "Gue bawa bekal kok, Mbak." "Gue juga bawa! Kita makan bareng ntar, Rev!" seru Rafa mengangkat t
Berjalan sambil bergandengan tangan di Charless street pada musim gugur akan menjadi momen romantis yang tidak akan pernah Revita lupa. Berbaur di pemandangan jalan yang mempesona si kawasan pinggir kota paling tua dan makmur, Boston. Untuk ke-empat kalinya Gavin mengajak Revita dan anak-anak ke kota ini dan wanita itu akui tidak pernah bosan berada di tempat ini. "Ini kali pertama kita ke sini pas musim gugur. Kalau tau bakal seindah ini aku pasti sudah minta ke sini di bulan-bulan musim gugur sebelumnya," ujar Revita dengan bibir maju. Sudah empat kali berkunjung, dan dia baru melihat musim secantik ini. Kakinya yang terbungkus boots panjang berjalan menapaki trotoar yang terbuat dari batu kerikil. Matanya mengedar dengan senyum yang mengembang memperhatikan barisan rumah bergaya federal. Yang menarik, rumah-rumah di sini memiliki pengetuk pintu dari kuningan yang dipoles alih-alih bel wifi atau listrik. Gavin bilang itu adalah simbol tak resmi kawasan pinggir kota ini. "Musim g
Begitu membuka pintu kosan, Revita langsung melihat wajah putrinya yang tersenyum lebar. Anak itu segera menghambur ke pelukannya. Di belakang Reina, Gavin melambaikan tangan seraya tersenyum manis. "Mama udah siap?" tanya Reina, kepalanya meneleng untuk melihat barang-barang di belakang punggung ibunya. Hanya ada satu koper besar dan tas jinjing berukuran sedang. "Isi rumah nggak dibawa, Ma?" Revita terkekeh sembari menggeleng. "Barang-barang itu kan bukan milik kita, Na. Ada-ada aja kamu."Gavin sendiri langsung mengambil alih bawaan sang istri dan segera memasukkannya ke bagasi mobil. Akhirnya hari yang dia tunggu tiba. Revita dan Reina akan tinggal bersamanya menjadi satu keluarga utuh. "Itu apa?" tanya Gavin melihat kotak dengan ukuran lumayan besar yang dibungkus kado. Revita mengikuti arah pandang Gavin. "Itu dari teman-teman di pabrik. Belum aku buka sih." "Dibawa juga?" "Iya. Kado perpisahan." Selain koper milik dirinya, ada juga koper milik Reina di bagasi mobil Gavin
Mata Revita mengerjap. Mungkin yang Indila katakan benar, tapi wanita itu tidak boleh pesimis. Mahesa hanya belum melupakan Revita, tapi bukan berarti tidak bisa melupakan. Revita tersenyum menatap wanita manis di depannya. "Dengan lo terus di sampingnya, gue yakin dia bisa segera lupain gue. Apalagi lo deket sama Dony. Sekedar informasi, meski dia dulu deketin gue, dia nggak pernah loh ngenalin anaknya ke gue. Tapi ke lo? Nah itu tandanya dia serius sama lo." Wajah mendung Indila hilang seketika. Berganti dengan wajah penuh senyum. "Lo bisa aja, Re," katanya cengengesan. "Gue yakin sih bentar lagi lo bakal dilamar," goda Revita seraya menaik-turunkan alisnya. "Nggaklah. Gue bakal kasih waktu ke dia buat terima kenyataan bahwa lo itu milik keponakannya." Kedua wanita itu lantas tertawa. Lalu saling berpelukan. Tepat saat itu Revita seolah menyadari sesuatu. "Tunggu-tunggu." Revita melepas pelukannya dan mengangkat tangan sejenak. Dia merasa ada yang aneh di sini. "Jadi, lo mau p
Perombakan kesekretariatan ternyata lumayan mengundang perhatian. Bukan hanya itu, Gavin juga memecat beberapa sekretaris yang diduga berkomplot menjebak dirinya, termasuk Ferial. Tidak peduli dikatakan presdir kejam atau apa. Baginya perbuatan Ferial dan teman-temannya sudah melampaui batas. Kejadian mabuknya Ferial membuat Gavin tahu betapa busuknya perempuan itu. Paginya, begitu wanita itu sadar, Gavin memintanya untuk pulang ke Indonesia. Sempat ada drama dan permohonan maaf dari Ferial, tapi Gavin tak peduli dan tetap mengirim wanita itu kembali ke Jakarta. Alhasil seminar dua hari dan rapat terakhir dia lakukan sendiri tanpa dampingan sekretaris. "Jadi, apa yang bikin kamu memecat mereka?" tanya Mahesa saat pria itu berkunjung ke kantor Gavin. Kabar itu cukup bikin heboh. "Mereka kerjanya tidak becus," sahut Gavin sambil terus menandatangani dokumen di mejanya. Menarik kursi di depan meja, Mahesa pun duduk. "Apa yang mereka lakukan?" "Aku yakin Om sudah tau apa yang terjadi
