Bagian 14
“Ah, lupakan. Masalah jodoh itu rahasia Tuhan. Apa yang diambil dariku, mungkin kelak akan dikembalikan atau malah diganti dengan yang lebih baik.” Ukir senyum di bibir Mas Sofyan tampak getir. Kupandang itu sebagai wujud usaha untuk menutupi kesedihannya. Aku menyesal, sebab telah mengungkit hal yang mungkin sangat melukai perasaannya.
“Maaf,” ucapku tak enak hati.
“Tidak apa-apa, Mila. Santai saja. Mungkin, kamu orang yang ke lima hari ini yang menanyakan kapan aku nikah. Aku sudah terbiasa dengan pertanyaan keramat itu.” Mas Sofyan tertawa. Namun, tawanya seperti tertahan. Tak lepas. Aku makin tak enak hati saja. Sangat-sangat menyesal mengapa aku jadi orang yang bodoh seperti ini.
&nbs
Bagian 15 Aku mundur, balik arah, lalu mendatangi kasir. Bertanya dengan cepat di mana letak toilet. “Mbak, toilet di mana?” tanyaku pada kasir yang kini tengah melayani pelanggan lain. “Oh, di situ, Kak.” Kasir cantik itu menunjuk ke arah kiri dirinya. “Lurus terus, nanti Kakak belok ke kiri, ya.” Aku mengangguk. Cepat-cepat berlari ke arah toilet tanpa menoleh lagi ke belakang. Sesampainya di lorong dengan dua ruangan yang bersebelahan, aku memilih belok lagi ke kiri, masuk ke toilet perempuan, kemudian memilih bilik nomor pertama. Kukunci diri dari dalam. Napasku bahkan sampai tere
Bagian 16 Aku pun lekas bangkit dari toilet. Memasukan ponsel ke ransel, kemudian menaikan ujung jilbab instan yang kukenakan demi menutupi wajah. Kubuat seolah menjadi masker, supaya mukaku tak mudah buat dikenali oleh Mas Faisal, gundik, dan keluarganya. Melesat aku keluar dari bilik buang air. Jantungku kian berdegup kencang saat tangan ini menyentuh kenop pintu keluar ruang cuci tangan. Kukuatkan batin. Meyakinkan diri bahwa aku tak akan kenapa-kenapa. Saat pintu berhasil kubuka, tahukah kalian apa yang kudengarkan? Suara jeritan, ribut-ribut, sorak sorai, dan ragam kecentang-perenangan lainnya. Buru-buru aku keluar dari celah penghubung antara ruangan dalam restoran menuju toilet. Kutole
Bagian 17 Saat kuputar video terbaru yang diunggah oleh akun user178816255, tampak jelas di sana sosok Adelia yang tengah dijambak sambil diseret di resto Kebanggan Nusantara, tempat aku makan sekaligus bersembunyi tadi. Bagaimana aku tidak syok, lokasi penjambakan tak jauh dari lorong toilet. Terlihat di sana, seorang gadis cantik berambut panjang dengan outfit sporty serba hitam, tengah menarik rambut pirang Adelia. Pelakor itu menjerit kesakitan. Namun, tak ada yang bisa menghentikan cewek berambut panjang hitam yang terlihat bringas sekaligus kesetanan tersebut. Tak hanya cewek berbaju hitam, muncul lagi seorang perempuan muda dengan outfit yang lebih feminim. Cewek yang mengenakan mini dress selutut warna pink itu tiba-tiba maju dan ikut menarik paksa Adelia. Terdengar suara jeritan Ummi. Namun, perempuan tua bangka mata duitan itu
Bagian 18 Mas Sofyan masih melanjutkan menyetirnya. Sementara itu, aku kini tengah menekuni ponsel. Mengirimi tim kreatif Trens TV yang menghubungiku pesan balasan, kemudian membuka pesan-pesan WhatsApp siapa saja yang telah masuk ke nomorku. Kebanyakan pesan itu berasal dari teman-temanku. Baik teman sekolah, teman satu kampung, teman kuliah, hingga rekan kerja di kampus menanggapi status WA yang kuunggah Subuh tadi. Bahasa mereka rata-rata sama. Mengucapkan turut bersedih atas musibah yang tengah memintaku. Semua pesan itu pun tak hanya kubaca. Sebisa mungkin juga kubalas dengan ucapan terima kasih dan emotikon tangan yang ditangkupkan atau lebih dikenal dengan namaste. Ada pesan yang membuatku agak kaget. Dua pesan yang berasal dari nomor tak dikenal. Ketika kub
Bagian 19 “T-tidak apa-apa,” gumamku terbata. Ada yang bertalu-talu dalam dada. Perasaan yang tak biasa. Lebih mirip dengan sesak akibat asam lambung naik. Ah, aku dilanda nervous rupa-rupanya. “Foto itu, sudah lama sekali di dalam dompetku. Sebelum kamu menikah jelasnya. Aku yang terlalu pengecut waktu itu. Aku juga yang kurang ajar sebab telah mempertahankan potret istri pria lain di dalam dompetku. Aku minta maaf. Aku akan membuangnya—” Kupotong cepat ucapan Mas Sofyan, “Tidak perlu. Terserah saja kalau mau disimpan.” Tak kuduga, aku bisa menukas dengan kata-kata barusan. Setelah seperempat detik barulah kusadari bahwa kalimat tadi sepertinya menggelikan. Ya, ampun!
