Bagian 8
Dengan seribu keyakinan, aku pun mengangguk. Mas Faisal, bersiaplah menjadi artis dadakan setelah ini. Maafkan aku bila satu negara akan menghujatmu habis-habisan.
“Baik, Ma. Aku minta kepada Mama untuk mendoakanku agar aku kuat menjalani ini semua, Ma. Mereka sudah sangat keterlaluan. Bahkan … Abi berkata jika suamiku dan Adelia sudah memiliki surat nikah resmi. Mana mungkin?! Mereka pasti telah mendapatkan surat bodong itu dari oknum yang disuap. Kejam Mas Faisal dan semua keluargnya. Bahkan sepupunya yang lain, Mas Kamal, juga ikut-ikutan berkomentar di F******k. Menyuruh Mas Faisal untuk melepaskanku segala. Sekarang sudah ketahuan bila satu keluarga memang kompak untuk menjatuhkanku, Ma.”
Terdengar tarikan napas dalam dari ujung sana. Mama pasti sesak sekali mendengar pengakuanku. Maaf, Ma. Ceritaku harus melukai
Bagian 9 Puas! Aku sangat puas sekarang. Segala bukti telah kuunggah demi mempermalukan Mas Faisal sekeluarga. Aku tak akan mundur barang sejengkal pun. Hidupku kini untuk menang, meski di depan mata sempat terbayang meja hijau dan UU ITE yang cukup beracun apabila telah menyerang. Pasrah! Lillah! Semua kulakukan semata-mata untuk melindungi harga diriku dan anakku. Azan Subuh pun berkumandang. Terdengar syahdu sekaligus nyaring. Disiarkan melalui pengeras suara masjid yang berlokasi tak jauh dari rumahku. Demi mendengarkan penyeru untuk salat itu, aku pun bangkit. Kutapaki lantai dengan tegar. Sementara itu, ponsel yang kini kembali kumasukkan ke saku bergetar-getar terus menerus. Ada notifikasi masuk, pikirku. Namun, tak kupedulikan. Ponsel secepat kilat lalu kum
Bagian 10 Ternyata, tak hanya panggilan tak terjawab dari Mas Faisal dan orangtuanya saja, ada banyak chat masuk di ponselku yang menanggapi status berisi video TikTok viral tersebut. Kucoba buat menenangkan diri sesaat. Segera mematikan paket dataku buat sementara waktu, kemudian keluar dari aplikasi WA. Tutup matamu dulu untuk pemberitahuan keviralan itu, Mila. Cepat selesaikan semua formulir ini dan mulailah mengadu pada polisi! Gemetar tanganku membuka folder di mana kusimpan foto scan KTP. Setelah mendapatkannya, kutulis cepat NIK dan alamat lengkap yang tertera di kartu identitasku tersebut. Kulanjutkan mengisi data-data lainnya dan memilih jenis pengaduan. Tindak pidana, ya, itulah kolom yang kulingkari. Ketika aku hendak beringsut dari meja dengan
Bagian 11 Puas mencaci maki dan mengancamku habis-habisan, lelaki tak bertanggung jawab itu akhirnya memutuskan percakapan kami. Hatiku masih mengemban sakit. Ternyata, begini rasanya diludahi oleh lelaki yang semakan sepenanggungan dengan kita. Di mana kebaikan serta ketulusan yang pernah Mas Faisal lakukan padaku? Apakah dia telah melupakan semua kenangan manis dalam keluarga kecil kami? Yang masih membuatku tak habis pikir adalah rasa geram Mas Faisal sebab tak menemukan surat tanah dan BPKB beserta motornya di rumah. Dia bahkan sama sekali tak menanyakan kabar Syifa yang baru saja mengalami demam tadi malam. Tak secuil pun meluncur dalam kalimatnya untuk menanyakan ke mana Syifa kubawa. Allahu Akbar! Suamiku … ternyata lenyap sudah kasih sayangmu kepada kami hanya dalam sekejap. Sungguh, harta benda milik Adelia yang sangat kecil bila dibanding rahmat dan kekayaan Allah itu mampu membusukkan hati se
Bagian 12 Kuputuskan untuk mengabari Pak Ramadhan, polisi bertubuh atletis dengan rambut belah pinggir, bahwa aku akan menunggu temanku terlebih dahulu alih-alih diantar oleh mereka ke Rumah Sahabat. “Pak, saya baru ditelepon rekan. Katanya dia akan menjemput ke sini. Saya izin menunggu di sini sama anak saya, ya, Pak. Tidak usah repot-repot diantar bapak-bapak,” kataku dengan sangat sopan. Pak Ramadhan yang memiliki tinggi di atas rekannya, Pak Ari, mengangguk. Pria berkulit sawo dengan hidung mancung dan mata cokelat tersebut tersenyum manis. “Baik, Bu, kalau begitu. Tapi, Ibu pasti aman kan, bersama teman tersebut?” Aku mengangguk ragu. Antara aku dan Mas Sofyan mem
