Melihat Ivan yang terlihat kaget, Marco tersenyum penuh arti. Lalu, Marco menaikan alis dan berkata. "Kenapa? Kaget kau melihatku ada di sini?" Ivan berdecih, sudah bersikap tenang. "Lukamu itu belum sembuh, mukamu masih terlihat menyedihkan begitu. Tapi, apa yang malah kau lakukan? Kau mau menyerahkan diri supaya jadi tambah bonyok lagi, Marco?" Seketika senyum di bibir Marco pudar. Kalimat Ivan terdengar begitu menjengkelkan di telinga. Menatap Ivan tajam sembari mendengus, Marco berseru, "Kau yang akan kubuat bonyok di sini, bangsat. Riwayatmu kali ini benar-benar akan tamat karena kau tau?" Kemudian, ia menyeringai lebar sambil menunjuk ketua mafia Kapak Merah yang kini masih duduk tenang menghisap rokoknya, membiarkan keduanya bicara. "Ada ketua mafia kapak Merah yang akan menghabisimu. Kali ini kau akan berakhir sebab tak kan ada yang menolongmu seperti waktu kejadian di hotel itu." Bukannya cemas, Ivan justru malah tergelak, "Ah, rupanya kau belum kapok juga ya.
Mendengar itu, sang ketua bernama Gading melotot ke arah Ivan. "Anjing kau!" maki Gading sambil menunjuk muka Ivan dengan muka merah padam. "Kurobek mulutmu karena kau berani menantang dan mengatai Boss Besar kami!" Kemudian, Gading buru-buru mengondisikan diri dan membungkuk di hadapan Boss Besar Kapak Merah seraya berkata. "Bagaimana jika kita langsung habisi dia sekarang saja, Boss? Dia benar-benar kurang ajar, berani menantang dan mengatai Boss! Dia juga benar-benar telah menginjak harga diri kita, Boss!" Tanpa menoleh ke arah Gading, Axel mengangkat tangan di hadapan kaki tangannya itu dan berkata. "Nanti dulu, Ding. Pemuda ini memang menarik. Berbeda. Baru pertama kali ini ada sampah yang berani mengatai dan menantangku. Dia memang bodoh sebab sepertinya tidak tahu siapa kita. Sebentar, aku masih ingin mengobrol dengannya sebelum kita hajar habis-habisan." "Supaya dia tahu, sedang berhadapan dengan siapa!" Kata Axel lagi dengan geram. Mendapati hal itu, Gading menegapkan
Sontak saja, Gading membeku di tempat, tercengang seraya menggeleng tak percaya dengan apa yang dilihatnya. Pria yang mereka anggap payah dan lemah itu berhasil mengalahkan sepuluh anak buahnya yang semuanya memiliki kemampuan di atas rata-rata? Terang saja Gading menggeram marah dengan kedua tangan terkepal kuat. "Bangsat!" maki Gading tak kalap. "Kau boleh saja menang melawan mereka, tapi tidak denganku!" Gading berteriak, langsung merangsek maju. Seketika Ivan kembali memasang kuda-kuda, mengepalkan tinju. Gading menyerang lebih dulu, beringas mencecar pukulan dan tendangan kepada Ivan. Jual beli pukulan dan tendangan pun kembali terjadi, saling menghindar, mengelak dan menepis. Plak! Plak! Kini Gading baru benar-benar terkejut setelah bertarung melawan Ivan secara langsung mengenai gerakan Ivan yang cepat sekali. Tidak hanya itu, Ivan juga tampak santai dan tenang. Mendapatkan hal itu, Gading berdecak kesal, juga jengkel kala melihat pukulannya berkali-kali menge
