[Terima kasih atas malam ini, Sayangku. You’re my sunshine, my moon, my everything.]
Caption itu terpampang jelas di atas foto yang menggambarkan dua tangan saling menggenggam. Tangan Adelia yang putih mulus dan mengenakan perhiasan berlian di jari manisnya tersebut sedang menggenggam tangan seorang pria berkulit langsat dengan sebuah arloji bertali kulit. Bagaimana aku tak sampai meneteskan air mata, tatkala melihat arloji pemberianku tengah dipakai Mas Faisal saat berselingkuh dengan perempuan lain.
Iya, aku memang perempuan bodoh! Mau menangisi lelaki seperti Mas Faisal yang entah sejak kapan telah membohongiku. Ketika kuingat-ingat dengan pasti, sudah sekitar setahun belakangan ini suamiku memang kerap melakukan perjalanan dinas. Tak pernah terbesit sedikit pun bahwa perjalanan dinas yang dia lakukan adalah fiktif belaka. Jelas-jelas suamiku selalu bepergian di waktu akhir pekan. Ya Allah, mengapa selama ini tak bisa kuendus perbedaan sikap Mas Faisal? Apakah karena dia terlalu pintar dan licik dalam mengemas dusta ini? Atau … sekali lagi, apakah aku yang terlalu dungu?
Lekas kuhapus air mata. Tidak! Aku tak boleh lagi secengeng ini. Waktuku jauh lebih berharga ketimbang harus termehek-mehek demi pria sialan seperti Mas Faisal. Aku harus bergerak. Segera melangkah meski terasa begitu menyakitkan!
Demi menenangkan diri, aku beringsut dari kamar menuju ruang tengah. Sengaja kutinggalkan Syifa tidur sendirian agar gerakanku tak membuatnya kembali terjaga. Biarlah aku menahan kantuk hingga mata ini terasa sangat perih. Yang penting, masalahku bisa teratasi hari ini juga!
Kutelepon mamaku yang tinggal di seberang pulau sana. Ya, aku merantau sendirian mengikuti Mas Faisal yang memang penduduk asli sini. Aku bisa terdampar di kota ini sebab menjalani kuliah di kampus yang sama dengan Mas Faisal. Di situlah kami pertama kali mengenal, ketika aku masih duduk di semester pertama, sedangkan dia sudah duduk di semester tujuh. Kupikir, setelah kuliah aku bisa pulang kampung dan bekerja di sana. Nyatanya, takdir malah membuatku bekerja di kampus kami sebagai admin akademik dengan gaji yang cukup lumayan. Apalagi waktu itu aku nyambi berjualan kosmetik import Korea. Kujalani semua pekerjaan yang menyenangkan tersebut hingga setahun pasca menikah, hingga akhirnya aku disarankan untuk resign dan berhenti berjualan demi fokus program hamil. Yang menyarankan? Siapa lagi kalau bukan Mas Faisal dan kedua orangtuanya.
Penuh debaran di dada, aku menanti Mama mengangkat teleponku. Perempuan separuh abad yang bekerja sebagai penjahit tersebut biasanya sudah bangun pagi-pagi untuk salat Tahajud, lalu disambung dengan mengaji Alquran, dan tak akan tidur lagi sampai siang waktu Zuhur lewat. Namun, setelah kutelepon dua kali, beliau tak juga kunjung mengangkat. Ke mana Mama, pikirku? Apakah dia masih terlelap? Atau, malah sedang khusyuk sembahyang?
Tiga kali aku menelepon, barulah telepon tersambung. Suara janda berusia 56 tahun yang sangat menurunkan bakat menjahitnya kepada adikku, Shintya, itu terdengar begitu teduh. Hatiku serasa meleleh mendengarkan sapaannya pagi ini.