Bagian 20 Kabar baik itu membuatku benar-benar bisa tidur dengan nyenyak malam ini. Aku dan Syifa yang telah kubangunkan pukul 20.30 untuk sikat gigi serta minum susu, kini berada di dalam kamar tamu milik Mas Faisal yang letaknya hanya bersebelahan dengan kamar si empunya rumah. Tanpa kusadari, aku bahkan telah memejamkan mata sejak pukul 22.00 malam hingga pukul 05.30 pagi. Aku sedikit menyesal, sebab bangunku kesiangan dan akhirnya salat Subuhku terlambat. Usai salat Subuh di kamar dengan mukena yang dipinjamkan oleh Bi Dilah tadi malam sebelum aku tidur, buru-buru aku keluar kamar. Syifa masih tidur di kasur. Anak itu terlihat sangat keletihan dan aku tak tega buat membangunkannya. Alangkah malunya diriku ketika melihat Mas Sofyan sudah duduk di meja makan. Lel
Bagian 21 “Om, di depan ada ramai sekali wartawan. Mereka tahu dari mana kalau Mila ada di rumahku?!” Suara Mas Sofyan yang duduk di sofa ruang tamu terdengar mencelat. Panik. Setali tiga uang denganku yang sudah gemetar hingga ujung kaki. “Bukan apa-apa, Om. Ini takutnya ada penggiringan opini!” Mas Sofyan yang lembut dan santun mendadak terdengar seperti sedang emosian. Aku pun hanya bisa terduduk kembali di ruang makan. Bi Dilah ikut duduk di sebelahku sambil menenangkan. Namun, itu tak bereaksi sedikit pun. Masih saja aku deg-degan. Kulihat, Mas Sofyan kini menaruh jemari di atas bibirnya. Seperti sedang menyimak baik-baik apa yang pengacaranya ucapkan. Dia lalu ma
Bagian 22 “Saya rasa pertanyaan Anda berisi intimidasi dan pelecehan.” Mas Sofyan menegur dengan nada ketus. Membuat pria di hadapan kami tampak tersentak seketika. “Sudah cukup. Sudah sepuluh menit. Silakan untuk membubarkan diri kepada teman-teman awak media. Selamat pagi.” Mas Sofyan melanjutkan kalimatnya. Lelaki itu kemudian mengangguk kecil. Balik badan dan memberikan kode kepadaku agar segera masuk. “Mari semuanya,” pamitku pada seluruh wartawan. “Huu! Masa cuma sebentar, sih!” celetuk salah satu dari mereka. “Iya. Nggak asik!” Satu lagi menambahi. Kupin
Bab 88 Kebahagiaan Tanpa Tepi Sebulan Setelah Kelahiran Anak Pertama Sofyan Setelah melalui banyak cobaan yang berat, akhirnya rumah tangga Sofyan dan Karmila kini terlihat adem ayem. Apalagi usai mendapatkan seorang anak lelaki lucu yang diberi nama Shakeel. Bocah kecil yang lahir sebulan lalu dengan bobot 3,8 kilogram dan panjang 52 sentimeter itu sangat lucu, putih, dan menggemaskan. Siapa pun sayang kepada Shakeel. Baik dari pihak keluarga Mila, maupun keluarga dari pihak Sofyan. Tak sampai di situ saja, keluarga dari mantan suaminya Mila, yakni Faisal pun juga sangat menyayangi dan menyanjung-nyanjung Shakeel yang kian gempal setiap harinya. Faisal kini sudah sembuh total dari penyakit mentalnya. Pria itu hanya dirawat selama beberapa bulan saja di rumah sakit jiwa. Setelah mendapatkan pengobatan yang teratur dan berkualitas, pria itu sudah dapat kembali beraktifitas seperti layaknya manusia normal yang lain. Tubuh Faisal yang