Ivan benar-benar harus membuat perhitungan yang sangat akurat jika ia harus melawan pistol itu. Sedangkan Axel yang sudah kepalang malu sebab seorang ketua mafia seperti dirinya bisa dikalahkan oleh pria yang kini belum diketahui identitasnya tersebut. Tapi yang jelas pria itu bukan orang sembarangan. Kemampuan bertarungnya sungguh luar biasa. Benar-benar menakutkan. Axel kian semakin malu sekaligus marah, bagaimana tidak, tempat untuk mengeksekusi Ivan adalah bar miliknya. Seharusnya ia beserta anak buahnya dapat meringkus Ivan dengan begitu mudah di kandang sendiri. Tapi yang terjadi justru sebaliknya. Tidak mau hal ini diketahui orang-orang, maka, pria itu harus segera mati. Ia benar-benar tidak punya pilihan lain selain melenyapkan pria itu. Lalu, dengan menatap lurus ke arah sasaran, Axel segera menarik pelatuk pistolnya. Ivan sendiri sudah mempersiapkan diri sejak awal dan membuat perhitungan yang sangat akurat. Ia membaca ekspresi wajah, getaran tubuh dan geraka
Seorang perempuan cantik nan seksi dengan mengenakan gaun tampak berjalan ke arahnya, bersama seorang perempuan juga dengan setelan blazer dan celana di belakangnya. Sepertinya dia asisten pribadi perempuan itu atau mungkin sekretarisnya. Sebelumnya, dua perempuan cantik itu yang hendak pergi sehabis ada urusan di bar begitu mendapati ada pertarungan, membuat keduanya urung pergi dan memutuskan menonton dengan berada di dalam mobil. Ivan, kemampuan pria itu berhasil menarik perhatiannya. Maka dari itu, ia semakin penasaran dengan apa yang terjadi. Dan setelah Ivan berhasil mengalahkan ketua mafia Kapak Merah, perempuan itu tidak perlu berpikir lagi untuk menghampirinya. Sementara Ivan, tiba-tiba fokusnya teralihkan dengan Marco yang ikutan bubar bersama orang-orang yang tadi menonton pertarungan. Alias kabur. Melihat hal itu, Ivan terbahak. Ah, menyebalkan sekali aku harus berurusan dengan pria pengecut sepertinya! Tapi hal tersebut tidak masalah baginya. Kini kesabaran I
"Sungguh? Ah, aku tidak percaya. Rasanya tidak mungkin seorang guru sepertimu memiliki kemampuan bela diri yang sangat mengagumkan." "Terserah Nona mau percaya atau tidak, yang penting, aku tidak berbohong, itu faktanya." Senyum di wajah Monica mendadak pudar, terdiam sejenak, mencerna perkataan Ivan. "Sekali lagi aku minta maaf, Nona. Aku tidak bisa menerimanya!" Kemudian ia meraih minumannya dan menenggaknya sampai habis. "Kalau begitu, aku pamit pergi dulu." Monica melebarkan matanya, seketika gelagapan. "Astaga kau benar-benar tidak sopan!" decaknya seraya melengos. "Aku benar-benar tidak bisa Nona karena aku memiliki pekerjaan yang tidak bisa aku tinggal!" Monica menatap Ivan untuk beberapa saat, entah kenapa, pria ini begitu menarik perhatiannya. Setelah melihat kemampuannya bertarung secara langsung, jelas pria ini bukan pria sembarangan. Tanpa mengatakan apa-apa, Monica mengecek tas dan mengeluarkan sesuatu dari dalam sana. Sebuah kartu nama. Lalu, ia menyodork
Melihat sang kakek bersikap demikian, Susan memanggil, "Kakek... " Namun, Rahardian tidak menyahut, masih bengong, seperti tengah memikirkan sesuatu. Hal tersebut membuat Susan mengernyitkan kening. Apa yang sedang Kakeknya itu pikirkan? Susan pun memanggil kakeknya lagi sambil menggoyang-goyangkan pahanya. "Kek, apa yang sedang Kakek pikirkan?" Mendapati hal ini, Rahardian tersadar dari lamunanya. Ia gelagapan, lalu buru-buru mengkondisikan diri dan kembali menatap cucunya sembari menggeleng. "Tidak. Kakek hanya terharu saja karena pada akhirnya kamu akan segera menikah, Sus." "Selain karena kamu yang akan tetap menjabat sebagai CEO, Kakek Benar-benar bahagia karena pada akhirnya kamu akan menikah." Kata Rahardian lagi. Mendengar itu, Susan tersenyum tidak berdaya dengan tatapan sendu. "Terima kasih, Kek. Aku juga senang sekali karena pada akhirnya Kakek benar-benar merestui hubunganku dengan Ivan." Lalu, Rahardian lanjut berkata. "Dan kamu tidak perlu khawatir dengan He