“Assalamualaikum, Mila. Ada apa, Nak?” Lembut nian Mama menyambutku. Aku ingin menangis rasanya. Namun, aku harus pura-pura tegar agar Mama tak semakin khawatir di sana. Sudah cukup dua tahun belakangan ini beliau menelan nestapa setelah ditinggal Papa pergi untuk selama-lamanya. Sebenarnya, berat juga untuk menceritakan semua ini. akan tetapi, apa boleh buat. Bagiku, hanya Mamalah yang patut untuk memberikan nasihat apa terbaik untuk memecahkan masalah ini.
“Waalaikumsalam, Ma. Mama, maaf aku mengganggu. Mama sedang apa?” tanyaku balik pada beliau.
“Mama baru habis salat Tahajud. Kamu udah salat?”
Aku menelan liur. Jangankan salat Tahajud. Melelapkan mata saja aku belum. Ya Allah, maafkan aku.
“Belum sempat, Ma,” sahutku resah.
“Syifa masih demam, Mil? Suamimu kapan pulangnya? Maaf, Mama jam sembilan kurang sudah ketiduran. Sampai lupa membalas pesanmu lagi. Rencananya habis salat ini Mama mau telepon kamu. Eh, kamu sudah telepon duluan.”
“Syifa udah nggak demam lagi, Ma. Masalah Mas Faisal … aku boleh cerita, Ma?” Ragu aku bersuara. Semoga ini tak menjadi beban bagi Mama. Semoga setelah menceritakan permasalahan besar ini, aku bisa mendapatkan kekuatan tambahan untuk berpikir jalan yang terbaik.
“Boleh, Mil. Kenapa Faisal? Apa dia masih lama perjalanan dinasnya?” Di ujung sana, Mama terdengar gelisah. Dia memang telah kutelepon setelah Isya semalam. Kuceritakan bahwa anakku sedang demam, sedangkan Mas Faisal pergi ke luar kota. Meskipun jarak aku dan Mama jauh, aku tetap saja mengabari apa pun yang terjadi pada keluargaku. Aku tahu bila Mama tak akan bisa membantu dengan tenaga, tapi setidaknya bisa dengan doa.
“Ma … Mas Faisal … ternyata bukan perjalanan dinas,” lirihku menahan sesak.
“Lho, lantas ke mana?!” Suara Mama naik beberapa oktaf. Beliau yang lembut dan sabar, entah mengapa tiba-tiba histeris di seberang sana. Mungkinkah Mama telah memiliki insting bahwa aku sedang tak baik-baik saja?
“Pergi dengan istri barunya, Ma.”
“Astaghfirullah! Mila, kamu tidak main-main, kan? Tidak mungkin, Mil! Mama tahu kalau suamimu itu baik dan penyayang. Mana mungkin dia menikah lagi?!” Mama semakin histeris. Di ujung suaranya, terdengar isak yang pelan. Ya Allah, inilah yang paling kutakutkan.
“Demi Allah, Ma. Aku sungguhan, tidak bermain-main. Semua bukti-bukti lengkap. Bahkan, mertuaku mengakui jika anaknya telah menikah lagi.”
“Astaghfirullah! Innalillahi. Ya Allah, Mama rasanya tidak percaya. Tega sekali suamimu, Mila! Siapa istrinya? Apakah kamu mengenal perempuan itu?”
“Adelia, Ma. Anaknya Tante Silvia. Perempuan pemilik salon kecantikan dan travel yang pernah kita sewa minibusnya untuk jalan-jalan ke pantai sekeluarga setahun silam.” Ya, Mama memang pernah naik minibus milik Adelia saat berlibur ke sini bersama Shintya beserta suami dan bayi mereka. Mas Faisal yang menyewakan. Dia bilang bahwa Adelia memberikan setengah harga untuk kami. Tentu saja perempuan gatal itu bisa memberikan diskon segala. Wong saat itu Mas Faisal pasti sudah menjadi suaminya!
“Adelia? Yang cantik itu? Allahu Akbar! Jahat sekali dia merebut suamimu, Mila. Bukankah mereka bersepupu? Bagaimana mungkin … bagaimana bisa?” Suara Mama lirih seperti orang yang merintih. Makin jadi saja perih di hatiku. Ya Allah, balaskan rasa sakit hati kami ini dengan pembalasan yang setimpal. Buat Adelia dan Mas Faisal menerima akibatnya!