Bagian 13 “Seperti apa kronologinya, Mil? Kenapa jadi tiba-tiba begini?” Mas Sofyan bertanya dengan suara gemetar. Lagi-lagi, sedikit pun tak pernah terbesit di benak bahwa kaprodi teknik sipil yang ketika aku masih berkuliah dan bekerja di kampus tak banyak berbicara itu, jadi tiba-tiba sangat menaruh perhatian. Dari suara … tatapan mata, semua seakan menunjukkan bahwa kami adalah lebih dari sahabat lama. “Anisa sudah menceritakannya kan, Mas?” tanyaku lirih. Dia menggelengkan kepala, “Tidak terlalu detail. Makanya aku langsung telepon kamu saja. Itu pun setelah aku berpikir berulang kali, apakah kamu mau menerima bantuanku atau tidak. Maafkan kelancanganku, Mil.” Pria berperawakan tinggi dan agak sedikit berperut buncit
Bagian 14 “Ah, lupakan. Masalah jodoh itu rahasia Tuhan. Apa yang diambil dariku, mungkin kelak akan dikembalikan atau malah diganti dengan yang lebih baik.” Ukir senyum di bibir Mas Sofyan tampak getir. Kupandang itu sebagai wujud usaha untuk menutupi kesedihannya. Aku menyesal, sebab telah mengungkit hal yang mungkin sangat melukai perasaannya. “Maaf,” ucapku tak enak hati. “Tidak apa-apa, Mila. Santai saja. Mungkin, kamu orang yang ke lima hari ini yang menanyakan kapan aku nikah. Aku sudah terbiasa dengan pertanyaan keramat itu.” Mas Sofyan tertawa. Namun, tawanya seperti tertahan. Tak lepas. Aku makin tak enak hati saja. Sangat-sangat menyesal mengapa aku jadi orang yang bodoh seperti ini.&nbs
Bagian 15 Aku mundur, balik arah, lalu mendatangi kasir. Bertanya dengan cepat di mana letak toilet. “Mbak, toilet di mana?” tanyaku pada kasir yang kini tengah melayani pelanggan lain. “Oh, di situ, Kak.” Kasir cantik itu menunjuk ke arah kiri dirinya. “Lurus terus, nanti Kakak belok ke kiri, ya.” Aku mengangguk. Cepat-cepat berlari ke arah toilet tanpa menoleh lagi ke belakang. Sesampainya di lorong dengan dua ruangan yang bersebelahan, aku memilih belok lagi ke kiri, masuk ke toilet perempuan, kemudian memilih bilik nomor pertama. Kukunci diri dari dalam. Napasku bahkan sampai tere
Bagian 16 Aku pun lekas bangkit dari toilet. Memasukan ponsel ke ransel, kemudian menaikan ujung jilbab instan yang kukenakan demi menutupi wajah. Kubuat seolah menjadi masker, supaya mukaku tak mudah buat dikenali oleh Mas Faisal, gundik, dan keluarganya. Melesat aku keluar dari bilik buang air. Jantungku kian berdegup kencang saat tangan ini menyentuh kenop pintu keluar ruang cuci tangan. Kukuatkan batin. Meyakinkan diri bahwa aku tak akan kenapa-kenapa. Saat pintu berhasil kubuka, tahukah kalian apa yang kudengarkan? Suara jeritan, ribut-ribut, sorak sorai, dan ragam kecentang-perenangan lainnya. Buru-buru aku keluar dari celah penghubung antara ruangan dalam restoran menuju toilet. Kutole
Bab 88 Kebahagiaan Tanpa Tepi Sebulan Setelah Kelahiran Anak Pertama Sofyan Setelah melalui banyak cobaan yang berat, akhirnya rumah tangga Sofyan dan Karmila kini terlihat adem ayem. Apalagi usai mendapatkan seorang anak lelaki lucu yang diberi nama Shakeel. Bocah kecil yang lahir sebulan lalu dengan bobot 3,8 kilogram dan panjang 52 sentimeter itu sangat lucu, putih, dan menggemaskan. Siapa pun sayang kepada Shakeel. Baik dari pihak keluarga Mila, maupun keluarga dari pihak Sofyan. Tak sampai di situ saja, keluarga dari mantan suaminya Mila, yakni Faisal pun juga sangat menyayangi dan menyanjung-nyanjung Shakeel yang kian gempal setiap harinya. Faisal kini sudah sembuh total dari penyakit mentalnya. Pria itu hanya dirawat selama beberapa bulan saja di rumah sakit jiwa. Setelah mendapatkan pengobatan yang teratur dan berkualitas, pria itu sudah dapat kembali beraktifitas seperti layaknya manusia normal yang lain. Tubuh Faisal yang