"Mas?" Rasa kantuk dan kesal hilang seketika saat Revita menemukan suaminya sudah berdiri di depan pintu kosan. Dia mengucek mata untuk memastikan penglihatannya tidak salah. Ini sudah hampir pukul satu malam. Kenapa Gavin ada di sini? "Kaget ya? Biarin aku masuk dulu, Re. Aku capek." Gavin hendak masuk kamar, tapi segera Revita tahan. "Tunggu-tunggu, kamu beneran Mas Gavin, kan? Bukan demit yang nyamar jadi suamiku?" Detik berikutnya Revita terpekik karena mendapat sentilan di dahi. Dia segera mengusap dahinya yang kesakitan. "Demit mana ada yang seganteng suami kamu." Dengan pelan Gavin mendorong Revita masuk, begitu pun dirinya yang lantas ikut masuk dan menutup pintu kamar kosan. "Tapi, Mas. Kamu kan lagi ada di Malaysia. Kok sekarang udah ada di sini aja? Mana malam-malam lagi datangnya." Rasanya Revita belum puas mendapat jawaban dari pria itu. "Kamu kabur ya?" Melepas sepatu, Gavin pun juga melepas kemeja beserta celana panjangnya. "Seminar sudah selesai. Bu
"Berapa hari?" Selain meeting ada seminar kewirausahaan yang harus Gavin hadiri selama dua hari. Kebetulan dia akan menjadi salah satu pengisi materi di hari kedua seminar yang diadakan di Kuala Lumpur tersebut. "Mungkin 3 sampai 4 hari, Sayang." "Hm, lama." Reina cemberut. "Mama weekend katanya masuk kerja. Masa papa juga belum balik?"Gavin menyentuh kepala Reina. "Papa usahakan weekend sudah kembali," ucapnya tersenyum. "Pak, sudah waktunya berangkat!" Di dekat mobil, Ferial kembali mengingatkan. Mata cokelat Reina langsung melirik tak suka. "Ih, aku nggak suka sama sekretaris papa yang itu. Kenapa bukan Tante Vania aja sih?" "Tante Vania ada pekerjaan lain.""Ya ganti aja jangan yang itu. Kelihatannya genit. Mentang-mentang cantik. Papa nggak takut mama cemburu?" "Uhm—""Papa mau ke Malaysia bareng dia kan?"Gavin mengangguk ragu. Semoga ini bukan masalah. "Tapi kami ke sana cuma bekerja. Dia di sana cuma membantu pekerjaan papa. Sekaligus papa lagi nguji dia layak atau ngg
Alis Gavin naik sebelah ketika melihat sekretaris bernama Ferial datang menjemputnya. Dia tidak berharap orang baru yang akan menemani perjalanan bisnisnya. Namun sepertinya dia tidak memiliki pilihan lain. Anggap saja ini ujian pertama sekretaris itu. Jika gagal, Gavin bisa punya alasan untuk mendepaknya dari kesekretariatan. "Tidak ada yang memberitahu saya kalau kamu yang akan menemani saya ke Malaysia," ucap Gavin seraya masuk ke mobil mewah fasilitas kantor. Ferial tersenyum manis, lalu ikut masuk ke mobil setelah memastikan bosnya itu duduk nyaman di dalam sana. "Saya sudah memberitahukan itu ke Pak Gavin. Di reminder juga ada. Mungkin Pak Gavin lupa."Sekilas Gavin memindai outfit yang wanita muda itu kenakan. Wanita itu mengenakan floral dress sebatas lutut yang dilapisi blazer hitam. Dress dengan potongan flowly itu agak naik ke atas saat dia duduk. Warna krem dress itu seolah tengah berlomba dengan warna kulit putih Ferial yang secerah mutiara. Gavin tidak mengerti kenapa
"Selamat pagi, Pak."Gavin mengangkat wajah dari tumpukan kertas yang sedang dia baca ketika sapaan asing seseorang terdengar. Di depannya berdiri seorang wanita muda yang terlihat cantik dan energik. Alisnya terangkat sebelah karena tidak mengenali sosok itu. "Kamu siapa?" tanya Gavin tanpa membalas sapaan wanita muda itu. "Saya Ferial, Pak. Saya di sini menggantikan Mbak Vania." "Memang Vania ke mana?" "Mbak Vania mendampingi CEO baru kita, Pak." Gavin mengangguk ragu. Sejujurnya dia masih ingin Vania yang menemaninya di posisi sekarang sebagai presdir baru. Ya rapat pemegang saham menunjuknya menjadi presdir menggantikan Melinda yang dulu menjabat sebagai presdir pasif. Gavin sendiri memilih tetap ngantor karena masih banyak yang harus dia pastikan keberlangsungan beberapa proyeknya. "Selain saya ada tiga sekretaris lain yang akan membantu pekerjaan Anda, Pak.""Ya, terima kasih," sahut Gavin lantas kembali memperhatikan kertas-kertas di mejanya. Dia pikir sekretaris bernama
*WARNING 21+*===========Pangkal alis Revita berkedut. Bibirnya menggeram lirih lalu lama-lama badannya menggeliat. Entah sekarang pukul berapa. Yang jelas sudah larut, karena kesunyian terasa begitu pekat. Setengah sadar dia menyingkirkan tangan tak sopan yang membuat tidurnya terganggu. "Aku ngantuk, Mas," gumamnya tak jelas, lalu kembali terlelap. Tidak ada sahutan, tapi tangan itu makin tak mau berhenti bergerak. Ketika Revita mengubah posisi menjadi miring, tangan itu pun ikut mengejar. Mencari celah agar bisa menyusup ke balik piyama yang wanita itu kenakan. "Mas," gumam Revita lagi, ketika tangan itu berhasil menyusup masuk dan meremas payudaranya. Karena masih sangat mengantuk, akhirnya Revita membiarkan saja. Tapi lama-lama pergerakan itu membuat Revita tak nyaman. Apalagi ketika puncak dadanya dimainkan. Tubuhnya yang sensitif sontak bereaksi. Dia melenguh pelan. Dalam tidur berusaha menikmati apa yang suaminya lakukan. "Bangun, Sayang," bisik Gavin, sembari terus memb