“Mama … aku harus apa?” tanya pelan dengan bibir yang gemetar.
“Cerai! Ceraikan Faisal, Mila. Bawa semua bukti-bukti itu ke pengadilan.” Suara Mama tiba-tiba melengking tajam. Membuatku ikut berapi-api dengan sarannya yang penuh kobar semangat.
“Iya, Ma. Aku akan menceraikannya. Yang membuatku tambah sakit, Mas Faisal sudah mempermalukanku di F******k, Ma. Dia membuat status seolah-olah aku yang bersalah. Dia memfitnahku. Dia memutar balikan fakta. Aku tidak ridho, Ma!” Makin sakit hatiku. Makin terkoyak jiwaku kala mengingat status tersebut.
“Ya Allah, bejatnya Faisal! Mama tak menduga bahwa dia akan sekejam itu, Mila. Jangan sedih, Nak. Viralkan saja suamimu sekalian! Buat klarifikasi di F******k dan kalau perlu tunjukkan bukti-bukti agar semua orang tahu bahwa bukan kamu yang berulah, tapi suamimu!”
Seorang perempuan tua saleh yang sabar dan lembut ini, bisa marah juga saat putri kesayangannya sudah dilukai. Aku tahu bila Mama pasti tak pernah terima jika aku dikhianati seperti ini. Baiklah, Ma. Akan kulakukan apa yang Mama pinta.
“Jangan lemah, Mila. Kita memang bukan orang kaya, tapi kita juga punya harga diri! Jangan mau direndahkan, apalagi difitnah. Mama bukan orang desa yang bodoh dan tidak melek teknologi. Selama ini Mama juga memasarkan jasa jahitan Mama lewat sosial media. Mama tahu betul seperti apa kejamnya saat kita difitnah di sosial media yang mudah sekali menyebar ke mana-mana. Balas perbuatan suamimu dengan fakta, Nak. Mama yakin, setelah ini keadaan akan berbalik memihak kepadamu.”
Dengan seribu keyakinan, aku pun mengangguk. Mas Faisal, bersiaplah menjadi artis dadakan setelah ini. Maafkan aku bila satu negara akan menghujatmu habis-habisan.
Bagian 8 Dengan seribu keyakinan, aku pun mengangguk. Mas Faisal, bersiaplah menjadi artis dadakan setelah ini. Maafkan aku bila satu negara akan menghujatmu habis-habisan. “Baik, Ma. Aku minta kepada Mama untuk mendoakanku agar aku kuat menjalani ini semua, Ma. Mereka sudah sangat keterlaluan. Bahkan … Abi berkata jika suamiku dan Adelia sudah memiliki surat nikah resmi. Mana mungkin?! Mereka pasti telah mendapatkan surat bodong itu dari oknum yang disuap. Kejam Mas Faisal dan semua keluargnya. Bahkan sepupunya yang lain, Mas Kamal, juga ikut-ikutan berkomentar di F******k. Menyuruh Mas Faisal untuk melepaskanku segala. Sekarang sudah ketahuan bila satu keluarga memang kompak untuk menjatuhkanku, Ma.” Terdengar tarikan napas dalam dari ujung sana. Mama pasti sesak sekali mendengar pengakuanku. Maaf, Ma. Ceritaku harus melukai
Bagian 9 Puas! Aku sangat puas sekarang. Segala bukti telah kuunggah demi mempermalukan Mas Faisal sekeluarga. Aku tak akan mundur barang sejengkal pun. Hidupku kini untuk menang, meski di depan mata sempat terbayang meja hijau dan UU ITE yang cukup beracun apabila telah menyerang. Pasrah! Lillah! Semua kulakukan semata-mata untuk melindungi harga diriku dan anakku. Azan Subuh pun berkumandang. Terdengar syahdu sekaligus nyaring. Disiarkan melalui pengeras suara masjid yang berlokasi tak jauh dari rumahku. Demi mendengarkan penyeru untuk salat itu, aku pun bangkit. Kutapaki lantai dengan tegar. Sementara itu, ponsel yang kini kembali kumasukkan ke saku bergetar-getar terus menerus. Ada notifikasi masuk, pikirku. Namun, tak kupedulikan. Ponsel secepat kilat lalu kum