Bab 87POV SofyanPesan-pesan “Sabar ya, Pak,” ujarku sambil meraih tangan keriput milik Pak Beno. Lelaki tua itu menatapku lesu. Senyum di wajahnya tak tampak. Seperti matahari yang tersembunyi di balik kepungan awan hitam. “Anakku enam, Yan. Dua perempuan, tiga lelaki. Dokter spesialis paru, dokter umum, dosen, pengusaha, polisi, dan lawyer. Tidak ada yang pengangguran. Mereka sibuk sekali dengan urusan masing-masing.” Pak Beno mulai terbuka. Aku tak menduga juga bahwa kami berdua bisa berbicara dengan sangat leluasa begini. Aku pun semakin tergelitik untuk mendengarkan kisah selanjutnya. “Tiga tahun lalu, aku mengalami depresi. Pemicunya adalah kematian istriku. Dia belahan jiwa satu-satunya yang paling mengerti dengan apa yang kubutuhkan di dunia ini,” ucapnya sembari menerawang jauh. “Aku mulai sulit untuk tidur, tidak mau makan, kehilangan selera untuk merawat diri, dan yang lebih parahnya lagi, mood-ku naik
Bab 86POV SofyanSebuah Kisah Tatapan kosong Faisal dia akhiri dengan kerling mata yang sendu. Dia pandangi Syifa tanpa berkedip sedikit pun. Tangannya berusaha meraih wajah anak itu dengan jari jemari yang gemetaran. “Syifa … Ayah … ingin pulang, Nak,” ulangnya pelan. Syifa langsung menoleh kepadaku. Anak itu kelihatan bingung. Bibirnya pun mulai melengkung terbalik, seolah-olah akan mencetuskan sebuah kesedihan. “Pa ….” Syifa memanggilku. Dia menggantung kata-katanya dengan ekspresi yang tertekan. “Iya, iya,” jawabku sambil mengayunkan telapak tangan ke bawah dengan gerakan perlahan. Aku juga bingung mau menjawab apa. Aku ini memang pria penolong yang kata orang-orang sangat baik hati. Namun, apa mungkin jika aku menampung Faisal di rumah kami jika pria itu sudah sehat? Tidak mungkin, kan? Itu namanya bodoh. Sebaik-baiknya seorang pria, mana ada yang mau berlapang dada menampung mantan suami dari is
Bab 85POV SofyanPerjumpaan Penuh Sesal “Astaga! Bapak kenapa? Nggak apa-apa, kan?” Seorang bruder alias perawat lelaki sigap menahan kedua bahuku saat tubuh ini limbung akibat menabrak badan si bruder. Pria berseragam serba hijau itu memperhatikan rautku yang kini penuh dengan cemas. Debaran di dadaku pun terasa terus mencelat naik, tanpa mau diajak berkompromi. Sementara itu, Syifa tak juga mau melepaskan pelukan eratnya di pinggangku sambil merengek ketakutan. “Papa! Syifa takut, Pa! Napasku terengah-engah. Bayangan akan sosok Pak Beno yang tiba-tiba datang dengan gerakan mencurigakan, serta isak tangis Faisal yang deras seperti hujan badai itu, kini terus mengitari kepala. Aku rasanya ingin cepat-cepat meninggalkan bangsal ini. “S-saya nggak apa-apa, Mas!” sahutku terengah dengan ekspresi yang panik kepada bruder bertubuh jangkung dengan kulit sawo matang itu. “Kenapa Bapak teriak sambil lari begitu? Apa Pak
Bab 84POV SofyanBangsal Seroja Pak Wahyu mengantar kami ke bangsal Seroja di mana Faisal kini dirawat. Ternyata, letak kamarnya tidak begitu jauh dari pos satpam tadi. Ruangan dengan pintu tinggi bercat hijau tua itu pun keberadaannya hanya satu meter dari ruang jaga perawat yang terlihat ada tiga orang bruder tengah berjaga sambil sibuk mengerjakan laporan. Pintu hijau dengan tinggi sekitar dua meter itu tampak tertutup rapat. Sebelum meninggalkan kami, Pak Wahyu sempat berpesan. Ucapan pria berkulit gelap itu terdengar sedikit mengerikan, hingga membuat bulu kuduk ini merinding. “Pak, maaf, ruangan Seroja ini ada dua orang penghuninya. Satunya Pak Faisal, satunya lagi Pak Beno. Pak Beno ini sebenarnya sudah sembuh, cuma … suka cari perhatian. Kalau semisal agak mengganggu, segera keluar aja ya, Pak,” bisiknya kepadaku. Bibir hitam tebal Pak Wahyu tersenyum simpul. Lirikan matanya kelihatan menunjukkan sedikit rasa khawatir. Tentu saj