Bab 87POV SofyanPesan-pesan “Sabar ya, Pak,” ujarku sambil meraih tangan keriput milik Pak Beno. Lelaki tua itu menatapku lesu. Senyum di wajahnya tak tampak. Seperti matahari yang tersembunyi di balik kepungan awan hitam. “Anakku enam, Yan. Dua perempuan, tiga lelaki. Dokter spesialis paru, dokter umum, dosen, pengusaha, polisi, dan lawyer. Tidak ada yang pengangguran. Mereka sibuk sekali dengan urusan masing-masing.” Pak Beno mulai terbuka. Aku tak menduga juga bahwa kami berdua bisa berbicara dengan sangat leluasa begini. Aku pun semakin tergelitik untuk mendengarkan kisah selanjutnya. “Tiga tahun lalu, aku mengalami depresi. Pemicunya adalah kematian istriku. Dia belahan jiwa satu-satunya yang paling mengerti dengan apa yang kubutuhkan di dunia ini,” ucapnya sembari menerawang jauh. “Aku mulai sulit untuk tidur, tidak mau makan, kehilangan selera untuk merawat diri, dan yang lebih parahnya lagi, mood-ku naik
Bab 86POV SofyanSebuah Kisah Tatapan kosong Faisal dia akhiri dengan kerling mata yang sendu. Dia pandangi Syifa tanpa berkedip sedikit pun. Tangannya berusaha meraih wajah anak itu dengan jari jemari yang gemetaran. “Syifa … Ayah … ingin pulang, Nak,” ulangnya pelan. Syifa langsung menoleh kepadaku. Anak itu kelihatan bingung. Bibirnya pun mulai melengkung terbalik, seolah-olah akan mencetuskan sebuah kesedihan. “Pa ….” Syifa memanggilku. Dia menggantung kata-katanya dengan ekspresi yang tertekan. “Iya, iya,” jawabku sambil mengayunkan telapak tangan ke bawah dengan gerakan perlahan. Aku juga bingung mau menjawab apa. Aku ini memang pria penolong yang kata orang-orang sangat baik hati. Namun, apa mungkin jika aku menampung Faisal di rumah kami jika pria itu sudah sehat? Tidak mungkin, kan? Itu namanya bodoh. Sebaik-baiknya seorang pria, mana ada yang mau berlapang dada menampung mantan suami dari is
Bab 85POV SofyanPerjumpaan Penuh Sesal “Astaga! Bapak kenapa? Nggak apa-apa, kan?” Seorang bruder alias perawat lelaki sigap menahan kedua bahuku saat tubuh ini limbung akibat menabrak badan si bruder. Pria berseragam serba hijau itu memperhatikan rautku yang kini penuh dengan cemas. Debaran di dadaku pun terasa terus mencelat naik, tanpa mau diajak berkompromi. Sementara itu, Syifa tak juga mau melepaskan pelukan eratnya di pinggangku sambil merengek ketakutan. “Papa! Syifa takut, Pa! Napasku terengah-engah. Bayangan akan sosok Pak Beno yang tiba-tiba datang dengan gerakan mencurigakan, serta isak tangis Faisal yang deras seperti hujan badai itu, kini terus mengitari kepala. Aku rasanya ingin cepat-cepat meninggalkan bangsal ini. “S-saya nggak apa-apa, Mas!” sahutku terengah dengan ekspresi yang panik kepada bruder bertubuh jangkung dengan kulit sawo matang itu. “Kenapa Bapak teriak sambil lari begitu? Apa Pak
Bab 84POV SofyanBangsal Seroja Pak Wahyu mengantar kami ke bangsal Seroja di mana Faisal kini dirawat. Ternyata, letak kamarnya tidak begitu jauh dari pos satpam tadi. Ruangan dengan pintu tinggi bercat hijau tua itu pun keberadaannya hanya satu meter dari ruang jaga perawat yang terlihat ada tiga orang bruder tengah berjaga sambil sibuk mengerjakan laporan. Pintu hijau dengan tinggi sekitar dua meter itu tampak tertutup rapat. Sebelum meninggalkan kami, Pak Wahyu sempat berpesan. Ucapan pria berkulit gelap itu terdengar sedikit mengerikan, hingga membuat bulu kuduk ini merinding. “Pak, maaf, ruangan Seroja ini ada dua orang penghuninya. Satunya Pak Faisal, satunya lagi Pak Beno. Pak Beno ini sebenarnya sudah sembuh, cuma … suka cari perhatian. Kalau semisal agak mengganggu, segera keluar aja ya, Pak,” bisiknya kepadaku. Bibir hitam tebal Pak Wahyu tersenyum simpul. Lirikan matanya kelihatan menunjukkan sedikit rasa khawatir. Tentu saj