Bagian 10 Ternyata, tak hanya panggilan tak terjawab dari Mas Faisal dan orangtuanya saja, ada banyak chat masuk di ponselku yang menanggapi status berisi video TikTok viral tersebut. Kucoba buat menenangkan diri sesaat. Segera mematikan paket dataku buat sementara waktu, kemudian keluar dari aplikasi WA. Tutup matamu dulu untuk pemberitahuan keviralan itu, Mila. Cepat selesaikan semua formulir ini dan mulailah mengadu pada polisi! Gemetar tanganku membuka folder di mana kusimpan foto scan KTP. Setelah mendapatkannya, kutulis cepat NIK dan alamat lengkap yang tertera di kartu identitasku tersebut. Kulanjutkan mengisi data-data lainnya dan memilih jenis pengaduan. Tindak pidana, ya, itulah kolom yang kulingkari. Ketika aku hendak beringsut dari meja dengan
Bagian 11 Puas mencaci maki dan mengancamku habis-habisan, lelaki tak bertanggung jawab itu akhirnya memutuskan percakapan kami. Hatiku masih mengemban sakit. Ternyata, begini rasanya diludahi oleh lelaki yang semakan sepenanggungan dengan kita. Di mana kebaikan serta ketulusan yang pernah Mas Faisal lakukan padaku? Apakah dia telah melupakan semua kenangan manis dalam keluarga kecil kami? Yang masih membuatku tak habis pikir adalah rasa geram Mas Faisal sebab tak menemukan surat tanah dan BPKB beserta motornya di rumah. Dia bahkan sama sekali tak menanyakan kabar Syifa yang baru saja mengalami demam tadi malam. Tak secuil pun meluncur dalam kalimatnya untuk menanyakan ke mana Syifa kubawa. Allahu Akbar! Suamiku … ternyata lenyap sudah kasih sayangmu kepada kami hanya dalam sekejap. Sungguh, harta benda milik Adelia yang sangat kecil bila dibanding rahmat dan kekayaan Allah itu mampu membusukkan hati se
Bagian 12 Kuputuskan untuk mengabari Pak Ramadhan, polisi bertubuh atletis dengan rambut belah pinggir, bahwa aku akan menunggu temanku terlebih dahulu alih-alih diantar oleh mereka ke Rumah Sahabat. “Pak, saya baru ditelepon rekan. Katanya dia akan menjemput ke sini. Saya izin menunggu di sini sama anak saya, ya, Pak. Tidak usah repot-repot diantar bapak-bapak,” kataku dengan sangat sopan. Pak Ramadhan yang memiliki tinggi di atas rekannya, Pak Ari, mengangguk. Pria berkulit sawo dengan hidung mancung dan mata cokelat tersebut tersenyum manis. “Baik, Bu, kalau begitu. Tapi, Ibu pasti aman kan, bersama teman tersebut?” Aku mengangguk ragu. Antara aku dan Mas Sofyan mem
Bagian 13 “Seperti apa kronologinya, Mil? Kenapa jadi tiba-tiba begini?” Mas Sofyan bertanya dengan suara gemetar. Lagi-lagi, sedikit pun tak pernah terbesit di benak bahwa kaprodi teknik sipil yang ketika aku masih berkuliah dan bekerja di kampus tak banyak berbicara itu, jadi tiba-tiba sangat menaruh perhatian. Dari suara … tatapan mata, semua seakan menunjukkan bahwa kami adalah lebih dari sahabat lama. “Anisa sudah menceritakannya kan, Mas?” tanyaku lirih. Dia menggelengkan kepala, “Tidak terlalu detail. Makanya aku langsung telepon kamu saja. Itu pun setelah aku berpikir berulang kali, apakah kamu mau menerima bantuanku atau tidak. Maafkan kelancanganku, Mil.” Pria berperawakan tinggi dan agak sedikit berperut buncit