Sementara itu, Marco tengah memukul meja yang ada di bar stool dengan emosi menggebu sekaligus tampak cemas. Sebelumnya, sebab takut dan tidak tahu harus berbuat apa, akhirnya Marco memutuskan kabur dari bar milik Kapak Merah, ia tidak mau berakhir babak belur lagi di tangan Ivan. Ketua mafia saja dengan mudah dikalahkan olehnya, apalagi dengan dirinya yang notabene tidak memiliki ilmu bela diri? Lalu, dengan perasaan carut marut, Tuan Muda keluarga Darius itu menyambar gelas berisi alkohol di hadapannya dan meminumnya dengan cara bar-bar. Berharap ketakutan sialan yang kini tengah menyerangnya hilang. Sial! Baru pertama kali ini aku merasa sangat ketakutan dan memutuskan kabur seperti pengecut, padahal yang aku hadapai hanya lah guru miskin yang tidak memiliki uang dan kekuasaan. Tidak punya pengaruh! Tapi auranya itu benar-benar mengerikan. Gumam Marco sembari berdecak. Tiba-tiba... Seorang wanita seksi berisi dengan pakaian begitu ketat, dia adalah wanita penghibur, mend
Sebelumnya, Sheila sudah takut duluan dengan kemunculan Susan. Ia berpikir bahwa istrinya Ivan itu hendak melabrak dirinya seperti terakhir kali sebab kini ia kembali meminta tolong kepada Ivan untuk menyelamatkannya, padahal Susan sudah memperingatinya. Namun, Sheila terpaksa melakukan hal demikian sebab situasi yang benar-benar genting dan tidak tahu harus meminta tolong kepada siapa lagi. Dugaan Sheila semakin kuat, dengan dirinya dibawa ke rumah kakeknya Susan. Namun, kepanikan dan ketakutan itu mendadak terhempas kala melihat Susan seperti tidak akan marah padanya. Malahan, raut mukanya menunjukan sikap sebaliknya. Menatap dirinya penuh arti juga dengan kedua mata berkaca-kaca. Dan yang lebih mengejutkannya lagi adalah perkataannya barusan yang membuat Sheila kaget sekaligus bingung. Apa maksud Susan memanggilnya Natasha? Bukan kah Susan sudah tahu kalau dirinya adalah Sheila? Sheila sendiri masih shock berat, tengah mencerna apa yang terjadi dengan dirinya sejak pagi tad
Graha menggeleng takjub, "Renata dan Basuki benar-benar bisa diandalkan! Tak salah lagi aku memilih mereka berdua!" Kemudian, wajah Graha tiba-tiba berubah. "Rasakan kau tuan muda Charles. Siapa suruh kau menyinggung keluarga kami dan keluarga Fairuz, akan menyesal karena telah mencari masalah dengan keluarga Graha!" ucap Graha lagi dengan geram. Ivan, Graha dan Rahardian tengah membahas mengenai Renata juga Basuki yang berhasil meringkus Charles dan menyelamatkan Natasha darinya. Rahardian, dengan raut muka cemas juga tidak sabaran menimpali, "Di mana sekarang mereka, Van?" Ivan menghadap kakek Rahardian, "Renata dan Basuki sedang membawa Natasha ke rumah sakit, kek sekedar untuk mengecek kondisinya." Seketika raut muka Rahardian berubah kala mendengar kabar itu, "Apakah dia terluka, Van? Sehingga..." "Tidak ada luka serius padanya kok, kek. Kakek tenang saja. Hanya luka-luka ringan dan akan segera diobati," jawab Ivan sambil tersenyum. Rahardian tak ayal menghembuskan naf