Bab 83POV SofyanPermintaan Maaf Kami saling diam di dalam kabin mobil yang seketika berubah jadi panas usai meledaknya tangisan Syifa. Aku tak lagi membujuk anak sambungku tersebut. Kupilih untuk bungkam saja, alih-alih memohon maaf kepadanya agar dia tak lagi bersedih. Sepertinya, gara-gara sikap dinginku itu, Syifa jadi benar-benar merajuk. Hingga mobilku telah parkir di depan pintu masuk RSJ tempat Faisal dirawat pun, Syifa tak juga mengajakku bicara. Aku tetap mencoba tenang, meski sebenarnya hati berontak. Mobil pun berhasil terparkir dengan baik di tengah-tengah antara mobil SUV berwarna hitam dan sedan antik warna merah darah. Kuhela napas dalam sambil melepaskan sabuk pengaman dari pundak. Sekilas, kutoleh Syifa dengan ekor mata.&nbs
Bab 82POV SofyanLelaki Juga Punya Hati “Lain kali kita ke sana ya, Syifa.” Kucoba untuk menghibur kekecewaannya Syifa, meskipun di palung hatiku sendiri masih terasa menganga luka akibat rasa cemburu itu. Sambil mengerucutkan bibir, Syifa mengangguk. Bocah TK itu terkadang menguji sabarku dengan segenap kepolosannya. Aku tahu jika dia tak punya niat buruk untuk sengaja menyakiti hati papa sambungnya ini. Maka dari itu, akulah yang harus mengalah. Sebagai orang dewasa yang berakal sehat, aku harus banyak-banyak memahami Syifa dan seisi dunianya. Walaupun sekali lagi kuberi tahu, bahwa perasaanku sebagai pria tak sebaja yang banyak orang-orang kira. “Semoga lai
Bab 81POV SofyanKutahan Laju Cemburu Berbekal tiga bungkus sate kambing tanpa nasi dan tiga potong ayam krispi bagian dada plus tiga bungkus nasi hangat, aku berangkat menjemput Syifa ke sekolahannya. Pekerjaanku sudah kuselesaikan. Termasuk memberikan koreksi yang cukup banyak kepada Bayu sebelum pemuda itu maju seminar proposal esok lusa. Untuk beberapa hari ke depan, aktifitas mengajarku mungkin memang agak terganggu. Tugas mengajar lebih banyak kulimpahkan kepada asdosku. Mahasiswa juga sudah kuberikan beberapa tugas yang bisa dikumpulkan via email maupun Google Classroom. Semua ini terpaksa kulakukan sebab harus menjaga Mila. Aku tidak bisa mempasrahkan penjagaannya kepada Bi Dilah secara penuh. Bi Dilah juga sudah lumayan repot karena harus merawat rumah, memasak, mencuci, bahkan sesekali mengurus Syifa yang terkadang saat belajar masih perlu ditemani. Aku ingin sekali mengajak ibuku atau mamanya Mila datang ke sini. Tujuannya se
Bab 80POV SofyanHatiku Tak Baik-baik Saja Lelaki mana yang betah hatinya tatkala harus membiarkan anak sambungnya, kembali dekat dengan mantan suami dari istri sendiri. Begitulah yang sedang kurasakan sekarang. Jujur saja, perasaanku sebenarnya tidak baik-baik saja ketika Syifa lagi-lagi mengajakku untuk menemui Faisal di rumah sakit jiwa alias RSJ. Bukankah Sofyan adalah sosok pria baik hati yang selalu rendah diri dan berlapang dada dengan segala kejadian di muka bumi ini? Mungkin kalimat panjang itu tak seratus persen salah, tetapi juga tak seratus persennya benar. Aku memang tipikal lelaki baik yang selalu saja senang menolong berbagai kesulitan orang-orang di lingkungan sekitarku. Siapa pun orangnya, apabila tengah terjepit dalam situasi yang sulit, maka aku akan senang hati menolong. Tak pernah sedikit pun terbesit di benak untuk mendapatkan imbal jasa atas segala yang kuberikan pada orang lain. Seperti itu jugalah kira-kira gambarannya keti