Bagian 14 “Ah, lupakan. Masalah jodoh itu rahasia Tuhan. Apa yang diambil dariku, mungkin kelak akan dikembalikan atau malah diganti dengan yang lebih baik.” Ukir senyum di bibir Mas Sofyan tampak getir. Kupandang itu sebagai wujud usaha untuk menutupi kesedihannya. Aku menyesal, sebab telah mengungkit hal yang mungkin sangat melukai perasaannya. “Maaf,” ucapku tak enak hati. “Tidak apa-apa, Mila. Santai saja. Mungkin, kamu orang yang ke lima hari ini yang menanyakan kapan aku nikah. Aku sudah terbiasa dengan pertanyaan keramat itu.” Mas Sofyan tertawa. Namun, tawanya seperti tertahan. Tak lepas. Aku makin tak enak hati saja. Sangat-sangat menyesal mengapa aku jadi orang yang bodoh seperti ini.&nbs
Bagian 15 Aku mundur, balik arah, lalu mendatangi kasir. Bertanya dengan cepat di mana letak toilet. “Mbak, toilet di mana?” tanyaku pada kasir yang kini tengah melayani pelanggan lain. “Oh, di situ, Kak.” Kasir cantik itu menunjuk ke arah kiri dirinya. “Lurus terus, nanti Kakak belok ke kiri, ya.” Aku mengangguk. Cepat-cepat berlari ke arah toilet tanpa menoleh lagi ke belakang. Sesampainya di lorong dengan dua ruangan yang bersebelahan, aku memilih belok lagi ke kiri, masuk ke toilet perempuan, kemudian memilih bilik nomor pertama. Kukunci diri dari dalam. Napasku bahkan sampai tere
Bab 88 Kebahagiaan Tanpa Tepi Sebulan Setelah Kelahiran Anak Pertama Sofyan Setelah melalui banyak cobaan yang berat, akhirnya rumah tangga Sofyan dan Karmila kini terlihat adem ayem. Apalagi usai mendapatkan seorang anak lelaki lucu yang diberi nama Shakeel. Bocah kecil yang lahir sebulan lalu dengan bobot 3,8 kilogram dan panjang 52 sentimeter itu sangat lucu, putih, dan menggemaskan. Siapa pun sayang kepada Shakeel. Baik dari pihak keluarga Mila, maupun keluarga dari pihak Sofyan. Tak sampai di situ saja, keluarga dari mantan suaminya Mila, yakni Faisal pun juga sangat menyayangi dan menyanjung-nyanjung Shakeel yang kian gempal setiap harinya. Faisal kini sudah sembuh total dari penyakit mentalnya. Pria itu hanya dirawat selama beberapa bulan saja di rumah sakit jiwa. Setelah mendapatkan pengobatan yang teratur dan berkualitas, pria itu sudah dapat kembali beraktifitas seperti layaknya manusia normal yang lain. Tubuh Faisal yang
Bab 87POV SofyanPesan-pesan “Sabar ya, Pak,” ujarku sambil meraih tangan keriput milik Pak Beno. Lelaki tua itu menatapku lesu. Senyum di wajahnya tak tampak. Seperti matahari yang tersembunyi di balik kepungan awan hitam. “Anakku enam, Yan. Dua perempuan, tiga lelaki. Dokter spesialis paru, dokter umum, dosen, pengusaha, polisi, dan lawyer. Tidak ada yang pengangguran. Mereka sibuk sekali dengan urusan masing-masing.” Pak Beno mulai terbuka. Aku tak menduga juga bahwa kami berdua bisa berbicara dengan sangat leluasa begini. Aku pun semakin tergelitik untuk mendengarkan kisah selanjutnya. “Tiga tahun lalu, aku mengalami depresi. Pemicunya adalah kematian istriku. Dia belahan jiwa satu-satunya yang paling mengerti dengan apa yang kubutuhkan di dunia ini,” ucapnya sembari menerawang jauh. “Aku mulai sulit untuk tidur, tidak mau makan, kehilangan selera untuk merawat diri, dan yang lebih parahnya lagi, mood-ku naik