Ke empat anak buah Ivan akhirnya berhasil menemukan lokasi si perakit bom. Adalah di apartemen mewah dekat markas besar milik Doni yang dipilih sebagai tempat mengirim dan memonitor bom. Namun mereka mendapat sedikit masalah saat hendak masuk ke dalam apartemen. Tapi, tentu saja mereka langsung bisa mengatasinya. Petugas keamanan apartemen itu berusaha mencegah mereka masuk. Tanpa pikir panjang, sebab mereka yang sedang diburu waktu, salah satu dari mereka meninjunya yang membuatnya tersungkur. Setelah itu, mereka pun bergegas masuk ke dalam apartemen. Begitu tiba di dalam, mereka segera berlarian menuju pintu tangga darurat dan menaiki anak tangga. Mereka memutuskan lewat tangga, alih-alih lift, sebab lebih aman. Boleh jadi perakit bom itu memantau menggunakan CCTV. Tiba di lantai lima, mereka melanjutkan langkah dan masuk ke lorong lantai. Sebelumnya, mereka sudah mendapatkan petunjuk mengenai keberadaan si perakit bom. Demikian, mereka tidak bingung, langsung bisa tahu
Rahardian kembali mendesak Doni dan Samuel untuk memberitahu keberadaan Natasha sekaligus menyerahkan padanya. Sebab, keduanya yang menginginkan Rahardian semakin tersulut amarah, akhirnya mereka berdua memberitahu bahwa Natasha sudah dibawa pergi tuan muda Charles ke negara Lordia. Hal tersebut tentu saja membuat Rahardian murka sejadi-jadinya! Akan tetapi, saat Rahardian hendak menghajar keduanya lagi, Ivan buru-buru menahannya. "Natasha sudah bersama Renata dan Basuki, kek. Mereka berhasil merebut Natasha dari Charles dan menggagalkan Charles membawa Natasha ke negara Lordia," bisik Ivan. Sontak saja, Rahardian tertegun. Mencerna perkataan Ivan dalam sepersekian detik, lalu langsung menghembuskan napas lega, "Be-benar kah, Van? Astaga, puji tuhan ... " Menarik napas dalam-dalam dan menghembuskannya dengan kasar, Ivan lanjut berkata, "Oleh sebab itu, sebaiknya kakek bersikap tenang karena kita telah mendapatkan Natasha. Kita selangkah ada di depan daripada dua manusia lak
"Kalian tidak takut padaku? Aku bisa membuat karir kalian berakhir, bisnis kalian hancur dan kehilangan semuanya dalam sekejab!" tiba-tiba, Graha berujar sambil melangkah menghampiri teman baiknya dan berdiri di sebelahnya. Kini mereka berdua kompak menatap tajam Doni dan Samuel. Perkataan Graha barusan membuat mereka berdua beralih menatap kepala keluarga terkaya di negara Ferania itu. Detik berikutnya, keduanya saling pandang sebelum kemudian seringaian tampak menghiasi bibir masing-masing. Lalu, mereka berdua kembali menatap Graha. "Saya tahu. Tuan Graha pasti akan melakukan hal itu pada kami berdua. Tapi saat ini, kami tidak mengkhawatirkan apa pun, tuan Graha!" jawab Doni dengan rahang mengeras sambil menggeleng sinis. Graha termangu! Graha yang kesal pun menggertakan gigi. Di saat yang sama, tangannya mengepal. Mereka berdua pikir, ia tidak tahu apa-apa? Demikian, Doni dan Samuel bersikap santai seperti itu sebab mendapat perlindungan dari Charles. Keluarga Fairuz t
Belum sempat Doni membalas, Rahardian sudah lanjut berkata, "Dan bagaimana mungkin Robin mau menurut padamu?! Kau itu menyentuh sesuatu yang ilegal dan seharusnya kau juga tahu bahwa Robin punya prinsip, tidak akan pernah menyentuh bisnis itu! Tapi, apa yang malah kau lakukan, hah?!" "Wajar jika dia berubah! Dan jangan pernah bicara lagi, seolah-olah Robin lah yang memulai semua ini! Ingat, itu karena keegoisan dan keiridengkianmu sendiri!" Mendengar itu, Doni tergelak. Lalu, pandangannya mengedar ke sekeliling. Kalimat kakek Rahardian itu... Melihat respon Doni seperti itu, Rahardian semakin geram, "Kau benar-benar tidak punya hati, Don! Disaat Robin dan istrinya meninggal, tapi kau tetap tidak mau mengembalikan Natasha pada kami dan tetap membiarkannya berpisah dengan kami selama hampir 18 tahun!" Seketika wajah Doni berubah. Begitu pula dengan Samuel. Senyum di bibir keduanya mendadak pudar. Namun, mereka berdua buru-buru bersikap santai, sebab begitu tidak khawatir soal k