Bab 83POV SofyanPermintaan Maaf Kami saling diam di dalam kabin mobil yang seketika berubah jadi panas usai meledaknya tangisan Syifa. Aku tak lagi membujuk anak sambungku tersebut. Kupilih untuk bungkam saja, alih-alih memohon maaf kepadanya agar dia tak lagi bersedih. Sepertinya, gara-gara sikap dinginku itu, Syifa jadi benar-benar merajuk. Hingga mobilku telah parkir di depan pintu masuk RSJ tempat Faisal dirawat pun, Syifa tak juga mengajakku bicara. Aku tetap mencoba tenang, meski sebenarnya hati berontak. Mobil pun berhasil terparkir dengan baik di tengah-tengah antara mobil SUV berwarna hitam dan sedan antik warna merah darah. Kuhela napas dalam sambil melepaskan sabuk pengaman dari pundak. Sekilas, kutoleh Syifa dengan ekor mata.&nbs
Bab 82POV SofyanLelaki Juga Punya Hati “Lain kali kita ke sana ya, Syifa.” Kucoba untuk menghibur kekecewaannya Syifa, meskipun di palung hatiku sendiri masih terasa menganga luka akibat rasa cemburu itu. Sambil mengerucutkan bibir, Syifa mengangguk. Bocah TK itu terkadang menguji sabarku dengan segenap kepolosannya. Aku tahu jika dia tak punya niat buruk untuk sengaja menyakiti hati papa sambungnya ini. Maka dari itu, akulah yang harus mengalah. Sebagai orang dewasa yang berakal sehat, aku harus banyak-banyak memahami Syifa dan seisi dunianya. Walaupun sekali lagi kuberi tahu, bahwa perasaanku sebagai pria tak sebaja yang banyak orang-orang kira. “Semoga lai
Bab 81POV SofyanKutahan Laju Cemburu Berbekal tiga bungkus sate kambing tanpa nasi dan tiga potong ayam krispi bagian dada plus tiga bungkus nasi hangat, aku berangkat menjemput Syifa ke sekolahannya. Pekerjaanku sudah kuselesaikan. Termasuk memberikan koreksi yang cukup banyak kepada Bayu sebelum pemuda itu maju seminar proposal esok lusa. Untuk beberapa hari ke depan, aktifitas mengajarku mungkin memang agak terganggu. Tugas mengajar lebih banyak kulimpahkan kepada asdosku. Mahasiswa juga sudah kuberikan beberapa tugas yang bisa dikumpulkan via email maupun Google Classroom. Semua ini terpaksa kulakukan sebab harus menjaga Mila. Aku tidak bisa mempasrahkan penjagaannya kepada Bi Dilah secara penuh. Bi Dilah juga sudah lumayan repot karena harus merawat rumah, memasak, mencuci, bahkan sesekali mengurus Syifa yang terkadang saat belajar masih perlu ditemani. Aku ingin sekali mengajak ibuku atau mamanya Mila datang ke sini. Tujuannya se
Bab 80POV SofyanHatiku Tak Baik-baik Saja Lelaki mana yang betah hatinya tatkala harus membiarkan anak sambungnya, kembali dekat dengan mantan suami dari istri sendiri. Begitulah yang sedang kurasakan sekarang. Jujur saja, perasaanku sebenarnya tidak baik-baik saja ketika Syifa lagi-lagi mengajakku untuk menemui Faisal di rumah sakit jiwa alias RSJ. Bukankah Sofyan adalah sosok pria baik hati yang selalu rendah diri dan berlapang dada dengan segala kejadian di muka bumi ini? Mungkin kalimat panjang itu tak seratus persen salah, tetapi juga tak seratus persennya benar. Aku memang tipikal lelaki baik yang selalu saja senang menolong berbagai kesulitan orang-orang di lingkungan sekitarku. Siapa pun orangnya, apabila tengah terjepit dalam situasi yang sulit, maka aku akan senang hati menolong. Tak pernah sedikit pun terbesit di benak untuk mendapatkan imbal jasa atas segala yang kuberikan pada orang lain. Seperti itu jugalah kira-kira gambarannya keti