Bab 86POV SofyanSebuah Kisah Tatapan kosong Faisal dia akhiri dengan kerling mata yang sendu. Dia pandangi Syifa tanpa berkedip sedikit pun. Tangannya berusaha meraih wajah anak itu dengan jari jemari yang gemetaran. “Syifa … Ayah … ingin pulang, Nak,” ulangnya pelan. Syifa langsung menoleh kepadaku. Anak itu kelihatan bingung. Bibirnya pun mulai melengkung terbalik, seolah-olah akan mencetuskan sebuah kesedihan. “Pa ….” Syifa memanggilku. Dia menggantung kata-katanya dengan ekspresi yang tertekan. “Iya, iya,” jawabku sambil mengayunkan telapak tangan ke bawah dengan gerakan perlahan. Aku juga bingung mau menjawab apa. Aku ini memang pria penolong yang kata orang-orang sangat baik hati. Namun, apa mungkin jika aku menampung Faisal di rumah kami jika pria itu sudah sehat? Tidak mungkin, kan? Itu namanya bodoh. Sebaik-baiknya seorang pria, mana ada yang mau berlapang dada menampung mantan suami dari is
Bab 85POV SofyanPerjumpaan Penuh Sesal “Astaga! Bapak kenapa? Nggak apa-apa, kan?” Seorang bruder alias perawat lelaki sigap menahan kedua bahuku saat tubuh ini limbung akibat menabrak badan si bruder. Pria berseragam serba hijau itu memperhatikan rautku yang kini penuh dengan cemas. Debaran di dadaku pun terasa terus mencelat naik, tanpa mau diajak berkompromi. Sementara itu, Syifa tak juga mau melepaskan pelukan eratnya di pinggangku sambil merengek ketakutan. “Papa! Syifa takut, Pa! Napasku terengah-engah. Bayangan akan sosok Pak Beno yang tiba-tiba datang dengan gerakan mencurigakan, serta isak tangis Faisal yang deras seperti hujan badai itu, kini terus mengitari kepala. Aku rasanya ingin cepat-cepat meninggalkan bangsal ini. “S-saya nggak apa-apa, Mas!” sahutku terengah dengan ekspresi yang panik kepada bruder bertubuh jangkung dengan kulit sawo matang itu. “Kenapa Bapak teriak sambil lari begitu? Apa Pak
Bab 84POV SofyanBangsal Seroja Pak Wahyu mengantar kami ke bangsal Seroja di mana Faisal kini dirawat. Ternyata, letak kamarnya tidak begitu jauh dari pos satpam tadi. Ruangan dengan pintu tinggi bercat hijau tua itu pun keberadaannya hanya satu meter dari ruang jaga perawat yang terlihat ada tiga orang bruder tengah berjaga sambil sibuk mengerjakan laporan. Pintu hijau dengan tinggi sekitar dua meter itu tampak tertutup rapat. Sebelum meninggalkan kami, Pak Wahyu sempat berpesan. Ucapan pria berkulit gelap itu terdengar sedikit mengerikan, hingga membuat bulu kuduk ini merinding. “Pak, maaf, ruangan Seroja ini ada dua orang penghuninya. Satunya Pak Faisal, satunya lagi Pak Beno. Pak Beno ini sebenarnya sudah sembuh, cuma … suka cari perhatian. Kalau semisal agak mengganggu, segera keluar aja ya, Pak,” bisiknya kepadaku. Bibir hitam tebal Pak Wahyu tersenyum simpul. Lirikan matanya kelihatan menunjukkan sedikit rasa khawatir. Tentu saj