"Bajingan kau, Doni! Biadab kau! Kau, adalah manusia paling jahat yang pernah aku kenal! Aku, sungguh menyesal membiarkan Robin berteman denganmu. Tega sekali kau melakukan hal ini kepada sahabatmu, hah?! Kau, telah mengkhianati sahabatmu sendiri, Don!" seru Rahardian berapi-api sambil jarinya menunjuk-nunjuk. "Ternyata, sikap baikmu selama ini kepada keluarga kami itu, hanya lah kedok belaka untuk menutupi kebusukanmu! Kejahatanmu!" Usai berkata, Rahardian beralih melemparkan tatapan mematikan ke arah Samuel yang kini berdiri di samping Doni. Seraya menunjuk muka partner Doni tersebut, Rahardian lanjut berkata, "Dan, anda Irjen Samuel! Anda juga sama biadabnya! Dasar polisi korup! Apa jadinya jika atasan dan rekan-rekanmu tahu apa yang anda perbuat?! Terutama membantu Doni dalam setiap rencananya untuk menghancurkan keluarga kami!" "Orang seperti anda, Irjen Samuel. Sama sekali tidak pantas disebut polisi! Yang seharusnya mengayomi masyarakat, tapi, malah menusuk!" seru Rahardia
Pertempuran terhenti sejenak. Melihat pasukan keluarga Fairuz bergabung dalam pertempuran, pasukan Doni dan Samuel berteriak garang. Semangat mereka pun kembali membara, menjadi sangat siap menghadapi para penyerang. Lalu, semua pasukan gabungan itu kompak menatap pasukan keluarga Graha dengan senyum sinis sekaligus merendahkan. "Mereka bukan tukang pukul sembarangan, tuan besar," bisik Letnan. Mendengar itu, Graha mendengus. Di saat yang sama, tangannya mengepal kuat. Tanpa menoleh ke arah Letnan yang tengah mengajaknya bicara, Graha berujar, "Jelas, karena mereka adalah pasukan keluarga Fairuz!" Seraya menelan ludah, Letnan itu lanjut berkata, "Kita harus tetap berhati-hati, tuan besar. Mereka tidak bisa kita anggap remeh!" "Kita buktikan kepada mereka bahwa kekuatan pasukan keluarga kita jauh lebih unggul! Mereka, tidak akan pernah bisa menyamai keluarga Graha, tidak akan pernah!" ucap Graha tegas sambil menatap tajam semua orang yang ada di depannya secara bergantian.
Graha membentuk dua tim. Tim satu dipimpin dirinya. Rahardian ikut dengannya. Sedangkan tim dua dipimpin oleh Ivan. Tim satu berangkat dengan menggunakan mobil, yang menyerang dari depan markas dan tim dua berangkat menggunakan helikopter yang nantinya akan mendarat di rooftop markas, menyerang dari atas. Kebetulan, markas Doni memiliki helipad di atasnya. Begitu ke empat helikopter itu hendak mendarat, pasukan pihak lawan yang bertugas menyerang di rooftop telah mengangkat senjatanya dalam posisi tembak. Mereka sudah berada di situ beberapa menit yang lalu, menunggu kedatangan helikopter-helikopter itu. Begitu pula dengan Ivan dan pasukannya, yang juga segera bersiap dalam posisi yang sama. Helikopter-helikopter itu kini mulai turun bersamaan. Persis saat kaki-kaki helikopter menyentuh lapangan, salah satu anggota pasukan Doni dan Samuel langsung berteriak nyaring. "Serbu!!!" Seketika mereka berlompatan, keluar dari persembunyian, mulai melepas tembakan. Trr tat tat! Tr