Bab 83POV SofyanPermintaan Maaf Kami saling diam di dalam kabin mobil yang seketika berubah jadi panas usai meledaknya tangisan Syifa. Aku tak lagi membujuk anak sambungku tersebut. Kupilih untuk bungkam saja, alih-alih memohon maaf kepadanya agar dia tak lagi bersedih. Sepertinya, gara-gara sikap dinginku itu, Syifa jadi benar-benar merajuk. Hingga mobilku telah parkir di depan pintu masuk RSJ tempat Faisal dirawat pun, Syifa tak juga mengajakku bicara. Aku tetap mencoba tenang, meski sebenarnya hati berontak. Mobil pun berhasil terparkir dengan baik di tengah-tengah antara mobil SUV berwarna hitam dan sedan antik warna merah darah. Kuhela napas dalam sambil melepaskan sabuk pengaman dari pundak. Sekilas, kutoleh Syifa dengan ekor mata.&nbs
Bab 82POV SofyanLelaki Juga Punya Hati “Lain kali kita ke sana ya, Syifa.” Kucoba untuk menghibur kekecewaannya Syifa, meskipun di palung hatiku sendiri masih terasa menganga luka akibat rasa cemburu itu. Sambil mengerucutkan bibir, Syifa mengangguk. Bocah TK itu terkadang menguji sabarku dengan segenap kepolosannya. Aku tahu jika dia tak punya niat buruk untuk sengaja menyakiti hati papa sambungnya ini. Maka dari itu, akulah yang harus mengalah. Sebagai orang dewasa yang berakal sehat, aku harus banyak-banyak memahami Syifa dan seisi dunianya. Walaupun sekali lagi kuberi tahu, bahwa perasaanku sebagai pria tak sebaja yang banyak orang-orang kira. “Semoga lai
Bab 81POV SofyanKutahan Laju Cemburu Berbekal tiga bungkus sate kambing tanpa nasi dan tiga potong ayam krispi bagian dada plus tiga bungkus nasi hangat, aku berangkat menjemput Syifa ke sekolahannya. Pekerjaanku sudah kuselesaikan. Termasuk memberikan koreksi yang cukup banyak kepada Bayu sebelum pemuda itu maju seminar proposal esok lusa. Untuk beberapa hari ke depan, aktifitas mengajarku mungkin memang agak terganggu. Tugas mengajar lebih banyak kulimpahkan kepada asdosku. Mahasiswa juga sudah kuberikan beberapa tugas yang bisa dikumpulkan via email maupun Google Classroom. Semua ini terpaksa kulakukan sebab harus menjaga Mila. Aku tidak bisa mempasrahkan penjagaannya kepada Bi Dilah secara penuh. Bi Dilah juga sudah lumayan repot karena harus merawat rumah, memasak, mencuci, bahkan sesekali mengurus Syifa yang terkadang saat belajar masih perlu ditemani. Aku ingin sekali mengajak ibuku atau mamanya Mila datang ke sini. Tujuannya se
Bab 80POV SofyanHatiku Tak Baik-baik Saja Lelaki mana yang betah hatinya tatkala harus membiarkan anak sambungnya, kembali dekat dengan mantan suami dari istri sendiri. Begitulah yang sedang kurasakan sekarang. Jujur saja, perasaanku sebenarnya tidak baik-baik saja ketika Syifa lagi-lagi mengajakku untuk menemui Faisal di rumah sakit jiwa alias RSJ. Bukankah Sofyan adalah sosok pria baik hati yang selalu rendah diri dan berlapang dada dengan segala kejadian di muka bumi ini? Mungkin kalimat panjang itu tak seratus persen salah, tetapi juga tak seratus persennya benar. Aku memang tipikal lelaki baik yang selalu saja senang menolong berbagai kesulitan orang-orang di lingkungan sekitarku. Siapa pun orangnya, apabila tengah terjepit dalam situasi yang sulit, maka aku akan senang hati menolong. Tak pernah sedikit pun terbesit di benak untuk mendapatkan imbal jasa atas segala yang kuberikan pada orang lain. Seperti itu jugalah kira-kira gambarannya keti